Novel Abnormal State Skill Chapter 391
391 – Takao Itsuki
<Sudut Pandang Yomibito>
"Takao Itsuki bukanlah ancaman."
Begitulah penilaianku sejak awal, dan aku pun bertarung dengan asumsi itu.
Kunci dari duo bersaudari ini adalah Hijiri Takao.
Aku sepenuhnya yakin akan hal itu.
Jika Hijiri terbunuh, maka pertempuran ini akan berakhir.
Aku bisa menebas mereka berdua sekaligus.
Namun di saat yang sama, aku juga merasakan sesuatu yang lain—
———Bagus sekali, Hijiri Takao.
Meski tubuhmu diliputi luka parah, ekspresimu nyaris tak berubah.
Itu persis seperti yang dilaporkan oleh Vysis.
Di masa lalu, saat dia melawan Vysis, Hijiri mengalami luka berat. Tapi raut wajahnya tetap sama—begitulah kata Vysis.
"Seolah-olah dia tak merasakan apa-apa."
"Pasti dia menggunakan kemampuan atau metode tertentu untuk menahan reaksi terhadap rasa sakit."
Itu adalah analisis Vysis. Tapi aku menilai itu tidak tepat.
Dari pengalaman pribadi—aku tahu bahwa informasi dari Vysis tak selalu bisa diandalkan.
Hijiri bukan tak mampu merasakan sakit.
Penglihatanku tajam. Tapi bukan hanya itu—aku juga punya semacam intuisi.
Setiap kali tubuh Hijiri tergores oleh pedangku, dia memberi sedikit reaksi.
Selama reseptor rasa sakit itu ada, manusia tak bisa mengabaikannya begitu saja.
Rasa sakit adalah naluri alami—peringatan akan “ancaman terhadap hidup”.
Sedangkan aku, setelah menjadi Pelayan Tuhan, sudah kehilangan rasa sakit.
Sebagai gantinya, aku mengembangkan kemampuan baru—untuk merasakan bahaya.
Baru saja, aku mengamati Hijiri dari dekat. Ujung telinganya robek oleh pedang tak kasat mataku.
Saat itu, dia bereaksi.
Tentu saja, dia bereaksi.
Bahkan seseorang dengan mental sekuat baja pun tak sepenuhnya kebal terhadap naluri itu.
Namun dalam kasus Hijiri, reaksinya sangat lemah.
Tak heran jika Vysis tidak menyadarinya.
Dengan kata lain———jiwa dan tekad Hijiri berada di tingkat yang luar biasa.
Kemauannya amat kuat.
Dia mampu mengendalikan instingnya—hingga batas ekstrem.
Tapi karena dia tetap merasakan sakit, reaksinya melambat meski hanya sekejap.
Bahkan saat dia mencoba menyerang balik dengan nekat,
Naluri bertahan hidup tetap mengirimkan perintah untuk mundur.
Insting lebih cepat bekerja dibanding kehendak.
Karena itu, aku bisa “membaca” gerakannya.
Dia percaya bahwa dirinya tidak menunjukkan reaksi apa pun.
Tapi aku melihatnya.
Aku menangkap getaran halus itu—dan menyesuaikan gerakanku dengan tenang.
Dengan ketenangan mutlak, aku bisa menyamainya.
Namun—
———Bagus sekali, Hijiri Takao.
Sampai sekarang pun, Hijiri belum menyerah.
Aku tahu itu.
Bahkan setelah kehilangan dua jarinya, semangat juangnya tetap menyala.
Bahkan dia masih sempat mencemaskan adiknya.
Dia terus berusaha mencari langkah selanjutnya.
Tekad yang tak tergoyahkan———
Aku harus menyaksikan bagaimana akhirnya.
Aku tak akan menahan diri.
Sebagai penghormatan atas tekad luar biasa itu———
Aku akan mengerahkan segalanya dalam pertempuran ini.
———Ah, betapa memukau.
Ahh, begitu indah… pancaran kehidupan yang membara itu…
Luka Hijiri terus bertambah, tapi dia terus menghindari cedera fatal.
Untuk menghentikan pendarahan, dia membakar lukanya sendiri—dan tetap bertarung.
Meski tubuhnya terbakar, raut wajahnya tak menampakkan rasa sakit.
Bahkan jeritan pun tak keluar darinya.
Dia tetap berdiri teguh.
Tak diragukan lagi———dia adalah seorang samurai sejati.
Itu adalah pemikiran terakhirku…
“Aku mencintaimu.”
Itulah kata-kata yang Hijiri ucapkan kepada saudara perempuannya…
Di balik ucapan itu tersimpan tekad kuat yang tak tergoyahkan.
Seperti mantra, kata-kata itu mengalir masuk ke dalam diriku.
Meski dia belum menyerah sepenuhnya———
Dia telah memutuskan.
Bahwa tempat ini—di sini dan sekarang—adalah tempat ia akan mengakhiri segalanya.
Baiklah.
Kalau begitu, aku akan menghancurkan tekad itu dengan segenap kemampuanku———
[< Count Zero >]
Pada saat itu———
Kemampuanku dalam mendeteksi bahaya berbunyi keras.
Hampir seolah-olah seluruh sistem peringatan tubuhku sedang berteriak—mewaspadai ancaman lain yang tiba-tiba muncul.
Tiba-tiba saja, Takao yang satunya berubah.
Ya———ia telah menjadi ancaman bagiku.
Naluri bertarungku langsung menyala.
Aku tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi.
Takao Itsuki, yang seluruh tubuhnya diselimuti petir, maju mendekat.
Itsuki———menangis.
[“Kakak! Keahlianku———keahlianku telah berkembang! Aku bisa melakukannya———aku masih bisa! Hiks... Aku akan melakukannya! Aku akan melakukannya! Sekarang juga!”]
Tekanan dari petir yang mengelilinginya jauh melampaui apa pun yang pernah kualami sebelumnya.
[…………———, …………, ————……………]
Status Itsuki muncul di penglihatanku.
Sebagai pelayan dewi Vysis, aku bisa melihat status para Pahlawan.
Sambil tetap mengawasi Hijiri, aku memeriksa kekuatan sihir Itsuki.
Kekuatan sihirnya———MP-nya tidak berkurang.
Apakah bentuk barunya ini tidak mengonsumsi MP?
Atau ini hanya ilusi? Atau mungkin… kekacauan sistem?
(Catatan: Yomibito menyebut energi sihir sebagai “yoryoku”, berbeda dari “maryoku” seperti biasanya.)
Ahh…
Betapa menakjubkannya.
Naluri bertarungku—
Naluri itu telah mengenali bahwa Itsuki yang sekarang adalah bahaya prioritas.
Aku kembali menyesuaikan sikap.
Menepis rasa bimbang dan menerima tantangan ini sebagai seorang samurai sejati.
Aku akan menghadapinya sebagai musuh yang sejajar.
Tentu saja, aku tidak akan menurunkan kewaspadaanku terhadap Hijiri.
Dia belum menyerah. Masih mungkin dia akan bergerak.
Fokus naluriku memang diarahkan penuh pada Itsuki———
Tapi di penglihatan tepianku, mata ini tak pernah lepas dari Hijiri.
[…………———, …………, ————……………]
Sementara itu…
[“Aku pasti akan mengalahkanmu! Aku akan mengalahkan orang ini! Masih banyak hal bodoh yang ingin kulakukan—bersama Kakak! KAkak selalu menyelamatkanku… jadi kali ini, giliranku—aku akan menyelamatkan Kakak! Kita akan akhiri semua ini, dan kita akan pulang bersama! Bersama! Kita harus bersama!”]
[“Itsuki…”]
Takao Itsuki—mulai mengoceh dengan penuh emosi.
Itu berarti dia mengalihkan sebagian fokusnya untuk berbicara.
Menjadi terlalu emosional dapat menumpulkan kemampuan seseorang dalam mendeteksi bahaya.
Namun anehnya———justru sebaliknya yang terjadi.
Kecepatannya meningkat.
Tekanan terhadapku kian besar.
Lubang-lubang kecil dalam pertahanannya—yang sebelumnya bisa ku lewati—kini benar-benar tertutup.
Aku tak bisa memahaminya.
Itsuki berhasil lolos dari tebasanku.
Serangan balasan darinya—bahkan—berbahaya.
Aku mencoba menyesuaikan gerakan untuk menjaga jarak, tapi—
Bam!
Sarung tanganku hancur dihantam petir yang terkompresi.
“Itu seperti… disobek bersih.”
Mungkin begitu cara menggambarkannya.
Tiga dari empat lenganku kugunakan untuk menghadapi Itsuki.
Kalau bisa, aku ingin menggunakan semuanya untuk menghadapinya.
Namun sepenuhnya menurunkan kewaspadaan terhadap Hijiri adalah langkah yang ceroboh.
Satu lenganku tetap kujaga untuknya.
Karena itu, aku mencoba memusatkan kemampuan pengerasan ke satu titik saja.
Skenario seperti ini adalah yang pertama bagiku.
Sebelumnya, aku pernah melihat teknik ini dari Wormungandr.
Kupikir itu berguna. Tapi aku tak pernah berhasil menirunya.
Namun sekarang—kalau aku gagal melakukannya…
Akhirku bisa datang di sini.
Aku tidak punya pilihan selain mencoba.
Aku mengumpulkan kemampuan pengerasan dari bagian lain tubuhku—lalu mengarahkannya ke titik benturan untuk memblokir serangan petir Itsuki.
Dan…
Aku berhasil.
———Krzzzttt———
[…………———, !? , ————……………]
Serangan itu berhasil kutahan.
Namun petir itu tetap menyelinap masuk.
Ia merambat lewat bagian dalam tubuhku—hingga ke inti keberadaanku.
Sebuah sensasi asing menyergapku—sesuatu yang belum pernah kurasakan selama pertarungan ini.
Aku merasa… tidak enak badan?
Bahkan… mual?
Aku—merasa mual?
Kapan terakhir kali aku merasakan hal seperti itu?
Tak satu pun serangan sebelumnya menyebabkan sensasi ini.
Kalau kondisi ini berlanjut, akan jadi masalah.
Terjebak dalam karapas ini, tanpa jalan keluar… kondisi tubuhku makin menurun.
Bukan berarti aku dalam bahaya langsung———tapi tetap saja, rasanya tidak menyenangkan.
Ada rasa jijik yang tumbuh di dalam diriku—melawan keberadaan Itsuki.
Namun, bahkan saat ini———aku masih belum menurunkan kewaspadaanku terhadap Hijiri.
Dia masih memiliki <Gungnir> yang tersisa.
Mengabaikannya sekarang… adalah kebodohan paling fatal.
[“Kakak! Aku nggak tahu kenapa, tapi sepertinya MP-ku nggak berkurang! Jadi———aku akan selesaikan semuanya di sini! Aku akan kalahkan dia! Aku akan tunjukkan padamu!”]
Aku dipaksa untuk memilih.
Aku tidak bisa beralih ke serangan.
Aku tak pernah menyangka bahwa Itsuki menyimpan bakat bertarung seperti ini.
Ini benar-benar di luar semua perhitunganku.
Mungkin kekuatannya sekarang bukan cuma soal Keterampilan.
Bakat bertarung yang selama ini tak pernah berkembang, akhirnya bangkit… dan tumbuh pesat.
Dalam duel murni, mungkin dia bahkan melampaui Hijiri.
Tak kusangka tebasanku akan meleset sejauh ini.
Dia seperti… orang yang berbeda dari sebelumnya.
Namun, bahkan dalam kondisi seperti ini———
Aku tetap tidak mengendurkan kewaspadaanku terhadap Hijiri.
Kenapa?
Karena ingatan tentang koordinasi mereka sebelumnya terus berulang dalam benakku.
Kemungkinan besar, dia akan menggunakan <Gungnir> sebagai jurus pamungkas.
Atau mungkin, dia akan mengekspos intinya lalu membiarkan Itsuki menghabisinya dengan <Zero> miliknya.
Sekarang ini, aku tak bisa membalas.
Dengan mempertahankan pertahananku seperti ini, setidaknya aku bisa menjaga keadaan.
Tidak—jangan-jangan memang itu tujuannya?
Mereka hanya mengulur waktu?
Menunggu waktu jeda <Gungnir> berakhir?
Aku tidak bisa begitu saja mempercayai waktu cooldown yang dikatakan Hijiri.
Aku yakin dia bisa menggunakannya kapan saja…
Meskipun begitu———
———Krzzzttt———
Serangan Itsuki datang lagi—dahsyat, diselimuti raungan petir.
Kekuatan…
Kecepatan…
Konsentrasi…
Semuanya telah melampaui batas biasa.
Melihat caranya bertarung, seolah dia digerakkan oleh kekuatan hidupnya sendiri.
Itsuki kini menghadirkan aura yang begitu mengintimidasi.
Dua bersaudara ini…
Demi satu sama lain—
Apakah mereka benar-benar———bertarung dengan mempertaruhkan segalanya?
Termasuk hidup mereka sendiri?
Serangan petir Itsuki terus mengganas—kian buas, tak ada henti.
Lalu———
Ledakan!
Akhirnya.
Saat yang dinanti pun tiba.
Itsuki, yang berhasil lolos dari tebasanku, berhasil menyelinap ke dalam pertahananku.
Tanpa memanggil kedua Taring Petir Akhir itu———
Hanya dengan satu pukulan dari <Zero Thunderbirds>-nya———
Karapas yang melindungi perutku hancur. Inti tubuhku terbuka.
Ini buruk.
Naluri bertahan hidupku langsung menyala penuh.
Namun bahkan saat itu, mataku masih menatap Hijiri.
TIDAK———
Itu salah!
Itsuki bisa menghancurkan intiku dengan tangannya sendiri…!
Aku kacau.
Aku terlalu terfokus untuk mempertahankan pertahanan dari Hijiri.
Seharusnya seluruh perhatianku kucurahkan pada Itsuki.
Apakah aku masih sempat menyelamatkan diri———Tidak.
Aku tidak akan sempat.
———Ahh, dia sungguh… memukau.
Pada saat itu—
Aku.
Sekali lagi———
Tanda-tanda evolusi mulai muncul.
Untuk menghadapi ancaman bernama Takao Itsuki, aku mengerahkan seluruh jiwaku demi bertahan hidup———
Kini…
Pertanda itu—akan dimulai…
Atau setidaknya—seharusnya…
Kshk!
[…………———, ? , ————……………]
Di sisi karapasku———sedikit diagonal, lebih dekat ke belakang.
Sesuatu menyentuh intiku.
Apa itu… tangan?
Bahaya.
Darurat.
Kemampuan deteksi bahayaku—naluri bertarungku—bergetar keras.
Aku sadar telah melakukan kesalahan.
Namun—kenapa?
Kenapa kamu ada di sana?
Bagaimana kamu—
———menyentuh intiku?
Bagaimana dengan karapasku?
Kapan bagian itu hancur?
Kemampuan mendeteksi bahayaku?
Apakah tak bekerja karena fokusku hanya pada Itsuki?
Tidak mungkin…
Aku seharusnya melihat pergerakannya.
Aku seharusnya sadar.
Bagaimana aku bisa melewatkannya?
Waktunya.
Ini bukan po———
[< Gung———]
□
Tanda-tanda evolusi Yomibito…
Semuanya ditujukan untuk menghadapi Itsuki Takao.
Dengan kata lain, titik awal dari evolusi itu sepenuhnya mengabaikan konfrontasi dengan Hijiri.
Namun kini, naluri bertahan hidup mereka malah terarah penuh ke Hijiri.
Akibatnya———
Yomibito kehilangan “titik awal” yang semestinya memicu evolusi.
Kesempatan itu lenyap.
Dan “titik awal” itu kehilangan arahnya.
Momen penuh gemilang yang seharusnya mekar…
Telah hilang.
Yomibito, evolusinya…
Tidak digagalkan oleh Zero Thunderbird———
…melainkan oleh pengguna Tombak Ilahi,
yang pernah menunjukkan taringnya bahkan kepada Sang Dewi.
<Sudut Pandang Takao Hijiri>
Aku sudah mempertimbangkan semua informasi yang mungkin telah dibagikan antara Vysis dan Yomibito.
Kemungkinan besar mereka telah membicarakan pertempuran kami di masa lalu.
Meskipun aku mati saat itu, Dewi itu pasti takkan tinggal diam.
Dia pasti akan menyampaikan semuanya—tentang “prestasi militernya” dalam menumpas para pemberontak menyedihkan dan meracuniku hingga mati.
Selama pertempuran ini, aku telah memastikan satu hal:
Yomibito memiliki penglihatan yang sangat tajam.
Bidang pandangnya luas.
Alasan kami bergerak dari dua sisi bersama Itsuki sejak awal adalah untuk menguji jangkauan penglihatan itu.
Di sisi lain, kami juga memantau bagaimana mereka merespons area yang tak bisa mereka lihat langsung—dan bagaimana mereka menghadapinya.
Sepertinya mereka bisa merasakan keberadaan atau bahaya secara intuitif—dan bereaksi terhadapnya.
Penglihatan yang luar biasa.
Kemampuan deteksi bahaya.
Yomibito memiliki dua kekuatan ini.
Aku menjadikannya dasar dari perencanaan kami.
Lalu aku mulai berpikir—bisakah kita menciptakan celah dari situ?
Aku memutar otak, dan akhirnya… aku menyadarinya.
Pergerakan Yomibito lebih presisi dari yang kukira.
Tingkat presisi itu justru membuka celah saat terjadi gangguan.
Lalu—bagaimana caranya mengganggu presisi itu?
"Penglihatan yang bagus."
Bukan hanya soal mata atau sudut pandang.
Kemampuan mereka dalam mengamati dan memahami sesuatu juga sangat tajam.
Dengan kata lain, mereka bisa “memasukkan informasi” dari siapa pun yang ada di dalam jangkauan pandangnya.
Jadi, aku menunjukkan reaksi lemah setiap kali aku terluka.
Aliran angin di sekitarku akan memberikan “tanda-tanda” adanya luka.
Dan setiap kali aku benar-benar terkena serangan, aku menunjukkan reaksi seolah-olah aku merasakan sakit.
Sesuai rencana—Yomibito tampaknya menangkap pola ini.
Reaksi terhadap rasa sakit… tidak bisa dihapus sepenuhnya.
Meski rasa takut telah ditaklukkan, tubuh tetap merespons secara naluriah.
Selama masih ada rasa sakit—reaksi itu pasti muncul. Itu hukum mutlak.
Aku tahu itu.
Aku tidak bebas dari rasa sakit ketika bertarung melawan Vysis.
Aku hanya menahannya.
Jika memang ada rasa sakit, mustahil untuk menghapus reaksi sepenuhnya.
Tapi—bagaimana jika…
Bagaimana jika tak ada rasa sakit sejak awal?
Bagaimana jika semua reaksiku hanyalah sandiwara?
Apa yang membuat itu mungkin?
Katanya, koreksi nilai HP bisa mengurangi rasa sakit.
Tapi tidak cukup untuk menghapus reaksi sepenuhnya.
Jadi, apa yang benar-benar memungkinkan?
Jawabannya adalah:
“Peningkatan kemampuan pada banyak target, dan penurunan pada satu target.”
“Kemampuan untuk menurunkan status lawan ke level dirinya saat disentuh.”
Itulah Keterampilan Unik milik Ikusaba Asagi.
Tapi sebenarnya, dia punya satu lagi.
Saat invasi besar dari pasukan Kaisar Iblis Agung di masa lalu…
Setelah garis pertahanan terakhir di ibu kota Jonato…
Ya, itulah Skill yang digunakan Asagi untuk menyelamatkan Yonato yang terluka parah———
< Penekan Rasa Sakit >
(T/N: Nyanyian: Ratu Lebah)
Begitu aku mengetahuinya, aku langsung mendatanginya sebelum penyerbuan.
“Hijiri-tan minta kerja sama sebagai bukti kepercayaan, nyan?”
“Karena Mimori-kun sudah mengizinkanmu ikut tim serang, aku tak punya alasan buat nolak. Ya sudah, kita manfaatkan apa pun yang bisa kita pakai—gimana?”
“Mungkin aku cabut efeknya sebelum waktunya, tahu?”
“Kalau begitu, ya sudah. Nggak masalah. Kita lakukan sebisanya. Selamat tinggal.”
“Eh, jangan pergi begitu saja kayak Speedywagon-san dong. Ngomong-ngomong, boleh nanya satu hal? Asagi pengen dapat hadiah juga, nya!”
“Katakan.”
“Hijiri-tan, kamu punya cowok yang kamu suka? Secara romantis maksudnya.”
“Yah, mungkin… ada.”
“Oooh? Begitu ya… Heehhh…”
“…Kenapa kamu nanya itu sekarang? Aneh sekali. Cara kamu nanyanya juga aneh. Seolah-olah kamu cuma peduli sama lawan jenis.”
“Tapi Hijiri-paisen, kamu kayaknya tipe Onee-sama banget, ya?”
“? Kami memang kembar. Tapi secara teknis, Itsuki menganggapku sebagai kakaknya. Lalu, apa itu 'paisen'?”
“…………Onee-san, jangan bilang kamu beneran se-dungu ini? Apa aku salah baca karakter kamu? Serius… Kukira kamu sempurna, ternyata kamu punya sisi ini juga…?”
Meski caranya menjengkelkan dan suka memperlakukanku seperti orang bodoh…
Asagi tetap memberiku kemampuan itu.
Dan hasilnya…
Aku tidak merasakan sakit sama sekali.
Aku hanya mendengarkan aliran angin di sekitarku,
merasakan kehadiran musuh,
dan pura-pura bereaksi.
Sederhananya———semuanya hanya akting.
Aku berpura-pura merasa kesakitan.
Itu tugas yang sangat menegangkan.
Setiap kali aku memastikan bisa menghindari luka fatal,
aku akan menyesuaikan reaksi tubuhku.
Kalau aku merasa cukup yakin…
aku akan sengaja membiarkan bilah pedangnya melukai kulitku,
lalu menunjukkan ekspresi kesakitan.
Waktu jariku terpotong…
aku juga cukup terkejut.
Itu memang di luar perkiraan…
“Menunda reaksi… bukanlah pilihan.”
Aku sempat cemas. Tapi untungnya, reaksi yang kutunjukkan masih sesuai harapan.
Dari reaksi Yomibito, jelas mereka tidak menyadari kebohonganku.
Serangan mereka jadi lebih mudah diantisipasi daripada yang kukira.
Aliran angin di sekitarku memberitahuku lintasan dan jangkauan bilah mereka.
Tentu saja, aku tidak bisa bilang bahwa aku melawan mereka dengan santai.
Itu tetap pertempuran yang sulit.
Ngomong-ngomong, saat aku beradu pedang dengan Yomibito menggunakan pedang panjang…
Aku merasa sedikit mati rasa—rupanya.
Tapi saat itu, indra perasaku menafsirkannya sebagai rasa sakit.
Jadi aku menyangka tanganku sedang kram.
Namun saat aku melancarkan serangan penentu…
Aku sepenuhnya menghentikan semua “reaksi palsu”.
Yomibito selama ini mengandalkan reaksi terhadap rasa sakit—dan membentuk strategi mereka berdasarkan itu.
Dengan membaca pola gerakku, mereka bisa mengantisipasi langkah berikutnya.
Maka aku hancurkan pola itu.
Reaksi yang mereka tunggu—tidak datang.
Waktu yang mereka perkirakan akan muncul—meleset.
Tepat saat aku bergerak untuk melancarkan serangan terakhir———
Yomibito pasti berpikir:
“Satu luka kecil akan menimbulkan ‘rasa sakit’ dan sedikit memperlambat gerakannya.”
“Luka ringan saja cukup. Itu akan memberi jeda sesaat pada serangannya.”
“Cukup waktu untuk menangani Hijiri.”
“Kalau begitu, kita bisa memindahkan fokus ke Takao Itsuki.”
Ya, mereka pasti mengambil keputusan seperti itu.
Dan menilai waktunya dengan salah.
Semuanya berjalan sesuai rencana.
Sebuah celah kecil dalam kesadaran mereka—
itu cukup untuk membuatku mendekat ke titik fatal.
Lalu, soal bagaimana karapas Yomibito bisa hancur…
Aku membuat lubang menyerupai bor menggunakan bilah angin dalam kecepatan maksimal.
Sebagai persiapan, aku juga telah sedikit demi sedikit mengikis karapas mereka sepanjang pertempuran.
Kenapa kemampuan deteksi bahaya mereka tidak menyadarinya?
Karena sepanjang pertarungan, mereka mengabaikan bilah anginku.
Mereka terus diserang oleh bilah-bilah itu—tapi tidak merespons.
“Meskipun karapasnya sedikit rusak, pasti bisa regenerasi.”
“Tak mungkin menembus bagian dalam.”
Pasti begitu penilaian mereka.
Yomibito tampaknya sangat rasional saat bertarung.
“Jadi, mereka tidak akan mengalokasikan sumber daya untuk hal yang tak perlu.”
Itulah yang kuasumsikan.
Sesuai rencana, kewaspadaan mereka terhadap bilah angin milikku menurun secara bertahap.
“Baling-baling angin tidak jadi masalah.”
Sepanjang pertempuran, aku memastikan: mereka tidak merasakan sensasi dengan karapasnya.
Tak ada reaksi terhadap panas atau dingin juga.
“Pada titik tertentu, dari bagaimana mereka bereaksi sepanjang pertarungan, seolah-olah mereka bahkan tidak sadar itu ada.”
Kesimpulanku adalah:
Bahkan ketika aku membuat lubang dengan bilah angin, mereka tetap tak menyadari ancaman itu.
Karena mereka tak lagi menganggap “bilah angin” sebagai sesuatu yang patut diwaspadai.
Itulah celah yang kugunakan.
Kalau Yomibito memiliki cara untuk menghindar—
Mereka pasti sudah memperkirakan kemungkinan itu.
Tapi———dengan <End> milik Itsuki yang menunjukkan peningkatan kekuatan serangan melalui kompresi———
Mungkin bilah anginku juga bisa melakukannya.
Aku pernah melakukannya dengan jenis serangan berbasis angin lainnya.
Tapi belum pernah mencoba hal ini dengan bilah angin secara khusus.
Tujuannya?
Agar mereka menganggap hal itu mustahil.
Walau begitu———bagian dari semua ini masih sekadar spekulasi.
Tak bisa dipastikan apakah langkah ini benar-benar akan jadi kunci pembuka kemenangan.
Tapi setelah keterampilan Itsuki berevolusi———
Sebagian besar kemampuan deteksi bahaya milik Yomibito
terfokus sepenuhnya padanya.
Tak perlu diragukan lagi—Itsuki adalah poros dari seluruh pertempuran ini.
Variabel tak terduga dalam pertarungan ini adalah perkembangan kemampuan MP dan skill Itsuki.
Aku tahu: Itsuki mungkin tak punya cukup MP untuk menggunakan <End> dua kali.
Itu terlihat dari tatapan dan reaksinya.
Karena itu…
Aku siap mengambil risiko.
Menangani satu serangan <End> sendiri.
Aku tak menyalahkan Itsuki.
Mungkin terlalu banyak MP yang habis untuk menghindar menggunakan <One>—
hingga akhirnya ia tak bisa sepenuhnya keluar dari situasi ini.
Perkembangan musuh yang tiba-tiba di tengah kondisi genting seperti ini jelas berada di luar perkiraan kami.
Tapi kemudian———Itsuki berevolusi.
Dan itu mengubah seluruh jalannya pertempuran.
Tidak—justru berkat itulah, kami bisa mencapai “hasil ini”.
Bahkan, dengan bangkitnya Itsuki, peluang menang kami meningkat drastis.
Melihat adikku bertarung—aku tahu firasatku tak salah.
Seperti yang sudah kuduga, bakat bertarung Itsuki jauh melampaui milikku.
Tiga katana diarahkan padanya, dan sebagian besar indra Yomibito tertarik olehnya.
Mereka pasti mengingat skenario koordinasi dari pertemuan sebelumnya.
Berpikir: “Hijiri mungkin akan menembakkan <Gungnir> ke lubang yang dibuat oleh Itsuki.”
Atau sebaliknya: “Meski urutannya dibalik, kami mungkin akan menyerang titik itu secara bergantian.”
Jika Itsuki tak bangkit… itu satu-satunya rencana yang kami miliki.
Jalan yang jauh lebih berat—yang kemungkinan mengharuskanku untuk mengorbankan nyawa.
Namun Itsuki———saudara kembarku…
Dia membuka jalan menuju masa depan.
Maka aku tak perlu lagi mempertimbangkan untuk mengorbankan hidup ini.
Karena———
Aku berhasil melepaskan serangan itu.
Satu serangan yang menentukan.
Keajaiban ini—bahwa aku bisa terlahir ke dunia sebagai belahan jiwamu…
Itu adalah hal yang paling kubanggakan dari lubuk hatiku.
Sekarang—
Dengan mantraku…
Tusuk musuh itu.
[< Gungnir >]
<Sudut Pandang Yomibito>
"Takao Itsuki bukanlah ancaman."
Begitulah penilaianku sejak awal, dan aku pun bertarung dengan asumsi itu.
Kunci dari duo bersaudari ini adalah Hijiri Takao.
Aku sepenuhnya yakin akan hal itu.
Jika Hijiri terbunuh, maka pertempuran ini akan berakhir.
Aku bisa menebas mereka berdua sekaligus.
Namun di saat yang sama, aku juga merasakan sesuatu yang lain—
———Bagus sekali, Hijiri Takao.
Meski tubuhmu diliputi luka parah, ekspresimu nyaris tak berubah.
Itu persis seperti yang dilaporkan oleh Vysis.
Di masa lalu, saat dia melawan Vysis, Hijiri mengalami luka berat. Tapi raut wajahnya tetap sama—begitulah kata Vysis.
"Seolah-olah dia tak merasakan apa-apa."
"Pasti dia menggunakan kemampuan atau metode tertentu untuk menahan reaksi terhadap rasa sakit."
Itu adalah analisis Vysis. Tapi aku menilai itu tidak tepat.
Dari pengalaman pribadi—aku tahu bahwa informasi dari Vysis tak selalu bisa diandalkan.
Hijiri bukan tak mampu merasakan sakit.
Penglihatanku tajam. Tapi bukan hanya itu—aku juga punya semacam intuisi.
Setiap kali tubuh Hijiri tergores oleh pedangku, dia memberi sedikit reaksi.
Selama reseptor rasa sakit itu ada, manusia tak bisa mengabaikannya begitu saja.
Rasa sakit adalah naluri alami—peringatan akan “ancaman terhadap hidup”.
Sedangkan aku, setelah menjadi Pelayan Tuhan, sudah kehilangan rasa sakit.
Sebagai gantinya, aku mengembangkan kemampuan baru—untuk merasakan bahaya.
Baru saja, aku mengamati Hijiri dari dekat. Ujung telinganya robek oleh pedang tak kasat mataku.
Saat itu, dia bereaksi.
Tentu saja, dia bereaksi.
Bahkan seseorang dengan mental sekuat baja pun tak sepenuhnya kebal terhadap naluri itu.
Namun dalam kasus Hijiri, reaksinya sangat lemah.
Tak heran jika Vysis tidak menyadarinya.
Dengan kata lain———jiwa dan tekad Hijiri berada di tingkat yang luar biasa.
Kemauannya amat kuat.
Dia mampu mengendalikan instingnya—hingga batas ekstrem.
Tapi karena dia tetap merasakan sakit, reaksinya melambat meski hanya sekejap.
Bahkan saat dia mencoba menyerang balik dengan nekat,
Naluri bertahan hidup tetap mengirimkan perintah untuk mundur.
Insting lebih cepat bekerja dibanding kehendak.
Karena itu, aku bisa “membaca” gerakannya.
Dia percaya bahwa dirinya tidak menunjukkan reaksi apa pun.
Tapi aku melihatnya.
Aku menangkap getaran halus itu—dan menyesuaikan gerakanku dengan tenang.
Dengan ketenangan mutlak, aku bisa menyamainya.
Namun—
———Bagus sekali, Hijiri Takao.
Sampai sekarang pun, Hijiri belum menyerah.
Aku tahu itu.
Bahkan setelah kehilangan dua jarinya, semangat juangnya tetap menyala.
Bahkan dia masih sempat mencemaskan adiknya.
Dia terus berusaha mencari langkah selanjutnya.
Tekad yang tak tergoyahkan———
Aku harus menyaksikan bagaimana akhirnya.
Aku tak akan menahan diri.
Sebagai penghormatan atas tekad luar biasa itu———
Aku akan mengerahkan segalanya dalam pertempuran ini.
———Ah, betapa memukau.
Ahh, begitu indah… pancaran kehidupan yang membara itu…
Luka Hijiri terus bertambah, tapi dia terus menghindari cedera fatal.
Untuk menghentikan pendarahan, dia membakar lukanya sendiri—dan tetap bertarung.
Meski tubuhnya terbakar, raut wajahnya tak menampakkan rasa sakit.
Bahkan jeritan pun tak keluar darinya.
Dia tetap berdiri teguh.
Tak diragukan lagi———dia adalah seorang samurai sejati.
Itu adalah pemikiran terakhirku…
“Aku mencintaimu.”
Itulah kata-kata yang Hijiri ucapkan kepada saudara perempuannya…
Di balik ucapan itu tersimpan tekad kuat yang tak tergoyahkan.
Seperti mantra, kata-kata itu mengalir masuk ke dalam diriku.
Meski dia belum menyerah sepenuhnya———
Dia telah memutuskan.
Bahwa tempat ini—di sini dan sekarang—adalah tempat ia akan mengakhiri segalanya.
Baiklah.
Kalau begitu, aku akan menghancurkan tekad itu dengan segenap kemampuanku———
[< Count Zero >]
Pada saat itu———
Kemampuanku dalam mendeteksi bahaya berbunyi keras.
Hampir seolah-olah seluruh sistem peringatan tubuhku sedang berteriak—mewaspadai ancaman lain yang tiba-tiba muncul.
Tiba-tiba saja, Takao yang satunya berubah.
Ya———ia telah menjadi ancaman bagiku.
Naluri bertarungku langsung menyala.
Aku tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi.
Takao Itsuki, yang seluruh tubuhnya diselimuti petir, maju mendekat.
Itsuki———menangis.
[“Kakak! Keahlianku———keahlianku telah berkembang! Aku bisa melakukannya———aku masih bisa! Hiks... Aku akan melakukannya! Aku akan melakukannya! Sekarang juga!”]
Tekanan dari petir yang mengelilinginya jauh melampaui apa pun yang pernah kualami sebelumnya.
[…………———, …………, ————……………]
Status Itsuki muncul di penglihatanku.
Sebagai pelayan dewi Vysis, aku bisa melihat status para Pahlawan.
Sambil tetap mengawasi Hijiri, aku memeriksa kekuatan sihir Itsuki.
Kekuatan sihirnya———MP-nya tidak berkurang.
Apakah bentuk barunya ini tidak mengonsumsi MP?
Atau ini hanya ilusi? Atau mungkin… kekacauan sistem?
(Catatan: Yomibito menyebut energi sihir sebagai “yoryoku”, berbeda dari “maryoku” seperti biasanya.)
Ahh…
Betapa menakjubkannya.
Naluri bertarungku—
Naluri itu telah mengenali bahwa Itsuki yang sekarang adalah bahaya prioritas.
Aku kembali menyesuaikan sikap.
Menepis rasa bimbang dan menerima tantangan ini sebagai seorang samurai sejati.
Aku akan menghadapinya sebagai musuh yang sejajar.
Tentu saja, aku tidak akan menurunkan kewaspadaanku terhadap Hijiri.
Dia belum menyerah. Masih mungkin dia akan bergerak.
Fokus naluriku memang diarahkan penuh pada Itsuki———
Tapi di penglihatan tepianku, mata ini tak pernah lepas dari Hijiri.
[…………———, …………, ————……………]
Sementara itu…
[“Aku pasti akan mengalahkanmu! Aku akan mengalahkan orang ini! Masih banyak hal bodoh yang ingin kulakukan—bersama Kakak! KAkak selalu menyelamatkanku… jadi kali ini, giliranku—aku akan menyelamatkan Kakak! Kita akan akhiri semua ini, dan kita akan pulang bersama! Bersama! Kita harus bersama!”]
[“Itsuki…”]
Takao Itsuki—mulai mengoceh dengan penuh emosi.
Itu berarti dia mengalihkan sebagian fokusnya untuk berbicara.
Menjadi terlalu emosional dapat menumpulkan kemampuan seseorang dalam mendeteksi bahaya.
Namun anehnya———justru sebaliknya yang terjadi.
Kecepatannya meningkat.
Tekanan terhadapku kian besar.
Lubang-lubang kecil dalam pertahanannya—yang sebelumnya bisa ku lewati—kini benar-benar tertutup.
Aku tak bisa memahaminya.
Itsuki berhasil lolos dari tebasanku.
Serangan balasan darinya—bahkan—berbahaya.
Aku mencoba menyesuaikan gerakan untuk menjaga jarak, tapi—
Bam!
Sarung tanganku hancur dihantam petir yang terkompresi.
“Itu seperti… disobek bersih.”
Mungkin begitu cara menggambarkannya.
Tiga dari empat lenganku kugunakan untuk menghadapi Itsuki.
Kalau bisa, aku ingin menggunakan semuanya untuk menghadapinya.
Namun sepenuhnya menurunkan kewaspadaan terhadap Hijiri adalah langkah yang ceroboh.
Satu lenganku tetap kujaga untuknya.
Karena itu, aku mencoba memusatkan kemampuan pengerasan ke satu titik saja.
Skenario seperti ini adalah yang pertama bagiku.
Sebelumnya, aku pernah melihat teknik ini dari Wormungandr.
Kupikir itu berguna. Tapi aku tak pernah berhasil menirunya.
Namun sekarang—kalau aku gagal melakukannya…
Akhirku bisa datang di sini.
Aku tidak punya pilihan selain mencoba.
Aku mengumpulkan kemampuan pengerasan dari bagian lain tubuhku—lalu mengarahkannya ke titik benturan untuk memblokir serangan petir Itsuki.
Dan…
Aku berhasil.
———Krzzzttt———
[…………———, !? , ————……………]
Serangan itu berhasil kutahan.
Namun petir itu tetap menyelinap masuk.
Ia merambat lewat bagian dalam tubuhku—hingga ke inti keberadaanku.
Sebuah sensasi asing menyergapku—sesuatu yang belum pernah kurasakan selama pertarungan ini.
Aku merasa… tidak enak badan?
Bahkan… mual?
Aku—merasa mual?
Kapan terakhir kali aku merasakan hal seperti itu?
Tak satu pun serangan sebelumnya menyebabkan sensasi ini.
Kalau kondisi ini berlanjut, akan jadi masalah.
Terjebak dalam karapas ini, tanpa jalan keluar… kondisi tubuhku makin menurun.
Bukan berarti aku dalam bahaya langsung———tapi tetap saja, rasanya tidak menyenangkan.
Ada rasa jijik yang tumbuh di dalam diriku—melawan keberadaan Itsuki.
Namun, bahkan saat ini———aku masih belum menurunkan kewaspadaanku terhadap Hijiri.
Dia masih memiliki <Gungnir> yang tersisa.
Mengabaikannya sekarang… adalah kebodohan paling fatal.
[“Kakak! Aku nggak tahu kenapa, tapi sepertinya MP-ku nggak berkurang! Jadi———aku akan selesaikan semuanya di sini! Aku akan kalahkan dia! Aku akan tunjukkan padamu!”]
Aku dipaksa untuk memilih.
Aku tidak bisa beralih ke serangan.
Aku tak pernah menyangka bahwa Itsuki menyimpan bakat bertarung seperti ini.
Ini benar-benar di luar semua perhitunganku.
Mungkin kekuatannya sekarang bukan cuma soal Keterampilan.
Bakat bertarung yang selama ini tak pernah berkembang, akhirnya bangkit… dan tumbuh pesat.
Dalam duel murni, mungkin dia bahkan melampaui Hijiri.
Tak kusangka tebasanku akan meleset sejauh ini.
Dia seperti… orang yang berbeda dari sebelumnya.
Namun, bahkan dalam kondisi seperti ini———
Aku tetap tidak mengendurkan kewaspadaanku terhadap Hijiri.
Kenapa?
Karena ingatan tentang koordinasi mereka sebelumnya terus berulang dalam benakku.
Kemungkinan besar, dia akan menggunakan <Gungnir> sebagai jurus pamungkas.
Atau mungkin, dia akan mengekspos intinya lalu membiarkan Itsuki menghabisinya dengan <Zero> miliknya.
Sekarang ini, aku tak bisa membalas.
Dengan mempertahankan pertahananku seperti ini, setidaknya aku bisa menjaga keadaan.
Tidak—jangan-jangan memang itu tujuannya?
Mereka hanya mengulur waktu?
Menunggu waktu jeda <Gungnir> berakhir?
Aku tidak bisa begitu saja mempercayai waktu cooldown yang dikatakan Hijiri.
Aku yakin dia bisa menggunakannya kapan saja…
Meskipun begitu———
———Krzzzttt———
Serangan Itsuki datang lagi—dahsyat, diselimuti raungan petir.
Kekuatan…
Kecepatan…
Konsentrasi…
Semuanya telah melampaui batas biasa.
Melihat caranya bertarung, seolah dia digerakkan oleh kekuatan hidupnya sendiri.
Itsuki kini menghadirkan aura yang begitu mengintimidasi.
Dua bersaudara ini…
Demi satu sama lain—
Apakah mereka benar-benar———bertarung dengan mempertaruhkan segalanya?
Termasuk hidup mereka sendiri?
Serangan petir Itsuki terus mengganas—kian buas, tak ada henti.
Lalu———
Ledakan!
Akhirnya.
Saat yang dinanti pun tiba.
Itsuki, yang berhasil lolos dari tebasanku, berhasil menyelinap ke dalam pertahananku.
Tanpa memanggil kedua Taring Petir Akhir itu———
Hanya dengan satu pukulan dari <Zero Thunderbirds>-nya———
Karapas yang melindungi perutku hancur. Inti tubuhku terbuka.
Ini buruk.
Naluri bertahan hidupku langsung menyala penuh.
Namun bahkan saat itu, mataku masih menatap Hijiri.
TIDAK———
Itu salah!
Itsuki bisa menghancurkan intiku dengan tangannya sendiri…!
Aku kacau.
Aku terlalu terfokus untuk mempertahankan pertahanan dari Hijiri.
Seharusnya seluruh perhatianku kucurahkan pada Itsuki.
Apakah aku masih sempat menyelamatkan diri———Tidak.
Aku tidak akan sempat.
———Ahh, dia sungguh… memukau.
Pada saat itu—
Aku.
Sekali lagi———
Tanda-tanda evolusi mulai muncul.
Untuk menghadapi ancaman bernama Takao Itsuki, aku mengerahkan seluruh jiwaku demi bertahan hidup———
Kini…
Pertanda itu—akan dimulai…
Atau setidaknya—seharusnya…
Kshk!
[…………———, ? , ————……………]
Di sisi karapasku———sedikit diagonal, lebih dekat ke belakang.
Sesuatu menyentuh intiku.
Apa itu… tangan?
Bahaya.
Darurat.
Kemampuan deteksi bahayaku—naluri bertarungku—bergetar keras.
Aku sadar telah melakukan kesalahan.
Namun—kenapa?
Kenapa kamu ada di sana?
Bagaimana kamu—
———menyentuh intiku?
Bagaimana dengan karapasku?
Kapan bagian itu hancur?
Kemampuan mendeteksi bahayaku?
Apakah tak bekerja karena fokusku hanya pada Itsuki?
Tidak mungkin…
Aku seharusnya melihat pergerakannya.
Aku seharusnya sadar.
Bagaimana aku bisa melewatkannya?
Waktunya.
Ini bukan po———
[< Gung———]
□
Tanda-tanda evolusi Yomibito…
Semuanya ditujukan untuk menghadapi Itsuki Takao.
Dengan kata lain, titik awal dari evolusi itu sepenuhnya mengabaikan konfrontasi dengan Hijiri.
Namun kini, naluri bertahan hidup mereka malah terarah penuh ke Hijiri.
Akibatnya———
Yomibito kehilangan “titik awal” yang semestinya memicu evolusi.
Kesempatan itu lenyap.
Dan “titik awal” itu kehilangan arahnya.
Momen penuh gemilang yang seharusnya mekar…
Telah hilang.
Yomibito, evolusinya…
Tidak digagalkan oleh Zero Thunderbird———
…melainkan oleh pengguna Tombak Ilahi,
yang pernah menunjukkan taringnya bahkan kepada Sang Dewi.
<Sudut Pandang Takao Hijiri>
Aku sudah mempertimbangkan semua informasi yang mungkin telah dibagikan antara Vysis dan Yomibito.
Kemungkinan besar mereka telah membicarakan pertempuran kami di masa lalu.
Meskipun aku mati saat itu, Dewi itu pasti takkan tinggal diam.
Dia pasti akan menyampaikan semuanya—tentang “prestasi militernya” dalam menumpas para pemberontak menyedihkan dan meracuniku hingga mati.
Selama pertempuran ini, aku telah memastikan satu hal:
Yomibito memiliki penglihatan yang sangat tajam.
Bidang pandangnya luas.
Alasan kami bergerak dari dua sisi bersama Itsuki sejak awal adalah untuk menguji jangkauan penglihatan itu.
Di sisi lain, kami juga memantau bagaimana mereka merespons area yang tak bisa mereka lihat langsung—dan bagaimana mereka menghadapinya.
Sepertinya mereka bisa merasakan keberadaan atau bahaya secara intuitif—dan bereaksi terhadapnya.
Penglihatan yang luar biasa.
Kemampuan deteksi bahaya.
Yomibito memiliki dua kekuatan ini.
Aku menjadikannya dasar dari perencanaan kami.
Lalu aku mulai berpikir—bisakah kita menciptakan celah dari situ?
Aku memutar otak, dan akhirnya… aku menyadarinya.
Pergerakan Yomibito lebih presisi dari yang kukira.
Tingkat presisi itu justru membuka celah saat terjadi gangguan.
Lalu—bagaimana caranya mengganggu presisi itu?
"Penglihatan yang bagus."
Bukan hanya soal mata atau sudut pandang.
Kemampuan mereka dalam mengamati dan memahami sesuatu juga sangat tajam.
Dengan kata lain, mereka bisa “memasukkan informasi” dari siapa pun yang ada di dalam jangkauan pandangnya.
Jadi, aku menunjukkan reaksi lemah setiap kali aku terluka.
Aliran angin di sekitarku akan memberikan “tanda-tanda” adanya luka.
Dan setiap kali aku benar-benar terkena serangan, aku menunjukkan reaksi seolah-olah aku merasakan sakit.
Sesuai rencana—Yomibito tampaknya menangkap pola ini.
Reaksi terhadap rasa sakit… tidak bisa dihapus sepenuhnya.
Meski rasa takut telah ditaklukkan, tubuh tetap merespons secara naluriah.
Selama masih ada rasa sakit—reaksi itu pasti muncul. Itu hukum mutlak.
Aku tahu itu.
Aku tidak bebas dari rasa sakit ketika bertarung melawan Vysis.
Aku hanya menahannya.
Jika memang ada rasa sakit, mustahil untuk menghapus reaksi sepenuhnya.
Tapi—bagaimana jika…
Bagaimana jika tak ada rasa sakit sejak awal?
Bagaimana jika semua reaksiku hanyalah sandiwara?
Apa yang membuat itu mungkin?
Katanya, koreksi nilai HP bisa mengurangi rasa sakit.
Tapi tidak cukup untuk menghapus reaksi sepenuhnya.
Jadi, apa yang benar-benar memungkinkan?
Jawabannya adalah:
“Peningkatan kemampuan pada banyak target, dan penurunan pada satu target.”
“Kemampuan untuk menurunkan status lawan ke level dirinya saat disentuh.”
Itulah Keterampilan Unik milik Ikusaba Asagi.
Tapi sebenarnya, dia punya satu lagi.
Saat invasi besar dari pasukan Kaisar Iblis Agung di masa lalu…
Setelah garis pertahanan terakhir di ibu kota Jonato…
Ya, itulah Skill yang digunakan Asagi untuk menyelamatkan Yonato yang terluka parah———
< Penekan Rasa Sakit >
(T/N: Nyanyian: Ratu Lebah)
Begitu aku mengetahuinya, aku langsung mendatanginya sebelum penyerbuan.
“Hijiri-tan minta kerja sama sebagai bukti kepercayaan, nyan?”
“Karena Mimori-kun sudah mengizinkanmu ikut tim serang, aku tak punya alasan buat nolak. Ya sudah, kita manfaatkan apa pun yang bisa kita pakai—gimana?”
“Mungkin aku cabut efeknya sebelum waktunya, tahu?”
“Kalau begitu, ya sudah. Nggak masalah. Kita lakukan sebisanya. Selamat tinggal.”
“Eh, jangan pergi begitu saja kayak Speedywagon-san dong. Ngomong-ngomong, boleh nanya satu hal? Asagi pengen dapat hadiah juga, nya!”
“Katakan.”
“Hijiri-tan, kamu punya cowok yang kamu suka? Secara romantis maksudnya.”
“Yah, mungkin… ada.”
“Oooh? Begitu ya… Heehhh…”
“…Kenapa kamu nanya itu sekarang? Aneh sekali. Cara kamu nanyanya juga aneh. Seolah-olah kamu cuma peduli sama lawan jenis.”
“Tapi Hijiri-paisen, kamu kayaknya tipe Onee-sama banget, ya?”
“? Kami memang kembar. Tapi secara teknis, Itsuki menganggapku sebagai kakaknya. Lalu, apa itu 'paisen'?”
“…………Onee-san, jangan bilang kamu beneran se-dungu ini? Apa aku salah baca karakter kamu? Serius… Kukira kamu sempurna, ternyata kamu punya sisi ini juga…?”
Meski caranya menjengkelkan dan suka memperlakukanku seperti orang bodoh…
Asagi tetap memberiku kemampuan itu.
Dan hasilnya…
Aku tidak merasakan sakit sama sekali.
Aku hanya mendengarkan aliran angin di sekitarku,
merasakan kehadiran musuh,
dan pura-pura bereaksi.
Sederhananya———semuanya hanya akting.
Aku berpura-pura merasa kesakitan.
Itu tugas yang sangat menegangkan.
Setiap kali aku memastikan bisa menghindari luka fatal,
aku akan menyesuaikan reaksi tubuhku.
Kalau aku merasa cukup yakin…
aku akan sengaja membiarkan bilah pedangnya melukai kulitku,
lalu menunjukkan ekspresi kesakitan.
Waktu jariku terpotong…
aku juga cukup terkejut.
Itu memang di luar perkiraan…
“Menunda reaksi… bukanlah pilihan.”
Aku sempat cemas. Tapi untungnya, reaksi yang kutunjukkan masih sesuai harapan.
Dari reaksi Yomibito, jelas mereka tidak menyadari kebohonganku.
Serangan mereka jadi lebih mudah diantisipasi daripada yang kukira.
Aliran angin di sekitarku memberitahuku lintasan dan jangkauan bilah mereka.
Tentu saja, aku tidak bisa bilang bahwa aku melawan mereka dengan santai.
Itu tetap pertempuran yang sulit.
Ngomong-ngomong, saat aku beradu pedang dengan Yomibito menggunakan pedang panjang…
Aku merasa sedikit mati rasa—rupanya.
Tapi saat itu, indra perasaku menafsirkannya sebagai rasa sakit.
Jadi aku menyangka tanganku sedang kram.
Namun saat aku melancarkan serangan penentu…
Aku sepenuhnya menghentikan semua “reaksi palsu”.
Yomibito selama ini mengandalkan reaksi terhadap rasa sakit—dan membentuk strategi mereka berdasarkan itu.
Dengan membaca pola gerakku, mereka bisa mengantisipasi langkah berikutnya.
Maka aku hancurkan pola itu.
Reaksi yang mereka tunggu—tidak datang.
Waktu yang mereka perkirakan akan muncul—meleset.
Tepat saat aku bergerak untuk melancarkan serangan terakhir———
Yomibito pasti berpikir:
“Satu luka kecil akan menimbulkan ‘rasa sakit’ dan sedikit memperlambat gerakannya.”
“Luka ringan saja cukup. Itu akan memberi jeda sesaat pada serangannya.”
“Cukup waktu untuk menangani Hijiri.”
“Kalau begitu, kita bisa memindahkan fokus ke Takao Itsuki.”
Ya, mereka pasti mengambil keputusan seperti itu.
Dan menilai waktunya dengan salah.
Semuanya berjalan sesuai rencana.
Sebuah celah kecil dalam kesadaran mereka—
itu cukup untuk membuatku mendekat ke titik fatal.
Lalu, soal bagaimana karapas Yomibito bisa hancur…
Aku membuat lubang menyerupai bor menggunakan bilah angin dalam kecepatan maksimal.
Sebagai persiapan, aku juga telah sedikit demi sedikit mengikis karapas mereka sepanjang pertempuran.
Kenapa kemampuan deteksi bahaya mereka tidak menyadarinya?
Karena sepanjang pertarungan, mereka mengabaikan bilah anginku.
Mereka terus diserang oleh bilah-bilah itu—tapi tidak merespons.
“Meskipun karapasnya sedikit rusak, pasti bisa regenerasi.”
“Tak mungkin menembus bagian dalam.”
Pasti begitu penilaian mereka.
Yomibito tampaknya sangat rasional saat bertarung.
“Jadi, mereka tidak akan mengalokasikan sumber daya untuk hal yang tak perlu.”
Itulah yang kuasumsikan.
Sesuai rencana, kewaspadaan mereka terhadap bilah angin milikku menurun secara bertahap.
“Baling-baling angin tidak jadi masalah.”
Sepanjang pertempuran, aku memastikan: mereka tidak merasakan sensasi dengan karapasnya.
Tak ada reaksi terhadap panas atau dingin juga.
“Pada titik tertentu, dari bagaimana mereka bereaksi sepanjang pertarungan, seolah-olah mereka bahkan tidak sadar itu ada.”
Kesimpulanku adalah:
Bahkan ketika aku membuat lubang dengan bilah angin, mereka tetap tak menyadari ancaman itu.
Karena mereka tak lagi menganggap “bilah angin” sebagai sesuatu yang patut diwaspadai.
Itulah celah yang kugunakan.
Kalau Yomibito memiliki cara untuk menghindar—
Mereka pasti sudah memperkirakan kemungkinan itu.
Tapi———dengan <End> milik Itsuki yang menunjukkan peningkatan kekuatan serangan melalui kompresi———
Mungkin bilah anginku juga bisa melakukannya.
Aku pernah melakukannya dengan jenis serangan berbasis angin lainnya.
Tapi belum pernah mencoba hal ini dengan bilah angin secara khusus.
Tujuannya?
Agar mereka menganggap hal itu mustahil.
Walau begitu———bagian dari semua ini masih sekadar spekulasi.
Tak bisa dipastikan apakah langkah ini benar-benar akan jadi kunci pembuka kemenangan.
Tapi setelah keterampilan Itsuki berevolusi———
Sebagian besar kemampuan deteksi bahaya milik Yomibito
terfokus sepenuhnya padanya.
Tak perlu diragukan lagi—Itsuki adalah poros dari seluruh pertempuran ini.
Variabel tak terduga dalam pertarungan ini adalah perkembangan kemampuan MP dan skill Itsuki.
Aku tahu: Itsuki mungkin tak punya cukup MP untuk menggunakan <End> dua kali.
Itu terlihat dari tatapan dan reaksinya.
Karena itu…
Aku siap mengambil risiko.
Menangani satu serangan <End> sendiri.
Aku tak menyalahkan Itsuki.
Mungkin terlalu banyak MP yang habis untuk menghindar menggunakan <One>—
hingga akhirnya ia tak bisa sepenuhnya keluar dari situasi ini.
Perkembangan musuh yang tiba-tiba di tengah kondisi genting seperti ini jelas berada di luar perkiraan kami.
Tapi kemudian———Itsuki berevolusi.
Dan itu mengubah seluruh jalannya pertempuran.
Tidak—justru berkat itulah, kami bisa mencapai “hasil ini”.
Bahkan, dengan bangkitnya Itsuki, peluang menang kami meningkat drastis.
Melihat adikku bertarung—aku tahu firasatku tak salah.
Seperti yang sudah kuduga, bakat bertarung Itsuki jauh melampaui milikku.
Tiga katana diarahkan padanya, dan sebagian besar indra Yomibito tertarik olehnya.
Mereka pasti mengingat skenario koordinasi dari pertemuan sebelumnya.
Berpikir: “Hijiri mungkin akan menembakkan <Gungnir> ke lubang yang dibuat oleh Itsuki.”
Atau sebaliknya: “Meski urutannya dibalik, kami mungkin akan menyerang titik itu secara bergantian.”
Jika Itsuki tak bangkit… itu satu-satunya rencana yang kami miliki.
Jalan yang jauh lebih berat—yang kemungkinan mengharuskanku untuk mengorbankan nyawa.
Namun Itsuki———saudara kembarku…
Dia membuka jalan menuju masa depan.
Maka aku tak perlu lagi mempertimbangkan untuk mengorbankan hidup ini.
Karena———
Aku berhasil melepaskan serangan itu.
Satu serangan yang menentukan.
Keajaiban ini—bahwa aku bisa terlahir ke dunia sebagai belahan jiwamu…
Itu adalah hal yang paling kubanggakan dari lubuk hatiku.
Sekarang—
Dengan mantraku…
Tusuk musuh itu.
[< Gungnir >]
Post a Comment for "Novel Abnormal State Skill Chapter 391"
Post a Comment