Bab 86: Kode
Sore hari di Igwynt. Langit kelabu menutup kota, dan suasana di kediaman Buck di tepi White River Riverside menegang.
Para Hunter yang mengikuti jejak musuh dari Flooded Dockyard telah mengepung mansion sepenuhnya. Senjata diarahkan ke setiap pintu dan jendela, penembak jitu menduduki atap-atap sekitar, dan tiap regu siaga menunggu bentrokan yang tak terhindarkan.
Di dalam, Gregor dan Turner, bersama Elena—utusan gereja—memimpin pencarian menyeluruh. Dua lantai bawah tak menunjukkan hal aneh kecuali satu: hampir semua kaca jendela retak.
“Kaca jendela retak di mana-mana… apa ini fenomena mistik?” gumam Turner, alis berkerut, meneliti retakan rumit di kaca lantai dua.
Gregor di sampingnya menjawab muram, “Belum jelas. Mungkin ada ritual yang dilakukan. Tadi kita memang dengar suara-suara aneh dari sini. Waspada. Kita lanjut ke atas.” Ia menggenggam pedang lebih erat.
Semakin mereka naik, bau besi dari darah makin menusuk. Bahkan Gregor dan Elena yang terbiasa sekalipun tak bisa mengabaikannya. Urat saraf mereka tegang.
Akhirnya, tiba di lantai tiga, mereka sampai di depan ruang kerja. Bertukar pandang, ketiganya segera menerobos masuk, menyebar, memastikan tidak ada jiwa yang tersisa.
Memang tak ada yang hidup. Yang ada hanya mayat.
Pemandangan yang menyambut mereka adalah pembantaian. Potongan tubuh berserakan, darah menggenang menodai karpet. Mayat-mayat itu sudah kering dan keriput.
Halaman-halaman buku yang ternodai darah beterbangan di lantai merah. Meja kursi terbalik, pecahan kaca dan porselen berserak, tembok penuh lubang peluru, dan jendela-jendela hancur jadi serpihan.
Lebih buruk daripada apa yang mereka lihat di rumah Burton. Bau kekerasan begitu pekat hingga mereka harus menahan napas sejenak. Jelas sekali, pertempuran sengit terjadi di sini.
“Heh… kenapa rasanya pemandangan ini mirip? Kita pernah lihat hal begini, kan Gregor?” Turner memecah keheningan.
Gregor mengangguk berat. “Ya… waktu kasus Burton. Ruangan kacau, mayat berserakan. Tapi ini? Lebih gila lagi…”
Elena yang meneliti dengan hati-hati menimpali, “Ini jelas pertempuran antar-Beyonder. Tapi skalanya… berlebihan. Mayat-mayat ini jelas pelayan rumah. Dari tampilan tubuh, mereka melawan sampai akhir. Bahkan sempat menggunakan Sigil Pemangsa, tapi tetap dilumat. Ruangan ini dihancurkan total. Ini bukan kerjaan Beyonder biasa… Rasanya melampaui level murid…” Nada suaranya getir.
“Hei, jangan sembarang tebak! Melampaui murid? Maksudmu ada Beyonder kelas Hitam nongol di sini? Itu keterlaluan. Gila memang, tapi nggak separah itu,” potong Turner tajam.
Yang ia maksud, “kelas Hitam” adalah Black Soil, tingkatan di atas murid dalam sistem peringkat Beyonder yang dipakai Guild Pengrajin Putih—istilah alkimia yang kemudian meluas di dunia mistisisme.
Munculnya seorang Beyonder kelas Hitam di Igwynt akan jadi insiden besar.
“Bagaimanapun… tampaknya mereka bertemu musuh lagi di sini dan bertarung habis-habisan. Mungkin sama dengan kelompok yang terlibat di kasus sebelumnya. Kita harus periksa mansion ini secara menyeluruh. Ruang kerja ini, khususnya, perlu perhatian ekstra,” tegas Gregor.
Turner dan Elena mengangguk, mengerahkan regu ke bagian lain, sementara mereka bertiga fokus pada ruang kerja.
…
“Perhatian khusus apanya! Di sini nggak ada apa-apa! Cepat pergi ke ruangan lain, dasar bodoh!”
Di balik rak buku yang terlihat biasa, Dorothy duduk di ruang rahasia, punggung menempel dinding. Dalam hati ia mengutuk nasibnya.
Saat para Hunter masuk, Dorothy panik dan buru-buru bersembunyi, menutup mekanisme rak buku agar tersamarkan. Ia sama sekali tak berniat “reuni keluarga” di sini.
Sekarang ia terjebak, hanya dipisahkan satu dinding dari kakaknya dan regu Hunter yang memeriksa ruang kerja. Kalau saja mereka menemukan mekanisme pintu rahasia, tamatlah riwayatnya.
Jantung Dorothy berdegup kacau. Bahkan saat diburu Edrick atau disergap Crimson Eucharist, ia tak setegang ini. Kekerasan tidak bisa menyelesaikan masalah. Andai saja aku punya kemampuan mistik untuk mengecil dan kabur…
Tapi itu mustahil. Ia harus memutar otak.
“Tenang… pasti ada jalan keluar. Walau terkepung, mansion ini pasti punya lorong rahasia. Kalau kutemukan pintunya, aku bisa kabur!”
Dorothy bangkit, mulai mengobrak-abrik ruang rahasia, sekaligus mengendalikan Brandon melalui cincin Boneka Mayat untuk membantunya. Untungnya, ruangan itu kedap suara—sudah pernah ia uji bersama Brandon. Suara sekecil apapun takkan bocor.
Pencarian teliti akhirnya berbuah hasil. Di balik tirai, ia menemukan pintu besi berat.
Matanya berbinar. Ini dia! Jalan kabur! Tapi begitu ia mendekat, wajahnya seketika mengeras.
“Kunci sandi? Serius!?”
Pintu itu memakai kunci kombinasi mekanis lima angka, mirip brankas.
“Bagaimana aku tahu kodenya sekarang? Orang yang tahu sudah kabur!” Dorothy mencakar rambutnya, nyaris putus asa.
Namun saat matanya meneliti lebih dekat, sesuatu menarik perhatian.
Empat dari lima roda logam berlumur noda darah segar, masih lengket.
Itu petunjuk. Buck jelas sempat memasukkan sebagian kode ketika tangannya berlumuran darah dari pertarungan. Noda itu menandakan urutan putarannya.
Jika dugaannya benar, Buck sempat memasukkan tiga angka sebelum terputus saat Dorothy menembaknya. Tinggal dua angka tersisa—artinya seratus kemungkinan kombinasi.
Dorothy tersenyum tipis. “Heh… bisa dicoba.”
Ia mulai memutar roda satu per satu.
…
Sementara itu, di ruang kerja, Gregor meneliti detail ruangan. Tak menemukan petunjuk, Elena berdiri di tengah, mengeluarkan kompas.
Ia menyalurkan spiritualitas, dan jarumnya berputar cepat… hingga berhenti menunjuk tepat ke arah rak buku.
…
Di ruang rahasia, Dorothy masih sibuk mencoba kombinasi.
Tak jauh darinya, mayat Clifford yang kering kerontang tergeletak dengan ekspresi menyeramkan. Dari bawah tubuhnya, sebuah sigil yang tersembunyi diam-diam memancarkan spiritualitas samar.
No comments:
Post a Comment