Bab 186 – Akulah yang Terhebat di Dunia! Aku Benar-Benar Kuat!
Setelah melewati Gerbang X, Ark tiba di sisi gelap bulan. Bulan itu sendiri telah dihancurkan oleh Aigokeros, namun yang satu ini bukanlah bulan dari dunia asal mereka. Ini adalah bulan milik Bumi—di alam semesta lain.
Dari dalam Ark, Virgo menatap planet biru di bawah mereka dengan sorot mata penuh kekaguman dan harapan.
"Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah percaya padanya… dan menunggu, ya?" gumam Virgo. "Siapa sangka, pada akhirnya, kita malah tersingkir hanya karena kurangnya daya tempur."
Castor mengepalkan tinjunya, gumamnya pahit. Penyesalan membebani hatinya, seperti halnya yang dirasakan semua orang yang tertinggal—para Dua Belas Bintang dan juga Terra. Mereka telah bersiap menghadapi medan perang apa pun demi Ruphas, siap mengorbankan segalanya. Namun, kenyataannya—pertarungan telah melampaui batas, ke titik di mana mereka bahkan tak bisa berdiri di arena pertempuran. Yang tersisa hanyalah menunggu dalam diam.
Terutama Leon. Ia jauh lebih gusar dibandingkan yang lain. Karena dia percaya, dengan keyakinan yang nyaris arogan, pada kekuatan dirinya sendiri.
"Dina," panggil Libra, suaranya tenang namun sarat tekanan. "Kau satu-satunya yang tahu kekuatan sejati sang Dewi. Bisa kau perkirakan bagaimana ini akan berakhir?"
Semua mata tertuju padanya. Satu-satunya yang benar-benar memahami Dewi itu... adalah dirinya sendiri—Dina, sang perwujudan dari Dewi tersebut.
Meski enggan, Dina membuka suara, wajahnya tegang.
"Jika… Jika kau mencoba menulis level dan statusnya… maka itu akan menjadi rangkaian angka sembilan yang memanjang hingga ujung semesta… lalu memutar balik lagi. Tak ada satu pun cara untuk mengukur kekuatannya."
"...Dengan kata lain?"
"Jika dilakukan dengan metode biasa, maka tidak akan ada satu makhluk pun yang bisa menang. Itu sebabnya dia adalah dewa."
Namun, begitu kalimat itu meluncur, Scorpius langsung menerjang dan mencengkeram kerah pakaian Dina. Cengkeraman itu nyaris membuat Dina kehabisan napas. Tapi Libra sigap menarik Scorpius menjauh.
"Berhenti mengoceh! Tak mungkin Ruphas-sama akan kalah!"
"…Itulah kenapa kubilang, 'kalau itu dilakukan secara normal.' Tapi cara yang digunakan Ruphas-sama… jauh dari kata normal."
Dina terbatuk pelan sambil merapikan pakaiannya yang kusut. Libra, yang menahan Scorpius yang masih bergejolak, menyerahkannya ke Leon. Pemuda itu menahan rekannya dengan ekspresi muak.
"Asimilasi semesta—itu adalah sihir Dewi yang dimanipulasi demi berdiri di ranah yang sama dengannya. Sebuah metode yang kami ciptakan… meski tidak bisa disebut metode sebenarnya. Tak ada kelemahan. Bahkan strategi pun tak berarti. Tak ada celah untuk dieksploitasi demi mengalahkannya... Karena itu, meski terdengar kasar, satu-satunya jalan adalah membanjirinya dengan kekuatan murni."
Seandainya saja Dewi memiliki kelemahan yang jelas… mungkin akan lebih mudah.
Misalnya: sebuah objek yang bila dihancurkan akan melemahkannya; sebuah item langka yang bisa menekan kekuatannya sementara; skill ajaib yang bisa membunuhnya; atau mungkin sebuah pedang sakti yang dirancang untuk memusnahkan Dewi…
Jika saja hal-hal seperti itu ada… setidaknya akan ada secercah harapan.
...Namun—tidak. Tidak ada yang seperti itu.
Dia tidak sempurna. Faktanya, kecerdasannya sebagai Dewi tergolong buruk—cukup mudah untuk ditipu. Tapi kekuatannya? Terlalu absolut. Kekurangannya tak lagi relevan di hadapan kekuatan seperti itu.
"K—Kalau begitu, Ruphas-sama bisa menang, kan?"
Aries berseru, nada suaranya optimis.
Namun, Dina menjawab dengan dingin, "Kemungkinannya sangat kecil. Paling banter... nol koma satu persen."
"Terbelahlah—Timbangan Seleksi, Brachium!"
Ruphas melontarkan arus kehancuran untuk menandingi ledakan hypernova yang melesat dari hadapan mereka. Waktu tak lagi punya arti di tempat ini—batasan seperti “sekali sehari” telah lama lenyap. Cahaya kehancuran yang berputar melilit itu membidik seluruh gugus supergalaksi.
Jika musuh menyerang dengan bintang yang meledak, maka cukup hancurkan bintang-bintang itu terlebih dahulu. Mata dibalas mata, bintang dibalas semesta.
Sejak awal, ia tidak pernah mengandalkan trik murahan untuk menang melawan entitas sekuat ini. Ini adalah duel murni antara kekuatan dan kekuatan, kehancuran melawan kehancuran—sebuah pertarungan untuk menentukan siapa yang benar-benar berkuasa. Maka dari itu, tak ada yang namanya strategi. Atau lebih tepatnya—tak ada strategi yang layak.
—Gunakan kekerasan duluan. Itulah satu-satunya jalan untuk membuka celah.
Saat serangan Alovenus ditangkis, Benetnash dan Orm terjun menyerang, melepaskan rentetan serangan terhadap sang Dewi. Kecepatan mereka sudah melewati batas akal. Serangan mereka terjadi di saat yang sama ketika keputusan untuk menyerang dibuat—mustahil dihindari. Namun…
Semuanya dihentikan oleh sebuah dinding tak terlihat yang berdiri kokoh di hadapan sang Dewi.
…Strategi? Siapa peduli! Dia tidak punya kelemahan untuk dipelajari. Bahkan memikirkannya pun hanya buang-buang waktu. Mereka hanya perlu menyeruduknya langsung. Apa lagi pilihan yang tersisa dalam pertarungan pamungkas seperti ini?
"Ah--!"
“Oh——!”
Gelombang serangan dari Benetnash dan Orm menghantam dinding tak kasatmata itu. Tumbukan serangan yang lebih cepat dari cahaya menciptakan massa tak terhingga, membentuk lubang hitam di titik tumbukan—mengguncang seluruh semesta.
Tapi… kerusakan? Reaksi? Itu semua sudah tak berarti di medan ini.
Orm pun berubah ke bentuk ouroboros, melingkar bagai ular kosmik, lalu memuntahkan semburan cahaya pemusnah. Serangannya langsung mengarah ke Dewi—pukulan telak. Cahaya itu menjalar hingga ujung semesta dalam sekejap, menghancurkan planet, bintang, bahkan galaksi yang dilewatinya.
…Namun, sang Dewi tidak mengalami luka sedikit pun. Tidak ada goresan, tidak ada reaksi.
"The Maiden Who Fires the Silver Arrow!"
Benetnash mengangkat tangan dan memanggil sihir terkuatnya, sihir Bulan yang misterius. Sebuah panah perak ditembakkan menuju Alovenus. Ukurannya—lebih besar dari bintang mana pun. Panah itu melesat cepat, menghapus banyak galaksi dalam lintasannya.
Namun hasilnya?
Dewi hanya tersenyum kecil, lalu menjepit panah itu dengan dua jari… dan memadamkannya seperti meniup lilin yang padam tertiup angin.
"Datanglah—He Who Gnaws at the Roots… Transmute! The Mocking Slaughterer!"
Ruphas mengangkat tangannya. Sebagian besar alam semesta di sekitarnya langsung disulap menjadi bahan mentah bagi teknik alkimia terhebat yang pernah ada. Dan dari kehampaan itu… lahirlah seekor naga hitam raksasa.
Tidak. Kata “raksasa” tidak lagi cukup untuk menggambarkannya. Dibanding makhluk itu, ouroboros hanya terlihat seperti bakteri. Tubuhnya melingkar dan berputar, cukup besar untuk menelan seluruh semesta dalam sekali lilitan.
Tatapannya saja cukup untuk mengubah bintang jadi debu. Napasnya bisa melenyapkan galaksi. Ia adalah makhluk legenda—si pemangsa Pohon Dunia yang akar-akarnya tertancap di dasar semesta. Raungannya menggema di seluruh penjuru realitas.
"GRRRROAAAAAARRRR!"
Raungan itu menggetarkan seluruh struktur alam semesta. Bintang-bintang yang tersisa meledak menjadi partikel dasar. Massa luar biasa dari tubuhnya menciptakan gravitasi super yang melipat ruang, menghancurkan realitas hanya dengan kehadirannya. Ia adalah bencana yang hidup, manifestasi dari kehancuran murni.
Namun… Alovenus hanya menatapnya—lalu terkekeh kecil.
“Lucu sekali.”
Dengan satu ketukan ringan dari jarinya, naga itu… lenyap. Tak bersisa. Seolah-olah semua kemegahan itu hanyalah ilusi belaka. Teknik pamungkas Ruphas… hancur seperti debu.
Bahkan Ruphas, sejenak, terdiam menatap kehampaan di depannya.
"Hehe… Memang luar biasa kuat… Tapi semua itu tidak akan berarti, kecuali kau naik ke tingkatan berikutnya."
Sang Dewi bicara dengan nada santai, seolah mereka sedang bercakap di taman. Padahal, mereka berada di medan pertempuran tempat bahkan cahaya pun enggan bergerak. Tapi tentu saja, Alovenus bukan makhluk biasa. Dia bisa melipat hukum alam sesuka hatinya, membelokkan realitas semudah menyobek kertas.
Memang, percakapan di ruang hampa seperti ini sudah cukup aneh. Namun, semua yang terjadi di sini… sudah jauh dari akal sehat. Segala yang ada kini telah melampaui nalar. Tapi satu hal tetap tak berubah:
—Yang paling kuatlah yang akan menang. Itu hukum mutlak yang tak akan pernah berganti.
“Cih! Membakar, api pembunuh dewa—Hamal!”
Ruphas mengangkat tangan, dan dari telapak tangannya melesat nyala api berwarna hitam legam—api Aries, kekuatan destruktif yang mampu memangkas separuh HP maksimum lawan… tanpa peduli berapa digit jumlahnya.
Entah itu novemdesilion, vigintilion, atau centilion—api ini akan tetap memangsa separuhnya.
Namun, Ruphas tak berhenti di situ. Ia segera menggabungkan serangan itu dengan skill Ex Coalesce, mengintegrasikan efek dari Deneb Algedi milik Aigokeros. Hasilnya adalah luka permanen, kerusakan yang tak bisa dipulihkan. Api hitam itu menyelimuti tubuh Alovenus—api yang konon sanggup membakar dewa itu sendiri.
Namun, Dewi itu bahkan tidak bergerak. Tak ada rasa gentar di matanya, hanya senyum santai yang terus ia pertahankan.
“Hehe. Begitu aku terkena serangan itu, aku langsung menaikkan HP-ku sepuluh digit. Jadi... seranganmu ini tidak lebih dari debu yang menempel di jubahku.”
“Quick Raid!”
Benetnash muncul dari samping, kecepatannya melejit melampaui nalar. Dia melepaskan serangkaian serangan kilat—cepat, lebih cepat, dan terus semakin cepat! Batas kecepatan sudah tak ada artinya baginya. Dia menembus ketakterbatasan dan terus melaju—melampaui dirinya yang sebelumnya. Itu satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Namun…
“Tak ada batas bagi imajinasi akan kekuatan,” ujar Alovenus, menatap Benetnash tanpa rasa gentar. “Ambil contoh. Pernahkah kalian memperdebatkan siapa yang lebih kuat—karakter dari cerita A atau dari cerita B? Katakanlah tokoh dari cerita A bisa menghancurkan semesta. Tapi lalu cerita B menyatakan bahwa satu semesta hanyalah sel dari multisemesta yang lebih besar.”
Begitu kata-kata itu diucapkan, semesta mulai menyusut. Ruang menciut, waktu meringkuk. Hingga akhirnya, Ruphas dan yang lain bisa melihat semesta secara keseluruhan dari luar. Di luar sana… hamparan kosmos tak berujung membentang.
Namun Dewi itu belum selesai.
"Lalu datang cerita C dan menyatakan bahwa multisemesta tadi hanyalah satu sel dari kosmos yang lebih besar lagi."
Seketika, multisemesta ikut menciut—dan cakrawala kenyataan pun merekah, menunjukkan bahwa semesta hanyalah titik debu di atas debu yang lebih besar.
Di tengah monolog itu, Ruphas dan yang lain tetap menyerang. Serangan racun Scorpius meluncur, Orm mengaktifkan napas senjatanya. Tapi Dewi itu tetap melanjutkan bicaranya seolah tak terjadi apa-apa.
“Dan kemudian,” lanjutnya santai, “datang kisah lain, memperkenalkan tokoh baru yang bisa mengalahkan sang karakter terkuat dengan satu pukulan. Maka karakter itu jadi yang terkuat. Tapi kemudian dia dihabisi seperti anak kecil oleh tokoh berikutnya. Dan yang itu pun dikalahkan oleh seseorang yang lebih cepat lagi, yang bisa dijentik mati oleh yang lain, dan seterusnya... Hehehe, ini umum sekali dalam fiksi, bukan?”
Alovenus merentangkan tangannya. Cahaya mulai berkumpul di sana—bukan cahaya biasa, tapi cahaya yang bisa menghancurkan seluruh realitas. Cahaya yang membawa kehancuran bagi ratusan, ribuan, bahkan jutaan dunia.
Dia sudah berada di alam para dewa sejati. Skala kekuatannya… terlalu masif untuk dibandingkan.
“Semua ini hanya seperti permainan anak-anak. Pernahkah kau main begitu, Ruphas? Dua anak kecil, satu menyerang dengan ‘sinar ultra’ raksasa, yang lain memblokir dengan ‘penghalang super’. Lalu si penyerang bilang, ‘Sinar ini bisa hancurkan segalanya!’ dan si pembela membalas, ‘Tapi ini penghalang tak bisa dihancurkan!’ Tak ada ujungnya, bukan?”
Tawa kecilnya mengalun pelan. Sebuah tawa yang mencerminkan keyakinan mutlak—bahwa ia tak akan pernah kalah.
Bahkan jika seandainya dia kalah… ia cukup menulis ulang realitas. Mengubah aturannya. Menciptakan kondisi baru. Dan dia kembali jadi yang terkuat. Sesederhana itu.
“Biar kuperjelas—kekuatanku tidak terbatas. Aku bisa melapisi satu aturan di atas aturan yang lain. Misalnya… kau mendapat kekuatan luar biasa untuk mengalahkanku. Maka cukup aku bilang: ‘Kekuatanmu tak berlaku padaku, dan aku bisa mengalahkanmu dengan satu jari.’ Terdengar konyol? Memang. Tapi terkadang, satu kalimat yang tak masuk akal bisa melampaui logika apa pun.”
Kekuatan Alovenus meledak. Ledakan kosmik mengguncang realitas. Ruphas dan yang lain berusaha bertahan, menahan, bahkan mencoba mengasimilasi kekuatan itu. Tapi Alovenus hanya terbang… dan menjentikkan jari.
Tiga dari mereka—Ruphas, Benetnash, dan Orm—terlempar sekaligus.
Mereka membalas serangan. Tapi kecepatan mereka—yang seharusnya tak terbatas—terlihat lamban di mata Dewi itu.
“Kecepatan tak terbatas? Hebat,” katanya sambil menguap. “Kalau begitu, biar kubalas begini: ‘Di hadapanku, kecepatan tak terbatas itu cuma angka satu. Dan aku seratus kali lebih cepat.’”
Dia tersenyum lagi.
“Kalau kau punya kekuatan tanpa batas, maka aku akan katakan: ‘Bahkan ketakterbatasan itu hanyalah satu. Masih ada ketakterbatasan lainnya di luar sana.’ Jika kau lampaui itu… ya sudah, aku tinggal melampaui yang lebih dari itu. Dan kalau kau terus jadi lebih kuat, maka aku akan jadi seribu kali lebih kuat lagi.”
“Lalu, apa langkahmu berikutnya?” suara Alovenus menggema, nyaris seperti bisikan dari dimensi lain.
“Serangan instan yang langsung membunuh musuh hanya dengan menatap mereka? Kemampuan yang secara otomatis menyerap semua kekuatan lawan hanya dengan keberadaanmu? Atau mungkin… sifat khusus yang membuatmu selalu lebih kuat dari siapa pun yang kau hadapi?”
Nada suaranya meninggi, semakin menyerap perhatian siapa pun yang mendengarnya.
“Mundur ke masa lalu untuk membatalkan kejadian? Menjadi makhluk berdimensi lebih tinggi yang bisa menyobek pengaturan dunia seperti kertas usang? Kekuatan untuk meniadakan segala jenis kemampuan? Penghalang mutlak yang bisa memantulkan serangan dengan kekuatan berlipat ganda? Konstitusi yang mampu memanipulasi konsep kemenangan dan melewati seluruh proses untuk meraih kemenangan mutlak? Atau bahkan, cheat yang menanamkan ‘konsep kekalahan’ pada musuh, menjamin bahwa mereka akan kalah tidak peduli apa pun yang terjadi?”
Senyumannya melebar, penuh ejekan.
“Dan tentu saja… kekuatan absolut yang mampu menembus dan membinasakan segalanya tanpa pengecualian.”
Dia menyeringai, senyuman sang Dewi yang mengejek seluruh eksistensi.
“Apa pun itu, silakan pakai sesuka hati. Tak satu pun akan berhasil.”
Ucapannya bagaikan palu godam bagi harapan. Alovenus bukan sekadar kuat—ia adalah definisi dari ketidakterjangkauan itu sendiri.
Saat itu, sebuah ledakan besar menggema.
—Cahaya awal penciptaan. Big Bang.
Meledak… lalu meledak lagi. Berkali-kali.
Alam semesta lahir, lenyap, lalu lahir kembali tanpa henti—seolah sedang dihapus dan ditulis ulang berulang kali seperti kertas coretan anak kecil. Di tiap siklus, yang lebih besar lahir menggantikan yang sebelumnya.
Apakah dia hanya bermain-main? Atau sekadar iseng menciptakan dan menghancurkan semesta?
Entahlah.
Yang jelas, pada satu titik, dia menatap semesta baru yang ia ciptakan… tempat Ruphas dan yang lain kini hanya terlihat seperti butiran debu kecil di sudut realitas yang tak penting.
“End of the World—Big Crunch, seratus kali lipat.”
Tiba-tiba, dunia yang tak terhitung jumlahnya hancur dalam satu kedipan mata. Semuanya runtuh bersamaan.
Skalanya terlalu besar untuk dipahami oleh makhluk mana pun. Bagi Alovenus, semua ini mungkin bahkan tidak berarti apa-apa. Bahkan ia sendiri tampaknya sudah tidak memikirkan lagi besar-kecilnya kekuatan yang ia gunakan.
Kekuatan ini… membuat seluruh pertarungan sebelumnya terasa seperti permainan anak-anak.
Inilah alasan mengapa dia dikenal sebagai eksistensi mahakuasa.
Meskipun secara teknis dia bukan dewa maha tahu atau maha kuasa seperti para pencipta dunia sebelumnya, Alovenus memiliki kekuatan yang jauh lebih sederhana dan sekaligus tak terbandingkan—kekuatan untuk membunuh bahkan makhluk mahakuasa dengan satu jentikan jari.
Namun ironisnya, kekuatan besar itu bersemayam dalam sosok yang begitu kekanak-kanakan.
Terlalu muda.
Terlalu manja.
Terlalu... absurd.
Tapi itulah yang membuatnya menjadi makhluk terkuat.
Di tengah kehancuran semesta yang terjadi tanpa jeda, Ruphas dan rekan-rekannya akhirnya sadar…
Mereka sedang menghadapi sesuatu yang berada jauh… jauh… di luar batas dari apa yang seharusnya bisa dilawan.
Catatan Penulis
Inflasi-san: “…… (ヽ '' ω`)”
Hukum Fisika-san: "...Kalau sudah sejauh ini, aku bahkan tak bisa berkomentar lagi."
Konservasi Massa-san: "Hei, dia bakal mati karena kerja rodi begini."
Deflasi-san: “Setiap minggu terasa seperti Golden Week!”
Kepala Departemen: “Ah, Inflasi-kun. Aku ada lebih banyak kerjaan buatmu minggu depan. Jadi mulai sekarang, kerahkan segalanya, ya.”
Inflasi-san: “…… (ヽ '' ω`)”
The Mocking Slaughterer: “Di pertarungan terakhir ini, aku akan keluarkan teknik pamungkas Ruphas ke potensi maksimalnya!”
Alovenus: "Lucunya."
(💢ペシッ)
The Mocking Slaughterer: “(゜д゜)…”
The Mocking Slaughterer: “(゜д゜)…”
Hukum Fisika-san: "...Yah, semangat saja, deh."
Deflasi-san: “Aku tahu kamu kuat… tapi ya… lawanmu keterlaluan banget.”
Midgard: “Ruphas terlalu nekat. Seharusnya dia nggak ngajakmu ikut kalau ujung-ujungnya cuma buat disapu bersih kayak anjing ketabrak.”
Akal Sehat-san: “Katanya aku bahkan udah nggak eksis lagi… Yuk, kita minum sampai lupa malam ini.”
The Mocking Slaughterer: “。・゜・(/Д`)・゜・。”
No comments:
Post a Comment