Novel Abnormal State Skill Chapter 370
370 - Bara Api Dunia yang Kejam Ini
Sudut Pandang: Yasu Tomohiro
Kami—rombongan yang dipimpin Rinji—telah memasuki wilayah Jonato.
Sepanjang perjalanan, pemandangan yang kami temui sungguh mencolok. Banyak orang melintas membawa tas besar, bahkan ada yang menaiki kereta penuh muatan. Begitu banyaknya, sampai-sampai keberadaan kami yang cukup mencolok pun seakan tenggelam dalam keramaian.
Dari atas kudanya, Oru—yang memimpin kereta kami—menoleh ke belakang. Matanya melirik kereta-kereta lain yang mengarah ke Mira, tempat yang baru saja kami lewati.
“Jadi, Rinji-san... Kita sebenarnya mau ke mana? Maksudku, setelah sampai sejauh ini, lalu kembali ke Mira rasanya...”
Rinji, yang juga sedang menoleh ke belakang, kembali mengarahkan pandangan ke depan.
“Aku dengar, jumlah orang yang menuju Jonato Barat jauh lebih banyak dibanding mereka yang ke Mira. Bagian utara Mira sekarang rawan serangan monster bermata emas—seperti yang sudah kita alami sebelumnya.”
Peringatan itu sebenarnya sudah disampaikan oleh beberapa orang di sepanjang jalan. Tapi tetap saja, banyak yang memilih menuju selatan—ke arah Mira.
Apa mereka sedang menghindari sesuatu?
Kami juga sempat mempertanyakan hal itu... dan kini sudah tahu jawabannya.
Sebuah pertempuran besar akan segera meletus di Jonato.
Pasukan kejahatan datang demi menghancurkan pelindung negeri ini—Sang Mata Suci. Sebagian warga Jonato mengungsi ke barat, sementara lainnya justru berbondong menuju Ibu Kota Azziz untuk melindunginya.
Rinji menggaruk kepala dan menghela napas panjang.
“Aku nggak tahu apakah dia sudah kehilangan akal atau apa, tapi... kita dapat kabar kalau Dewi Alion itu berniat membinasakan seluruh umat manusia di benua ini... Hah. Bahkan keributan yang melibatkan manusia berkulit putih itu, katanya juga gara-gara Dewi? Katanya sih, ada buktinya... Tapi... Apa-apaan semua ini? Aku benar-benar nggak ngerti…”
Ia menatap ke langit dengan wajah muram.
“Mata Suci tampaknya menjadi penghalang bagi rencana Dewi... Serangan cahaya suci dari langit kemarin... Apa itu ada hubungannya juga?”
Rinji bergumam. Namun, Oru hanya mengangkat bahu tanpa banyak komentar.
“Kalau tujuannya memang melenyapkan seluruh umat manusia, sepertinya tak peduli kita lari ke mana pun.”
“Benar juga...”
Setelah itu, Oru menoleh padaku.
“Bagaimana menurutmu, Tomohiro?”
Aku sudah mengungkapkan jati diriku kepada mereka. Bahwa aku adalah salah satu Pahlawan yang dipanggil dari Dunia Lain oleh Dewi. Wajar kalau mereka berpikir aku tahu lebih banyak soal Dewi itu.
Namun sebelum aku sempat menjawab——
“Oi, Oru.”
“Ah—maaf, Rinji-san. Salahku, Tomohiro... Lupakan saja pertanyaanku tadi.”
Rupanya Rinji sedang berusaha menjaga perasaanku. Tapi tetap saja, aku menjawab.
“……Kupikir itu memang mungkin.”
Ya—memang sangat mungkin.
Rinji dan yang lainnya mungkin belum benar-benar memahami siapa Vysis sebenarnya. Tapi aku sudah cukup lama mengenalnya—cukup untuk menyadari kalau hal seperti ini bisa saja terjadi.
Setelah sejenak diam, Rinji menyipitkan mata dan hanya berkata, “Begitu.”
Ia lalu menatap ke arah kereta tempat istri dan anaknya duduk.
“Krisis yang mengancam dunia kita... ya.”
Setelah diskusi singkat, kami memutuskan untuk mengikuti rencana semula—bergerak menuju wilayah barat Jonato. Di sana, kami punya beberapa kenalan yang mungkin bisa kami ajak bekerja sama.
Berbalik arah sekarang hanya akan memperburuk kondisi mental semua orang. Kami kekurangan makanan, kekurangan tenaga. Tapi jika bisa beristirahat sejenak di rumah para kenalan di Jonato Barat, setidaknya semangat kami bisa sedikit pulih.
Perjalanan membawa kami ke sebuah kota perdagangan di selatan Jonato. Setelahnya, kami kini berada di jalan utama di luar kota, di mana lalu lintas keluar-masuk dijaga ketat. Tempat ini seperti titik peralihan menuju berbagai penjuru. Alih-alih jalan utama, suasananya lebih mirip stasiun kecil persimpangan jalur. Di tengahnya terbentang alun-alun luas, dan di sana-sini tampak seperti ada struktur panggung.
Rinji menaungi matanya dengan tangan lalu bersiul pelan.
“Wah... luar biasa.”
Alun-alun itu dipenuhi orang. Kami mencari tempat agak menjauh dari kerumunan dan beristirahat sejenak. Yuuri dan ibunya turun dari kereta, merenggangkan tubuh dengan gerakan yang hampir serempak. Pemandangan itu terasa menghangatkan hati.
Beberapa anggota rombongan pergi ke gerbang kota, berharap bisa membeli sedikit perbekalan. Tak lama, Oru dan beberapa tentara bayaran kembali dari arah berlawanan. Ia menunjuk ke arah jalan.
“Jalan ini——yang mengarah ke barat laut, menuju Jonato Barat. Kalau kita teruskan, kita bakal sampai di Ibu Kota Azziz—tempat Mata Suci berada.”
Para pengungsi datang dari arah Azziz. Tapi dari arah barat laut juga berdatangan orang-orang lain.
Dengan kata lain——ada yang mengungsi, dan ada pula yang menuju medan perang.
Saat itulah, suara lantang terdengar dari atas panggung di alun-alun.
“Semuanya, mohon dengarkan!”
Keributan mereda. Semua orang mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Di panggung, tampak beberapa orang yang mengenakan baju zirah dengan lambang Jonato. Mereka adalah ksatria negeri ini.
Jumlah orang yang berkumpul di alun-alun sangat banyak. Kami sendiri datang tanpa tahu apa pun, tapi sekarang mulai bisa menebak—mereka sedang mengumpulkan dan merekrut pasukan di titik ini.
“Sebagian dari kalian mungkin sudah tahu, tapi saat ini, bukan hanya Mata Suci Jonato——seluruh benua ini tengah menghadapi ancaman besar!”
Bisik-bisik langsung menyebar. Masih banyak orang yang belum tahu bahwa Dewi telah "berubah".
Sang ksatria berbicara lantang dan jelas:
“Vysis berusaha membasmi seluruh umat manusia di benua ini.”
Keributan pun meledak di antara para hadirin.
Informasi awal yang disampaikan ksatria itu sebagian besar memang sesuai dengan apa yang sudah kami dengar dari para pengungsi. Namun, bagian akhir pidatonya menyisipkan kabar baru yang menggetarkan:
“Kaisar Gila dari Mira rupanya telah mencium rencana Vysis sejak awal! Sekarang dia telah membentuk aliansi untuk menjatuhkan sang Dewi, bersama dengan Neia, Bakuos, dan Urza. Bahkan pasukan Alion sendiri—yang telah menyadari siapa sebenarnya Vysis—kini bergerak menuju Ibu Kota Alion untuk menentangnya!”
Kegemparan seketika menyebar seperti api yang menjalar di tengah jerami kering.
“Raja Serigala Putih, Magnar, yang sebelumnya dikabarkan hilang, juga telah dipastikan masih hidup! Sekarang, ia tengah menuju Jonato bersama pasukan Mira yang dipimpin Wright Mira!”
Mata semua orang membelalak.
“Eh? Jadi... semua negara kini menentang sang Dewi!?”
“Ta-tapi! Kalau Dewi itu benar-benar hendak menghancurkan kita... A-apa itu benar-benar terjadi? Tapi... kalau Vysis dibunuh dan Pahlawan tidak bisa dipanggil lagi... Lalu siapa yang akan menahan Akar Segala Kejahatan!?”
“Tenang! Ada Dewa lain yang telah mengetahui rencana jahat Vysis dan kini turun langsung untuk meminta kerja sama kita! Kami dengar, mereka juga bekerja sama dengan Kaisar Gila! Jadi, tak perlu khawatir! Tugas pemanggilan Pahlawan akan diambil alih oleh Dewa yang lain!”
“Ka-kalau begitu... kita bisa sedikit lega, ya? Jadi... meski kita ikut bertempur, itu tidak akan dianggap sebagai pemberontakan terhadap para Dewa, kan...?”
Rinji, yang sejak tadi menyimak dari sisi kami, menyentuh bibirnya dengan ibu jari dan bersenandung kecil. Melihat itu, aku mendekat dan berbisik pelan:
“Hmm... ada yang aneh?”
“Hm? Ah, bukan... Aku cuma berpikir, orang yang barusan mengajukan pertanyaan itu, ucapannya sangat tepat.”
Aku bisa menangkap maksudnya.
Orang tadi... apakah dia memang bertanya begitu secara spontan?
Atau mungkin sebenarnya dia sudah ditanam di tengah kerumunan?
Tapi jika memang begitu... aktingnya sangat meyakinkan.
“Kalau mereka tidak menanggapi pertanyaan seperti itu satu per satu, orang-orang di sini akan sulit mencerna informasi ini dengan benar. Ini pendekatan yang efektif.”
Ksatria di atas panggung kembali berseru.
“Selain itu, pasukan Mira yang dipimpin oleh Wright Mira juga ditemani oleh——Kelompok Pedang Mabuk!”
Rinji yang bersedekap mendadak mengangkat sebelah alisnya. Kilatan terkejut melintas di matanya.
Beberapa orang di antara kerumunan bersuara:
“Kelompok Pedang Mabuk? Bukankah mereka yang dulu ikut menyerang Mira bersama manusia kulit putih itu?”
“Tapi sekarang mereka sekutu, kan? Mungkin mereka juga awalnya tertipu oleh Dewi... lalu membelot setelah mengetahui kebenaran.”
“Eh? Jadi... cerita tentang mereka yang dihukum mati itu cuma rumor?”
“Kalau menurut kami orang Jonato, Kelompok Pedang Mabuk itu sekutu kita, kan? Saat invasi besar terakhir, mereka bertempur bersama Pasukan Suci kita untuk melindungi Jonato!”
“Iya! Mereka nggak pernah melakukan hal buruk pada kita. Justru keberadaan mereka sangat menenangkan.”
Oru melirik ke arah Rinji, ingin berkata sesuatu, namun pria itu masih terpaku menatap panggung dan hanya bergumam pelan.
“……Kelompok Pedang Mabuk, ya.”
Aku sendiri mengenal mereka, meski hubungan kami waktu itu belum terlalu dekat.
Mereka dulu sempat ditugaskan untuk melatih kelompok Ikusaba Asagi.
Sementara burung gagak beterbangan di atas, aku menatap ke langit...
(……Banewolf-san… Aku belum sempat… meminta maaf padanya…)
Dia telah mengulurkan tangan padaku.
Seharusnya aku belajar banyak dari orang seperti dia.
Tapi waktu itu…
Tangan yang diulurkannya——kupukul pergi.
Sudah berapa kali aku menolak uluran tangan orang lain?
Semua demi mempertahankan harga diriku——harga diri yang dangkal dan tak berguna.
(……Tangan yang juga diulurkan Sogou-san…)
Kenangan itu muncul begitu saja—kenangan di balik gedung sekolah.
(Tangan Mimori-kun juga…)
Yang membuatku kesal adalah…
Kesombongan dan rasa pengecut kecilku itu…
Masih belum sepenuhnya lenyap.
Orang memang sulit berubah.
Tapi sekarang…
Kini aku harus menghadapinya.
Tanpa melarikan diri lagi.
(Ini... adalah tekadku…)
Aku menyingkirkan tangan dari wajahku dan menatap panggung kembali.
Para penonton mulai tenang, dan sang ksatria pun melanjutkan.
(……Eh? Bukankah itu……)
Para ksatria turun dari panggung sambil membawa sesuatu—benda yang rasanya benar-benar asing di dunia ini.
Mereka menyebutnya sebagai “alat sihir kuno”, tapi...
(Sebuah... smartphone?)
Salah satu dari mereka mengangkat benda itu tinggi-tinggi, lalu mulai menayangkan sesuatu dari layarnya.
Katanya, itu adalah bukti yang menunjukkan kejahatan Vysis.
Tayangan itu menarik perhatian orang-orang yang berada di barisan depan.
Beberapa langsung bereaksi.
“I-Itu…… Itu pasti Dewi!”
“Aku pernah mendengar suara Dewi sebelumnya! Itu... itu suara Vysis!”
“Dewi—Vysis benar-benar berniat membinasakan kita!?”
Jadi itu artinya...
Seseorang dari para Pahlawan pasti telah merekamnya—suara atau video—menggunakan smartphone ini.
Siapa yang melakukannya?
...Takao Hijiri, mungkin?
Jika bicara soal orang yang punya kemampuan teknis semacam itu, namanya langsung terlintas di benakku.
Barangkali, dia menemukan cara untuk mengatasi masalah baterai smartphone di dunia ini. Dengan keterampilannya, kemungkinan itu tidak mustahil.
Pada saat itu, para ksatria mulai membuka pendaftaran bagi siapa pun yang ingin bergabung untuk membela Mata Suci.
“Itu bersifat sukarela,” kata mereka. “Namun, bagi yang memilih ikut serta, mohon mendaftarkan nama di sini. Kalau bisa, tinggalkan sesuatu sebagai penanda identitas. Apabila kalian gugur dalam pertempuran, negara Mira akan mengupayakan bantuan langsung bagi pasangan, anak, atau keluarga yang masih hidup... setidaknya sebisa mungkin.”
Rinji menatap ke arah meja pendaftaran.
“Kami juga akan menuju Azziz.”
“Rinji-san……”
“Aku belum sepenuhnya memahami kebenaran yang mendasari semua ini. Tapi kalau melindungi Mata Suci berarti melindungi dunia... maka artinya kita juga melindungi mereka.”
Pandangan matanya mengarah pada istri dan anaknya.
“Lagipula... kami juga punya sedikit sejarah dengan Kelompok Pedang Mabuk. Pemimpin mereka... yah, bisa dibilang seperti keluarga bagi kami.”
Ia menunjuk ke arah istrinya yang sedang duduk di kereta.
“Dalam situasi seperti ini, kami tak bisa tinggal diam dan membiarkan mereka mati begitu saja. Astaga... aneh juga rasanya. Dulu kami melarikan diri ke utara karena ingin menjauh dari Kelompok Pedang Mabuk, dan sekarang... kami justru ingin bertemu mereka lagi untuk membantu.”
Rinji mengangkat bahu sambil tersenyum getir.
Oru, yang baru selesai mengemas barang-barangnya, mendekat sambil bersenandung kecil.
“Mungkin ini kesempatan buat Guaban memaafkan kita?”
Guaban—sepertinya dia adalah ayah dari Lili, pemimpin Kelompok Pedang Mabuk.
Aku belum tahu persis apa yang terjadi di antara mereka, tapi jelas ada cerita panjang dan rumit.
Rinji memberi isyarat dengan mata dan dagunya ke arah kereta tempat Yuuri dan keluarganya duduk.
“Kami, para mantan anggota Kelompok Pedang Mabuk, akan berangkat ke Azziz bersama Sonny. Yang lainnya tetap mengikuti rencana semula—mengunjungi kenalan-kenalan kami di wilayah barat. Kami sudah mengatur agar beberapa orang cakap yang bukan bagian dari kelompok ikut serta. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Aku menghela napas lega.
“Jadi begitu, ya...”
Setelah itu, kami pun saling mengucapkan salam perpisahan.
Aku juga berpamitan pada Yuuri dan ibunya.
Sejujurnya...
Aku tak menyangka kalau perpisahan ini akan terasa berat.
Hatiku... terasa sedikit sesak.
Aku ingin bertemu mereka lagi.
Aku ingin bertahan hidup—dan bertemu mereka lagi.
Setelah semua berpamitan, kelompok kami yang menuju Azziz pun mulai bersiap menaiki kuda.
Mungkin Rinji sengaja tidak menyebutkan siapa aku sebenarnya.
Tentang identitasku sebagai Pahlawan dari Dunia Lain—dia memilih untuk tetap diam.
Lalu, sebuah tangan terulur dan menepuk pundakku.
Tangan itu... milik Rinji.
Pegangannya berat———bukan dalam arti kasar, melainkan penuh tanggung jawab.
Kemudian, ia berkata pelan.
“Aku... mengandalkanmu.”
Nada suaranya begitu serius.
Seolah ia sedang berkata, ‘aku titipkan hidupku padamu.’
Aku tetap menatap ke depan saat menjawabnya.
“Aku juga, Rinji-san... Aku mengandalkanmu. Dan mengandalkan semua orang di sini.”
Rinji tampak sedikit terkejut dengan jawabanku.
(Jika aku sendirian———)
Aku takkan bisa sampai sejauh ini.
Aku takkan pernah bisa merasakan kekuatan seperti ini di dalam diriku.
Setelah beberapa detik hening, Rinji kembali bersikap seperti biasanya. Ia mendengus ringan, lalu berkata—
“Kamu.”
……Ya.
Api di dalam diriku masih belum padam.
Post a Comment for "Novel Abnormal State Skill Chapter 370"
Post a Comment