Bab 55 : Kabar
Pagi, Sekolah St. Amanda, Pinggiran Barat Igwynt
Suasana kelas pagi itu riuh rendah oleh suara para guru yang sedang mengajar. Namun di luar kelas, seluruh area sekolah terasa sepi dan lengang.
Di dalam perpustakaan, cahaya matahari masuk lewat jendela, menyinari deretan rak buku yang berjajar rapi. Seorang gadis berambut putih duduk di meja, membuka-buka buku di depannya dengan wajah bosan, sesekali menguap.
“Ugh… bolos beberapa hari memang ada harganya juga,” gumam Dorothy di sela menguap. Karena keterlibatannya dalam operasi melawan Crimson Eucharist, dia sering absen dan hampir tak pernah muncul di sekolah belakangan ini. Akibatnya, pelajarannya tertinggal jauh, dan sekarang dia berusaha mengejar ketertinggalan itu sendirian di perpustakaan.
Bagi kebanyakan orang, belajar mandiri bukanlah hal mudah. Tapi bagi Dorothy, seorang Cognizer, mengisi kekosongan pelajaran seperti itu bukanlah masalah. Meski begitu, buku-buku di depannya yang hampir tak memiliki nilai spiritual terasa membosankan bukan main.
Seperti yang kuduga… baik di hidupku yang lalu maupun yang sekarang, sekolah tetap saja membosankan. Masalah utamanya, materi ini sama sekali nggak ada nuansa spiritualnya, jadi motivasi cepat banget luntur, pikirnya dengan malas. Ia menutup buku pelajaran, lalu meraih beberapa eksemplar Igwynt Daily News yang ada di meja. Dengan itu, setidaknya ia bisa mempelajari kabar terbaru sekaligus sedikit memahami dunia yang masih asing baginya.
Dorothy mulai membaca berita sambil terus mengomentarinya dalam hati.
“Perusahaan Jones Airship menangkan kontrak besar dari pemerintah: tanda perkembangan industri transportasi udara kerajaan? Atau isyarat pembentukan angkatan udara?”
Airship, ya… sayang sekali pengetahuanku soal mesin belum cukup. Kalau saja bisa, aku pasti sudah merancang pesawat terbang dan jadi Wright bersaudara di dunia lain. Kedengarannya keren banget.
“Ketegangan di Benua Baru meningkat: gesekan dengan koloni Falano makin sering. Insiden kekerasan yang disebabkan kaum pribumi mencapai rekor tertinggi. Pemerintah mempertimbangkan langkah penindakan lebih keras. Ditambah ancaman bajak laut yang belum reda, jalur pengiriman barang dari Benua Baru diperkirakan terganggu. Kenaikan harga komoditas pun tak terhindarkan.”
Pemberontakan pribumi? Perselisihan kolonial? Bajak laut? Teknologi dunia ini kayak abad ke-19, tapi politiknya masih beraroma abad ke-17 atau ke-18… Dorothy melirik cepat berita luar negeri itu, lalu beralih ke berita lokal.
“Pembantaian! Seorang bangsawan asal Purple Hill Town ditemukan tewas mengenaskan di kediamannya di Igwynt! Seluruh pelayan pun ikut terbunuh. Warga sekitar mengaku mendengar suara tembakan hebat!”
Oh, jadi sudah sampai di koran juga, Dorothy tersenyum tipis, matanya berbinar, dan terus membaca.
“Tuan Burton Veil dikenal sebagai pria yang ramah dan lembut. Pelaku kejahatan biadab ini benar-benar tak bermoral. Sheriff Jack mengimbau warga agar berhati-hati saat keluar malam, karena tersangka masih berkeliaran. Pihak berwenang berjanji akan menegakkan keadilan.”
“Hah… ‘ramah dan lembut’ katanya, Tuan Burton.” Dorothy mendengus kecil. “Dan polisi? Seolah-olah kasus ini masih masuk dalam jangkauan kemampuan mereka.” Ia menutup berita itu dengan cemooh lalu melanjutkan ke halaman berikutnya.
“Viscount Field kembali melayangkan kritik pada kepolisian Igwynt, menuduh mereka menutup mata terhadap penderitaan rakyat miskin.”
“Menurut Viscount Field, banyak orang miskin Igwynt, terutama yang hidup sendirian, terancam oleh organisasi kriminal misterius. Sejumlah orang hilang tanpa jejak, namun karena tak ada keluarga yang melapor, pihak berwenang membiarkan kasus ini terus berlanjut. Dikenal sebagai filantropis, Viscount Field kerap mengadakan kegiatan amal di daerah kumuh dan telah mendapat banyak simpati sejak tiba di Igwynt enam tahun lalu.”
Orang hilang? Organisasi kriminal? Apa mungkin ini ulah Crimson Eucharist? Kalau iya, polisi jelas nggak akan mampu menghadapinya. Dan kalau memang mereka dalangnya, pernyataan terbuka Viscount Field bisa bikin dia dalam bahaya besar… Dorothy termenung menatap surat kabar itu.
Suara familiar tiba-tiba memecah lamunannya.
“Wah, wah… siapa sangka, ini kan Nona Mayschoss. Jarang-jarang kau datang sekolah hari ini.”
Dorothy menoleh. Di antara rak buku, tampak Aldrich dengan seragam tukang kebersihan, sedang menepuk-nepuk rak memakai kemoceng.
“Sekarang urusanku sudah kelar, jadi aku harus kembali. Tetap saja aku butuh hadir di sekolah—kalau nanti raporku penuh nilai C dan D, kakakku pasti marah besar,” jawab Dorothy sambil menutup koran dan menatap Aldrich.
“Terima kasih sudah menolongku beberapa hari ini. Kalau bukan karena kamu, para guru nggak bakal ngasih izin bolos sebanyak itu.”
“Menolongmu? Oh, tidak, tidak… aku cuma menjalankan tugas seperti yang diminta. Lagi pula, aku sudah menerima bayaranmu, jadi tentu saja harus kukerjakan dengan baik. Betul begitu, Nona Mayschoss?” Aldrich menyeringai. Dorothy cuma bisa mendesah dalam hati.
Dasar muka tembok… Kakakku sudah bayar uang sekolah supaya aku bisa belajar di sini, tapi dia masih juga narik biaya tambahan buat izin bolos. Katanya, ‘uang sekolah masuk ke dewan, bukan ke aku, jadi untuk jasa ini aku harus narik sedikit biaya administrasi’.
Untung saja biaya izin bolos dari Aldrich nggak terlalu mahal—hanya beberapa koin. Meski begitu, Dorothy tetap kesal dengan kebiasaan pria itu yang mengubah segala hal jadi urusan transaksi.
Apa segala hal yang dijadikan jual-beli bisa menambah spiritualitasnya atau gimana sih?
Sambil menggerutu dalam hati, Dorothy tiba-tiba teringat sesuatu dan bertanya, “Ngomong-ngomong, Tuan Aldrich, kau bisa melakukan ramalan?”
Minatnya terhadap ramalan memang semakin besar sejak ia berhadapan dengan teknik anti-ramalan.
“Ramalan? Aku cuma tahu sedikit,” jawab Aldrich tenang.
“Kalau kau tertarik, aku bisa ajarkan beberapa metode dasar. Tentu saja, kau paham kan kalau ada harganya…” Sambil bicara, senyum liciknya yang khas kembali muncul.
“Teknik ramalan dasar tidak terlalu mahal. Aku kasih diskon—cukup empat puluh pound.”
Mendengar itu, wajah Dorothy langsung datar. Tanpa sepatah kata pun, ia merogoh dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, dan menyerahkannya. Seketika lebih dari separuh tabungannya pun lenyap.
No comments:
Post a Comment