Bab 33: Rencana Tersembunyi
Di ruang seni, Dorothy menggenggam sebuah kubus batu, keraguan timbul di benaknya. Di kehidupan sebelumnya, ia sempat belajar sedikit tentang seni rupa, dan setahunya, untuk sketsa benda mati biasanya digunakan model dari gips. Ia belum pernah melihat ada yang memakai batu.
Setelah meletakkan kembali kubus itu ke meja rendah, Dorothy memanfaatkan momen ketika guru sedang merapikan objek untuk berjalan ke lemari di sisi ruangan. Di atasnya berjajar patung kepala putih yang tampak hidup. Ia mengulurkan tangan, menyentuh salah satunya.
“Ini juga batu... hanya diberi lapisan serbuk putih agar terlihat seperti gips. Apa sekolah ini benar-benar sekaya itu? Memakai patung batu untuk latihan sketsa... dan jumlahnya begitu banyak...”
Matanya menelusuri deretan patung kepala batu yang tampak sangat nyata. Keraguannya makin besar.
Patung gips dan patung batu jelas berbeda. Patung gips dibuat dengan cetakan, tinggal menuang cairan gips lalu menunggu mengeras. Selama cetakannya ada, bisa diproduksi massal dengan biaya murah.
Patung batu lain cerita. Harus diukir dari bongkahan tunggal, dengan waktu dan tenaga berlipat. Karena itu, kelas seni biasanya memakai patung gips untuk latihan bentuk geometri atau kepala manusia. Patung batu hasil ukiran tangan seharusnya dipajang di alun-alun kota sebagai monumen.
Namun sekolah ini berbeda. Tidak hanya memakai patung batu untuk latihan, jumlahnya pun luar biasa. Dan tiap patung dibuat dengan sangat teliti, tiap detail unik, jelas karya tangan seorang pemahat ulung.
Jangan-jangan... sekolah ini memang punya seorang pemahat maestro?
Pikiran itu berputar saat Dorothy menyelesaikan gambarnya. Ia memutuskan mencari tahu setelah kelas. Dan ia sudah tahu siapa yang akan ditanya.
…
Siang hari, matahari terik memanggang halaman sekolah. Di sebuah koridor, seorang petugas kebersihan tua tampak sibuk mengelap patung batu di pinggir jalan.
Ekspresinya serius, setiap detail patung ia bersihkan dengan cermat—dari telinga, bawah hidung, lengkung alis, hingga celah kerah dan kelopak mata. Patung itu berkilau seakan baru dipoles.
Ketika ia tengah tekun bekerja, sebuah suara memanggil.
“Pak Dean, boleh aku bertanya sesuatu?”
Terkejut, sang kakek menoleh. Di hadapannya berdiri seorang gadis berambut putih dalam seragam hitam, tersenyum sopan. Ekspresi bingung sempat melintas di wajahnya.
“Maaf, nona muda, siapa ya...?”
“Dorothy Mayschoss. Ingat? Kita pernah bertemu saat hari pertamaku sekolah,” jawab Dorothy ramah. Dean—nama kakek itu—akhirnya mengangguk.
“Oh, iya. Aku ingat sekarang. Aku harus berterima kasih pada kau dan kakakmu waktu itu. Jadi, ada apa, Nona Mayschoss?” ucapnya dengan senyum lemah, suaranya berat dimakan usia.
“Begini, Pak Dean. Aku memperhatikan sekolah ini punya banyak sekali patung indah, terutama di ruang seni. Jumlahnya banyak sekali. Dari mana semua itu?” tanya Dorothy penuh rasa ingin tahu.
Ia sudah sempat mencari tahu nama kakek itu dan tahu ia telah lama bekerja di sekolah.
“Haha... Kau tertarik pada patung-patung itu rupanya? Tak heran. Jarang ada sekolah seni yang punya model sebagus ini. Itu bukan gips murahan. Masing-masing dibuat dengan sangat teliti, begitu hidup. Toko manapun pasti memperlakukan itu sebagai harta berharga.”
Dean tersenyum, lalu melanjutkan,
“Semua patung itu dibuat oleh kepala sekolah kita, Tuan Aldrich. Dia maestro dalam bidang seni pahat. Dia senang menaruh karyanya di berbagai sudut sekolah, menciptakan suasana artistik dan memberi murid-murid model latihan terbaik. Dia berharap suatu hari sekolah ini melahirkan seniman besar baru.”
“Kepala sekolah... Aldrich?”
Dorothy terdiam, wajahnya menyimpan tanda tanya.
…
Sore hari, di kelas agama. Guru tua beruban dengan kacamata berdiri di podium, bersemangat melantunkan doktrin Gereja Radiance. Para murid di bawah menunduk, berdoa sambil mencatat.
Di bangku belakang dekat jendela, Dorothy bersandar, kepalanya di atas tangan, melamun menatap ke luar.
Ia bisa melihat Pak Dean di taman, sibuk memangkas tanaman dengan gunting besar. Hasil potongannya rapi, menghasilkan lanskap yang indah.
Sepertinya aku harus memastikan... lagipula aku bosan.
Dorothy melirik guru agama itu, lalu diam-diam mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. Ia mengenakan Corpse Marionette Ring yang ada di dalamnya.
Dari sakunya merayap keluar seekor tokek besar. Dengan cincin itu, Dorothy mengendalikannya, menyuruhnya menyelinap keluar kelas dan menjelajah area sekolah.
…
Hari menjelang senja. Sekolah Saint Amanda akhirnya bubar setelah seharian kelas.
Namun sekolah ini bukan sekolah harian biasa, melainkan asrama penuh. Hanya murid perempuan yang boleh pulang.
Di era ini, diskriminasi pendidikan begitu parah—tak hanya berdasar status sosial, tapi juga gender.
Sebelum Revolusi Industri, perempuan nyaris tak punya akses pendidikan. Bangsawan wanita paling banter menyewa guru privat. Sekolah tata bahasa seperti Saint Amanda, apalagi universitas, dikhususkan untuk laki-laki.
Setelah Revolusi Industri, posisi perempuan sedikit membaik. Beberapa sekolah mulai menerima murid perempuan. Gadis dari keluarga bangsawan, borjuis, atau mereka yang punya biaya seperti Dorothy bisa bersekolah di tingkat menengah.
Tapi ini tetap langka. Banyak sekolah masih keras mempertahankan tradisi laki-laki saja. Saint Amanda termasuk pelopor sekolah campuran, meski dengan syarat—jumlah siswi dibatasi rendah dan mereka tak boleh tinggal di asrama.
Bagi Dorothy, ini justru menguntungkan. Ia senang bisa absen dari kelas malam. Pelajaran seperti matematika, logika, seni, atau tata bahasa masih bisa ia terima, tapi agama dan etika? Kecuali ada manfaat spiritual, ia malas.
Seperti biasa, Dorothy berjalan bersama siswi lain menuju gerbang sekolah di bawah sinar matahari sore. Sejumlah kereta kuda sudah menunggu di luar.
Siswi kaya punya kereta pribadi, sementara Dorothy biasanya menyewa taksi kuda. Para kusir biasanya berkumpul di depan gerbang, jadi tak sulit mencari tumpangan.
Tapi hari ini berbeda. Saat Dorothy mendekat, ia tidak melihat satu pun taksi kuda di sana.
“Aneh... biasanya ada beberapa berjajar,” gumamnya.
Tiba-tiba terdengar derap kuda. Sebuah kereta muncul, berhenti tepat di depannya.
“Nona, butuh tumpangan?” tanya kusir sambil tersenyum.
Dorothy ragu sejenak.
Aku baru saja mencari tumpangan... dan kebetulan sekali ada yang muncul? Terlalu... mudah. Sepertinya dia datang setelah melihatku keluar.
“Biar kupikir dulu...” ucapnya pura-pura ragu.
Diam-diam ia mengaktifkan cincin Corpse Marionette. Tokek di sakunya melongok keluar, memindai sekeliling, terutama sudut-sudut tak terlihat.
Saat itulah ia menyadari ada dua pria berjas panjang dan bertopi di belakangnya, pura-pura membaca koran sambil melirik ke arahnya.
Sepertinya... aku sedang diawasi. Dorothy menarik napas dalam.
Dengan tekad bulat, ia menoleh ke kusir.
“Baiklah, antar aku ke Jalan Bunga Matahari Selatan.”
“Tentu, Nona. Silakan naik,” jawab kusir sopan.
Dorothy melangkah ke arah kereta, lalu tiba-tiba pura-pura tersandung dan jatuh.
“Aduh!”
“Nona baik-baik saja?” sang kusir buru-buru menolongnya.
Dorothy berterima kasih sambil sekilas melirik pinggangnya—di sana tergantung sebuah sarung pistol.
Senjata api...
“Terima kasih,” ucapnya, membiarkan kusir membantu naik ke kereta.
Kereta pun melaju.
Di belakang, dua pria itu saling berpandangan, lalu menghilang ke tikungan. Sesaat kemudian, dua kereta lain muncul, membuntuti kereta Dorothy.
Dari jalan tanah, seekor tokek memperhatikan tiga kereta itu menjauh, lalu bergegas kembali menuju sekolah.
No comments:
Post a Comment