Bab 32: Jamuan Malam
Larut malam, langit Igwynt diselimuti awan kelabu, cahaya bulan meredup.
Di sudut tersembunyi kota, dalam sebuah ruangan mewah yang redup, sebuah jamuan sedang berlangsung.
Aroma darah pekat memenuhi udara. Di atas karpet merah gelap bermotif rumit, terbentang meja panjang berlapis taplak putih bersih. Di atasnya terletak peralatan makan berukir indah dan deretan lilin merah dalam tempat lilin perak, berkelip samar, menerangi piring-piring yang dipenuhi potongan daging tercabik.
Di kedua sisi meja duduk empat pria, semua berpakaian rapi bak bangsawan. Dengan gaya berkelas, mereka menggunakan pisau dan garpu untuk menyantap daging di hadapan mereka.
Di ujung meja berdiri sebuah kursi besar bersandaran tinggi—kosong, tak berpenghuni.
“Para Tuan, soal Edrick... bagaimana perkembangan pencarian kalian?” tanya seorang pria setengah baya bertubuh kurus, rambut cokelat kehitaman tersisir rapi, kumis tipis menghiasi wajahnya. Setelah mengusap darah di bibir, ia menyapu pandangan ke sekeliling meja.
“Tidak ada yang bisa dilaporkan...” jawab seorang pemuda santai, perlahan mengiris daging di piringnya.
“Aku sudah menggerakkan semua jalur, tapi tak ada jejak. Dia hilang sejak hari itu,” ujar seorang pria botak berperawakan sedang—Burton, pemilik rumah di Jalan Elmwood Barat No. 22.
“Di kota ini tak ada tanda-tanda Edrick. Orang-orangku menyusuri hilir Sungai Ironclay dan tidak menemukan bukti ia naik ke darat. Bisa jadi dia tenggelam, meninggalkan kota... atau...”
Seorang pria tua berpenampilan lusuh, matanya tidak sejajar, tubuh sedikit bungkuk, dengan serbet berlumur darah di depannya, melirik Burton dengan nada mengejek.
“Atau intel Burton salah, anak buahnya salah mengenali orang, dan membuat kita membuang waktu berhari-hari ini percuma!”
“Apa katamu, Clifford? Kau meremehkan intel-ku?” Burton membalas tajam, menatap garang pada pria tua itu.
“Heh... lalu kenapa? Kalau Edrick benar-benar mengkhianati Albert di Vulcan, dia pasti kabur jauh. Kenapa harus datang ke Igwynt dan terang-terangan menjual barang kita di bawah hidung sendiri? Dari mana dia dapat nyali sebesar itu? Aku bilang intelmu keliru!” Clifford menyeringai.
“Kau...” Burton, geram, mengalihkan pandangan pada pria di kursi dekat kepala meja—Buck.
“Buck... kenapa kita tidak pakai ramalan saja untuk menemukan Edrick? Cara biasa jelas tak berguna!” Burton mendesak.
Buck, pria berkumis rapi itu, menyesap “anggur merahnya” dengan tenang sebelum menjawab.
“Mentor hanya meninggalkan satu kesempatan ramalan—sumber tak ternilai. Kecuali demi keselamatan seluruh perkumpulan, aku tidak akan memakainya.”
“Tapi... Albert sudah mati...” Burton masih mencoba menekan.
“Meski begitu, aku bilang bukan saatnya, dan itu keputusan akhir. Mentor sedang bersiap untuk kenaikan tingkat dan tidak bisa mengawasi kita. Sesuai instruksinya, semua urusan di sini ada di bawah kendaliku.”
Tatapan tajam Buck membuat Burton terdiam. Setelah meneliti satu per satu wajah yang hadir, Buck kembali bersuara.
“Awasi terus soal Edrick, tapi kalau memang informasinya salah, jangan buang terlalu banyak tenaga. Kita punya hal lain yang lebih penting.”
Ia berhenti sejenak, memastikan semua perhatian tertuju padanya, lalu melanjutkan.
“Menurut kabar terbaru, kapten Biro Serenity regu tiga—Gregorius—punya seorang adik perempuan yang baru tiba di Igwynt. Meski Edrick mungkin berkhianat dan gagal, rencana awal kita tidak perlu berakhir.”
“Buck... maksudmu kita tetap harus menargetkan adik Gregorius?” Clifford menyipitkan mata. Buck mengangguk.
“Bakat Gregorius sudah kalian ketahui. Hanya dalam dua tahun sejak bergabung di Biro, dia sudah menjadi murid Shadower. Kemampuannya membuat kita kerepotan. Kalau kita bisa menyingkirkannya—atau lebih baik lagi, menariknya ke pihak kita—maka cengkeraman Biro Serenity atas kita akan melemah drastis.”
Burton mengangguk setuju.
“Dibanding kapten regu lain, Gregorius yang paling muda, paling ceroboh, dan minim pengalaman. Dia yang paling mudah dijatuhkan. Kalau kita bisa mengendalikan satu-satunya adiknya dan memakainya untuk mendekati Gregorius, pedang paling tajam milik Biro itu akan jadi milik kita.”
“Jadi, Buck, bagaimana status adiknya sekarang?” tanya Burton.
Buck kembali menyeruput “anggur merahnya”, lalu menjawab perlahan.
“Menurut informasi kita, Gregorius sudah mendaftarkan adiknya di Sekolah Saint Amanda pagi dua hari lalu.”
“Saint Amanda? Tempat itu sulit ditembus...” Clifford berkerut dahi. Buck mengangguk setuju.
“Tepat. Karena itu, kita harus bergerak di luar sekolah. Persiapannya sudah kumulai. Meski berisiko, kali ini aku memutuskan menurunkan orang-orang kita sendiri.”
Sambil bicara, Buck menusuk sepotong daging mentah dengan garpu, memasukkannya ke mulut. Cairan merah kental menetes dari bibirnya saat ia mengunyah.
…
Keesokan paginya, di pinggiran barat Igwynt, berdiri Sekolah Saint Amanda di tepi Sungai Ironclay.
Di dalam ruang luas, cahaya matahari masuk lewat jendela lebar, memantul di meja rendah yang dipenuhi berbagai bentuk bangun gips. Para siswa duduk mengelilinginya, sibuk menorehkan sketsa, berusaha menangkap permainan cahaya dan bayangan di atas kanvas masing-masing.
Di antara mereka ada Dorothy.
“Sial... siapa sangka seni rupa wajib di sini? Baru kali ini aku lihat sekolah kayak begini...” Dorothy menggerutu dalam hati sambil menatap sketsanya.
Semakin lama ia melihat, makin tak puas jadinya.
“Kenapa mata pelajaran yang jelas-jelas bergantung pada bakat malah diwajibkan? Mustahil ini...”
Kesal, ia menghapus lagi coretan kasarnya, bersiap memulai dari awal.
“Kalau begini terus, sampai kelas berakhir aku takkan punya apa pun untuk dikumpulkan...”
Tiba-tiba, seorang murid laki-laki menjatuhkan penghapus, lalu tanpa sengaja menyenggol meja rendah itu. Bangun-bangun gips pun berjatuhan ke lantai dengan bunyi keras, membuat semua orang terkejut.
Bagus sekali, Nak! Aku juga benci cara bentuk-bentuk itu ditata. Sekarang aku punya alasan sempurna buat mulai ulang... Dorothy tersenyum kecil, lalu membungkuk membantu mengumpulkan benda-benda yang tercecer.
Ia mengambil sebuah kubus dan mendadak berkerut kening.
“Berat... dingin... Teksturnya... ini bukan gips...”
Dorothy mengusap permukaan kubus itu sekali lagi.
“Rasanya... lebih mirip batu? Apa semua bentuk ini sebenarnya terbuat dari batu? Bukannya seharusnya gips untuk latihan menggambar? Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini?”
No comments:
Post a Comment