Bab 2 : Teriakan Naga
Sungai di dasar ngarai terus mengalir tanpa henti ke dalam kegelapan malam, suara derasnya bergema di ruang sempit itu. Di sepanjang tepian, cahaya samar dari lampu minyak bergetar, bergerak perlahan maju.
Empat pria berjalan di tepi sungai yang licin oleh hujan. Tiga di antaranya berada di depan, mengenakan pakaian kasar yang sudah basah kuyup, masing-masing menggenggam pisau dan pentungan. Usia mereka sekitar dua puluh hingga tiga puluhan, lengan kekar mereka dipenuhi tato yang terlihat jelas di balik lengan baju yang digulung.
Di belakang mereka berjalan seseorang yang tampak jauh lebih berbeda. Ia mengenakan setelan merah tua dengan celana hitam dan jas di dalamnya. Wajahnya pucat, kurus dengan sorot mata dalam dan hidung bengkok, memberi kesan dingin penuh perhitungan. Rambut cokelat pendeknya basah oleh hujan, sementara satu tangannya memegang payung untuk melindungi diri dari rintik air.
Mengiringi pria itu ada dua anjing pemburu aneh, berjalan di sisi kanan dan kirinya. Hampir tak berbulu, tanpa telinga, dengan daging merah gelap terbuka menjijikkan. Tingginya sampai setara lutut pria itu, tubuhnya kurus kering, cacat dan mengerikan, sama sekali berbeda dari anjing normal.
Pria itu adalah Edrick, seorang bandit—atau lebih tepatnya, pemimpin geng ternama di kota Vulcan. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan “Mad Dog Ed.”
Edrick adalah pria licik dan kejam, penguasa tunggal dunia gelap Vulcan. Semua orang di kota itu takut padanya. Ia menapaki jalan darah untuk sampai ke puncak, dibantu oleh dua anjing monster yang setia. Hewan-hewan itu ganas bak binatang buas, konon tak bisa mati meski sudah terluka parah, menebarkan rasa ngeri pada musuh sekaligus anak buahnya.
Biasanya, Edrick tak akan merendahkan diri untuk menyerang kafilah secara terang-terangan. Namun kali ini berbeda—ada sesuatu yang ia incar dari rombongan itu.
“Bos, ada cahaya di depan! Keretanya terbalik di sana!” lapor salah satu anak buah. Mendengar itu, Edrick mengangguk dingin.
“Terus maju. Semoga targetnya tidak hanyut ke sungai…”
Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri tepian hingga tiba di lokasi rombongan yang hancur. Pemandangan mengerikan terbentang: mayat manusia dan kuda berserakan di antara puing-puing kereta. Semua itu adalah hasil pengejaran mereka yang tanpa ampun.
Dengan sorot tajam, Edrick memerintahkan,
“Cari! Sebar! Cari seorang gadis berambut putih, kira-kira tiga belas tahun. Hidup atau mati, bawa padaku—hidup lebih baik.”
“Siap, Bos!”
Anak buahnya berpencar, mulai menggeledah mayat dan reruntuhan. Namun naluri serakah mereka tak bisa menahan diri: cincin, kalung, dan barang berharga lain ikut dirampas.
Sorot mata Edrick menangkap gerakan itu, dan ia menghardik keras.
“Lupakan jarahan! Cari targetnya! Kalau tidak mau jadi makanan anjing, cepat gerak!”
Dengan enggan, mereka berhenti menjarah, tapi tatapan benci sempat mereka lemparkan ke arahnya—hanya untuk ciut begitu melihat kedua anjing monster itu. Semua tahu, Edrick dan anjingnya bukan sesuatu yang bisa ditentang.
Mereka bukan anjing biasa. Itu adalah anjing neraka.
Di tengah pencarian, dua orang sampai ke sebuah kereta yang terhuyung di tepian miring, hanya tergantung pada seutas tali yang terikat pada bangkai kuda di antara bebatuan. Mereka mengintip ke dalam dan mata mereka langsung berbinar—koin dan perhiasan berhamburan di bawah kursi.
Rakus menguasai mereka. Melirik ke arah Edrick yang tampak sibuk, keduanya merangkak masuk untuk mengambil harta itu. Posisi barang agak sulit, membuat mereka terpaksa menyusup lebih dalam ke kereta.
Tak mereka sadari, sepasang mata merah menyala mengawasi dari balik bangkai kuda.
Dorothy bergerak cepat. Dengan pisau yang ia temukan sebelumnya, ia menyayat tali penahan kereta itu. Tali yang sudah rapuh langsung putus.
“Ahhh!”
Kereta pun meluncur deras ke sungai, menyeret dua pria itu bersamanya. Jeritan mereka tenggelam bersama kereta dan umpan harta karun yang memang sengaja dipasang Dorothy.
Manusia mati demi harta, pikirnya getir. Mana mungkin bandit tak terjebak oleh ini?
“Baker! Wood!”
Anak buah lain panik mendengar teriakan. Ia berlari ke tepi sungai, membungkuk mencoba melihat kondisi temannya.
Saat itulah Dorothy menyerbu dari belakang, menubruk punggung bawahnya dengan sekuat tenaga.
“Ah!”
Tubuh pria itu oleng, terhempas ke arus deras. Dalam sekejap ia ikut hilang. Dorothy sendiri sempat goyah, tapi berhasil menahan keseimbangan.
Tiga tumbang… sekarang sisanya…
Menekan rasa takut yang mencekam, Dorothy menatap jauh ke arah sosok Edrick yang kini menatapnya murka.
“Brat sialan… berani-beraninya…”
Dengan geram, Edrick mencabut revolver dari pinggang, mengarahkannya pada Dorothy yang tak lebih dari sepuluh meter di depannya. Jari siap menarik pelatuk—tapi cahaya lampu menyingkap wajahnya.
“Gadis berambut putih…”
Ia tertegun sejenak. Amarahnya berganti kalkulasi. Senjata diturunkan sedikit, lalu ia berteriak pada anjing-anjingnya,
“Tangkap anak itu untukku!”
Dua anjing iblis melesat bagaikan peluru, menerjang Dorothy.
Gadis itu berdiri tegak menghadapi derap langkah dan raungan buas. Ia menarik napas dalam, fokus matanya tajam. Bibirnya perlahan melafalkan sesuatu.
Yang keluar adalah suara rendah, kuno, seperti gema bahasa purba dari era yang terlupakan.
“—fus—”
Suara itu bergema laksana genderang perang. Udara bergetar, hujan buyar, angin terhempas. Gelombang tak kasat mata meledak dari tubuhnya, menghempaskan kedua anjing monster jauh ke belakang. Bahkan Edrick ikut terhuyung, senjatanya terlepas dari tangan.
Dorothy tak membuang kesempatan. Ia berlari, meraih revolver yang terjatuh. Dengan kedua tangan gemetar, ia mengarahkan moncong dingin itu pada Edrick yang tengah merangkak bangkit.
Tatapan Edrick bertemu dengan lubang gelap laras senjata. Ekspresinya panik, ia buru-buru berteriak,
“Tunggu! Aku—”
Bang!
Dorothy menarik pelatuk tanpa ragu. Api memancar, peluru menembus dadanya. Edrick terjatuh, mata terbelalak, mati dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.
“Hah… hah…”
Dorothy terhuyung ke tanah oleh hentakan senjata. Ia menatap tubuh tanpa nyawa itu, napasnya terengah. Tangannya bergetar, hati bergejolak hebat. Membunuh untuk pertama kali, meski pada bandit, tetaplah hal yang mengguncang jiwa.
Mereka membantai semua orang di kafilah ini… mereka membunuh Dorothy… ini balasan yang setimpal…
Menggenggam alasan itu erat-erat, ia menenangkan dirinya, perlahan berdiri. Tangannya menyentuh tenggorokan, mengingat kata kuno yang baru saja ia ucapkan—kata yang melepaskan kekuatan dahsyat itu.
Kini ia tahu apa itu.
Thu’um—Suara Naga.
Bahasa para naga, penuh kuasa. Kata yang diucapkannya tadi adalah yang paling ikonik—suku kata pertama dari Unrelenting Force: “fus”, yang berarti “Kekuatan.”
Thu’um adalah bahasa yang bisa mengguncang dunia, senjata para naga, para dewa, dan sedikit manusia terpilih—Dragonborn.
Namun kekuatan itu menuntut harga. Satu kata sederhana, hanya tiga huruf, menguras habis sesuatu darinya. Ia merasakan jelas: pengetahuan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun—lebih dari tiga ribu kosakata bahasa Prittish—telah hilang.
Kini Dorothy mengerti sifat kemampuan yang ia bawa dari dunia lain.
Itu adalah…
Menukar pengetahuan dengan pengetahuan.
Mengorbankan pengetahuan dunia ini, demi mendapatkan pengetahuan dari dunia lain.
No comments:
Post a Comment