Bab 100 : Bidat
Malam sunyi di Kota Igwynt. Di sebuah apartemen yang menghadap Jalan Bunga Matahari Selatan, Dorothy duduk di kursinya, termenung dengan penuh minat setelah berhasil mengukir informasi baru.
“Jadi, aku benar-benar berhasil menukar ilmu pedang seorang Duelist. Sepertinya pengetahuan mistik itu memang mendalam. Kira-kira apakah ilmu pedang ini bisa membantunya keluar dari krisisnya? Semoga saja ia baik-baik saja… toh dia memberiku manuskrip itu secara cuma-cuma.”
Dorothy bergumam dalam hati. Setelah menerima pengetahuan mistik yang dikorbankan pihak lain, ia melakukan pertukaran. Ilmu Pedang Laurent yang diperolehnya tersimpan dalam benak Dorothy. Ia pun menduplikasinya dan mengirim kembali salinannya, mengukirkan ke dalam Soul Codex milik sang penganut—karena pengetahuan tak akan hilang hanya karena dibagikan.
Dengan kata lain, Dorothy sendiri masih memiliki salinan lengkap Ilmu Pedang Laurent dalam kesadarannya. Hanya saja, ia belum mengukirkannya ke dalam Soul Codex-nya.
Sebagai penjelasan, tujuan mengukir ke dalam Soul Codex bukanlah untuk menyimpan pengetahuan, melainkan untuk melewati biaya dan waktu belajar. Dengan itu, Dorothy bisa langsung menguasai sebuah keterampilan pada tingkat tertinggi.
Ibarat dalam gim The Elder Scrolls: Skyrim—mengetahui Dragon Shout berbeda jauh dengan benar-benar menguasainya. Seorang manusia biasa mungkin butuh seumur hidup untuk mempelajarinya, bahkan bisa jadi gagal meski berbakat. Seperti Jarl Whiterun yang gagal belajar dari Greybeard, sementara Ulfric Stormcloak justru berhasil menguasai satu Shout dan menggunakannya untuk membunuh Raja Skyrim, hingga memicu perang saudara—meskipun kemampuan Ulfric masih jauh di bawah Dragonborn sejati.
Dengan bantuan Soul Codex, Dorothy bahkan bisa mempelajari Dragon Shout lebih cepat daripada Dragonborn, meski tetap dibatasi kapasitas jiwanya.
Saat ini, Dorothy sudah menyimpan teknik dan pengalaman Ilmu Pedang Laurent. Namun kapasitas Soul Codex-nya tak cukup untuk menguasai seluruh teknik duel tingkat grandmaster itu.
Berbeda dengan Soul Codex Vania yang masih kosong, Soul Codex milik Dorothy sudah terisi dengan Dragon Shout dan Appraisal Skill milik Cain. Jika ingin mempelajari Ilmu Pedang Laurent, ia hanya bisa memilih sebagian.
“Sayang sekali memang tak bisa langsung semuanya… tapi setidaknya hari ini aku menemukan cara lain untuk memperoleh pengetahuan mistik.”
Tatapannya jatuh pada Catatan Lautan Sastra di atas meja. Dorothy bergumam, merasa yakin metode ini bisa membuka lebih banyak koneksi—membuat orang lain mengorbankan pengetahuan mereka untuknya.
“Hhh… Semoga saja kau bisa mengatasi krisismu, wahai penganut taat… dari dewa palsu.”
Dorothy tersenyum tipis, membaca kembali kata-kata yang muncul di Logbook.
…
Malam hari. Di ruang bawah tanah kapel kecil Red Creek.
Dipandu oleh pencerahan, Vania berhasil menangkis peluru dengan pedangnya. Pantulannya justru menembus tubuh pria berjubah putih yang menembakkannya. Namun, energi dari peluru itu masih terlalu besar untuk ditahan tubuhnya.
Begitu suara logam beradu terdengar nyaring, tangan Vania yang menggenggam pedang langsung mati rasa. Genggamannya terlepas, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh menghantam lantai.
“Aah!”
Vania meringis kesakitan, memegangi tulang ekornya. Meski ia memiliki pengalaman duel tingkat tinggi dari Ilmu Pedang Laurent, tubuhnya tak sanggup menopang teknik itu sepenuhnya.
Sebagai biarawati yang lebih banyak duduk membaca ketimbang berlatih fisik, ia memang tak pernah berlatih keras. Tekniknya sempurna, tapi tenaganya lemah. Alhasil, posisinya ambruk, tubuhnya terguling. Statusnya sebagai Beyonder Lentera pun tak serta merta menambah daya tahan fisiknya.
“Aduh… aku harus bangun, pertarungan belum selesai!”
Sambil menahan perih, Vania bergegas berdiri. Ia meraih kembali pedangnya, lalu tertegun melihat pria berjubah putih itu sudah tergeletak tak bernyawa.
“Eh… dia mati? Kapan? Oh… saat aku menangkis peluru itu. Ilmu pedang ilahi ini luar biasa… bahkan bisa memblokir peluru!”
Ia masih sulit percaya. Menatap tubuh musuh yang tewas, lalu menunduk menatap darah di pedangnya, Vania terpaku cukup lama sebelum akhirnya menggeleng.
“Fuh… bukan waktunya melamun. Aku harus bersyukur atas anugerah ini!”
Dengan khidmat, ia berlutut dan berdoa.
“Terima kasih, Tuhanku… terima kasih atas wahyu-Mu… terima kasih telah memberiku kekuatan mengalahkan para bidat. Anugerah-Mu membuktikan kebenaran jalanku, kebenaran doktrin Trinitas. Aku akan menjunjung ajaran-Mu, berdiri menentang segala bidat yang ingin merusak kebenaran!”
Seperti biasa, Vania melantunkan doa formal. Namun setelah selesai, ia baru tersadar sesuatu.
“Tunggu… aku belum tahu siapa sebenarnya yang memberiku wahyu ini. Apakah Putra Suci, Bunda Suci, Bapa Suci… ataukah Penyelamat sendiri? Tidak sopan kalau aku tak menyebut dengan tepat.”
Di Gereja Cahaya, bila ragu, penyebutan “Tuhan” memang bisa dipakai. Tapi biasanya doa ditujukan langsung pada sosok tertentu. Menyebut “Tuhan” begitu saja terbilang jarang.
“Aku harus mencari tahu! Tapi… biasanya wahyu ilahi tidak memberi jawaban langsung. Hmm… bagaimana kalau kulihat lagi kitab ini?”
Bergumam sendiri, Vania buru-buru mengambil kitab sucinya di sudut ruang, lalu dengan penuh hormat menuliskan sebuah doa.
“Terima kasih atas anugerah-Mu. Mohon maaf atas kelancanganku. Bolehkah aku tahu, apakah Engkau Putra Suci, Bunda Suci, Bapa Suci, ataukah Penyelamat?”
…
Dorothy yang duduk di mejanya terbelalak saat melihat pertanyaan itu muncul di halaman buku. Alisnya mengernyit.
“Jadi dia selamat. Syukurlah… tapi, dia bertanya apakah aku salah satu dari Trinitas atau Penyelamat? Jadi dia benar-benar mengira aku dewa Gereja Cahaya? Jangan-jangan… dia memang rohaniwan mereka?”
Dorothy menggigit ujung pena, merenung sejenak. Lalu ia menarik napas panjang, dan menulis:
“Aku bukan salah satu dari Orang Suci Cahaya.”
…
“Ahhh!!!”
Mata Vania membelalak. Begitu melihat tulisan itu muncul di halaman kitab sucinya, ia menjerit histeris, tubuhnya gemetar hebat hingga kitab itu terlepas dari tangannya.
Ia terhuyung bangkit, memegangi dadanya, napasnya memburu.
“Bukan salah satu Orang Suci! Berarti… ini dewa asing! Dewa bidat!”
Pikirannya mendadak kacau. Jantungnya berdegup keras.
“Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan… Aku menerima wahyu dari dewa asing. Aku sudah jadi bidat! Tidak, lebih parah—aku murtad! Aku mengkhianati imanku sendiri!”
Tatapannya terarah pada tubuh pria berjubah putih yang tewas. Ia mungkin bidat, tapi setidaknya masih bagian dari Iman Cahaya. Sementara dirinya… ia baru saja menerima wahyu dari dewa asing!
“Andai Inkuisisi tahu… aku tamat!”
Dalam sekejap, Vania merasa masa depannya runtuh, hancur menjadi kegelapan tanpa harapan.
No comments:
Post a Comment