Bab 4 : Cincin
Di dasar lembah yang gelap, di tengah pemandangan mengerikan di tepi sungai, Dorothy duduk di atas batu dingin yang basah, menatap surat di tangannya dengan seksama. Alisnya sedikit berkerut, pikirannya sibuk menganalisis isinya. Terus terang, apa yang ia temukan membuatnya terkejut.
Dari surat itu, ia akhirnya mengetahui bahwa pria yang baru saja ia tembak mati—bandit itu—bernama Edrick. Rupanya, dia adalah pemimpin sebuah kelompok kriminal di tempat bernama Vulcan.
Lebih jauh, Edrick ternyata mencoba mendaftar ke sebuah organisasi misterius. Surat yang sedang digenggam Dorothy adalah balasan dari mereka. Organisasi itu memberikan semacam ujian masuk: menculik seorang gadis berambut putih berusia tiga belas tahun di waktu dan tempat tertentu. Dan jelas, gadis itu adalah dirinya!
Jadi tujuan utama para bandit menyerang kereta bukanlah harta, melainkan dirinya—seorang gadis desa biasa? Apa sebenarnya yang terjadi?
Dorothy menekan pelipis, mencoba menelusuri kembali ingatan Dorothy asli. Tidak ada yang aneh. Dorothy hanya gadis baik, cerdas, rajin, dan taat. Ia tidak memiliki harta, kekuatan khusus, pola aneh di mata, atau segel misterius di tubuhnya. Rambut perak dan mata merahnya memang jarang, tapi itu saja. Lalu mengapa organisasi misterius itu mengincarnya?
Ia tidak menemukan jawaban. Menghela napas, Dorothy mengalihkan perhatian pada detail lain dalam surat.
Meski informasi tentang organisasi itu minim, jelas sekali mereka berhubungan dengan hal-hal terlarang. Bersekongkol dengan bandit, memberi tugas penculikan, serta secara eksplisit menghindari Biro Serenitas dan Gereja—jelas bukan kelompok suci. Kalau bukan organisasi kriminal, mengapa seorang bandit seperti Edrick begitu ingin bergabung?
Surat itu juga menyebut soal “ranah di luar” dan “artefak mistik.”
Dorothy lalu menoleh pada tumpukan “barang rampasan” yang ia ambil dari tubuh Edrick. Dari situ ia mengeluarkan sebuah cincin yang tadinya ia lepas dari jari bandit itu. Awalnya ia kira bisa dijual dengan harga lumayan.
Di bawah cahaya lampu gas, ia memperhatikannya. Terbuat dari perunggu, dengan ukiran halus mengitari lingkarannya. Kalau diperhatikan, ukiran itu menyerupai sosok-sosok kecil menyeramkan yang berpegangan tangan, menari melingkar.
Menurut surat, Edrick memiliki artefak mistik bernama Cincin Marionet Mayat, yang dapat mengendalikan jasad. Apa mungkin ini?
Dengan ragu, Dorothy menyelipkan cincin itu di jari telunjuknya. Seketika, ia merasakan sesuatu yang berbeda.
Seakan ada benang halus keluar dari pikirannya, memanjang ke arah dua anjing pemburu Edrick yang tergeletak.
Dorothy menahan napas. Dengan sebuah perintah dalam hati, tubuh anjing-anjing itu bergetar. Perlahan, mereka bangkit dan berjalan tertatih mendekatinya. Meski patah parah akibat terhempas oleh teriakan naga sebelumnya, mereka masih bisa bergerak.
“Jadi mereka memang mayat sejak awal…? Edrick yang menggerakkan mereka dengan cincin ini. Pantas saja berhenti setelah dia mati.”
Pemandangan itu membuat Dorothy tercekat. Dalam ingatan aslinya, tak pernah ada hal semacam ini. Dunia yang ia pijak sekarang jelas penuh hal-hal di luar nalar.
“Sepertinya dunia ini… jauh lebih rumit dari yang kelihatan,” gumamnya, menyentuh cincin itu. Pandangannya lalu beralih ke amplop kedua.
Ia membukanya. Surat kali ini lebih singkat.
Tuan Edrick yang terhormat,
Kami telah menerima balasan Anda dan sudah menduga Anda takkan melewatkan kesempatan ini. Hadiah untuk tugas ini sudah kami kirimkan menuju Vulcan, dan akan segera tiba.
Setelah berhasil, cukup potret target lalu masukkan ke kotak surat di 24 North Street, Vulcan. Personel kami akan memverifikasi keberhasilan Anda melalui foto itu. Setelah terkonfirmasi, kami akan menemui Anda keesokan malam, tepat tengah malam, di hutan tengah sebelah barat Vulcan. Di sana Anda menyerahkan target, dan kami menyerahkan hadiah yang dijanjikan.
Agen kami akan berada di Vulcan selama tiga hari menunggu jawaban Anda. Semoga operasi ini berjalan sukses.
Dorothy menyimpan kedua surat itu kembali. Kini ia mendapat banyak informasi penting.
Artinya, organisasi itu sudah memiliki orang di Vulcan—kota yang justru menjadi tujuannya. Ia harus ekstra waspada saat masuk nanti. Walau belum tahu kenapa dirinya diincar, jelas tidak ada hal baik yang datang dari kelompok kriminal.
Dengan pikiran itu, Dorothy memotong kain tirai dari kereta yang terbalik. Separuh dipakai membungkus “barang rampasan,” separuh lagi dijadikan kerudung untuk menutupi rambutnya.
Semua dipersiapkan, ia pun bersiap meninggalkan tempat itu. Demi keamanan tambahan, Dorothy sempat menggunakan Cincin Marionet Mayat untuk menggerakkan dua anjing zombie itu sebagai pengawal. Sayangnya, patah tulang mereka membuat mereka hampir tak bisa berjalan.
“Jadi teriakan naga itu… sekuat itu. Mereka masih bisa bergerak, tapi sudah tak berguna untuk bertarung,” gumamnya. Ia lalu melepaskan kendali. Seketika anjing-anjing itu ambruk lagi.
Dorothy menoleh pada tubuh Edrick. Ia mencoba memperpanjang benang kendali cincin itu—dan berhasil. Tubuh Edrick yang pucat bangkit perlahan, wajah kosong tanpa nyawa.
“Untuk sementara… kau cukup,” bisiknya.
Atas perintahnya, mayat Edrick menunduk, mengambil lampu gas, lalu membuka payung hitam untuk melindungi Dorothy dari rintik hujan, layaknya seorang pelayan bangsawan.
Dengan barang bawaan yang sudah dikemas, Dorothy pun meninggalkan lokasi pembantaian—ditemani “pelayan” bisu yang setia di sisinya.
No comments:
Post a Comment