Bab 117 – Peri Putri Pollux Mengeluarkan Tantangan
Langit jauh di atas...
Sebuah tatapan diam mengarah dari langit yang jauh, menatap dunia seperti seorang dewa yang bosan.
Sosok itu menghela napas panjang, getir. Pandangannya tertuju pada pertarungan yang sedang berlangsung di dalam taman miniaturnya—dunia Midgard.
Segalanya berjalan tidak seperti yang diharapkan.
Kesalahan lama yang pernah terjadi di masa silam, kini bangkit kembali dan mulai merusak keseimbangan. Dan penyebabnya tak lain adalah satu "serangga"—Ruphas Mafahl.
Kesalahan kedua: dia telah membiarkan Ruphas hidup kembali setelah sebelumnya berhasil disingkirkan. Ia mencoba menyegel kesadaran dan ego Ruphas agar sang "boneka" itu bisa digerakkan sesuai kehendak, menjaga keseimbangan dunia.
Tapi... ternyata, itu langkah bodoh.
Bug tetaplah bug. Tak bisa diperbaiki hanya dengan tambalan murahan.
Awalnya dia berharap Ruphas bisa menyingkirkan Raja Iblis yang kini tak lagi tunduk padanya. Lalu setelah itu, Ruphas akan dijadikan simbol kejahatan, sosok antagonis dunia.
Namun saat menyadarinya, semuanya sudah terlambat. Ruphas malah menjelma menjadi ‘ancaman utama’. Keinginan untuk mengontrolnya hanya menjadi ironi pahit.
Kesalahan... apa karena waktu kebangkitannya? Atau kepribadian sementara yang diberikan padanya? Atau... semuanya?
Tapi, tak peduli apapun penyebabnya—ia harus mengakui satu hal: ia telah salah.
Kini, Ruphas mencari jalannya sendiri, melangkah keluar dari naskah yang disusun dengan teliti. Dan ketika naskah itu berantakan, makin banyak yang mencoba memperbaiki, malah makin rusak hasilnya.
Ruphas hanya memperparah kekacauan.
Itu tidak boleh dibiarkan.
Agar manusia bisa bahagia... mereka harus menderita terlebih dahulu. Tanpa penderitaan, kebahagiaan tak akan terasa nyata.
Namun, Ruphas adalah entitas yang menghapus kemalangan itu sepenuhnya. Di dunia yang hanya diisi kebahagiaan, tak ada yang bisa merasa benar-benar bahagia.
Jadi, dia membuat keputusan.
Saatnya menggerakkan kekuatan terbesarnya. Ini memang kasar, tetapi tak ada pilihan lain. Ruphas akan dimusnahkan dengan pasukan yang tak terbatas jumlahnya.
Tidak ada jalan kembali.
♌
Setelah mengantar para centaur dan demihuman ke Menara Mafahl, Sagitarius kembali dengan selamat. Hanya spiderkin yang tersisa, tampaknya ingin bicara sebentar dengan Sei.
Sebagian besar urusan sudah selesai. Tapi ada satu hal yang belum kutuntaskan.
Aku meninggalkan Aries dan yang lain, lalu menghampiri Leon, yang masih terbaring di tanah. Rantai masih mengikat tubuh singa raksasa itu. Ia hanya bisa menggeram lemah, dipenuhi amarah, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
“Hmm... Sudah lama, ya, Leon.”
“Ruphas...!”
Tatapannya menyala penuh kebencian. Tidak seperti sebelumnya. Tak ada lagi rasa hormat. Hanya kebencian murni.
Agak menyegarkan, jujur saja. Setelah sekian lama dikelilingi orang-orang yang terlalu menyembahku, menerima sorotan mata seperti ini justru terasa... menyenangkan.
Aku tersenyum dan mengaktifkan [Eye of Observation] untuk melihat statusnya.
Raja Singa, Leon
Level: 1000
Ras: Nemean Lion
Atribut: Matahari
HP: 1 / 1.500.000
SP: 8.250 / 10.000
Status lainnya: Tidak diketahui (tidak di bawah komando)
Yup. Seperti dugaanku. Karena dia belum kembali ke bawah komandoku, status lengkapnya tak terlihat. Hanya HP, SP, dan level.
Dan... HP-nya tinggal satu.
Aku bersyukur Aries dan yang lain berhasil. Walau Dewi memperkuat Leon, mereka tetap bisa menang. Itu bukan hal sepele.
Jika aku sendiri yang melawannya, pertarungan bisa berlangsung sengit. Leon tak punya skill spesial mencolok seperti Bintang Langit lain, tapi itulah yang membuatnya berbahaya. Tak butuh trik—dia menang hanya dengan status murni.
Di RPG, seberapa canggih pun strategimu, semua jadi sia-sia jika musuhnya terlalu kuat secara statistik. Dan Leon adalah perwujudan dari itu.
“Akhirnya kita bertemu lagi. Dua ratus tahun... Aku tak pernah melupakan hari itu. Hari ketika aku dipermalukan. Hari ketika aku bersumpah akan membunuh dan memakanmu!”
“………”
“Lepaskan rantai ini! Lawan aku!”
Aku mendengarkan amarahnya tanpa reaksi berlebihan. Dan... memutuskan jawabanku.
Secara logika, aku seharusnya menerima tantangan ini. Mengalahkannya dan memaksanya kembali jadi bawahanku. Tapi...
Ruphas—yang ada dalam diriku—punya jawaban lain.
"Aku menolak."
“...Apa—!?”
“Pertarungan sudah selesai. Aries dan yang lain sudah menang. Tak perlu ada pertarungan ulang. Jika aku bertarung sekarang, itu akan merusak kemenangan mereka.”
Ya. Pertarungan ini adalah milik Aries dan kawan-kawan. Bukan milikku. Mereka telah mengalahkan Leon dengan susah payah.
Kalau aku ikut turun tangan sekarang, itu akan meremehkan kerja keras mereka. Itu akan menyampaikan pesan bahwa hanya aku yang bisa menang. Aku takkan merampas kebanggaan mereka.
“Jangan bercanda! Kau hanya duduk manis dan membiarkan bawahmu bertarung!? Apa aku tak pantas bertarung melawanmu langsung!?”
“Aku dengar kau memakai kekuatan Dewi?”
“—Tsk!”
Leon mendadak terdiam.
Benar. Dia kalah bahkan setelah meminjam kekuatan dari Dewi. Itu... memalukan.
“Aku tak bilang memakai kekuatan itu salah. Gunakan saja semua yang bisa dipakai. Tapi, ketika kau dikendalikan oleh kekuatan itu—kau bukan lagi dirimu. Kau hanya jadi pion.”
Jika dia bertarung denganku dalam keadaan seperti itu, itu bukan pertarungan antara Leon dan Ruphas. Itu antara Dewi dan aku. Dan aku tak punya minat meladeni permainan itu.
“...Saat ini, kau tidak layak bertarung denganku.”
Kata-kata itu keluar dari mulutku—atau mungkin, dari kami. Untuk pertama kalinya, aku merasa seakan aku dan “Ruphas” benar-benar menjadi satu.
Aku berbalik, meninggalkannya.
Leon mungkin menyebalkan. Tapi dia bukan sampah seperti Raja Naga yang pernah kulawan dulu. Dia hanya seekor singa liar yang hidup menurut nalurinya.
Ya... mungkin seperti kucing yang suka mengacak-acak keyboard saat kita bekerja. Menyebalkan, tapi... tetap lucu. Dan karena itu, aku tak bisa membencinya sepenuhnya.
…
…Eh?
Ngomong-ngomong, siapa tadi... si Raja Naga itu?
♊
Tempat itu adalah hutan yang tenang.
Cahaya mana berkelip lembut, menari di antara pohon-pohon tinggi. Di tengah keheningan alam, makhluk-makhluk kecil beterbangan—roh-roh alam dan peri, ciptaan yang lahir dari kekuatan ilahi.
Sebagian besar dari mereka hanyalah wujud cahaya tanpa bentuk tetap. Tapi sebagian lainnya, yang telah membangkitkan kesadaran, menjelma menjadi peri sejati—makhluk mungil, mandiri, dan dalam beberapa kasus... hampir disembah seperti dewa.
Di antara mereka, berdirilah seorang pemuda berpakaian serba putih, melangkah tenang menuju kedalaman hutan. Ia adalah iblis. Tapi bukan sembarang iblis—dialah Terra, putra Raja Iblis.
Wajahnya tenang. Senyumnya tipis, tapi tak sombong. Roh dan peri beterbangan di sekelilingnya dengan penasaran, ada yang menggoda, ada pula yang sekadar menatap. Namun, Terra tidak terusik. Dia hanya tersenyum lembut, tak menunjukkan permusuhan sedikit pun.
Penampilan para peri sangat beragam. Ada yang mungil seperti boneka, ada pula yang menyerupai manusia dewasa. Bahkan, konon ada peri bertubuh besar dengan tampilan seperti bajak laut kekar. Tapi satu hal pasti: kekuatan mereka tidak bisa diremehkan.
Akhirnya, di jantung hutan yang sunyi, Terra menemukannya.
Seorang gadis berdiri di sana, seolah memang telah menunggu kedatangannya.
Rambutnya berwarna madu, jatuh lembut di bahu. Ia mengenakan gaun berwarna merah, putih, dan biru, dilengkapi ikat kepala sederhana. Di sekelilingnya berdiri roh-roh suci dalam bentuk para ksatria berjubah perak—einherjar, para pahlawan yang telah gugur dan kini bangkit kembali sebagai penjaga suci.
Dialah—Putri Peri, Pollux. Penguasa tertinggi di antara semua peri. Lambang cahaya dan penyeimbang alam.
Mereka berdua berdiri di sisi berlawanan dari skala dunia. Pollux—lambang cahaya. Terra—anak dari raja kegelapan. Namun selama ini, keduanya tak pernah bentrok. Mereka menjaga keseimbangan secara diam-diam, pasif.
“...Tamu luar biasa yang datang tak diundang. Tapi aku tak bisa menyambutmu dengan ramah.”
Suara Pollux tenang, tapi penuh otoritas. Dia tidak menghunus senjata, tapi sikapnya jelas waspada.
“Aku hanya membawa permohonan, Penatua Cahaya,” ucap Terra dengan sopan. “Namaku Terra. Maafkan kedatangan mendadakku.”
“Oh...? Putra Orm, ya? Kukira kau akan jadi versi kecil ayahmu... Tapi sepertinya kau cukup santun. Mengejutkan.”
Pollux mengamati Terra sejenak. Tak ada niat membunuh dalam matanya, hanya ketegasan dan rasa ingin tahu.
“Jadi? Untuk apa kau datang ke tempat para peri?”
“Aku ingin tahu tentang Avatar... dan, kalau memungkinkan, bagaimana cara menciptakannya.”
“…”
Pandangan Pollux langsung berubah. Mata yang semula tenang kini tajam dan dingin.
Avatar. Roh yang terlahir dari tanaman. Wujud fisik dari kekuatan ilahi. Di sisi lain, para iblis adalah bentuk fisik dari kekuatan misterius.
Menciptakan Avatar bukan perkara sederhana. Tak ada makhluk biasa yang mampu melakukannya. Hanya tiga entitas di dunia ini yang bisa: Dewi, Raja Iblis, dan Putri Peri.
Bahkan tanaman pun butuh izin Pollux untuk melahirkan roh dalam wujud Avatar. Ini adalah pengetahuan kuno—lebih tua dari sejarah umat manusia.
“Dan... apa yang akan kau lakukan setelah tahu caranya?”
“Aku ingin menyelamatkan seseorang dari takdir sebagai iblis,” jawab Terra. “Seorang temannya telah mengorbankan diri demi tujuan itu. Kami bukan boneka Dewi. Kami ingin mengambil hidup kami sendiri, bukan dipermainkan.”
“…Aku mengerti.”
Untuk sesaat, mata Pollux melembut.
Ada simpati. Ada rasa sedih. Tapi itu hanya berlangsung sekejap. Wajahnya kembali keras, seperti patung marmer.
“Maaf. Tapi jawabanku tetap sama. Ini rahasia. Aku tak bisa memberitahumu, tak peduli seberapa mulia alasanmu.”
“Aku mengerti... Tapi aku tidak bisa menyerah.”
Sorot mata Terra tak goyah. “Aku sudah bersumpah pada temannya yang telah tiada. Aku akan melakukannya, apapun yang terjadi.”
“...Kalau begitu...”
Pollux mengangkat satu tangan, perlahan.
Dalam sekejap, lebih dari seratus roh pahlawan muncul di sekeliling mereka. Mereka berdiri berjajar di depan Terra, aura suci menyelimuti mereka. Semua berada di atas level 700. Beberapa bahkan mencapai level 1000.
“—Mari menari, anak-anakku. [Argonautai].”
Di hadapan Terra, kini berdiri pasukan pahlawan dari berbagai zaman. Valkyrie seperti Eir, pemimpin spiritual seperti Brunhild, hingga flügel-flügel kuno yang bahkan berasal dari masa sebelum buah terlarang dimakan.
Mereka adalah penjaga cahaya yang muncul di masa-masa tergelap Midgard, dan kali ini, mereka berdiri sebagai ujian.
“Jika kau bisa menang melawan mereka,” ujar Pollux dingin, “aku akan memberimu petunjuk. Tapi kupastikan dulu—aku tidak berniat memberimu apa pun.”
Sorot matanya menusuk. Tak ada keramahan tersisa. Yang ada hanyalah ujian dari Peri Tertinggi.
Pertarungan pun dimulai.
📜 Catatan Penulis
Pertarungan bos, dimulai!
...Eh? Sebenarnya siapa yang jadi musuh di sini?
📜 Sinopsis Ringan Sebelumnya
-
Ruphas: “Jangan takut...”
-
Kaineko: “Ya! Aku senang membantu!”
-
Ruphas: “…Apa kau baik-baik saja?”
-
Kaineko: “Ya! Aku senang membantu!”
-
Ruphas: “……”
-
Kaineko: “Ya! Aku senang membantu!”
Kesimpulan: Komunikasi dengan kucing... gagal total.
No comments:
Post a Comment