Grimoire Dorothy Chapter 76

Bab 76: Peta

Di Biro Ketentraman Igwynt, suasana mendadak riuh. Orang-orang bergegas ke sana kemari sementara alarm pengumpulan berbunyi tanpa henti di ruang bawah tanah.

Di saat itu juga, meja kerja Brandon dipenuhi kesibukan. Ia dengan cemas mengurus proses pembagian perlengkapan untuk dua regu pemburu. Saat matanya melirik kolom “target misi” di formulir permintaan perlengkapan, jantungnya berdegup kencang.

“Dermaga Tergenang... sungguh... Kenapa bisa dimajukan setengah jam? Haruskah aku konfirmasi ke Tuan Buck lewat ‘Jangkar Mimpi’? Tidak... Tuan Buck sudah menekankan, hanya gunakan Jangkar Mimpi kalau regu pemburu gagal berangkat atau menunda operasi. Tapi kali ini mereka justru bergerak begitu cepat...”

Kegelisahan merayap di benaknya. Begitu ia selesai mengurus seluruh perlengkapan dan menyaksikan para pemburu berbaris keluar lewat lorong rahasia, Brandon kembali duduk, wajahnya tetap tegang.

“Sudahlah. Regu pemburu sudah berangkat, dan tujuan mereka sama dengan titik penyergapan Tuan Buck. Menurut beliau, jebakan sudah dipersiapkan sejak lama, seharusnya tidak ada masalah. Sinyal datang lebih awal mungkin karena faktor yang belum diketahui, tapi masih sesuai rencana. Mungkin si tukang bunga salah perhitungan waktu. Lagipula, sigil Jangkar Mimpi sangat berharga—aku hanya punya satu, tak bisa kugunakan sembarangan...”

Perlahan wajahnya menegang lebih serius.

“Sinyal datang lebih cepat memang tak terduga, tapi segalanya berjalan sesuai rencana. Para pemburu sudah pergi, James tidak ada di sini. Ini kesempatan bagiku... Tuan Buck bilang aku harus bertindak sesuai situasi, jangan kaku. Kalau sinyal lebih awal, tindakanku juga harus maju ke depan.”

Dengan tekad itu, Brandon menoleh pada pintu besi berat di belakangnya, sorot matanya menggelap. Saat tidak ada seorang pun yang memperhatikan, ia mengeluarkan kunci besi besar, memasukkannya ke lubang kunci, dan mendorong pintu itu terbuka, lalu melangkah masuk.

Di lobi Menara Cypress Fir yang ramai, Ada—seorang wanita paruh baya dengan rambut sedikit beruban dan kacamata—duduk di balik meja resepsionis, sibuk menyalin catatan. Sambil menulis, ia bergumam kecil.

“Bulan lalu satu buket, hari ini satu lagi... Hhh... Sejak kapan tempat ini jadi jasa titip bunga? Anak muda zaman sekarang... kenapa tidak mengirim surat langsung saja, bukannya diselipkan di bunga? Katanya romantis?”

Ia membetulkan kacamatanya, lalu mendesah lirih.

“Seandainya... salah satu buket ini memang ditujukan untukku...”

“Bu! Pengiriman dari Toko Bunga Bud—jadwal 10:30 pagi. Tepat waktu! Silakan konfirmasi penerimaan.”

Suara riang memotong lamunannya. Ada mendongak dan melihat seorang pemuda berdiri dengan buket bunga segar di tangan.

“Ah... Taruh saja di sini. Terima kasih, Nak.”

“Sama-sama, Bu. Pesanan sudah terkirim, saya pamit.”

Pemuda itu langsung berlari kecil meninggalkan lobi. Ada menatap buket bunga yang tertinggal dengan rasa ingin tahu.

“Buket lagi? Padahal baru setengah jam... Hhh, kalau begini Biro ini bisa-bisa buka toko bunga sekalian...”

Sambil menggerutu, ia menarik amplop kecil yang tersembunyi di antara bunga. Dibukanya, lalu dibaca isi kartu di dalamnya. Seketika wajahnya berubah serius.

“Kepada para penjaga Igwynt: Crimson Eucharist akan mengadakan pertemuan hari ini pukul 11:30 di Gudang No. 2, Zona Penyimpanan Timur, Dermaga Tergenang.”

Ada terdiam sejenak, lalu bergumam dengan nada cemas.

“Tapi... para pemuda itu sudah berangkat...”

Menjelang siang, pinggiran timur Igwynt, hilir Sungai Ironclay.

Dermaga Tergenang adalah kawasan suram, hanya dihuni gelandangan dan penduduk miskin. Sebagian besar wilayahnya sudah hancur, khususnya zona penyimpanan timur. Bangunan setengah jadi terbengkalai, dinding rapuh terkikis banjir berulang kali. Tidak banyak yang berani tinggal di sana. Di balik kehancuran itu, tempat tersebut justru sempurna untuk persembunyian, sarang yang ideal untuk kegiatan terlarang.

Di sekitar Gudang No. 2, berdiri empat bangunan terbengkalai dan sebuah menara jam bobrok. Anggota Crimson Eucharist sudah menempati posisi di sana, masing-masing bersenjata api, siap membidik ke arah gudang dari titik tembak tersembunyi.

Jebakan sudah terpasang. Kini mereka hanya menunggu mangsa datang.

“Buck... jam berapa sekarang? Kapan mereka tiba?”

Di ruang atas menara jam, seorang pria tua bungkuk bernama Clifford bertanya dengan tak sabar. Di sampingnya, Buck—pria rapi bersetelan jas dengan tongkat berhias ruby—melirik arlojinya lalu menjawab tenang.

“Sekarang 11:20. Bunga dikirim pukul 10:30. Biro Ketentraman letaknya jauh dari sini, mereka butuh waktu persiapan. Tidak mungkin datang secepat itu.”

“Heh... Persiapan? Mereka pikir datang untuk berburu, padahal merekalah yang akan diburu... heh heh...”

Clifford terkekeh sinis. Buck melanjutkan dengan nada tenang, meski matanya waspada.

“Jangan bersorak terlalu cepat. Kalau organisasi misterius itu memang topeng buatan Biro Ketentraman James, bisa jadi regu pemburu menolak terpancing atau bahkan menyiapkan kontra-penyergapan. Itu sebabnya aku menyuruh Brandon menggunakan Jangkar Mimpi kalau ada tanda-tanda keraguan atau penundaan.”

Ia melirik salah satu anggota Crimson Eucharist yang sedang berada dalam keadaan seperti berkhayal—penghubung mereka lewat komunikasi mimpi.

“Tapi karena tidak ada pesan, berarti kita terlalu banyak khawatir. Sepertinya James benar-benar tak tahu soal organisasi itu, dan para pemburu sedang dalam perjalanan ke sini.”

Clifford mengangguk. “Semoga saja mereka cepat datang dan mati. Aku sudah bosan menunggu. Para penjaga pun belum memberi sinyal—berarti mereka memang belum sampai di dermaga.”

“Sabar. Tidak lama lagi para penjaga akan melihat mereka. Fokuslah, tunggu sinya—”

“Dorr!”

Belum sempat Buck menyelesaikan kata-katanya, letusan senjata terdengar. Darah muncrat dari kepalanya, tubuhnya roboh tak bernyawa.

Dari jendela lantai tiga sebuah bangunan, tujuh ratus meter jauhnya, Elena menurunkan senapan panjangnya. Selongsong kosong terlempar keluar, asap tipis mengepul dari laras senjata tanpa teleskop itu.

“Terpujilah Lentera, terpujilah Sang Bapa Suci, yang memberiku cahaya dan petunjuk.”

Ia berbisik pelan, lalu mengisi peluru baru. Tatapannya beralih pada Gregor yang berdiri di dekatnya.

“Sepertinya aku sudah menumbangkan pemimpin mereka. Kita bisa mulai menyerang.”

“Luar biasa seperti biasa, Elena, sang Suar Cahaya.”

Gregor tersenyum, menancapkan pedang berlumur darah ke tanah, lalu menunduk memperhatikan sebuah peta buatan tangan yang terhampar di hadapannya.

Peta itu menggambarkan Dermaga Tergenang dengan detail teliti—setiap bangunan, jalan, hingga simbol-simbol yang menandai titik penyergapan, posisi penjaga, penyamaran, dan lain-lain—semuanya berpusat di Gudang No. 3.

Banyak titik penjaga sudah disilang. Coretan itu hasil tangan Gregor sendiri, jejak pertempuran yang dilalui pedangnya.

No comments:

Post a Comment