Grimoire Dorothy Chapter 62

Bab 62 : Membeli Buku

“White Pearl Street? Kenapa kau tanya soal itu?”

Gregor mengernyit sambil mengunyah sepotong roti di sofa. Sebelum shift malamnya berakhir, ia sempat mendengar beberapa rumor tentang daerah itu.

“Begini, Gregor… kau tahu kan kalau anak perempuan nggak boleh ikut kelas malam? Karena itu, nilai kami selalu tertinggal dari anak laki-laki,” Dorothy menjawab dengan nada wajar. Gregor mengangguk, seakan memahami.

“Ya… aku paham. Ketidaksetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan memang masalah umum. St. Amanda’s termasuk yang terbaik, itu sebabnya aku sekolahkan kau di sana. Tapi apa hubungannya dengan White Pearl Street?”

“Begini. Aku sebel banget kalau anak laki-laki terus-terusan unggul. Jadi aku belajar sendiri di perpustakaan, supaya bisa menyusul mereka.”

“Beberapa hari terakhir aku bergantung sekali pada buku-buku perpustakaan. Tapi lama-lama sadar, banyak set bukunya yang nggak lengkap. Itu bikin frustrasi, dan menghambat belajarku.”

“Waktu liburan kemarin, aku coba cari ke toko buku di kota, tapi sayangnya kebanyakan buku di perpustakaan itu edisi lama, sementara toko-toko hanya jual edisi baru. Jadi nggak ketemu yang kucari.”

“Setelah itu aku sempat tanya ke guru, dan ada yang bilang coba cari di White Pearl Street. Katanya di sana banyak barang lama.”

Dorothy menjelaskan dengan nada tulus. Gregor menyimak serius. Setelah menghabiskan susunya, ia bicara dengan nada hati-hati.

“Dorothy, aku senang kau begitu bersemangat mengejar nilai. Itu bagus. Tapi aku harus ingatkan: sebaiknya kau jangan pergi ke White Pearl Street.”

“Jangan pergi? Kenapa? Bukannya cuma pasar barang lama?” Dorothy memiringkan kepala, pura-pura bingung.

Gregor menatapnya tegas.

“Itu lebih dari sekadar pasar. Itu tempat orang-orang yang bermimpi kaya mendadak, penuh lintah darat dan geng berbahaya. Tempat itu tidak aman. Kau, seorang gadis muda, tidak boleh ke sana sendirian.”

Dorothy menunduk seakan kecewa, meski dalam hati mencatat—ia sudah empat hari bolak-balik ke sana.

“Kalau begitu… aku nggak pergi, deh. Sayang sekali. Tanpa buku-buku itu, susah rasanya untuk bisa menyusul anak laki-laki lewat belajar sendiri…”

Wajah lesu adiknya membuat hati Gregor tersentil. Setelah meletakkan cangkir, ia berpikir sejenak lalu menghela napas.

“Baiklah… begini saja. Aku harusnya punya setengah hari libur akhir pekan nanti. Aku akan temani kau ke White Pearl Street. Kalau aku ikut, akan lebih aman.”

“Benarkah? Terima kasih banyak, Gregor!” Mata Dorothy langsung berbinar cerah. Gregor pun tersenyum hangat.

“Tak perlu terima kasih. Itu memang tugas kakak.”

“Kalau begitu, aku berangkat sekolah dulu. Sampai nanti!”

“Hati-hati.”

Dorothy keluar sambil menutup pintu. Senyum samar masih tersisa di bibirnya.

Fajar menyinari Igwynt. Pada pagi akhir pekan, Dorothy dan Gregor keluar dari sebuah restoran. Dorothy sedang mengelap mulut dengan serbet.

“Bagaimana makanannya?” tanya Gregor.

“Lumayan. Nah, sekarang kita lanjut ke tujuan?”

“Tentu…”

Gregor menghentikan kereta di tepi jalan. Mereka pun meluncur menembus kota, hingga tiba di White Pearl Street.

Turun dari kereta, Dorothy menatap sekeliling dengan ekspresi dibuat-buat. “Jadi ini White Pearl Street? Rasanya lebih sepi daripada jalan lain… dan barang-barang di toko kelihatan aneh-aneh.”

“Ya, inilah tempatnya. Tetap dekat denganku. Jangan berpisah, mengerti?” Gregor menegaskan sambil mengawasi bayangan-bayangan mencurigakan di pinggir jalan. Dorothy mengangguk patuh.

“Baik!”

Dengan pakaian yang sama sekali berbeda dari biasanya, Dorothy berjalan di samping Gregor melewati jalan yang sudah sangat dikenalnya. Matanya sempat menoleh ke toko gadai Corey—pintunya terkunci rapat, sementara sekelompok orang berkerumun di depannya, berdebat sengit. Dari potongan percakapan yang terdengar, Dorothy paham mereka adalah anak buah Corey, kini berebut sisa harta majikan mereka.

“Heh… nggak ada yang peduli ke mana perginya si Corey, ya? Semua hanya sibuk rebutan barangnya. Pasti mereka bahkan nggak repot lapor polisi. Pantas saja orang-orang itu bisa melenyapkannya tanpa jejak…” Dorothy berpikir sambil menatap.

Gregor mengernyit, lalu menarik lengan adiknya.

“Jangan di sini. Ayo cari tempat lain.”

“Baik…”

Dorothy mempercepat langkah, mengikuti Gregor sampai ke ujung lain White Pearl Street.

“Dorothy, suasana di sini akhir-akhir ini tidak enak. Kalau kita nggak cepat menemukan bukunya, lebih baik kita pergi.”

Dorothy menoleh seakan baru menyadari sesuatu. Ia menunjuk ke depan.

“Oh, itu ada toko buku tua! Yuk kita cek!”

“Toko buku tua?”

Gregor mengikuti arah telunjuknya. Papan kayu usang bertuliskan: Barnard’s Old Book Collection.

“Hmm… benar juga. Mari kita lihat.”

Mereka melangkah mendekat. Begitu pintu didorong, bunyi derit kayu menyambut.

Di dalam, cahaya redup. Rak-rak kayu penuh buku tua tersusun rapi. Lantai berderit di bawah langkah mereka. Dekat pintu ada sebuah meja kasir. Di belakangnya, seorang penjaga muda menatap waspada pada kedua kakak-beradik itu.

“Permisi, Tuan, apakah toko ini memang khusus menjual buku-buku lama?”

Dorothy bertanya sopan, menatap penjaga itu dengan senyum ramah.

No comments:

Post a Comment