Novel I Raised A Black Dragon Chapter 294

Chapter 294 (Epilog)

Kali ini, Noah yang benar-benar terkejut melingkarkan lengannya di leher Kyle. Lalu, dengan wajah kesal, ia menghantamkan tinjunya ke bahu pria itu.

“Aku bilang jangan lakukan ini.”

“Aku harus menahanmu supaya kamu tidak jatuh.”

“Wow, orang-orang benar-benar jahat!”

Noah biasanya selalu berada di atas angin saat dipanggil kepala pelayan. Namun, semua berbeda ketika ia berada di sisinya sebagai kekasih. Kyle mengusap lembut bagian belakang kepalanya, sementara tubuh Noah masih terbungkus dalam rengkuhan kakinya. Kedua tubuh mereka menyatu begitu alami.

“Aku tidak bercanda, biarkan aku menciummu.”

“Bukankah itu permintaan tak tahu malu yang parah?”

“Bukankah aku harus bertanggung jawab kalau aku memprovokasimu dengan kata-katamu sendiri?”

Noah sempat menoleh menjauh untuk menghindar, tapi akhirnya menyerah. Ia tahu kalau ia tidak menuruti permintaan Kyle sekarang, pria itu akan terus memaksanya sampai ia sendiri kelelahan. Begitu ia berhenti melawan, Kyle langsung menempelkan bibir panasnya pada bibir Noah.

Paha Noah yang terbuka, tubuh kokoh Kyle yang menekan betisnya, hingga gesekan bibir mereka yang semakin liar—semuanya menciptakan intensitas yang jauh lebih tinggi dari biasanya. Rok putih Noah yang menempel di baju basahnya mulai tembus pandang.

“Oh…”

Ciuman itu begitu dalam, dan tidak berhenti sampai roknya jatuh ke bawah dada. Pipi pucatnya memerah sebelum ia sadar.

Tidak jelas apakah itu karena posturnya yang tidak stabil—membuatnya menopang setengah berat tubuhnya—atau karena sengatan gairah yang menjalar ke seluruh tubuh tiap kali kulit mereka saling bersentuhan.

“Ahh… sepertinya ide buruk mengajakku ke sini bersamamu,” gumam Noah, berusaha mengatur napas. Hembusan napasnya menggelitik dagu Kyle. Pria itu, masih menempel di bibirnya, tiba-tiba berucap.

“Portal teleportasi. Panggil sekarang.”

“Tele…”

“Kamu tidak tahu cara melintasi jarak pendek?”

Permintaan itu cukup tiba-tiba. Bukannya menjawab, Noah menatapnya sejenak.

Tatapan ungunya yang mulai melunak itu selalu membawa sensasi aneh di ujung jari Kyle—campuran antara kepuasan, rasa haus samar, dan keraguan halus.

“Pemandian air panas…”

“Kita lakukan nanti, setelah Muell bangun.”

Waktu penantian yang terasa begitu lambat bagi Kyle akhirnya berakhir. Tangan Noah pun bergerak, meski ragu.

Sebuah bola hitam muncul. Tak lama, yang tertinggal di tepi danau beruap hanyalah handuk putih yang tadi sempat didorong Noah.

Pada akhirnya, Kyle tidak menepati janjinya untuk kembali ke pemandian air panas setelah Muell bangun.

Alasannya cukup banyak, tapi yang utama adalah karena satu orang dan satu makhluk mungil itu sama-sama tertidur nyenyak sampai matahari tenggelam.

“…aku sebenarnya punya hal lain yang ingin kukatakan padamu hari ini.”

Noah, yang bangun terlambat, menegurnya.

“Aku ingin mengatakannya waktu Muell tidur.”

Kyle menyodorkan secangkir cokelat panas sambil mengangkat bahu.

“Aku tahu.”

“Kamu tahu?”

“Kau kira aku tidak sadar? Belakangan ini kepalamu penuh pikiran. Kita selalu bersama sepanjang minggu.”

“... Kalau begitu coba tebak, apa?”

Kyle tidak langsung menjawab. Ia hanya mengusap rambut hitam keriting Muell. Anak itu mengedip malas, memastikan siapa yang ada di dekatnya, lalu kembali terlelap. Kyle mendecakkan lidahnya pelan. “Kamu mulai benar-benar mirip seseorang. Tidurmu juga panjang.”

Akhirnya ia melanjutkan, menyentuh topik itu.

“Aku sudah banyak beristirahat selama satu setengah bulan terakhir. Waktu liburku tidak banyak tersisa. Bayi kita juga harus segera kembali bersekolah. Aku rasa kita harus membawanya ke banyak tempat, memperluas pandangannya. Supaya dia bisa melihat, mendengar, dan menyukai hal-hal lain selain hanya dirimu, Noah.”

“…aku harus bilang apa? Kau memang mengenalku dengan baik.”

“Itu mudah ditebak. Aku tahu kamu mengkhawatirkan Muell sejak sidang itu, waktu kau menyatakan sikap netral.” Suara Kyle makin mantap. “Tapi jangan salah paham, Noah. Aku tidak mengatakan ini karena firasat buruk atau pikiran pesimis.”

Noah mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku juga tidak melihatnya seperti itu. Aku hanya… ingin menghargai momen ini.”

Masih ada banyak waktu yang bisa mereka jalani bersama, dan banyak hal yang belum sempat mereka lakukan. Hidup akan terasa singkat kalau hanya memikirkan akhir. Tapi kalau menikmati tiap detik dan menjalani seolah selamanya, hidup terasa lebih dari cukup. Noah berharap Muell bisa memandangnya dengan cara yang sama.

Setelah keheningan singkat, ia bergumam, “Aneh, aku merasa goyah. Membayangkan kau akan pergi lagi.”

“Itu mengganggumu sekarang?”

“Ya. Dan mulai sekarang, aku rasa aku takkan pernah ingin melepasmu lagi. Kalau kupikir-pikir, kita seharusnya berlayar bersama. Pelayaran super-mewah. Yang benar-benar indah.”

Ia bersenandung kecil, entah melodi apa. Suaranya terdengar lebih ringan, seolah bebannya berkurang.

“Anakku tersayang… dan lelaki yang kucintai…”

Tapi isi nyanyian itu membuat Kyle tersentak. Tangannya yang tengah mengelus rambut Muell terhenti.

Apakah ia salah dengar?

“Noah, apa yang barusan kau katakan…?”

Selama ini, Noah tidak pernah sekalipun mengucapkan kata cinta padanya. Kyle tahu kekasihnya itu bukan tipe yang pandai mengungkapkan perasaan secara langsung. Karena itu, ia pun tak pernah memaksa.

Bersandar di ambang jendela, menatap langit malam, Noah menoleh dan mengangkat alisnya. “Kamu tidak dengar? Sesuaikan telingamu.”

“Tunggu—apa tadi kau—”

“Wow, bulannya besar sekali.”

Ia mengganti topik seenaknya, seolah balas dendam karena Kyle sudah mengganggunya di pemandian air panas. Tapi senyum main-main itu tetap melekat di wajahnya.

Kekasihku… Kyle mengulang kata itu dalam hati, berkali-kali. Kebingungan berubah jadi rasa puas, lalu meluap menjadi kebahagiaan.

Noah turun dari jendela, lalu berlutut di samping Kyle. Ia menunduk, mencium pipi Muell, lalu bibir Kyle.

“Oke, pelayanku tersayang. Besok kita pergi ke mana?”

Cahaya bulan menyoroti wajahnya saat ia bertanya riang. Kyle bisa melihat jelas rona merah di telinga Noah.

Akhirnya, sebuah senyum tersungging di bibir Kyle yang kaku.

“Ke mana pun kamu mau.”

Pengakuan berat itu menggantung di akhir kalimatnya. Rona merah di telinga Noah merambat ke pipinya, membuat senyumannya tampak malu-malu.

Malam kian larut, mengiringi awal perjalanan lain.

No comments:

Post a Comment