Grimoire Dorothy Chapter 1

Bab 1 : Pengetahuan

Malam itu tanpa bulan. Gerimis dingin turun perlahan, tetesannya membasahi tanah dan bebatuan di tepi sungai, menghapus bercak darah sekaligus menyebarkan aroma logam samar ke udara.

Tempat ini berada di dasar sebuah ngarai yang dalam. Aliran sungai berarus deras membelah lembah, gema gemuruhnya terpantul di dinding-dinding tebing. Di satu sisi menjulang tebing terjal, sementara di sisi lain terbentang lereng curam yang dihiasi semak dan pepohonan kecil, gigih mencengkeram tanah berbatu. Bagian bawah lereng itu landai, membentuk dataran miring di sepanjang tepi sungai—sebuah panggung untuk tragedi kelam.

Beberapa kereta terbalik berserakan. Mayat manusia dan kuda tergeletak tak bernyawa, darah mengalir dari luka-luka mengerikan, hanyut bersama hujan menuju sungai. Wajah-wajah mereka membeku dalam ketakutan, selamanya mengabadikan momen terakhir hidup mereka.

Kesunyian kematian meliputi medan yang basah kuyup oleh hujan. Semua tampak tak bernyawa—atau setidaknya begitulah kelihatannya.

Di dekat tepi sungai, sebuah kereta terbalik masih tergantung rapuh pada tali kekangnya, hampir terseret arus. Di dalamnya, seorang gadis kecil bersandar lemah pada kursi yang terjungkal, diam tak bergerak.

Gadis itu terlihat berusia tiga belas tahun, mengenakan gaun sederhana berwarna putih-cokelat, dengan sepatu polos dan kaus kaki pendek—jelas bukan pakaian orang kaya. Tubuhnya berlumuran darah di beberapa tempat. Rambut panjangnya yang berwarna perak-putih tergerai rapi melewati bahu, masih sempat berkilau samar dalam remang. Wajahnya yang tenang dengan mata terpejam ternoda darah yang menetes dari luka di balik poni kanan.

Sekilas, ia tampak tak berbeda dari mayat di sekitarnya—hingga alisnya sedikit berkedut.

Entah berapa lama waktu berlalu sebelum napas tipis akhirnya keluar dari hidungnya. Dadanya mulai naik-turun perlahan, denyut kehidupan kembali bersemi.

“Ugh…”

Alis gadis itu mengernyit rapat, wajahnya menampakkan rasa sakit. Ia mengangkat tangan, memegang pelipisnya yang berdenyut.

“Sakit… dingin sekali… Apa aku baru mimpi buruk? Jatuh dari ranjang?”

Pikirannya berkecamuk, berusaha mencari pegangan. Rasa nyeri perlahan mereda, membuat kesadarannya lebih jernih—tapi pertanyaan justru semakin banyak.

“Hujan? Aku dengar suara air mengalir? Tapi di rumahku tidak ada sungai… apa ada keran yang bocor pagi-pagi begini?”

Dalam kebingungan itu, ia membuka mata perlahan. Iris merah menyala terlihat jelas, menyesuaikan diri dengan ruang gelap dan sempit yang mengurungnya. Begitu pandangannya pulih, ia membeku.

Tepat di seberangnya, tubuh seorang wanita terkulai pada kursi yang masih tegak. Pecahan kaca jendela kereta menancap di lehernya, gaun berlumuran darah seperti lukisan horor. Matanya terbelalak, wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan yang menyalurkan kengerian dingin ke hati sang gadis.

“Gah…”

Napasnya tersentak, rasa takut menelan semua logika. Panik, ia bangkit—dan langsung membenturkan kepala pada atap kereta dengan bunyi duk! keras. Meringis sambil memegangi kepala, ia menyapu pandangan ke sekeliling, baru benar-benar sadar betapa sempitnya ruang itu.

Bersama mayat menakutkan dalam ruangan pengap itu membuat tubuhnya gemetar hebat. Dengan tergesa, tangannya meraba-raba mencari jalan keluar. Ia menemukan pintu kereta di atas kepalanya, mendorongnya dengan sekuat tenaga lalu merangkak keluar ke tepian sungai yang diguyur hujan.

“Apa-apaan ini?! Di mana aku?! Kenapa ada mayat di mana-mana?! Jangan bilang ada yang nge-prank aku di rumah berhantu?! Siapa yang tega ngelakuin hal segila ini?!”

Pikiran kalut berputar-putar saat ia keluar dari kereta. Namun, begitu pandangannya terbuka penuh, lidahnya kelu.

Tubuh-tubuh lain berserakan—bukan hanya manusia, tapi juga kuda. Bau amis darah menusuk hidung, tak tertutupi derasnya hujan. Beberapa kereta terbalik, lentera gas yang masih menyala berkelip redup, memantulkan bayangan menyeramkan di genangan. Roda yang masih berputar lambat menandakan peristiwa itu belum lama terjadi.

“Ini… bukan lelucon… Skala begini gila banget… siapa yang sanggup melakukannya?”

Berdiri di bawah hujan, ia bergumam dengan suara gemetar. Ketakutan mencengkeram dadanya, tapi ia memaksa diri menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

“Jangan panik… tenang… aku harus lihat situasi dulu…”

Namun, begitu ia mencoba fokus, rasa sakit tajam mendadak menghantam kepalanya. Mengaduh, ia meremas pelipis, tubuhnya oleng.

Ingatan asing, tak dikenal, menyerbu benaknya tanpa ampun—memenuhi pikirannya, mencabik kesadarannya.

“Ah… apa… ini…”

Ia menggertakkan gigi, bersandar pada kereta, berusaha tetap sadar. Lama kelamaan badai itu mereda, menyisakan rasa lelah. Bersama itu, pemahaman baru muncul—dan ia tercekat.

“Haa… Jadi… ini bukan mimpi… tapi… reinkarnasi?”

Dengan napas terengah, ia akhirnya mengerti.

Roh yang kini menempati tubuh gadis itu adalah jiwa seorang pengembara dari dunia lain. Sementara pemilik asli tubuh ini bernama Dorothy.

Dari serpihan kenangan Dorothy, ia mengetahui bahwa gadis itu hanyalah anak biasa dari desa terpencil. Ayahnya, seorang pemburu, tewas dalam kecelakaan berburu; ibunya menghilang tak lama setelahnya. Sejak kecil, Dorothy dan kakaknya yang lebih tua diasuh oleh Bibi Hannah, kerabat baik hati dari pihak ayah.

Dorothy memang menonjol karena rambut perak dan mata merahnya, tapi selain itu ia gadis sederhana, cantik, namun biasa. Ia dibesarkan bersama kakaknya yang rajin membantu orang dewasa. Karena kecerdasannya, Dorothy dikirim ke sekolah gereja di kota terdekat untuk belajar baca-tulis. Di usia belia, ia sudah menjadi salah satu dari sedikit orang yang bisa membaca, sering membantu warga menulis surat dan dokumen.

Kakaknya, enam tahun lebih tua, meninggalkan desa di usia enam belas tahun untuk bekerja di kota setelah lahan-lahan sekitar ditutup untuk peternakan. Tiga tahun kemudian, ia mengirim kabar: sudah mendapat pekerjaan tetap dan tempat tinggal layak. Ia ingin membawa Dorothy ikut serta.

Gadis itu bahagia bukan main. Setelah berpamitan pada semua orang, ia naik kereta menuju kota—hanya untuk disergap bandit di tengah perjalanan.

Kini, duduk di tepian sungai sambil mengusap pelipis, Dorothy menelusuri ingatan itu. Pandangannya terarah ke lereng curam, tempat barang-barang berserakan dari kereta yang terbalik. Ingatannya menjelaskan: rombongan mereka dikejar bandit, hingga kereta terguling jatuh. Melihat keadaan sekitar, sepertinya tak seorang pun selamat.

Di detik terakhir hidupnya, Dorothy masih mendengar teriakan bandit, auman binatang, ringkikan kuda yang panik, lalu dunia berputar… dan rasa sakit menusuk kening sebelum semuanya gelap.

“Kasihan sekali…” bisiknya lirih. “Baru saja punya harapan untuk hidup yang lebih baik… tapi berakhir seperti ini.”

Namun ucapan itu membuatnya tercekat.

“Tunggu… gadis?!”

Mendadak ia menoleh ke tubuhnya sendiri. Tangan gemetar menyentuh bagian-bagian tubuh yang terasa asing. Setelah beberapa kali memastikan, wajahnya memucat.

“Sudah… hilang…?! Aku Dorothy… Dorothy itu gadis… Aku jadi cewek?!”

Ia terdiam kaku, membiarkan hujan membasahi tubuhnya, wajah kosong tak percaya.

Tiba-tiba, suara samar memecah keheningan.

“Oi! Ketemu! Keretanya jatuh ke bawah sini!”

“Bos! Kita nemuin mereka!”

Bahunya menegang. Suara asing itu terdengar jelas, entah bagaimana ia bisa memahaminya. Cahaya obor berkelip di kejauhan, makin lama makin dekat di sepanjang tepi sungai.

Para bandit. Mereka turun untuk menggeledah.

Dorothy menggeretakkan gigi, buru-buru berjongkok dan bersembunyi di balik kereta terbalik, jantungnya berdentum keras.

“Sial… mereka pasti mau menjarah. Orang-orang itu kejam. Aku harus kabur…”

Matanya mencari jalan keluar. Sayang, sungai yang meluap menutup jalur aman, sementara lereng curam terlalu licin untuk dipanjat.

Satu-satunya jalan justru dari arah cahaya api—tempat bandit datang. Kalau ia lari ke sana, pasti langsung tertangkap.

“Brengsek… nggak ada jalan lain?”

Panik semakin menekan dadanya. Ia bahkan sempat berpikir untuk pura-pura mati, berharap mereka tak mengusiknya. Namun, tiba-tiba…

Sebuah suara asing menggema di kepalanya. Suara tanpa emosi, mustahil dibedakan laki-laki atau perempuan, seolah ribuan lidah melantunkan mantra serempak.

“Integrasi jiwa selesai… Tautan terhubung…”

“Korbankan pengetahuan… Anugerahkan pengetahuan…”

“Hah?!”

Dorothy terbelalak. Ia menggelengkan kepala cepat, mencoba menjernihkan pikiran.

“Apa-apaan? Suara siapa ini? Langsung masuk kepalaku?! Jangan-jangan… ini sistem kayak di cerita-cerita isekai itu?!”

Meski terkejut, Dorothy memaksa diri menyingkirkan rasa panik. Bahaya ada di depan mata. Ia harus tetap jernih—dan memanfaatkan apa pun yang baru saja terjadi, demi bertahan hidup.

No comments:

Post a Comment