Munculnya Bos Terakhir yang Liar 11

Bab 11 – Aries Tertidur Pulas

Sebuah kastil berdiri menjulang, namun tak ada raja di dalamnya. Aula dipenuhi monster, dan tak satu pun pemimpin yang bisa ditemukan. Takhta di jantung benteng itu tetap kosong, seolah-olah menunggu dengan sabar sang penguasa untuk kembali.

Di samping kastil itu, dalam sebuah tempat sunyi yang seperti kuil, seekor domba raksasa terbaring tenang. Namanya Aries.

Dulu, ia adalah pelayan setia dari Penguasa Bersayap Hitam. Salah satu dari Dua Belas Bintang Surgawi. Dulu—sebelum semuanya berubah.

Aries tengah bermimpi. Mengenang masa lalunya.


Dulu, ia hanyalah makhluk lemah.
Hidupnya hanya untuk diburu, dikejar, dan bersembunyi.
Aries adalah spesies langka: domba pelangi—makhluk mitos yang katanya hanya muncul sekali setiap lima ratus tahun. Satu helai wolnya lebih berharga dari emas. Tak hanya bernilai secara ekonomi, wol itu juga menjadi bahan utama pakaian magis: lebih ringan dari sutra, lebih kuat dari baja, dan berfungsi sebagai katalis sihir tingkat tinggi.

Ia adalah harta berjalan. Tapi tak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia tak lebih cepat dari monster lain, tak punya cakar, tanduk, apalagi sihir.

Manusia, iblis, bahkan hewan biasa—semuanya mengincarnya.
Aries hidup sebagai buruan.
Ia bersembunyi, ia lari, dan ia terus... kehilangan segalanya.

Setiap hari adalah pertarungan untuk bertahan hidup.
Setiap napas bisa menjadi yang terakhir.

Dan ketika rasa takut akan kematian merayap, ia menangis dalam diam.


Itulah mengapa... pertemuan itu terasa seperti keajaiban.

Warna rambut merah menyala seperti api, mata semerah langit senja, dan sayap hitam pekat bagai malam.
Sosok itu mendekat.

"Oh? Domba pelangi? Wah, hari ini keberuntunganku bagus."

Itu adalah masa ketika sang penguasa masih muda.
Belum sempurna, tapi bayangan besar sudah terlihat dalam dirinya.
Aries hanya bisa menatapnya.
Dan berpikir satu hal:
"Aku akan mati."

Ketakutan menyelimuti dirinya.
Ini bukan pertarungan.
Ini pembantaian.
Bencana tetaplah bencana, meskipun hanya menampakkan sedikit kekuatannya.

"Oh? Kau tidak takut? Tidak lari? Tidak melawan? Apa kau sudah pasrah?"

Sosok itu mendekat, dan Aries tak bisa bergerak.
Kenapa aku begitu lemah? Kenapa hidupku harus berakhir seperti ini? Kenapa aku hanya bisa menunggu mati?

"...Ah, kau menangis."

Air mata mengalir. Aries menangis.
Tangisan kebencian, kesedihan, dan keputusasaan.
Namun, bukannya membunuhnya, sang gadis malah berkata:

“Air mata itu buat apa? Pelampiasan? Penyesalan? Hah! Kalau kau masih bisa menangis, seharusnya kau bisa berteriak! Maki dunia ini! Gigit balik mereka yang mengambil hidupmu! Itu yang kulakukan. Aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan memaafkan siapa pun yang menginjak-injak harga diriku.”

Kata-kata itu terdengar angkuh.
Sesuatu yang hanya bisa diucapkan oleh mereka yang kuat.
Orang sepertinya... tidak tahu apa-apa soal penderitaan yang lemah.

“Apa kau ingin mati sia-sia? Menyerah begitu saja? Kalau begitu, tak masalah untukku menyembelihmu sekarang.”

Aries menggertakkan giginya.
Ini bukan cara aku mati.
Aku tidak ingin mati.
Tidak di depan orang searogan ini.
Tidak sambil ditertawakan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aries... ingin hidup.

Dan dia menyerang.

Ia menggigit tangan gadis itu dengan sekuat tenaga.
Aries tahu ia tak akan menang. Tapi ia tidak akan diam saja.

Namun...

“…Bagus. Begitu seharusnya. Rupanya kau bisa juga kalau mau.”

Gadis itu sama sekali tidak terluka.
Tapi bukan itu intinya.

Dia tidak pernah berniat membunuh Aries.
Dan sekarang, Aries sadar: rasa takut yang selama ini mengekangnya adalah buatan dirinya sendiri.

“Kalau kau ingin hidup, maka hiduplah sepenuhnya. Berlarilah, lawanlah, jangan hanya bersembunyi. Jangan jadi mangsa lagi.”

Untuk pertama kalinya, Aries melihat seseorang seperti dirinya.
Dia juga kuat, tapi tidak diterima. Sayap hitamnya dianggap aib di antara kaum flugel yang menyucikan putih. Tapi dia tidak pernah menyerah. Tidak menyalahkan dunia. Dia melawan. Dia hidup.

Kalau saja aku bisa seperti dia...
Tangisan Aries menjadi seruan.
Dan sang gadis, seolah menjawab doa itu:

“Bergabunglah denganku. Aku tidak bisa menghancurkan dunia ini sendirian. Tapi kalau kita bersama... kita bisa mengubahnya.”

Itulah awalnya.
Aries mengulurkan tangan dan menggenggam tangan gadis itu.
Begitulah pertemuan antara Ruphas Mafahl dan Aries, yang pertama dari Dua Belas Bintang Surgawi.

Dan Aries tak pernah melupakan hari itu.


Sementara itu, aku—yang sedang membaca buku—mencoba memahami kenapa Aries menyerang Suvell.
Domba pelangi bukan makhluk agresif. Tapi alasan di balik tindakannya... mungkin lebih sederhana dari yang kukira.

Aku mati. Atau tepatnya, Ruphas dikalahkan.
Dan Aries... mungkin tidak menerima itu.

Tapi apakah dia selalu seekstrem itu?

Dalam game, familiar tidak bicara. Mereka hanya sistem pendukung. Aku tak pernah tahu seperti apa Aries sebenarnya. Dia adalah familiar pertamaku—ditangkap saat aku baru mencoba jadi seorang tamer. Saat itu, aku sebenarnya ingin naga—sesuatu yang kuat dan keren.

Tapi... yang muncul malah seekor domba.

Awalnya aku kesal. Tapi entah bagaimana, aku jadi sayang padanya.

Kupotong wolnya dan dijual untuk beli item peningkat status. Dan dengan uang itu, aku memperkuat Aries. Terus, dan terus, sampai dia tak bisa dikenali lagi.

Bahkan setelah mencapai level maksimum, dia tetap jadi partner setiaku.
Sampai akhirnya... dia menjadi monster kelas bencana.

Sekarang kupikir-pikir, aku mengenalnya lebih lama dari siapa pun dalam game.
Bahkan sebelum aku punya guild.

Lalu aku bertanya-tanya...
Apa yang Aries alami selama 200 tahun ini?
Kemarahan?
Kesedihan?

Apa pun itu, aku tidak bisa membiarkannya terus begitu.

Dia adalah kenangan berhargaku.
Dan aku tidak akan membiarkannya binasa karena kesalahpahaman.


"...Domba yang menangis itu."

Kata-kata itu keluar dari mulutku tanpa sadar.

Aku... tidak ingat adegan itu. Tapi tubuh ini mengingat.
Sesuatu dalam diriku tahu: aku pernah bertemu domba itu.
Dan aku pernah berkata, “Jangan menangis.”

Ruphas dan aku... kini menyatu.
Keinginannya adalah keinginanku.

Aku akan menendang Aries sampai sadar, lalu mengulurkan tangan yang sama seperti dulu.

"Jangan khawatir. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Bahkan jika aku kehilangan ingatan, kehilangan hidup... aku tidak akan pernah melupakanmu."

Post a Comment for "Munculnya Bos Terakhir yang Liar 11"