401 - Para Ksatria
Saat Gio berbicara, ia menggerakkan katana berbilah hitamnya.
Dengan tenaga penuh, menebas menyerong.
Ars segera mundur dari tempatnya.
Namun, sekalipun ia berusaha menjauh, bilah katana Gio yang telah menusuk tubuhnya tetap merobek dagingnya.
Dadanya terbelah, dari jantung hingga sisi kiri, darah pun menyembur keluar.
Di saat bersamaan, Ars melancarkan serangan balik kepada Gio sambil mundur.
Dengan katana satunya, Gio menangkis serangan itu, lalu melompat ke arahku.
[ Jadi, kau toh. ]
[ Sepertinya kau masih utuh juga. ]
Meski menanggapi kata-kataku, pandangan Gio tetap terpaku pada peralatan yang dipakai Ars.
Itu adalah perlengkapan milik Armia, rekannya yang juga berasal dari Negeri Jauh.
[ Seperti dalam informasi sebelumnya, sepertinya sulit berkomunikasi lewat kata-kata dengan Pelayan Ilahi ini. Jadi…… aku tak bisa memastikan keselamatan Armia. ]
Mendengar ucapanku, Gio hanya menjawab singkat.
[ ————Begitu ya. ]
Sang pendekar bermata dua, merunduk bagaikan macan kumbang hitam, tampak tenang.
Namun aku bisa merasakan.
Ia sedang menekan amarah yang bergejolak di dalam dirinya.
Di saat yang sama——— ia juga memahaminya.
Kehilangan kendali di depan lawan ini berarti kematian pasti.
(Aku pernah dengar ia bisa meledak-ledak, namun di lain waktu sangat tenang…… sekarang aku paham——— dia bukan sekadar lelaki ceroboh. Dan……)
Aku teringat perkataan Touka:
“Jika kau tidak menghitung Seras, Sogou, dan Takao Bersaudari, berikutnya yang patut diperhitungkan adalah Gio dan Sang Kaisar Cantik Gila.”
(Aku mengerti…… bahkan Touka mengakui dia salah satu pendekar terbaik.)
[ Mungkin ini keberuntungan, bisa bertemu denganmu di sini. ]
[ Sama saja untukku. ]
Jawab Gio, masih terus memperhatikan Ars.
[ Aku tak bisa membiarkan seseorang yang sudah bertahan hidup di dunia luar mati di tempat seperti ini. Itu sebabnya aku memilih posisi dekat denganmu. ]
Aku tertawa pelan, lalu membagikan informasi yang kupunya tentang Ars.
Ars———– sudah mulai beregenerasi.
Darah yang sebelumnya tumpah seolah mengalir kembali ke tubuh putihnya.
Daging yang terbelah juga perlahan menutup kembali.
[ Jadi jantung bukan “inti”nya. ]
Ucap Gio dengan tatapan tajam.
(Seperti yang kuduga…… pengamatannya memang tajam.)
Aku juga memperhatikannya.
Saat Gio menyerang, Ars refleks melindungi bagian tertentu———
(Terlihat jelas ia lebih memprioritaskan melindungi leher dan torso dengan perisai serta cambuk pedangnya……)
Itu berarti, kemungkinan besar salah satu dari bagian itu adalah titik lemahnya.
[ Jadi bagaimana, pendekar bermata dua sang macan hitam? Apa kita mundur dan mencoba bergabung dengan yang lain? ]
Gio bangkit dari posisinya yang merunduk.
Ia menyesuaikan cengkeramannya pada katana, berhati-hati agar tidak terlalu menekan gagang.
[ Itu tergantung…… apakah orang itu akan membiarkan kita kabur. ]
(Fumu…… rupanya dia cukup tenang untuk mempertimbangkan mundur sebagai pilihan.)
“Tapi……,” lanjut Gio.
[ Lebih baik aku menghindari kesalahan: terlalu fokus untuk lari, lalu justru terbunuh karena itu. ]
[ Umu. ]
Kadang, menyerang adalah bentuk pertahanan terbaik.
Dengan bertarung, kesempatan musuh untuk mengambil alih justru berkurang.
Bahkan, pertarungan bisa menciptakan celah untuk menunggu bantuan datang.
[ Lagi pula———— ]
Gio menatap telapak tangannya.
[ Dari yang kurasakan…… dia bukan sesuatu yang sepenuhnya di luar jangkauan kita. ]
Aku menyesuaikan posisiku, tetap menatap Ars.
[ ——–Bagaimana kalau kita coba? ]
Dengan sedikit menggeser sudut katananya, Gio menjawab,
[ ……Mari kita coba. ]
Bertarung mungkin bisa membuka jalan untuk mundur.
Atau mungkin, kita bisa mengorek informasi penting lewat pertempuran.
Informasi yang bisa jadi sangat berguna untuk diteruskan pada yang lain.
Setelah saling bertukar pandang, aku dan Gio kembali memusatkan perhatian pada Ars.
Auranya——— telah berubah.
(Fumu…… memilih bertarung sepertinya memang keputusan yang tepat.)
Aku bisa merasakan, niat membunuh Ars sedikit mereda ketika kami menunjukkan kesiapan untuk melawan.
Seandainya kami memilih lari, bisa jadi ia akan mengejar sampai mati.
Namun, begitu kami menunjukkan tekad untuk bertarung———
Suaranya berubah. Ars tampak berniat “menikmati” pertempuran ini.
(Apa orang ini memang mencari pertarungan itu sendiri? Rasa kecewanya menghilang, dan niat membunuh pun mereda……)
Dengan kata lain———
Apakah kekecewaan yang ia rasakan bisa berubah menjadi hasrat membunuh?
Ars membuka kedua lengannya, bersiap.
Cambuk pedang di bahunya pun menari.
[ “Menjadi lebih kuat itu menyenangkan…… apa salahnya? Vysis…… kau benar-benar tak paham apa-apa.” ]
Ars menerjang.
Aku dan Gio maju, memisahkan arah.
Gio menuju sisi kanan Ars, berhadapan dengan pedangnya.
Sementara aku melaju ke kiri, berhadapan dengan perisainya.
Cambuk pedang terayun ke kedua sisi.
Kami berdua menangkis serangan cambuk itu dengan katana masing-masing.
(Trajekorinya, untuk sekarang, masih bisa terbaca, tapi———)
Gio lihai menangkis cambuk pedang sekaligus pedang Ars dengan katana.
Sementara aku terus bertahan sekaligus menyerang, mencari celah.
Bila hanya dianggap “pendukung”, peranku akan kehilangan arti.
Peran pendukung hanya hidup jika mampu memberi kesempatan bagi serangan nyata.
Aku teringat masa lalu, saat masih menjadi Juara Darah.
Dulu, kami selalu bertarung berkelompok.
Sensasi itu kembali muncul, begitu nostalgia.
Ya…… dulu kami juga bertarung seperti ini.
Saat itu———
[ ! ]
Kilatan cahaya.
Tebasan Gio membelah bahu Ars, menembus armornya.
Salah satu cambuk pedang, bersama potongan daging dari bahunya, terlempar ke udara.
[ “Guwaaaaahhhh———-!?” ]
(Jadi begitu, menyerang untuk mengurangi jumlah cambuk pedang.)
Sekilas, Ars tampak seperti seseorang yang mengenakan zirah penuh.
Namun sebenarnya——— “seluruh tubuhnya itulah armor itu”.
Gio berhasil memisahkan cambuk pedang bersama potongan daging berlapis zirahnya.
(Mhmm?)
……Ksssht……
Potongan daging itu berusaha kembali ke tubuh Ars.
Bergerak sendiri.
Seolah memiliki kehendak, daging itu merayap kembali.
Darah yang tercecer pun melakukan hal yang sama.
Mengalir seperti makhluk hidup.
Di tengah serangan dan pertahanan, Gio hendak menghancurkan daging yang terpisah———
[ —————— ]
Namun ia langsung menghentikan langkahnya.
Cambuk pedang yang semula lemas, tiba-tiba bergerak.
Jika ia menginjaknya, kakinya akan terkena serangan balik.
Menatap tajam ke arah musuh, Gio berkata:
[ Dia bahkan bisa mengendalikan bagian tubuhnya yang sudah terpisah ya. ]
(Seperti yang kuduga…… selama “inti” tak dihancurkan, ia akan terus beregenerasi……?)
Tebasan katana kembali terdengar.
Bersamaan dengan itu, suara daging terbelah menggema.
Bilah Gio menebas lengan Ars.
Namun——— tak sampai putus sepenuhnya.
Sepertinya kali ini ia memang berniat memutuskan lengan itu.
[ “Hahh…… hahh…… darah…… kuh…… S-sial…… kuat sekali——— orang ini, terlalu kuat……!! Tapi aku tak akan kalah…… mana mungkin aku kalah…… HAAAAHHHH!!!” ]
Kata-kata dan suaranya dipenuhi semangat membara.
Namun teriakan itu…… terasa janggal, tak sejalan dengan pertempuran ini.
Aku bertukar pandang dengan Gio lagi.
(Pria ini…… luar biasa. Hanya lewat tatapan, ia bisa mengisyaratkan langkah berikutnya. Seorang ksatria dengan koordinasi alami sedemikian sempurna…… belum pernah kutemui sebelumnya.)
Tak hanya teknik bertarungnya.
Tinggi tubuhnya, otot yang kuat.
Struktur tulang yang dibuat untuk bertarung.
Dan yang paling mencolok——— lengan panjang serta kelenturan tubuhnya.
Itu semua adalah faktor penting dalam pertempuran.
Ketinggian, struktur tulang, panjang lengan——— bisa dibilang adalah “bakat bawaan”.
(Dia mampu bertarung setara dengan Pelayan Ilahi raksasa ini…… bahkan lebih baik. Keunggulan fisiknya pasti berperan besar.)
Dalam hal itu, aku kalah jauh.
(Tapi———)
Kecepatan.
Refleks.
Prediksi instingtif dari pengalaman.
Itulah yang jadi kebanggaanku.
Pertarungan terus berlangsung, percikan api dari tebasan menyambar.
Di tengah bentrokan itu, perasaan aneh menyelusup.
(———Apa ini? Pelayan Ilahi ini…… ada sesuatu yang tidak beres……)
Namun aku belum bisa memastikan apa penyebabnya.
Sementara itu, Gio semakin menekan Ars.
Seolah ia lebih unggul dalam kekuatan maupun teknik.
Saat ini, dia bagaikan badai bilah hitam.
Bahkan pecahan daging di tanah, yang bergerak sendiri sambil melayangkan cambuk pedang, berhasil dia atasi.
(Gio memang terlihat unggul…… tapi ia belum memberikan pukulan penentu…… Seperti yang kuduga, untuk mengakhirinya, serangan harus diarahkan ke leher atau torso. Ars jelas paling waspada terhadap dua bagian itu…… ——–Hmm?)
[ “Sial…… Shion…… meski aku harus mengalahkan Akar Kejahatan dan menyelamatkan dunia———— pertarungan ini…… menyenangkan sekali…… bertarung itu menyenangkan! Pertukaran hidup ini…… menyenangkan! Aku menikmatinya! Kuh…… apa yang harus kulakukan? Aku——— sebagai orang yang dipanggil untuk menyelamatkan dunia……. apa perasaan ini salah? Apa aku salah? Jawab aku…… Shion…… hey, Shion…… katakan sesuatu…….” ]
Ars mulai berbicara.
Apakah ini kata-kata yang ia ucapkan saat bertarung melawan Akar Kejahatan kala itu?
Dari konteksnya, jelas——— Ars dulunya adalah seorang Pahlawan dari Dunia Lain.
[ ——–Tch, bajingan aneh…… hanya mendengarkan ucapannya saja, rasanya ini bukan lagi “pertarungan”. ]
Meski Gio sudah melukai Ars berkali-kali, pertempuran masih seimbang.
(Ya…… buntu, tapi……)
Buntu.
(……Benar, keadaan buntu ya.)
Aku mulai berpikir——— apakah sebaiknya kami menunggu bantuan datang?
Tapi di sisi lain, bisa jadi musuh juga mendapat bala bantuan.
(Seandainya Touka dan Hijiri ada di sini…… mungkin mereka bisa menemukan jalan menuju kemenangan……)
Tetap saja, aku berusaha mencari celah harapan dengan caraku sendiri.
Saat itu———
[ ! ]
Dua cambuk pedang baru tumbuh dari siku Ars.
Meski begitu, Gio tetap menekan tanpa ragu.
Aku pun melanjutkan pertarungan.
(Fumu…… hanya dua lagi, Gio dan aku masih bisa menanganinya…… apalagi———)
Aku memperhatikan dengan saksama.
[ ……Gio! Bisa mundur sebentar!? ]
Tanpa berkata apa-apa, Gio langsung melompat mundur.
Aku juga mundur ke arah berlawanan.
Ars sempat ragu, seolah bingung apa yang harus dilakukan.
[ ——–……Begitu rupanya. ]
Sepertinya Gio juga mengerti.
Ya———
Jumlah cambuk pedang bertambah, tapi jangkauannya jadi lebih pendek.
Sejak awal, Ars enggan menambah jumlah cambuknya.
Mungkin karena setiap tambahan justru mengurangi jangkauannya.
(Dan…… aku juga merasa kekuatannya sedikit berkurang. Sepertinya itu sebabnya dia tak sembarangan memperbanyak cambuk pedang.)
Ars bahkan tak bisa sepenuhnya bertahan dari serangan ganas Gio.
Karena itu, ia mencoba menutupinya dengan menambah jumlah serangan.
Bisa dibilang——— ia mulai lebih condong ke pertahanan.
[ ……Gio. ]
[ Ou. ]
[ Saat melawan orang ini…… aku merasa ada sesuatu yang janggal. ]
[ Janggal? ]
[ Aku belum tahu pasti penyebabnya…… mungkin saja hanya perasaanku. ]
Gio terkekeh kecil.
[ Intuisi itu penting. Apalagi…… kalau intuisi seorang pendekar ulung. ]
(Fumu……)
Seorang pendekar ulung.
Sepertinya Gio mengakuiku demikian.
Ia memutar katana di tangannya dengan luwes, lalu berkata:
[ Rasa janggal itu bisa jadi kunci untuk menguak kelemahannya. ]
[ Tapi ini hanya firasat tanpa dasar, bisa saja salah total. ]
[ Tidak…… justru karena lawannya dia, firasat itu layak dicoba. ]
Dengan itu, Gio merendahkan tubuhnya.
Mengambil posisi seperti hewan buas siap menerkam mangsanya.
[ Untuk menggenggam rasa janggal itu——— aku akan membeli sedikit waktu. ]
——–Fwoosh!——–
Dengan dorongan kuat, Gio menyerbu Ars.
Serentetan tebasan segera menghujani.
Aku, selaras dengan gerakannya, ikut mendekat.
Pertarungan makin sengit.
Gio mampu menahan Pelayan Ilahi.
Aku, sambil terus mengamati, menangkis serangan Ars.
——————Pertempuran terus menggelora.
Mungkin karena mereka diciptakan khusus untuk melawan para Dewa.
Terhadap non-Dewa——— terhadap kami——— mereka masih bisa ditahan.
Kami bertahan.
(Meski begitu, kami masih tak bisa mendesak…… dan aku belum menemukan apa penyebab rasa janggal itu…… mungkinkah ini cuma imajinasiku———)
[ ! ]
Sekejap, gerakan Gio berubah.
Dan aku langsung merasakannya.
Ia memberitahuku untuk menyelaraskan gerakan.
Gio menebas pergelangan tangan Ars, yang berbentuk bagaikan sarung tangan baja.
Pergelangan yang terputus, masih menggenggam pedang Armia, jatuh ke tanah.
Gio memutar tubuhnya menghindari cambuk, lalu masuk ke jarak dekat.
Di saat yang sama——— aku melancarkan seranganku sendiri.
Menepis dua cambuk pedang, lalu menendang keras perisainya.
Perisai bergetar hebat, aku bisa merasakan Ars menggenggamnya makin erat.
Gio berpura-pura menebas torso, lalu menusukkan salah satu katana ke pahanya.
[ “Uooooohhhhh———-!” ]
Ars meraung kesakitan.
Gio tak gentar, menggenggam erat katana satunya dengan kedua tangan.
———Kreeeek———
Aku bisa merasakan kekuatan besar terkumpul di tangannya yang berbalut hitam.
Sasarannya jelas.
Ia——— hendak membelah torso Ars.
[ “Mana mungkin kubiarkan———!” ]
Ars meraung lagi.
Dan di saat itu——— duniamu seakan senyap.
[ ————— ]
Pikiranku jernih, lebih jernih dari sebelumnya.
Aku memahaminya secara naluriah.
Apakah ini karena firasatku mencapai puncak?
Atau insting hewan buas?
……………. Saat itu …………….
Kata-kata Gio.
“Aku akan membeli sedikit waktu.”
“Membeli waktu.”
Itu bisa dimaknai sebagai deklarasi untuk bertahan.
Dengan kata lain——— kami tak berniat mengakhiri pertempuran ini sekarang.
Itu menghapus opsi bagi Ars untuk “mengincar pukulan akhir”.
Meski tak jelas apakah ia memahami ucapan kami.
Namun——— pertukaran tebasan adalah bentuk percakapan tersendiri.
Percakapan antar pendekar.
Dalam pertarungan ini, Ars pasti menyadari.
Aku bukanlah penyerang utama——— aku hanya pendukung.
Dan———
“Aku berusaha keras menyembunyikan fakta bahwa aku hanyalah pendukung.”
Memang, aku menekuni peran itu.
Bertarung dengan niat itu.
Mungkin——— Gio pun merasakannya.
Namun, tiba-tiba Gio mengubah taktik.
Aku segera menangkap maksudnya.
Insting kami bergema, menciptakan pemahaman nyaris ajaib.
Mungkin karena kami sama-sama “pendekar sejati”.
(Ya, tak peduli apa pun———)
Gio mengubah serangan mautnya——— yang seharusnya ditujukan ke torso Ars——— menjadi umpan.
Dan kemudian, ia memberi isyarat kepadaku: “Lakukan.”
Ars sudah fokus mempertahankan torso.
Maka———
(Dengan satu tebasan ini———)
[ “Kalian…… tidak buruk———” ]
———— Swoosh! ————
Bilahku menebas, memenggal kepala Ars dari lehernya.
No comments:
Post a Comment