Bab 83: Mekanisme
Di kota atas Igwynt, di tepi utara aliran tengah Sungai Ironclay, rentetan tembakan menggema keras di atas kediaman Buck. Warga Distrik Tepi Sungai White River sontak terbangun, panik merambat ke seluruh penjuru.
Di lorong lantai tiga, Dorothy berdiri memimpin empat boneka mayat. Dari ujung koridor, mereka menghujani pintu kayu dengan tembakan bertubi-tubi. Peluru berkecepatan tinggi menembus kayu, menyalak masuk ke dalam ruang kerja. Buck yang berada di dalam buru-buru bergeser menghindar, namun tetap saja dua peluru bersarang di tubuhnya. Darah merembes dari sudut bibirnya.
Musuh di luar juga!? Ada yang menerobos masuk?
Itulah pikiran pertama yang melintas di kepalanya.
Di luar, para pelayan rumah setelah menghabiskan isi revolver tak membuang waktu untuk mengisi ulang. Mereka malah menarik selembar perkamen dari tubuh masing-masing, lalu menempelkannya ke kulit. Perkamen itu terbakar cepat, meninggalkan lambang piala samar di titik yang disentuh.
Itulah Sigil Pemangsa, perlengkapan nyaris standar bagi anggota Crimson Eucharist. Wajar jika pelayan dan kepala pelayan Buck memilikinya. Karena kini mereka semua sudah jadi boneka mayat, tubuh mereka tak lagi memerlukan Chalice—dan Dorothy memanfaatkannya.
Begitu sigil aktif, cahaya merah menyala di mata boneka mayat. Serentak mereka menubruk pintu kayu di ujung lorong, menghancurkannya dengan hantaman keras.
"Apa…?"
Buck terbelalak melihat wajah-wajah yang dikenalnya mendobrak masuk. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, keempat boneka mayat yang telah diperkuat itu melesat ke arahnya dan Clifford dengan buas.
"Ah! Ada apa dengan orang-orang ini!? Bukankah mereka anak buahmu, Buck!?" Clifford berteriak.
"Aku juga nggak tahu! Mereka pasti sudah dikuasai sesuatu, sama seperti Brandon tadi!" jawab Buck.
Tak butuh lama, Buck dan Clifford terkepung. Meski tertembak dua kali, tubuh Buck masih sanggup bertahan berkat daya tahan khas seorang Craver. Clifford tidak seberuntung itu. Luka lama di dermaga, ditambah tembakan Brandon sebelumnya, membuat geraknya tumpul. Diterjang gempuran tanpa henti, tubuhnya tercabik-cabik. Gigi dan cakar merobek daging, darah mengucur deras. Clifford berubah jadi sosok berdarah kuyup, jerit kesakitannya menggema.
Melihat itu, Buck sadar keadaan tak bisa dibiarkan. Dia memanfaatkan satu celah untuk meraih arloji di pergelangan tangan. Mekanisme tersembunyi terbuka, memunculkan lipatan sigil yang terpatri di telapak tangannya sebelum hangus jadi abu. Sebuah tanda merah membekas.
Mata Buck ikut berkilat merah.
Di dalam arloji itu tersimpan Sigil Pemangsa khusus, hasil rekayasa berlapis. Biasanya, sigil semacam itu memberi manusia biasa kekuatan fisik layaknya Craver dengan menguras Chalice. Namun untuk Craver sendiri, efeknya lemah kecuali digunakan bertumpuk. Sigil di arloji Buck adalah pengecualian: satu sigil setara banyak, tapi sekaligus menelan habis Chalice penggunanya. Bagi manusia biasa, memakainya berarti mati seketika—bahkan tanpa sempat mengerahkan kekuatan terakhir. Inilah kartu truf Buck.
Dengan mengorbankan hampir seluruh Chalice, tubuhnya melonjak tajam dalam kekuatan. Geraknya jadi kabur, nyaris tak kasat mata. Seperti bayangan melesat, Buck mengayunkan rapier, memenggal boneka mayat dalam serangkaian tebasan presisi. Sekejap saja, tubuh mereka terbelah di bagian pinggang, jatuh tak berdaya.
"Sial… ternyata dia punya kartu as," gumam Dorothy pelan dari dalam kereta. Jelas, Buck jauh lebih merepotkan dibanding Burton.
"Ini gawat… Boneka mayat di dalam sudah habis. Yang satu terluka parah, yang lain sekarat. Seimbang begini… sayang sekali kalau dilepas."
Dorothy berpikir keras. Baginya, lonjakan kekuatan Buck pasti terbatas. Begitu efeknya hilang, keduanya akan berada di titik paling lemah.
Masa aku mundur di ujung permainan? Justru harus dipanaskan. Mana mungkin kubiarkan mereka kabur.
Keputusannya bulat. Ia turun dari kereta, lalu dengan Cincin Boneka Mayat membangkitkan Edrick yang lunglai di kursi kusir. Bersama, mereka melangkah menuju rumah besar yang kini berlumur darah.
…
Di ruang kerja Buck, mayat berserakan, darah menggenangi karpet.
"Huff… huff… huff…"
Buck terengah, bersandar pada meja. Efek sigil perlahan memudar.
Di sampingnya, Clifford yang nyaris roboh berusaha bangkit. "Apa… sudah selesai?"
"Belum. Orang itu terlalu aneh. Kita bahkan belum melihat wujud aslinya. Masih jauh dari selesai." Buck menegakkan tubuh, menyapu ruangan dengan pandangan tegang. "Mereka mungkin mengintai di luar. Kalau langsung keluar, itu bunuh diri. Kita harus kabur lewat lorong rahasia."
Ia melangkah ke perapian, memutar lilin ke arah tertentu. Terdengar gemuruh, rak buku bergerak, memperlihatkan ruangan tersembunyi dengan altar bergambar Chalice di tengahnya.
"Ambil yang penting, cepat!"
Mereka masuk, mengumpulkan barang-barang. Sebelum pergi lebih jauh, Buck menarik tali di dinding. Pintu rahasia perlahan menutup rapat.
"Heh, bahkan masih sempat nutup pintu…"
Dorothy menyeringai dari lantai satu. Ia mengaktifkan cincin, menghidupkan kembali Brandon—mayatnya tersungkur di ruang kerja.
Tadi, Buck menusuk kepala Brandon dengan presisi. Tapi bagi boneka mayat, itu belum cukup. Dorothy sengaja memutus pengendaliannya saat itu, membuat seolah Brandon benar-benar mati. Dua keuntungan ia raih: menutupi hakikat kemampuannya dan menyiapkan Brandon sebagai kartu cadangan. Buck, yang mengira Brandon sudah tiada, tak akan waspada. Meski peluang serangan kejutan tak sempat terwujud, peran Brandon tetap berguna.
Saat Dorothy menapaki lantai tiga bersama Edrick, ia bersembunyi, menempatkan Edrick di lorong dengan pistol terarah ke rak buku. Di waktu bersamaan, Brandon yang ia kendalikan memutar lilin di atas perapian, gerakan dan urutannya sama persis dengan yang dilakukan Buck tadi—seluruh detail terekam jelas di ingatan Dorothy.
Mekanisme bergemuruh kembali. Rak buku, pintu menuju ruangan rahasia, mulai terbuka.
No comments:
Post a Comment