Bab 52: Ramalan
Di sebuah kamar redup di Igwynt pada larut malam, aroma darah yang pekat memenuhi udara.
Itu adalah ruang rahasia kecil yang digenangi darah. Di tengahnya berdiri sebuah altar yang tersusun dari tulang-belulang manusia berlumur darah. Di atas altar terletak sebuah tengkorak, dan di atasnya menempel segumpal daging merah yang masih berdenyut, dihiasi organ-organ aneh yang menjijikkan.
Lantai di bawah altar ditutupi karpet merah gelap. Mengelilinginya, berderet rak buku, meja, dan rak pajangan. Di salah satu sudut ruangan, sebuah bak besar berisi potongan anggota tubuh manusia yang terendam darah tampak mengerikan.
Di depan meja berdiri dua sosok. Seorang pria paruh baya bertubuh kurus dengan kumis tipis—Buck dari Komuni Ekaristi Merah. Bersamanya ada seorang lelaki tua bungkuk bernama Clifford, juga anggota inti Komuni itu.
Keduanya saling berpandangan dengan wajah serius. Ekspresi Clifford jelas menunjukkan kegelisahan.
“Buck, cepatlah. Sudah waktunya,” desak Clifford dengan nada tak sabar. Namun Buck tak langsung menjawab. Ia melangkah diam-diam ke arah sebuah lukisan di dinding.
Beberapa saat ia menatap lukisan itu, lalu menggesernya ke samping, menyingkap sebuah brankas. Ia memasukkan kode, memutar kunci, lalu mengambil sesuatu dari dalamnya.
Setelah kembali ke meja, Buck meletakkan dua benda di atasnya: sebuah gelang berhiaskan batu permata jingga, dan sebuah fragmen batu kecil yang halus, dengan sisi yang dipenuhi ukiran simbol-simbol asing nan rapat.
Mata Clifford berbinar melihat benda-benda itu.
“Jadi ini… instrumen ramalan peninggalan Sang Mentor?” gumamnya penuh takjub. Buck mengangguk.
“Ya. Instrumen ramalan. Alat berharga… Dengan benda ini, kita bisa menembus batas ruang dan waktu untuk mengumpulkan informasi dari dimensi di dalam dunia batin,” jawabnya tenang. Clifford semakin terperangah.
“Menembus ruang dan waktu untuk mendapat informasi? Benda macam apa yang bisa melakukan hal sehebat itu?”
“Heh… sebenarnya, ini hanyalah wadah spiritual,” jelas Buck sambil tersenyum tipis, matanya menatap kedua benda di meja.
“Menurut Sang Mentor, yang esensial dalam ramalan bukanlah bendanya, melainkan spiritualitas yang tersimpan di dalamnya. Umumnya, apa pun bentuk ramalan, selalu membutuhkan dua jenis spiritualitas.”
“Dan spiritualitas apa yang diperlukan?” tanya Clifford penuh semangat. Tanpa ragu, Buck menjawab:
“‘Lentera’ dan ‘Wahyu.’”
“‘Lentera’ dan ‘Wahyu’...” Clifford mengulang dengan nada merenung.
“Benar,” lanjut Buck. “Mentor menjelaskan, ‘Lentera’ melambangkan penerangan, sementara ‘Wahyu’ mewakili informasi. Dengan memakai ‘Lentera’ untuk menangkap ‘Wahyu,’ kita bisa menembus ruang dan waktu untuk memperoleh informasi yang diinginkan.”
Clifford mengangguk pelan, bergumam seolah berbicara pada diri sendiri.
“Memakai ‘Lentera’ untuk menangkap ‘Wahyu’… inilah inti dari ramalan? Satu melambangkan cahaya, yang lain informasi. Benar-benar berbeda dari ‘Piala’ yang kita junjung.”
Matanya kembali tertuju pada benda-benda di meja.
“Aku sudah lama menjadi Beyonder, tapi baru kali ini mengerti prinsip ramalan. Jadi, asal aku punya spiritualitas ‘Lentera’ dan ‘Wahyu,’ aku pun bisa melakukan ramalan?”
“Tepat sekali. Selama kau tahu caranya dan memiliki spiritualitas itu, kau bisa melakukannya. Metodenya sendiri biasanya sederhana; yang sulit adalah mendapatkan spiritualitasnya,” jelas Buck, kali ini menatap gelang berpermata jingga itu.
“Di antaranya, spiritualitas ‘Lentera’ masih lumayan mudah didapat. Banyak artefak dari Gereja Cahaya mengandungnya. Gereja itu besar, banyak barang yang keluar dari sana. Lagi pula, kelompok rahasia berlatar agama sering menghasilkan spiritualitas ‘Lentera’ lewat ritual mereka. Tak sedikit pula Beyonder ‘Lentera’ yang membelot dari Gereja lalu bekerja sama dengan pengrajin jalur ‘Batu’ menciptakan benda mistis berisi spiritualitas ‘Lentera’ untuk diperdagangkan. Jadi, mencari benda semacam itu bukan hal yang terlalu sulit.”
Tatapan Buck lalu beralih pada fragmen batu dengan ukiran kuno.
“Tapi ‘Wahyu’ jauh lebih sulit. Jalur ini penuh bahaya, sehingga Beyonder terkait ‘Wahyu’ sangat jarang di dunia luar. Mereka yang langsung memulai jalur ‘Wahyu’ ibarat jarum dalam jerami. Lagi pula, spiritualitas ‘Wahyu’ adalah yang paling sukar disematkan ke dalam benda. Saat ini, hanya peninggalan kuno seperti lempeng batu berukir atau mural yang bisa mengandung sedikit ‘Wahyu.’”
“Seperti fragmen batu ini, hasil penggalian dari reruntuhan. Di dalamnya tersimpan spiritualitas ‘Wahyu’ yang amat berharga—warisan penting dari Sang Mentor,” jelas Buck sambil menunjuknya. Clifford tak kuasa menahan desah kagum.
“Fragmen ini menyimpan spiritualitas ‘Wahyu’ yang berharga…”
“Ya. Mentor sudah berjuang keras untuk mendapatkannya. Awalnya aku enggan memakai benda semahal ini, tapi di titik ini kita tak punya pilihan. Kita harus menemukan orang-orang itu,” kata Buck dengan wajah muram. Ia lalu mulai menyiapkan ritual ramalan.
“Bubuk kapur fosfor… serbuk perak… darah burung bersayap merah… tinta perunggu…”
Dengan cepat ia mencampur bahan-bahan itu menjadi tinta berkilau abu-kuning. Dengan tinta itu, ia menggambar lingkaran ritual di meja. Bagian atas lingkaran menampilkan simbol ‘Lentera,’ sementara bagian bawahnya bergambar simbol ‘Wahyu.’
Ia menempatkan gelang dan fragmen batu di atas simbol masing-masing. Kemudian ia mengambil selembar peta besar dari rak buku dan membentangkannya di tengah lingkaran, tepat di antara kedua simbol. Pada bagian atas peta tertulis “Igwynt.”
Itu adalah peta kota Igwynt.
“Aku akan memakai ramalan pendulum. Dengan ini, mereka takkan punya tempat bersembunyi!”
Buck mengumumkan, lalu mengambil liontin kristal berantai tunggal dari sebuah kotak kecil. Ia mengangkatnya, menggantungkan kristalnya tepat di atas pusat lingkaran, persis di atas peta Igwynt.
“Demi Lentera Yang Maha Melihat, terangi samudra Wahyu…”
Ia berbisik, menggoyangkan kristal itu di atas peta. Batu permata jingga di gelang pun retak lalu hancur, sementara fragmen batu kuno berukir itu juga mulai dipenuhi retakan.
Dari kedua benda itu, spiritualitas tak kasatmata meluap, berputar deras memenuhi ruang ritual.
No comments:
Post a Comment