Bab 162 – Golem Menggunakan Mega Punch!
Tiga Pahlawan kini berdiri bahu membahu.
Bukan lagi sekadar kumpulan pejuang tersisa. Bukan sekadar simbol masa lalu yang nyaris terlupakan.
Mereka kini berjuang sebagai satu—sebagai sekutu.
Di tengah dunia yang membusuk oleh kekuasaan absolut dan keputusasaan, tekad mereka—betapapun lemah dan rapuhnya—berhasil menyalakan secercah cahaya. Mereka tak punya kekuatan besar, tak punya kekuasaan seperti Twelve Star. Tapi mereka melakukan hal yang tak dilakukan siapa pun:
Mereka terus bertahan.
Namun, seperti takdir yang selalu menertawakan harapan... bencana datang tepat saat semangat mulai bersatu.
Tepuk tangan terdengar.
Seolah-olah... seseorang telah menunggu momen itu.
“Indah sekali. Meskipun lemah, sang Pahlawan tak menyerah. Terus mencari... terus berjalan... hingga berhasil menggerakkan waktu bagi Pahlawan lainnya. Sungguh mengagumkan.”
Suara itu menggema dari kegelapan.
Megrez tak menunggu aba-aba. Begitu suara terdengar, ia langsung melemparkan sihir es ke arah sumber suara—tanpa mantra, tanpa peringatan.
Sebuah rudal es ditembakkan, membekukan dinding dalam hitungan detik.
Mungkin ia memilih sihir es karena khawatir sihir air bisa menembus dinding dan membahayakan rumah-rumah penduduk.
Reaksinya cepat. Jelas bahwa ia adalah seorang veteran sejati. Meskipun telah pensiun dari pertempuran garis depan, perbedaan antara dirinya dan Pahlawan muda seperti Sei tetap seperti langit dan bumi.
Namun—
“Kecepatan reaksimu mengesankan. Aku sedikit terkejut.”
Suara itu muncul dari arah berlawanan.
Pemiliknya? Seorang pria berkulit putih pucat, berdiri santai menyandarkan punggung ke dinding, tanpa terlihat sedikit pun terkejut.
Rambut perak. Mata keemasan. Sikap tenang dan nada bicara penuh superioritas.
Ia mungkin berasal dari ras iblis, tapi aura yang memancar darinya jauh melampaui Seven Luminaries biasa.
“Siapa kau?” tanya Megrez tajam.
Pria itu tersenyum tipis.
“Namaku Sol. Salah satu dari Seven Luminaries. Sol dari Surga, begitulah sebutannya… meskipun gelar itu sudah kehilangan artinya akhir-akhir ini.”
Begitu mendengar nama itu, Sei, Megrez, Merak, dan yang lainnya langsung mengambil posisi bertahan. Senjata ditarik. Aura meningkat.
Sarjes—si spiderkin lincah—menjadi yang pertama menyerang.
Melompati dinding dengan gerakan seperti bayangan, ia melesat ke belakang Sol. Tangan berbentuk pisau ditikamkan ke leher musuh, cepat dan mematikan.
Namun—
“……!”
Tangan itu berhenti.
Bukan karena dihindari. Tapi karena tidak mampu menembus kulit Sol.
Sol menoleh pelan.
“Kau belum membersihkannya dengan benar. Ada serangga di rumah.”
Dengan satu tamparan sepele dari punggung tangan, ia menghempaskan Sarjes jauh ke dinding—menembus rumah-rumah warga, sebelum menghilang dalam kepulan debu.
Serangan itu... bukan serangan.
Itu hanya seperti orang yang mengibaskan nyamuk.
Gants dan Jean menyerang dari depan. Kapak dan pedang mereka menghantam kepala dan perut Sol.
Namun hasilnya—
Tidak satu pun goresan. Seolah-olah mereka memukul balok baja.
Friedrich segera menarik mereka berdua mundur, tepat sebelum serangan balasan Sol bisa menghantam.
Di mata Friedrich, ia sempat melihat... ilusi kematiannya sendiri.
“Setidaknya kau cukup peka. Kau tahu akan mati kalau melangkah lebih jauh,” gumam Sol.
Senyumnya tetap tenang. Tidak angkuh, hanya... yakin.
Kemudian, dari belakang, sebuah golem menyerang.
Itu adalah ciptaan Mizar, Golem Blutgang. Sayangnya, karena hanya dikendalikan kurcaci biasa, levelnya tak tinggi. Sol dengan mudah menghancurkan lengan golem itu seperti mematahkan ranting kering.
Namun, tepat saat itulah—
Golem lain muncul. Besar, kokoh, berkilau perak, bermata satu.
Gatekeeper.
“Invader terdeteksi. Eliminasi dimulai.”
Tinju baja raksasa menghantam Sol dari belakang.
Sol terpental—melewati dinding, menembus beberapa rumah, sebelum suara tabrakan besar terdengar di kejauhan.
Meski beberapa bangunan hancur, tidak ada korban. Gatekeeper telah memperhitungkan semuanya.
Jean menatap golem itu, tercengang.
Dia mengenalinya.
Penjaga Makam Astraea.
“Ha-ha-ha! Terkejut, ya? Aku memperbaikinya bersama Ruphas saat membangun Astraea!” seru Mizar bangga.
“…Jadi ini yang kau sembunyikan di atap rumahku…” gumam Megrez.
“Bukan sembunyi. Aku hanya menunggu saat bisa berkata, ‘Sudah kubilang akan berguna, kan?’”
Megrez dan Merak menanggapi canda Mizar dengan santai. Namun tubuh mereka tak tinggal diam—formasi tempur sudah disiapkan.
Megrez memanggil Levia, sang naga air penjaga danau. Sementara Merak mengaktifkan sihir ilahi pendukung.
Levia melindungi para Pahlawan dan rekan mereka, lalu bersama Gatekeeper, mereka meluncur meninggalkan ibu kota.
Di kejauhan, Sol berdiri di tengah pegunungan, tampak tak terluka.
Ia seolah tahu bahwa Gatekeeper berniat menjauhkannya dari kota untuk melindungi warga… dan membiarkan dirinya dipukul.
“…Raja Singa, ya?” gumamnya.
Namun yang datang bukan Raja Singa.
Yang datang adalah—
Di sisi lain, Megrez, Merak, Friedrich, Jean, Gants, dan para kurcaci naik ke punggung Levia dan Gatekeeper. Mereka kini berada di pegunungan terjal—tempat di mana dampak pertempuran tak akan melukai siapa pun selain mereka sendiri.
“Sudah jauh dari permukiman… kalian bisa bertarung sepuasnya.”
Sol berdiri di hadapan mereka. Tak satu pun goresan terlihat di tubuhnya meski telah dihantam tinju raksasa Gatekeeper barusan.
Gatekeeper dan Levia menempatkan diri di posisi depan. Levia berputar di langit, siaga di udara. Sementara golem bersenjata berat menjaga dari darat.
Namun Sol hanya mengangkat tangan, dan—dengan gerakan santai—menerjang ke depan.
Gatekeeper menyambutnya, melepaskan tinju bertubi-tubi. Tinju pertama menghantam udara. Tinju kedua menghantam bahu Sol, namun tak menimbulkan luka sedikit pun.
Tinju ketiga—Sol menahannya dengan telapak tangan.
“Begitu ya. Kau tidak sekuat Raja Singa yang dulu,” gumamnya, lalu mencengkeram lengan Gatekeeper dan memutarnya hingga—BRUK!—bahu golem itu terpelintir dan copot dari engselnya.
Sol melompat, melesat ke atas dan menendang tubuh Levia. Naga itu terguncang, namun segera membalas dengan semburan air bertenaga sihir tinggi.
Tapi Sol hanya menyilangkan tangan dan menahan semuanya. Tak bergeming.
Friedrich dan Jean bergerak serentak. Mereka menuruni Levia dan menyerang dari sisi kanan dan kiri. Jean memutar tombaknya, sementara Friedrich menebas dengan kecepatan tinggi.
Sol tak menangkis. Ia menahan serangan mereka dengan tubuhnya sendiri—dan menang.
Saat Friedrich menebas, Sol memutar pergelangan tangan dan menangkap pedangnya, lalu melempar pria itu ke tanah seperti karung beras.
Jean mencoba menusuk dari belakang, tapi Sol mencengkramnya dan melemparnya ke langit—langsung ke arah Levia, memaksa naga itu menangkapnya agar tak jatuh.
“Menyerang bersama itu bagus. Tapi kalau kalian tak punya kekuatan dasar untuk menembus kulitku, ini hanya jadi permainan anak-anak.”
Tiga kurcaci mencoba membantu, menembakkan peluru magis dari atas Gatekeeper. Tapi Sol mengabaikannya sepenuhnya. Bahkan saat terkena peluru, ia tetap berjalan pelan ke depan, seolah tak terjadi apa-apa.
Merak menyalurkan sihir suci dari udara, memanggil pilar cahaya ilahi untuk menahannya. Namun Sol menatap ke atas dan mengangkat tangan.
Dengan satu ayunan, pilar cahaya suci itu terbelah dua seperti kelopak bunga.
Dan kemudian, ia menengadah ke langit—memandang Levia, makhluk naga air kuno yang tubuhnya berputar di antara awan.
“Jatuhlah,” ucap Sol ringan.
Seketika, pusaran angin besar terbentuk di atas kepala Levia.
Sihir udara?
Tidak.
Itu adalah manipulasi gravitasi—kekuatan dari luar sistem Midgard.
Naga air itu bergetar keras, lalu tubuh raksasanya ditarik jatuh dari langit, menghantam tanah dengan dentuman yang membuat tanah pegunungan retak. Friedrich dan Jean nyaris terpental.
Levia mencoba bangkit, tapi kakinya patah. Nafasnya terengah. Tanda-tanda kelelahan terlihat jelas.
Melihat itu, Gatekeeper maju lagi.
Golem itu melompat—mesin baja seberat ratusan ton—dan menghantam Sol dari atas.
Ledakan tercipta. Kabut debu menutupi segalanya.
Para kurcaci bersorak. Friedrich dan Jean menegakkan tubuh mereka, berharap...
Namun dari tengah kawah itu, sosok Sol masih berdiri tegak.
Gatekeeper kini sudah tak punya satu lengan dan kaki. Bahunya remuk. Dan matanya—retak.
“Tak buruk... kalau semua ini hanya dari kenangan masa lalu.”
Sol menyentuh tubuhnya. Debu dan darah—tidak ada.
Ia mengangkat tangan. Dan dengan satu hentakan ke tanah—BOOM!—gelombang tekanan menghancurkan golem itu dari dalam.
Gatekeeper tumbang.
Dan saat debu mulai menghilang, Levia sudah tergeletak. Para kurcaci terhempas. Jean memegangi bahu yang patah. Friedrich tak bisa berdiri.
Satu per satu, semua jatuh.
Sol berjalan maju. Perlahan. Pasti.
“Selesai sudah.”
Tapi saat ia hendak mengangkat tangan—
Suara gemuruh datang dari kejauhan.
Tanah bergetar.
Langkah kaki—berat. Kuat. Penuh wibawa.
Siluet raksasa muncul di balik kabut. Sorot matanya menyala merah.
Satu sosok yang tak asing—berdiri di atas puncak batu.
Singa itu telah bangkit.
Bukan tiruan. Bukan bayangan.
Raja Singa—Leon, sang Bintang Langit, kini telah hadir di medan perang.
Dan dia... tidak datang untuk menyelamatkan.
Dia datang... untuk bertarung.
—
Siluet raksasa itu perlahan mendekat.
Otot-otot padat. Surai emas bergelombang menyala dalam cahaya senja. Sorot mata penuh wibawa yang telah menyaksikan ratusan medan perang, dan kaki-kaki yang menjejak tanah seolah setiap langkahnya mengukir sejarah.
Ia tak perlu memperkenalkan diri.
Semua yang melihat—tahu.
Raja Singa telah kembali.
“…Leon…”
Friedrich mengucap lirih, seakan menyambut harapan yang telah lama padam.
Sol menghentikan langkahnya. Untuk pertama kalinya dalam pertempuran itu, matanya menyipit, suaranya menjadi serius.
“Jadi akhirnya kau muncul, Leo.”
“Sol.”
Nada suara Leon dalam dan berat. Tak ada amarah. Tak ada kebencian. Tapi... ada ketegasan mutlak.
“Kenapa kau tak membunuh mereka?” tanya Sol tenang.
“Karena aku bukan dirimu.”
“Jawaban membosankan, seperti biasa.”
Sol mengangkat satu tangan. Udara di sekelilingnya mulai terdistorsi.
Namun Leon hanya berdiri tenang, lalu maju satu langkah.
Itu cukup untuk membuat tanah bergetar.
Sol melesat lebih dulu. Tubuhnya bagaikan kilat, menyambar ke arah Raja Singa. Ia melancarkan pukulan lurus ke dada Leon—penuh energi, cukup untuk menghancurkan gunung kecil.
Leon menangkisnya dengan satu tangan. Bukan dengan kekuatan, tapi dengan berat tubuh dan pusat gravitasinya yang kokoh seperti gunung.
“Hmm…”
Sol melompat ke belakang, lalu memutar tubuh, mencoba menyerang dari sisi kanan.
Kali ini, Leon merespons.
Dengan kecepatan luar biasa untuk tubuh sebesar itu, ia mengayunkan kaki depan—dan menendang Sol ke tanah.
BOOM!
Ledakan tercipta saat tubuh Sol menghantam tanah. Batu-batu beterbangan. Asap mengepul. Tapi Sol kembali bangkit, sedikit terhuyung.
“…Sepertinya aku harus serius,” gumamnya.
“Kau seharusnya melakukannya dari awal,” balas Leon datar.
Keduanya melesat.
Serangan demi serangan saling bersilangan. Angin yang tercipta dari tiap pukulan mencabik-cabik bebatuan di sekitarnya. Friedrich dan yang lainnya hanya bisa menyaksikan—mereka sudah tak mampu ikut campur.
Itu bukan pertarungan manusia.
Itu adalah duel antara dua entitas raksasa. Dua eksistensi yang berdiri di atas puncak dunia.
Sol memanggil pilar cahaya, menghantam Leon dari langit. Tapi sang raja menahan semuanya dengan tameng tubuhnya. Ia menginjak tanah, menghentakkan tubuh, dan gelombang kejut menyebar ke seluruh lembah.
Sol menyerang dari belakang—Leon membalas dengan kibasan ekor yang membelah udara.
Sol melesat ke depan—Leon menunduk dan menyambutnya dengan sundulan.
Keduanya terlempar, saling mengejar, dan bertarung tanpa henti.
Sampai akhirnya—kedua sosok itu berjarak hanya satu langkah.
Mereka saling menatap. Nafas berat. Luka di tubuh mereka mulai tampak.
“…Sudah cukup,” ujar Leon.
“Kau tidak akan membunuhku?”
“Bukan tugasku.”
Sol terdiam. Lalu tersenyum tipis.
“Aku mengerti. Kau masih... seperti dulu.”
Ia berbalik.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melompat ke udara dan menghilang—menggunakan sihir dimensi untuk pergi dari tempat itu.
Keheningan menggantung. Suara angin gunung perlahan kembali terdengar.
Leon memutar tubuhnya, dan berjalan ke arah para Pahlawan.
Mereka semua menatapnya, dengan mata penuh rasa hormat.
“…Maaf membuat kalian menunggu. Tapi mulai sekarang… aku akan ikut bertarung.”
Hari itu, legenda Raja Singa yang telah lama menghilang, kembali menggema di dunia.
Dan api perlawanan... belum padam.
No comments:
Post a Comment