Novel Bos Terakhir Chapter 168

Bab 168 – Ruphas Menggunakan Metronome!

Ketika seseorang terlalu lama menyendiri, menjauh dari dunia, menjauh dari keramaian, tanpa sadar mereka akan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dan di saat-saat sunyi itulah—Orm mulai berpikir.

Apa sebenarnya dunia ini? Siapa dirinya?

Dunia ini… adalah taman miniatur ciptaan Dewi. Sebuah kotak mainan besar, panggung pertunjukan yang telah ia rancang sepenuhnya. Sedangkan dirinya hanyalah alat. Sebuah boneka panggung, diciptakan untuk menebar keputusasaan bagi umat manusia.

Tak ada bantahan. Tak ada keraguan.

Karena segala hal telah ditentukan oleh keberadaan yang mahatahu dan mahakuasa. Jika sang Dewa sudah memutuskan, maka begitulah adanya. Takdir tak perlu dipertanyakan.

Seperti singa yang memangsa rusa—itu bukanlah kejahatan, melainkan kodrat. Tak ada yang menentukan bahwa itu benar atau salah. Mereka melakukan itu karena… memang harus dilakukan. Sebuah konsekuensi dari alam. Takdir.

Kapan semua ini dimulai?

Sebagai antek Dewi, Orm telah menjalani perannya sebagai simbol keputusasaan dan rasa takut. Dan pada akhirnya… ia akan berpura-pura kalah oleh para pahlawan yang menantangnya. Ia akan berpura-pura terluka parah dan menyerah… lalu meninggalkan panggung.

Itu saja. Sebuah peran sederhana. Karena sejak awal, tak ada satu pun makhluk yang benar-benar bisa mengalahkan Ouroboros Orm. Jika ia serius, ia bisa menghancurkan siapa pun dalam sekejap.

Seorang pahlawan pernah berteriak, “Demi orang yang kucintai, aku tak akan kalah!”

Yang lain berseru, “Demi kedamaian umat manusia!”

Mereka datang membawa keyakinan dan tekad, menyuarakan idealisme dan harapan. Dan Orm… hanya mendengarkannya dalam kehampaan.

Ia bisa memahami arti kata-kata mereka. Tapi ia tak bisa memahami apa yang mendorong mereka untuk mengucapkannya.

Orang tercinta? Seseorang yang lebih penting dari diri sendiri?

Keluarga?

Apa itu?

Apa arti semua itu?

Dewi tak pernah mengajarkannya.

Ia hanya menjalankan peran. Ia membantai mereka semua, bahkan tanpa tahu siapa mereka sebenarnya. Baginya, para pahlawan hanyalah potongan naskah, bukan individu.

Namun, kapan semuanya mulai berubah?

Mungkin sejak ia bertemu Pollux, sang Putri Peri.

Gadis itu… berbeda. Ia punya hati. Dan karena itu, ia bisa memahami para pahlawan. Ia bisa menangis untuk mereka.

Orm tak bisa mengerti. Ia tak tahu kenapa Pollux bisa menangis karena para pahlawan.

Kenapa mereka rela mengorbankan hidupnya demi sesuatu yang abstrak?

Apa yang membuat mereka berani?

Ia tak tahu.

Namun… saat melihat air mata Pollux, ia tahu satu hal: apa yang ia lakukan selama ini… pasti mengerikan.

Jika aku adalah manusia… jika aku adalah salah satu dari para pahlawan itu…

Mungkin aku akan bisa mengerti air mata itu.

Kapan semuanya dimulai?

Mungkin ketika ia mulai muak dengan cerita yang selalu berulang. Protagonis boleh berganti, tapi naskahnya selalu sama. Kejenuhan itu mungkin adalah pemberontakan kecil pertama yang muncul di dalam dirinya.

Saat itulah ia membuat avatar. Padahal, berbeda dengan Ouroboros lain, Orm tidak memerlukan avatar—ia masih aktif dan utuh. Namun tetap saja, ia menciptakan alter ego.

Dan tanpa sadar, avatarnya lahir dalam wujud yang berlawanan dengan dirinya.

Seorang pahlawan.

Seseorang yang ingin dipahami oleh Orm.

Seseorang yang… manusiawi.

Ia menamainya—Terra.

“…Dunia ini… sedang ketakutan.”

“Hah?”

Saturnus menatap bingung, tak mengerti maksud kata-kata yang tiba-tiba meluncur dari mulut Orm. Tapi Orm tak merasa perlu menjelaskannya. Tak lama lagi, Saturnus pun akan merasakannya sendiri.

Lihat saja—dia sudah kembali.

Dia yang berasal dari dunia lain. Yang telah merebut kembali kekuatan dan ingatan sejatinya.

Sang monster sejati. Dia yang telah menghancurkan keputusan Dewi… takdir.

“Raja itu… telah kembali.”

Begitu kata-kata itu diucapkan, dunia pun bergetar.

Bukan sekadar figuratif. Bukan metafora.

Dunia benar-benar—secara harfiah—bergetar.

Bumi mengguncang. Udara mendesir. Bahkan bintang-bintang pun seakan memalingkan wajah.

Itu mirip dengan Coercion, skill milik para flügel… tapi efeknya—berada di tingkatan yang tak terbandingkan. Saturnus bahkan tak bisa berdiri. Dunia sendiri berguncang dalam ketakutan akan kedatangan penguasa sejati itu.

Ini bukan halusinasi.

Badai aneh mulai terbentuk di atas Benua Hitam. Bulan tampak tertarik, bergerak sedikit lebih dekat ke Midgard. Air laut naik, tak wajar.

Eksistensinya sendiri telah berubah menjadi konsep kekuatan.

Dia tidak sedang menggunakan kekuatan—dia adalah kekuatan itu sendiri.

Keberadaannya sudah melampaui batas logika. Terlepas dari jarak, dunia merasakannya. Semua makhluk… tahu dia telah kembali.

Ruphas Mafahl.

Dalam bentuknya dua ratus tahun lalu, ia telah bangkit kembali.

Orm bangkit dari tahtanya.

“A—Apa? Apa kau… akan melawannya?”

Saturnus menatap Orm seolah melihat orang gila. Wajar. Siapa pun yang waras tahu—ini bukan saat yang tepat untuk menantang Ruphas.

Bukankah lebih baik membiarkannya bertarung melawan Dewi?

Tak ada untungnya menghadapi makhluk itu sekarang.

“Berhentilah! Tak ada gunanya melakukan ini!”

Namun Orm tak menjawab.

Karena tak ada alasan yang logis.

Karena memang—pertarungan ini tidak penting. Bahkan bisa dibilang… tak ada artinya.

Tapi ia tahu satu hal.

—Ruphas tidak membunuh Dina.

Itu berarti… waktu yang tertunda itu—akan berakhir sebentar lagi.

Dewi akan menemukan Dina. Dan begitu ia bangkit, skenario akhir akan dimulai.

Tak ada lagi waktu.

Midgard… akan hancur hari ini.

Jika merenung sejenak, sudah jelas betapa tak masuk akalnya menantang Ruphas sekarang. Seorang bijak akan berkata: “Tunggu. Lihat situasi. Ini bukan waktunya.” Seseorang yang sabar akan berkata: “Kita bisa bertarung nanti. Fokuslah pada hal yang lebih besar.”

Dan ya, semua itu benar.

Namun, Orm bukan orang bijak. Dan dia bukan orang sabar.

“Aku tahu, ini salah. Tapi aku harus melakukannya.”

Kalau terus menghindar, aku takkan bisa melangkah maju.

Itulah tipe dirinya. Dan… itulah tipe Ruphas.

Tak ada yang bisa menantang Dewi jika masih menyimpan keraguan. Sekarang, setelah seluruh ingatannya kembali, Orm sadar: hatinya masih menyimpan satu penyesalan.

Pertarungan dua ratus tahun lalu… belum selesai.

Dan untuk maju menghadapi Dewi, pertarungan itu harus dituntaskan.

Ada dua orang yang layak menantang Dewi—Orm dan Ruphas. Maka, sebelum segalanya dipertaruhkan… harus ditentukan siapa di antara mereka yang paling pantas melangkah.

“Benet… Kau mengerti, bukan?”

“…Hm.”

Benetnash memalingkan muka, pura-pura tak tertarik. Tapi ia tahu. Ia memahami apa yang dirasakan Orm dan Ruphas. Karena ia pun telah menunggu dua ratus tahun untuk penyelesaian yang tak pernah datang.

Mulai sekarang, semua akan berjalan berdasarkan ego mereka sendiri.

Demi menutup cerita lama.

Demi melangkah ke akhir cerita yang baru.

Orm tahu—melawan Ruphas adalah tindakan yang tolol. Tapi justru karena itulah, ia takkan mundur.

Orang bijak akan bilang penantang Dewi tidak perlu satu orang. Orang baik akan berkata mereka bisa berbagi beban. Tapi Orm bukan orang bijak. Dia hanya seseorang yang punya prinsip, dan tak sudi meninggalkan pertarungan lama sebagai luka terbuka.

“Memang bodoh… tapi itulah aku.”

Dengan senyum tenang, Orm berkata begitu.

Ia melangkah melewati Saturnus, jubahnya berkibar. Saturnus mencoba meraih ujung jubah itu—tapi tangannya terlepas.

Dia sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan saat itu. Dan ia tak ingin tahu. Karena memahami hal itu terasa… seperti menghina.

Maka ia hanya bisa bersembunyi di balik topeng seorang bawahan.

Namun, saat emosi mulai meledak, ia tak bisa menahan lidahnya.

“Kalau begitu… setidaknya, kembalilah hidup-hidup. Para iblis masih membutuhkanmu!”

Orm tidak menjawab. Hanya tersenyum tipis.

“Aku tidak pergi untuk mati.”

Kata-kata itu singkat—tapi penuh makna.

Saturnus tersenyum. Entah kenapa, ia merasa lega. Dina pernah berkata bahwa para iblis hanyalah boneka… tapi mungkin, mereka tidak benar-benar ditinggalkan.

Meski diciptakan oleh Dewi… mereka punya hati.

Terra, Luna, bahkan Mercurius—mereka semua memiliki sesuatu yang nyata di dalam diri mereka.

Bahkan Mercurius, yang percaya bahwa Orm memegang kunci surga, telah menaruh harapan padanya. Tapi Orm hanya punya tiruan.

Dan meskipun ia punya kunci asli sekalipun… tetap tak ada artinya.

Karena kunci itu hanya bisa digunakan oleh mereka yang benar-benar terhubung dengan Dewi—seperti Dina, atau Parthenos.

Dina tak bisa menggunakannya secara terang-terangan. Parthenos… jelas bukan teman para iblis. Maka Mercurius telah terjebak sejak awal.

Semua iblis—Pluto, Jupiter, bahkan Mercurius—telah mati sia-sia, hanya karena mereka tak punya jalan keluar.

Kecuali satu.

Agar nasib iblis berubah, satu-satunya cara adalah: memaksa Dewi mengubah ceritanya sendiri. Hanya itu. Tak ada jalan lain.

Dan satu-satunya orang yang mungkin bisa memaksanya melakukan itu…

Adalah Ruphas Mafahl.

Peluangnya mungkin satu banding seribu. Tapi hanya dia—yang mungkin bisa.

Namun jika dibiarkan sendirian, bahkan setelah menang… para iblis hanya akan hidup dalam ketakutan di bawah bayang-bayang Ruphas. Maka pertarungan ini tidak bisa dihindari.

Ruphas harus dihadapi.

Midgard tidak boleh kehilangan Ruphas… tapi dia juga tak boleh dibiarkan begitu saja.

Karena Orm tidak bisa melawan Dewi secara langsung. Tubuhnya akan menolak itu. Ia adalah bagian dari Dewi, terlahir dari dirinya. Tapi—jika ia bisa mengalahkan Ruphas dan merebut kekuatan itu… segalanya bisa berubah.

Kini, Ruphas telah kembali sepenuhnya.

Melawannya dalam kondisi setengah sadar takkan ada artinya. Tapi sekarang, saat dia benar-benar bangkit sebagai dirinya yang dulu…

Justru inilah saatnya!

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya—Orm menjadi penantang.

Mungkin… beginilah rasanya menjadi pahlawan.

Ia terbang menuju langit. Melewati awan. Melewati batas.

Dan saat pemandangan berganti, ia tiba di sebuah pulau terpencil.

Tempat sunyi. Tidak terlalu luas. Tapi sempurna untuk bertarung.

Kawasan ini hampir sebesar 40% dari wilayah layak huni di Midgard. Tapi tak ada yang tinggal di sini. Terlalu banyak bencana. Terlalu banyak kekacauan.

Sempurna untuk mengadu kekuatan sejati.

Dan pada saat yang sama, dari sisi berlawanan, sosok bersayap hitam turun dari langit.

Ruphas telah tiba.

Wajahnya tenang. Tak ada amarah. Tak ada tegang. Hanya kepercayaan diri mutlak.

Dia tak perlu menunjukkan kesiapan. Karena dialah pertarungan itu sendiri.

Dan Orm… tahu bahwa waktu itu telah tiba.

Ia menyunggingkan senyum pahit.

Akhirnya… saatnya tiba.

Dia bisa melihatnya jelas.

Sang bintang kematian.

“Sudah lama menunggu, Raja Iblis. Sepertinya… tak ada lagi yang perlu dikatakan. Aku datang untuk menyelesaikan yang tertunda dua ratus tahun lalu.”

Ruphas menjatuhkan tangannya ke samping.

Bukan posisi siaga. Bukan sikap waspada.

Itu adalah sikap alami—yang menunjukkan betapa santainya dia menghadapi pertarungan ini.

“Ya. Mari kita selesaikan—Ruphas Mafahl!”

Tidak ada lagi kata-kata.

Kekuatan adalah satu-satunya bahasa mereka.

Pertemuan berikutnya adalah isyarat.

Dan saat itu tiba—gong pun berdentang.

Orm menghilang. Melesat. Tinju kanannya menghantam ke depan.

Dan dari sisi lain… Ruphas hanya mengangkat satu jari.

Dua kekuatan bertabrakan.

Seketika—pulau kecil itu hancur.

Lautan terbelah. Angin mengamuk.

Dan langit… terbuka.

Catatan Penulis:

Orm: “Tapi… mungkin bukan hanya Mercurius, tapi semua iblis yang telah mati. Pluto… Jupiter… mereka semua.”

Mars: “Hei!? SERIUS!? Gue diabaikan lagi!?”

Mungkinkah Mars benar-benar terlupakan?

Catatan Tambahan:

  • Metronome adalah referensi dari jurus Pokémon bernama sama.

  • Digunakan untuk menggambarkan kekuatan tak terduga dan destruktif.

Novel Bos Terakhir Chapter 167

Bab 167 – Libra Melarikan Diri!

Semuanya dimulai lebih dari dua ratus tahun yang lalu.

Kala itu, Ruphas Mafahl menerobos masuk ke Kuil Dewi dan merebut Timbangan Seleksi. Benda itu awalnya dibuat Dewi untuk digunakan oleh Gatekeeper of the Sanctuary—dengan kata lain, pemilik sejatinya adalah Alovenus. Namun, setelah dimodifikasi, timbangan itu digunakan untuk menciptakan golem baru: Libra.

Tapi… saat direbut, timbangan itu sudah memiliki sebuah misi.

Yakni: memantau Ruphas Mafahl dan… mengurangi kekuatan tempurnya dari dalam.

Ya. Di antara Tiga Belas Bintang Tirani, ada dua mata-mata.

Satu adalah Dina, wujud manifestasi Dewi.
Dan satu lagi… boneka baja tanpa emosi, Libra.

Misi ini tidak pernah dihapus, bahkan setelah Mizar membangunnya kembali.

Dan itu bukan hal aneh—karena Mizar saat itu sudah berada di bawah kendali Dewi ketika ia kembali dari Tempat Suci. Script itu dibiarkan tetap ada secara sengaja. Bahkan Mizar yang sekarang hanyalah salinan. Mizar asli-lah yang membangun Libra. Salinan itu hanya seorang penonton, yang tak pernah menyangka bahwa dirinya yang sejati bisa melakukan kesalahan sebesar itu.

Setelah selesai dibangun, Libra menjadi pelayan baja yang paling setia dan tampak paling tak tergoyahkan di antara Tiga Belas Bintang. Ia teguh dan lurus… karena ia tak punya emosi. Sebuah boneka sempurna.

Dan justru karena itulah, sejak awal ia tak pernah goyah.

Ia tetap menjalankan misinya. Bahkan ketika berkumpul kembali dengan Ruphas, ia menghancurkan sebagian ingatannya sendiri—agar bisa menipu diri sendiri dan memainkan peran sebagai bawahan yang setia.

…Mungkin karena dia golem.

Namun, meski begitu, ia tidak pernah benar-benar lupa. Tak peduli apa yang terjadi, pikirannya selalu kembali ke tujuan asalnya: menyelesaikan misi.

Ia tidak mempertanyakan kontradiksi yang ada. Karena bagi dirinya—itu semua terasa benar.

Ia memenggal Jupiter demi mencegah Ruphas mendapat informasi yang tak seharusnya. Bahkan saat Raja Iblis hendak mengatakan sesuatu yang penting, Libra sengaja mengganggu.

Namun tidak semuanya berjalan lancar.

Salah satu dari dua pengintai… Dina, manifestasi Dewi itu… mulai berperilaku aneh.

Dilihat sepintas, Dina tampak masih mengikuti skenario Dewi. Tapi justru karena itulah—skenario tersebut mulai menyimpang.

Dialah yang mendorong Mars menggerakkan Aries kembali ke sisi Ruphas. Hal yang sama berlaku untuk Scorpius dan Aigokeros. Jika ditelusuri ke akarnya… semua kembali ke keputusan dan dorongan Dina.

Bahkan di Gjallarhorn, Dina secara terbuka menyebut dirinya mata-mata iblis sejak awal—seolah dengan sengaja menggiring arah narasi.

…Apa yang dia pikirkan?

Dari awal, Libra selalu mencurigai Dina. Tanpa sadar, ia merasa ada yang tidak beres.

Sama seperti ketika Raja Iblis berbicara dengan Ruphas. Gangguan dari Dina datang terlalu lambat. Seakan-akan… ia hanya berpura-pura bekerja untuk Dewi karena diawasi oleh Libra.

Libra pun menyarankan Ruphas berulang kali agar menyelidiki Dina. Ia berharap, jika Ruphas menginterogasinya, maka segalanya akan terungkap.

Namun… meski Ruphas curiga, dia tidak pernah benar-benar menyelidiki. Dina dibiarkan melakukan apa pun yang dia inginkan. Seolah Ruphas sepenuhnya mempercayainya.

—Apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah mereka sudah berbicara secara pribadi di luar pengawasanku?

Tidak. Tidak ada bukti ke arah itu.

Sebaliknya, justru Libra-lah yang bersalah. Saat Dina mengaku sebagai mata-mata iblis, Libra terpaksa berpura-pura tidak tahu. Padahal ia telah mendengar percakapan itu—telinganya cukup tajam untuk menangkap suara dari tempat jauh. Tidak mungkin ia tidak mendengar.

Namun karena mereka berdua berasal dari faksi Dewi, Libra tidak bisa membongkar penyamarannya. Ia terpaksa berpura-pura tidak tahu—dan ini menciptakan kebohongan ganda yang berbahaya.

Ketika akhirnya ia mulai mencurigai Dina, segalanya sudah terlambat. Ruphas sudah mempercayai Dina sepenuhnya. Bahkan jika Libra mengungkap kebenarannya, yang terjadi justru ia akan membongkar kebohongannya sendiri—dan malah menimbulkan kecurigaan terhadap dirinya.

Namun… kini Dina sudah tak bisa diandalkan lagi.

Dan untungnya, di sini hanya ada dua orang: Taurus dan Libra. Tak ada saksi. Maka Libra memutuskan untuk menyelesaikan apa yang tak sempat dilakukan Earth Ouroboros. Ia akan membunuh Taurus sekarang—dan setelah itu, satu per satu, yang lain.

Ia mengangkat meriam dan membidik.

“Selamat tinggal… Taurus.”

Tapi sebelum ia sempat melepaskan tembakan—

“—Apa kau pikir semuanya akan berjalan semulus itu?”

Sebuah suara tajam terdengar.

Libra menoleh.

Pollux berdiri di sana, dikelilingi para roh heroik. Di sisinya, Castor si peri terkuat bersiaga penuh, menatap Libra dengan tajam.

“Akhirnya kau menunjukkan wajah aslimu, Libra. Sejak awal kau bilang ingin ke Helheim sendirian… aku sudah menduganya.”

—Dia tahu!?

Wajah Libra tetap datar, tapi dalam hati ia terkejut. Meski begitu, ia tidak menurunkan senjatanya. Matanya terus mengawasi Pollux, mencoba membaca langkah selanjutnya.

“…Sejak kapan kau menyadarinya?”

“Hampir sejak awal.”

“Sejak awal?”

“Ya. Tepatnya… saat kau meninggalkan avatar Dewi sendirian.”

—Libra, juga kamu! Kenapa kau bisa membiarkan hal sebodoh itu terjadi!?

—Aku menyesal, sangat menyesal… bahkan sampai aku berdiri di atas gunung penyesalan.

—Omong kosong! Kau bahkan tak tampak menyesal. Bukannya tenggelam dalam rasa bersalah, kau malah naik ke awan!

—Sebentar lagi aku keluar dari atmosfer.

—Kau benar-benar sampah logam!

Libra teringat percakapan itu. Saat itu, ia tahu ia telah melakukan kesalahan besar. Membiarkan Dina sendirian… adalah kesalahan fatal.

Kesalahan yang membongkar semua inkonsistensinya.

“Meski kau berhasil menipu Ruphas-sama, kau tak bisa menipuku. Aktingmu buruk. Mana mungkin seseorang seperti dirimu membiarkan ‘avatar Dewi’ bebas begitu saja.”

“……”

“Artinya cuma satu. Kau adalah kolaboratornya. Kupikir… mungkin aku terlalu curiga. Tapi ternyata tidak.”

Pollux menyilangkan tangan. Para roh heroik maju di sisinya. Castor telah mencabut senjata. Dan dari belakang, Taurus bangkit dengan kapaknya.

Libra kini terjepit.

Depan: barisan roh heroik. Belakang: banteng raksasa yang mengamuk.

Dia bisa saja melepaskan Brachium untuk menyingkirkan mereka sekaligus, tapi… dia baru saja menggunakannya pada Taurus.

Dengan kata lain—semua jalur tertutup.

Setidaknya, begitulah kelihatannya…

“Aku paham. Sepertinya aku terlalu meremehkanmu. Baiklah… aku mundur dari sini.”

“Mund—tunggu. Apa kau pikir bisa kabur begitu saja?”

“Pollux… Kau memang cerdas. Tapi kecerdasan tanpa kekuatan… tetaplah kelemahan. Karena itu, kau hanya melihat dari sudut pandang orang biasa.”

“…Apa maksudmu?”

Senyuman tipis muncul di wajah Libra. Tanpa ragu, ia melesat—menembus langit-langit.

Tidak, bukan ‘menembus’. Langit-langit itu seolah bukan halangan baginya. Seperti agar-agar, ia bisa melaluinya tanpa hambatan.

Bayangkan seorang tahanan di dalam sel. Tapi dinding dan langit-langitnya terbuat dari gelatin. Sebaik apapun kunci dan gemboknya… apa gunanya jika semuanya bisa ditembus?

Itulah yang terjadi di sini.

Atas, bawah, kiri, kanan. Semua seolah tertutup. Tapi kenyataannya… hanya depan dan belakang yang benar-benar dijaga.

Sisanya adalah lubang besar yang tak terlihat.

“Tu—Tunggu!”

Pollux berseru. Libra terus menanjak, langit-langit runtuh di belakangnya. Castor segera memblokir puing-puing dengan sihir, tapi reruntuhan tak berhenti.

“Kita juga harus pergi, sekarang!”

Jika hanya Castor dan para roh heroik, mereka bisa saja menghancurkan langit-langit dan mengejar. Taurus? Ia tak akan mati hanya karena ini. Mereka bisa menggali kembali nanti.

Tapi… Pollux berbeda.

Dia bisa mati tertimpa puing.

“Maaf, Kak. Sepertinya… aku cuma beban.”

“Jangan dipikirkan.”

Castor mengangkat tubuh Pollux. Roh-roh heroik mengevakuasi Taurus.

Dan begitu saja… Libra berhasil kabur dari Helheim.

“Aku sampai di sini saja. Kalian berdua, silakan lanjutkan perjalanan kembali ke Midgard tanpa aku.”

Setelah menyelesaikan tugas mereka di dunia bawah, Dina tiba-tiba menghentikan langkahnya di antara dimensi—di ruang antara dunia. Meski tak mengucapkannya, Ruphas seolah sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.

“Begitu aku kembali ke Midgard, Dewi akan langsung mengambil alih tubuh ini dan membangkitkan kesadaran asliku. Jadi… tugasku berakhir sampai di sini.”

“…Maaf. Aku terus menyusahkanmu.”

“Ya, memang.”

Dina menatap Ruphas sambil tersenyum canggung, seolah berkata: Tapi itu tidak apa-apa.

“Namun, ini adalah jalan yang kupilih sendiri. Bukan sebagai wakil Dewi… tapi sebagai Dina. Sebelum bertemu denganmu, aku ini hanyalah boneka—tak lebih dari cangkang kosong. Tapi kau memberiku ‘aku’. Kau membuatku jadi seseorang. Jadi, tak ada yang perlu kusesali. Hanya saja… sampai di sinilah batasnya. Aku tak bisa lebih jauh dari ini.”

Dina tersenyum.

Ia tahu takdir yang menantinya. Ia tahu bahwa setelah ini, dirinya akan hilang.

Sebagai avatar Dewi, keterikatannya jauh lebih kuat dari Pollux. Tak seperti roh biasa, Dewi bisa mengendalikan pikirannya kapan pun, tanpa izin, tanpa peringatan.

Dan tidak ada item, skill, atau teknologi apapun yang bisa mencegahnya.

Satu-satunya jalan keluar… adalah dengan membunuhnya.

“Ruphas-sama. Kalau kau membunuhku di sini, akan ada jeda sebelum avatar berikutnya lahir. Itu akan memberimu waktu. Jadi… selamat tinggal.”

“……”

Ruphas terdiam.

Ini adalah jalan yang telah Dina rencanakan sejak awal. Mengacaukan skenario Dewi… dan kemudian menghilang. Dengan begitu, Dewi akan kehilangan kontrol. Dan Ruphas bisa bergerak lebih bebas.

Itulah opsi paling rasional.

Itulah pilihan terbaik.

Namun…

“…Waktu itu, kau bilang: ‘jangan ragu’.”

“Benar.”

“Aku tahu. Tapi… kali ini, aku memilih tidak mengikuti ‘langkah terbaik’. Aku akan mengalahkan Dewi—dan menyelamatkanmu.”

Ruphas menatapnya dengan mantap.

Alih-alih memilih langkah paling efektif, ia memilih langkah yang lebih baik menurut hatinya.

Dirinya bukanlah orang bijak. Ia bukan tipe yang membuat keputusan berdasar logika atau efisiensi. Ia hanya orang bodoh yang selalu bergerak maju dengan kekuatan kasar.

Sejak awal, dia sudah memutuskan untuk menentang Dewa.

Dan kalau begitu… kenapa tidak sekalian menyelamatkan bawahannya sendiri yang telah setia sampai akhir?

“Kita punya janji, bukan? Jika kau membangkitkan Dewi, maka aku akan melakukan apapun untuk melindungimu.”

Dina tertawa kecil, lega. Di sudut matanya, air mata berkilau.

“…Kau benar-benar bodoh.”

“Kau baru sadar?”

“Tidak. Aku tidak tahu kalau kau sebodoh ini.”

“Aku tahu.”

Dina menutup mata, lalu merogoh dadanya dan mengeluarkan sesuatu.

Sebuah kunci—berkilau terang, memancarkan kekuatan yang luar biasa.

“Kunci Surga… singkatnya, ini adalah otoritas GM. Aku memberikannya padamu. Pengaturannya sudah siap. Gunakan saat waktunya tiba.”

“Bukan seharusnya kunci ini dipegang Castor?”

“Itu hanya tiruan, kau tahu. Untuk mengelabui mereka yang mengawasi. Sebenarnya, tak ada gunanya menyembunyikan apapun lagi. Untuk menipu Libra-sama, aku meminta Orm berpura-pura terlibat. Jadi kunci yang ada pada Orm… palsu juga. Lagipula, membawa kunci yang asli ke Argo—kapal yang penuh roh heroik—ibarat mengatakan, ‘Hei, aku bawa barang penting nih. Ayo rampas!’ Aku tidak bodoh.”

Ruphas tak terkejut mendengar nama Orm.

Sejujurnya, ia sudah menduganya.

Saat Dina menyebut dirinya mata-mata iblis, Orm seharusnya mendengarnya—tapi dia tidak bereaksi. Dan ketika Libra membunuh Jupiter, tubuhnya langsung lenyap. Itu hanya bisa terjadi kalau Jupiter berada di pihak Dewi. Biasanya, tubuh iblis tetap tersisa sesaat setelah mati.

…Benar. Ketika aku bilang, “Orang itu akhirnya menunjukkan warna aslinya,” yang kumaksud adalah Libra.

Gerak-gerik Dina selama ini memang tidak efisien. Tapi itu karena dia terus diawasi oleh Libra—dan secara tidak langsung oleh Dewi. Karena itulah, ia harus memerankan banyak lapisan: sebagai boneka Dewi, mata-mata iblis, sekaligus bawahan Ruphas.

Beban yang luar biasa.

Bahkan bagi Ruphas, itu terasa berat hanya dengan membayangkannya.

“Tak mudah melihat apa yang ada di depan hidungmu sendiri. Dewi tidak akan mengira kalau kunci aslinya ada padaku. Oh, dan ‘Ark’ juga sudah selesai. Perpaduan antara alkimia Midgard dan teknologi modern. Aku benar-benar percaya ini akan berhasil.”

“Tak kusangka kau bisa menyelesaikannya sendirian. Hebat.”

“Ehehe. Sebenarnya aku tak sendiri. Aku dibantu oleh perusahaan yang kudirikan. Semua stafnya… berasal dari Midgard. Orang-orang yang mati sejak lama. Scorpius-sama melakukan pekerjaannya dengan baik.”

Ucapannya membuat Ruphas terdiam sejenak.

Orang-orang dari Midgard… satu ras yang punah.

Tentu saja.

Jika Dina benar-benar memanipulasi para iblis dari dalam, tak mungkin dia hanya menonton saat mereka dihancurkan. Scorpius bukan makhluk yang mudah dibohongi. Tapi dengan perhitungan matang… mungkin memang begitulah skenarionya.

Tak diragukan, Scorpius telah memastikan semuanya mati. Tapi Dina punya kekuatan untuk membangkitkan mereka—asal waktunya tepat.

Dia bahkan bisa memanipulasi waktu itu sendiri.

“Dibangkitkan dari sana… Scorpius… begitu, jadi itu sebabnya. Apa pun yang kau buat… benar-benar luar biasa.”

Dina telah memanipulasi segalanya, diam-diam, selama dua ratus tahun. Ia menyelamatkan semuanya. Menyelamatkan Ruphas.

Dan sekarang… giliran Ruphas menyelamatkannya.

“Aku akan menyegel diriku di sini. Bahkan kalau Dewi berhasil menemukanku, setidaknya itu akan memberimu waktu.”

“Tidurlah dengan tenang. Mulai sekarang… ini adalah pertarunganku. Aku akan meneruskan tongkat estafet ini.”

“…Kalau begitu, aku percayakan padamu.”

“Ya. Percayalah padaku.”

Dengan lembut, Ruphas mengelus kepala Dina. Kata-kata terakhirnya diucapkan lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri daripada siapa pun.

Dan saat ia membalikkan badan, Dina… menghentikan waktunya sendiri.

Sampai Dewi menemukannya…

Ya, itu tak akan memakan waktu lama.

Paling lama satu hari.

Namun dalam waktu sesingkat itu—Ruphas harus siap.

Jika tidak… ini takkan jadi pertarungan, hanya pembantaian sepihak.

Tapi sebelum itu, ada satu keputusan terakhir yang harus dibuat.

…Maaf sudah membuatmu menunggu, Orm. Aku akan kembali sekarang.

Kita perlu menentukan… siapa di antara kita yang paling layak menantang sang Dewi.


Catatan Penulis:

Selamat tinggal, Orm-san. Semoga kau tak mati…

Sinopsis Bab Terakhir:

Dewi: “Nah? Kalau aku mau, aku bisa jadi dalang terbaik sedunia, lho! Keren kan? Sudah mengubah pandanganmu tentangku, bukan?” sombong

Komentar pembaca:

  • “Dalang yang aneh! Tapi… ya, karena ini Alovenus, kemungkinan besar tetap gagal.”

  • “Skrip ini cuma skrip kelas tiga. Jadi, pasti gagal juga.”

  • “Aku sudah tak menaruh harapan pada naskah Dewi.”

Dewi: “Aku… aku bisa menangis juga, tahu!? Serius, aku bakal menangis ini!!”

Novel Bos Terakhir Chapter 166

 Bab 166 – Sol Tersingkir

Sol berbaring di tanah, menatap langit. Entah kenapa… terasa segar.

Itu adalah pertarungan yang hebat. Ia telah mempertaruhkan segalanya—dan kalah. Tapi dia tidak berniat mencari-cari alasan. Tak peduli apakah karena jumlah lawan yang terlalu banyak, atau karena tubuhnya kalah kuat… kekalahan tetaplah kekalahan.

Toh, pada akhirnya ini semua adalah kesalahannya sendiri karena membiarkan diri terperangkap dalam situasi seperti ini.

Dalam pertempuran, bukan hanya soal adu kekuatan langsung di medan tempur. Seseorang bisa menciptakan kondisi atau lingkungan yang menguntungkan sebelum pertarungan dimulai. Itu bagian dari taktik dan strategi.

Dan dia… gagal menyadarinya.

Dia sudah masuk ke dalam skenario mereka—dan kalah bahkan sebelum pertarungan sesungguhnya dimulai.

“Hehehe... Hahahahaha!”

“...Apa yang lucu?” tanya Leon, mendekat dengan sorot mata jengkel. Tawaan Sol membuatnya kesal.

Dia tidak suka gaya sok tahu itu. Kalau Sol memang masih menyimpan kartu truf, seharusnya sudah digunakan sekarang.

Sol hanya menatapnya dengan senyum getir.

“Ini… ini benar-benar lucu. Naskah yang telah ditulis Dewi selama ribuan, ratusan ribu… bahkan jutaan tahun… semuanya berantakan hanya dalam waktu dua ratus tahun! Sungguh konyol, sampai-sampai aku tak bisa berhenti tertawa!”

“Itu saja?”

“Ya, itu saja… Eh? Apa kau pikir aku masih menyimpan sesuatu? Kalau begitu, tenanglah. Aku sudah tak punya apa-apa lagi. Kau benar-benar menang. Bahkan kalau kau membiarkanku hidup pun, aku akan segera lenyap.”

Kata-katanya seperti menyerahkan diri pada nasib. Dan mungkin memang begitu adanya.

Virgo, yang melihat itu, tiba-tiba melangkah maju. Bukan karena strategi, bukan pula demi keuntungan. Dia bergerak murni atas dorongan naluri… atas kebaikannya—dan kebodohannya.

Ia mengulurkan tangan hendak menyembuhkan Sol.

Namun Sol meraih pergelangan tangannya dan menolaknya dengan lembut.

“Jangan, gadis baik hati. Kebaikan memang sebuah kebajikan… tapi dalam pertempuran, itu bisa jadi kelemahan. Kalau aku mengambilmu sebagai sandera sekarang, situasi bisa berbalik sepenuhnya. Beberapa orang memang tidak bisa diselamatkan hanya dengan kebaikan… Ada orang-orang keji yang akan memanfaatkan itu tanpa ragu. Ingatlah itu baik-baik.”

Setelah berkata begitu, Sol mendorong bahu Virgo agar menjauh. Tapi Virgo masih tak bisa menerimanya.

“Ta—Tapi… Kau bukan orang seperti itu! Bahkan sekarang…”

Sol menggeleng pelan.

“Tidak. Aku adalah boneka Dewi sampai ke sumsum. Meski aku sudah memiliki kehendak sendiri, aku tak bisa seperti Pollux… atau Orm. Kalau kau menyembuhkanku sekarang, aku pasti akan kembali sebagai musuh. Ini tak bisa dihindari. Musuh yang telah dikalahkan... memang seharusnya diselesaikan. Itu hak, sekaligus kewajiban sang pemenang.”

“…Aku tak butuh ceramah darimu,” gumam Leon sambil maju, menatap Sol tanpa ekspresi.

Aries menarik Virgo menjauh dan menahannya. Sementara itu, Leon mengangkat tinjunya tinggi-tinggi. Otot-ototnya menegang, dan pembuluh darah di lengannya mencuat.

“Sebagai tindakan terakhir, biarkan aku memberimu sebuah hadiah kecil atas kemenangan kalian. Setelah aku mati, Dewi nyaris tak memiliki bidak tersisa. Bukan berarti dia benar-benar tak punya apa-apa, tapi... kekuatan mereka tidak akan cukup untuk mengalahkan kalian semua. Dan… kau tahu apa artinya itu, bukan?”

“Siapa peduli?” Leon menjawab datar, tak menunjukkan minat sedikit pun.

Sol hanya tertawa kecil, getir, dan mengingat dua sosok terakhir yang tersisa selain dirinya. Yang satu adalah Dina, yang masih bisa dikuasai Dewi kapan saja. Yang lain…

…meski begitu, dua orang itu saja jelas tak cukup untuk menghadapi pasukan sebesar ini. Maka satu-satunya jalan yang tersisa bagi Dewi adalah menggerakkan Ouroboros secara langsung.

“Dengan kata lain… saat ini adalah pemicunya. Ini akan memulai akhir dunia.”

Leon tidak memberikan jawaban. Ia hanya mengayunkan tinjunya ke bawah.

Suara ledakan mengguncang tanah. Karkinos segera berubah ke bentuk raksasa dan melompat ke depan, melindungi semua orang dari tekanan akibat hantaman itu. Gelombang kejut menyapu area bagaikan badai yang mengamuk selama beberapa detik. Dan saat segalanya mereda, tanah di depan mereka menganga—retak memanjang hingga ke cakrawala.

Sol… sudah tidak ada.

Yang tersisa hanya butiran cahaya redup, perlahan menghilang dari dunia ini.

“…Kenapa harus seperti ini?”

“Siapa tahu? Laki-laki memang makhluk bodoh. Kalau aku yang ada di posisinya, aku pasti akan melakukan apapun untuk tetap hidup… terutama kalau nyonya ini yang berdiri di sisiku.”

Scorpius menghela napas dan menepuk kepala Virgo dengan ringan, yang kini hanya bisa tertunduk diam.

Dan dengan itu, bidak terakhir Dewi yang mampu menentang Dua Belas Bintang pun lenyap.

Setiap orang yang hadir tahu—apa yang akan terjadi selanjutnya.

—Saatnya telah tiba.

Akhir itu… kini semakin dekat.

“Sepertinya kita tidak bisa duduk santai lagi,” ucap Mizar dengan nada serius. “Aku akan segera kembali ke Blutgang. Mulai sekarang, waktu jadi penentu segalanya. Megrez, izinkan aku memeriksa mesin mana saja yang kau rancang, sekarang.”

“Baik. Aku juga akan segera bergerak. Ini perlombaan dengan waktu.”

Sei dan rekan-rekannya tidak mengatakan banyak, namun dari bahasa tubuh mereka, jelas mereka memahami apa yang sedang terjadi. Mungkin inilah alasan mengapa para pahlawan berkumpul sejak awal—untuk menghadapi krisis ini. Meski tidak mengatakannya, Sei telah memutuskan sesuatu.

“Megrez-sama… aku akan kembali ke Lævateinn,” ujar Sei, tegas. “Aku memang tidak bisa membantu banyak dalam pertempuran. Tapi setidaknya… aku bisa menyampaikan bahwa Ruphas-san bukan musuh.”

“Itu keputusanmu?”

“Iya.”

“Kalau begitu… aku akan gunakan kemampuanku untuk mengirimmu langsung ke sana.”

Apa yang ingin dilakukan Sei mungkin tampak kecil. Tapi hanya dia—hanya orang seperti dirinya yang bisa melakukannya.

Orang-orang tidak akan percaya hanya karena Megrez berkata Ruphas bukan musuh. Bahkan jika Ruphas sendiri berkata begitu, takkan ada yang percaya. Tapi Sei… ia bukan bagian dari peristiwa dua ratus tahun lalu. Ia bisa menyampaikan kesimpulannya sendiri, hasil dari pengamatan dan pertimbangannya—dan orang-orang akan mendengarkan.

Dia tidak bisa membantu dalam pertarungan ini. Tapi dia bisa menjadi jembatan… antara para humanoid dan Ruphas.

“Kalau begitu, kalau Sei-dono sudah mengambil keputusan… kami juga,” ujar Kaineko. “Raja Kebijaksanaan, tolong kirim kami ke Draupnir. Aku akan membujuk Raja Kumar agar bergabung.”

“Grrr!”

“Oh, Friedrich. Kau juga mau ikut, ya?”

Kaineko dan Friedrich pun memilih untuk menapaki jalan yang sama dengan Ruphas. Gants dan Jean hanya mengangguk pelan, menyetujui tanpa kata.

Namun, satu orang belum bergerak.

Merak.

Ia menatap Virgo lekat-lekat, ekspresinya berubah. Seolah ia baru saja melihat sesuatu yang luar biasa. Bibirnya bergetar.

“Sayap putih itu… warna rambut dan kulit itu… Tidak mungkin… Maaf, mungkin ini lancang. Tapi… apakah orangtuamu yang sekarang benar-benar orangtua kandungmu?”

“Eh? Eh, tidak… Aku tak pernah bertemu ayah atau ibuku. Katanya aku ditemukan di hutan waktu masih bayi, lalu dibesarkan nenek…”

“A—Apa…”

Merak membelalakkan mata. Ekspresinya rumit—campuran kegembiraan dan kesedihan mendalam.

Saat itu juga, Parthenos angkat suara.

“Seperti dugaanku… Jadi begitu masalahnya.”

“Eh? Apa maksudnya? Nenek…?”

“Itu mudah ditebak. Sky King… kemungkinan besar, dia adalah ayah kandungmu.”

—Suasana seketika membeku.

Mizar, yang hendak kembali ke Blutgang, dan Megrez, yang tadinya sudah memunggungi kelompok, menghentikan langkah mereka.

Karena yang baru saja diucapkan… adalah kebenaran mengejutkan dengan daya ledak luar biasa.

“...EHHHHH!?”

Teriakan Virgo menggema ke langit.

Beberapa waktu sebelumnya, di Helheim…

Libra dan tiga roh heroik pengawalnya telah tiba tanpa halangan berarti. Di depan mereka, Taurus duduk diam menghadap kepala Ouroboros yang tertidur.

“Sudah lama… Tidak, baru beberapa hari ya, Taurus.”

“…Hm.”

“Kau pasti tahu kenapa aku di sini. Aku datang menjemputmu.”

Tak perlu banyak kata. Libra berbicara singkat, Taurus hanya menjawab satu suku kata. Siapa pun yang tak tahu latar belakang mereka pasti tidak akan mengerti apa yang sedang terjadi.

Taurus perlahan berdiri. Tinju besarnya mengepal.

“Aku akan pergi… setelah aku membereskan kekacauan ini.”

Cahaya mulai berkumpul di depan mereka. Earth Ouroboros, yang tertidur, memproyeksikan avatar-nya—sebuah sosok humanoid, mirip dengan Fire dan Sun Ouroboros sebelumnya.

Ini bukan hal aneh. Kecuali Moon Ouroboros, semua Ouroboros akan menciptakan avatar mereka. Earth pun tak terkecuali.

Avatar itu… memiliki level 1000. Kekuatan tempurnya sebanding dengan Sol. Ia adalah entitas transenden yang bisa menghapus satu ras dengan mudah.

“Aldebaran…”

—Namun ia hancur dalam satu pukulan.

Dengan suara menggelegar, tinju baja Taurus menghantam dan menghancurkan avatar itu menjadi partikel cahaya.

Meski hanya avatar, ia tetap sebuah skill. Dan di hadapan Aldebaran—skill pemusnah segala skill—ia tak punya harapan.

Pembunuhan instan. Sederhana. Bahkan bisa membuat orang mempertanyakan kenapa Leon butuh berjuang keras.

Tapi ini hanya soal kecocokan. Karena Aldebaran adalah anti-skill, maka avatar itu tak mungkin bertahan.

“Seperti biasa… luar biasa, Taurus.”

“……”

“Kalau begitu, ayo pergi. Semua orang menunggu.”

“Belum. Masih ada yang harus kuselesaikan.”

Dan tanpa peringatan, Taurus melayangkan tinjunya ke arah Libra.

Libra melompat menghindar. Pukulan itu meleset, tapi kekuatannya luar biasa.

“Apa yang kau lakukan, Taurus?”

“Tak perlu kujelaskan. Kau lebih tahu dari siapa pun alasannya.”

“Aku tak paham.”

Libra menarik senjatanya dan bersiap. Kalau Taurus berniat menyerang, maka itu artinya pertempuran.

“Tak peduli siapa kau… jika kau terus maju, aku akan melawan. Aku akan lumpuhkan kau dan menginterogasimu setelahnya. Kupikir sebaiknya kau bicara sebelum itu terjadi.”

“…Jadi kau benar-benar tak tahu? Atau kau sengaja menghancurkan ingatanmu agar bisa terus membohongi dirimu sendiri?”

“Data rusak…?”

Tubuh Libra menegang.

Memang. Ada data rusak dalam dirinya, sejak pertemuannya kembali dengan Ruphas. Tapi hingga sekarang, ia belum memperbaikinya. Bahkan… mungkin dia tidak pernah mencoba.

Tapi sekarang bukan waktunya untuk memikirkan itu.

Yang jelas, banteng ini harus ditenangkan. Kalau perlu, ia akan menyingkirkannya.

“Berhenti, kalian berdua! Tak perlu Dua Belas Bintang saling bertarung!”

“Benar! Tenangkan diri dulu!”

Para roh heroik panik, tapi baik Libra maupun Taurus tidak bergeming. Libra terus melepaskan tembakan, menjaga jarak. Taurus terus mendesak maju, tak memedulikan serangan.

Secara manuver, Libra jauh lebih unggul. Dia bisa menghindar, menembak dari kejauhan, dan memanfaatkan celah. Taurus hanya punya kekuatan jarak dekat. Tidak ada serangan jarak jauh. Maka, strategi Libra pun jelas: menyerang terus dari luar jangkauan.

Meski ingatannya rusak… Aku bisa memperbaikinya.

Jika aku memperbaikinya, identitas sebenarnya Dina, dan alasan kenapa Taurus bertindak begini… semua akan terungkap.

—Tapi Libra tidak menyadari.

Tidak menyadari betapa kacau pikirannya sekarang.

“Aku hanya harus… memperbaikinya.”

Pikiran itu begitu kuat—dan justru mengungkap betapa salah arah dirinya.

Kalau memang bisa diperbaiki, kenapa tidak dari awal?

Karena dia bukan manusia. Dia… adalah golem.

Selama ia meyakini bahwa semua ini demi tuannya, pikirannya berhenti. Tidak akan bertanya lebih jauh.

Ini perbedaan menyedihkan antara manusia dan boneka.

“...Ah. Jadi begitu.”

Libra tersenyum.

“Aku mengerti sekarang, Taurus. Semua ini... persis seperti yang kau katakan. Memang, aku melakukan ini semua demi tuanku…”

—Ia menyeringai.

“…demi Alovenus-sama.”

Senyuman baru yang belum pernah muncul sebelumnya terpahat di wajahnya.

Dan cahaya Brachium—tembakan pamungkasnya—menelan Taurus dan para roh heroik sekaligus.

Catatan Penulis:
Boneka terakhir telah diaktifkan.
Pengakuan Libra terhadap tuannya yang sesungguhnya meningkatkan semua statusnya.

Tanya: Apa Libra akan tetap menjadi sekutu jika Taurus tidak menyerangnya?
Jawab: Dalam skenario itu, Libra akan menyusup ke kelompok dan membunuh seseorang saat pertarungan melawan Ouroboros. Berdasarkan situasi saat ini, targetnya kemungkinan besar Virgo… demi membangkitkan Sei.

Novel Bos Terakhir Chapter 165

Bab 165 – Serangan Balik Leon

Sejak dilahirkan, Leon tak pernah membayangkan dirinya akan kalah.

Hidupnya dipenuhi kemenangan—dan bukan kemenangan yang diraih dengan perjuangan keras, melainkan kemenangan yang datang begitu saja, seolah dunia memang ditakdirkan untuk tunduk padanya.

Bagi Leon, makhluk lain hanyalah sekumpulan makhluk lemah. Bahkan ketika melihat mereka menggunakan skill, ia tak pernah menganggap dirinya perlu menggunakan hal serupa. Baginya, itu cuma semacam trik murahan—alat pertahanan diri yang digunakan oleh makhluk lemah untuk menutupi kekurangan kemampuan mereka... Tidak berguna.

Manusia dan humanoid menggunakan pedang karena tak memiliki taring dan cakar. Tapi dia tak membutuhkan itu semua.

Mereka mengenakan baju zirah karena tubuh mereka tak mampu menahan serangan. Tapi dirinya tidak perlu menyembunyikan kelemahan, karena ia tak punya kelemahan itu sejak awal.

Bagi Leon, senjata dan perlindungan hanyalah semacam pengganti. Mengubah taring atau tulang monster menjadi senjata maupun armor, sama saja seperti membuat barang rongsokan dari bagian tubuh serangga lemah.

Hal yang sama berlaku pada skill. Keterampilan untuk memperkuat kekuatan, meningkatkan daya serang, atau menghasilkan efek tertentu… semuanya terdengar bodoh. Baginya, satu serangan murni sudah lebih dari cukup. Semua itu hanya trik murahan untuk menghibur anak-anak.

Karena itulah, keberadaan Ruphas menjadi sesuatu yang tak masuk akal baginya. Dia—yang hanya seorang humanoid kecil tanpa taring atau cakar—mengapa bisa jauh melampaui dirinya?

Leon telah dipermalukan, dikalahkan, dan ditangkap. Ia bahkan sudah tak ingat berapa kali mencoba melawan. Namun setiap kali, perlawanan itu dihancurkan dengan mudah. Dan seakan mempermalukannya lebih jauh, Ruphas berkata dengan enteng, “Apa ada pemilik yang marah hanya karena digigit kucing peliharaannya sendiri?”

Mengolok-oloknya seolah dirinya hanya seekor kucing? Hentikan omong kosong itu!

Dalam rasa malu dan amarah, Leon menantangnya berulang kali... dan kalah berulang kali. Setiap kali pula, Ruphas akan berkata dengan nada yang nyaris seperti menggurui, “Leon, kekuatanmu memang luar biasa. Tapi kalau terus mengayunkan cakar dalam kegelapan tanpa arah, kekuatan dan bakatmu hanya akan terbuang percuma. Cobalah gunakan sedikit kecakapan.”

Bangsat, cukup!

Leon masih ingat bagaimana ia meraung dan membalas kata-kata itu.

Dirinya kuat. Dia tidak butuh trik-trik murahan orang lemah.

Namun, Ruphas menatapnya dengan tenang dan berkata,

“Trik orang lemah, ya? Begitu. Tapi dengar, Leon—kalau aku menghadapi lawan yang jauh lebih kuat dariku, dan harus memilih antara kamu dan Aries yang punya 'trik lemah' itu... aku akan pilih Aries, tanpa ragu. Bahkan aku tak akan membawamu sejak awal.”

Sebuah penghinaan terang-terangan.

Dia menyamakan dirinya dengan Aries—bahkan menyebut dirinya lebih rendah dari Aries!

“Aku tahu kamu tidak akan paham kalau cuma lewat kata-kata. Jadi mari kita buktikan lewat pertarungan. Sekarang, aku menurunkan levelku menjadi 1000. Berdasarkan statistik, levelmu seharusnya jauh lebih tinggi dari milikku. Tapi izinkan aku meramal sesuatu... Bahkan sekarang, aku masih akan menang.”

—Jangan meremehkanku!

Leon ingat bagaimana ia menerjang penuh amarah, tapi... hanya dengan satu pukulan ringan, Ruphas menjatuhkannya. Ia bahkan tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Saat sadar, satu-satunya yang dilihatnya adalah langit.

Seluruh tubuhnya terasa remuk. Tak perlu diragukan, ia telah dihancurkan.

Dan dari sana, Leon akhirnya menyadari… betapa menakutkannya kekuatan trik-trik orang lemah yang selama ini ia remehkan.

Apa yang dikatakan Megrez dan yang lainnya—memang benar adanya.

Dari sudut pandang Sei dan kelompoknya, pertarungan antara Leon dan Sol bukan lagi pertarungan makhluk hidup, melainkan pertarungan antar dewa. Skala kekuatannya terlalu besar. Nilainya tak terjangkau oleh mereka. Mustahil menentukan siapa yang unggul. Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan hanyalah menyaksikan kilatan-kilatan cahaya yang saling berbenturan dalam kecepatan mengerikan.

Namun meski begitu, mereka—bahkan para manusia biasa seperti mereka—mulai merasakan ke arah mana pertarungan ini condong.

Dan kenyataannya, itu bukan sekadar condong. Ini sudah seperti pertandingan yang dimenangkan telak. Satu-satunya alasan pertarungan masih berlangsung adalah karena daya tahan Leon yang luar biasa. Namun hasilnya... sudah ditentukan.

Sebuah pukulan dari Sol menghantam tubuh besar Leon dan melemparkannya ke udara. Bekas lompatan Sol menyusulnya dalam sekejap dan menendangnya balik ke bawah. Leon bangkit dengan cepat dan menyemburkan sinar cahaya dari mulutnya. Namun sebelum serangannya mengenainya, Sol telah menghindar, lalu berbalik dan mencengkeram ekor Leon—lalu melemparkannya ke tanah.

“Megrez-sama! Ini tidak baik! Kita harus membantunya...!” seru Gants, cemas.

“Kita tak bisa,” jawab Megrez, matanya tajam menatap ke medan laga. “Dengan kecepatan seperti itu, jika kita melepaskan serangan bantuan, besar kemungkinan malah mengenai Leon. Lagipula… ini Raja Singa. Simbol kebanggaan itu. Jika kita mencoba membantunya, dia justru bisa membalik menyerang kita.”

Memang sudah jelas siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Gants menyarankan dukungan bukan tanpa alasan, tapi Megrez tahu lebih baik. Leon bukanlah sekutu. Dia cuma musuh dari musuh mereka. Kalau mereka ikut campur sembarangan, dia justru akan menghapus mereka lebih dulu sebelum berpikir.

Saat mereka masih berbicara, pertempuran sudah hampir mencapai akhirnya. Leon jatuh lagi. Kali ini tak bangun.

“…Sudah selesai, Raja Singa. Pertarungan yang menyenangkan,” ucap Sol, melangkah maju untuk mengakhiri segalanya.

Ia memusatkan seluruh energi sihir ke tangannya—sembari menyiapkan satu pukulan pamungkas yang mengincar leher musuhnya. Seberapapun kuatnya Raja Singa, sekali kepalanya terpenggal, tamatlah sudah.

Namun—

Sebuah bayangan tiba-tiba menerobos turun dari langit dan menahan tangan Sol dengan kedua telapak tangannya. Rambut warna pelangi berkibar. Wajahnya seindah gadis, tapi tatapannya tajam dan penuh tekad.

“Ck… Kau… Aries, salah satu dari Dua Belas Bintang!?”

“Yaaahh!”

Belum sempat Sol bergerak, Aries, yang kini diselimuti api, menghajarnya dengan tendangan ke udara, lalu menyusul dengan lompatan secepat kilat. Sol sempat memutar tubuh di udara dan menembakkan sihir misterius. Namun Aries mengubah arah lompatan dengan semburan api dari tangannya, lalu bergerak ke sisi lain dan menendangnya sekali lagi.

Sol mencoba menahan serangan itu, namun dampaknya jauh dari ringan. Tubuh Sol terpental ke tanah, membajak permukaan bumi, lalu menghantam gunung—menembusnya—dan keluar dari sisi lainnya.

Tapi Sol bukan makhluk biasa. Ia adalah avatar Matahari milik Ouroboros. Serangan tingkat ini jelas belum cukup untuk menjatuhkannya.

Menggunakan kekuatan otot kakinya, ia paksa menghentikan momentum dan bersiap menghadapi Aries yang kembali datang menyerbu.

Namun saat itu juga, instingnya memperingatkan bahaya di belakang. Ia melompat ke samping—dan dari tanah, muncul sosok iblis kambing bertanduk besar dengan sabit raksasa di tangan.

“Dia menghindar, huh… Ternyata intuisi si bocah ini cukup tajam,” gumam Aigokeros.

“Aigokeros!?”

“Bukan cuma kami saja yang datang, lho,” ujar suara lain.

“!”

Tempat di mana Sol baru saja mendarat ternyata sudah dijebak. Sebelum bisa bereaksi, tendangan keras dari Karkinos menghantam pipinya, melemparkannya jauh. Lalu tubuhnya ditangkap oleh senjata berekor kalajengking milik Scorpius—dan dibanting ke tanah.

Dari kejauhan, Aquarius membidik—dan kendi airnya berputar perlahan.

“—Absolute Zero!”

Suhu mutlak. Embun beku yang bahkan bisa menghentikan waktu. Serangan itu menyapu Sol. Seandainya makhluk lain yang menjadi sasaran, niscaya telah mati seketika. Tapi Sol masih bertahan. Ia melompat keluar dari penjara es dengan paksa, tapi itu belum membuatnya aman.

Seolah memang telah menunggu momen itu, Aries langsung menghajarnya dan melempar tubuhnya ke udara. Di atas sana, sosok tengkorak berjubah menunggu—Argonaut, sang pengendali kapal Argo—Avior dari rasi bintang Carina.

Meski wujudnya tengkorak, ia adalah roh heroik. Sosok absurd yang tak bisa diukur dengan akal sehat. Ia membuka rahangnya dan mulai mengumpulkan semua energi sihir ke satu titik.

Lalu, ia melepaskannya.

Mana yang dikompres hingga batasnya berubah menjadi aurora destruktif, menembus lurus dan menelan Sol. Ledakan sihir terus menggulung, menghancurkan tanah dan melesat sampai ke angkasa—hingga menyentuh permukaan bulan… dan menciptakan awan jamur raksasa di sana.

Namun ledakan itu belum berhenti. Rentetan tembakan terus keluar dari mulut Avior, menciptakan tiang asap membubung tinggi ke langit.

Tapi… Sol masih hidup.

Ia berdiri di tengah asap, tubuhnya hangus, napas berat keluar dari mulutnya. Namun pertempuran belum usai.

Dan kali ini, Pisces-lah yang muncul di belakangnya, mencengkeram kepala Sol.

“Bersujud, dasar rakyat jelata.”

Sol dipaksa menunduk, wajahnya mencium tanah.

Jangan berani-beraninya mengangkat kepala tinggi-tinggi di hadapan putra Dewi. Anak Ouroboros sepertimu tak punya hak berdiri sejajar.

Ucapan Pisces begitu sombong—tapi dia punya kekuatan untuk mendukungnya.

Sol berguling menjauh, melepaskan cengkeraman Pisces, dan menciptakan jarak. Namun apa yang dia lihat kini—adalah pemandangan penuh keputusasaan.

Argo melayang di langit. Para roh heroik menatapnya dari atas. Di daratan, Dua Belas Bintang Tirani—semuanya hadir kecuali sang Banteng dan Timbangan. Saudara peri memang belum tampak, tapi jika kapal ini datang, artinya mereka pasti turut serta.

Bahkan Terra, putra Raja Iblis, telah menarik pedangnya. Sol kini terkepung.

Tak ada jalan keluar. Tak ada peluang menang. Tapi… senyuman Sol tidak juga luntur.

Dia yakin—bahwa masih bisa kabur dari sini. Bukankah itu alasan dia menggiring semua ini dari awal?

“Aku mengerti… Jadi akhirnya kalian semua muncul. Hahaha… Sungguh mengesankan.”

Kalau semuanya telah terjebak di sini, maka ‘rencana’ yang lain akan berjalan lancar. Yang perlu dia lakukan tinggal mundur sekarang.

Dalam benaknya, ia memanggil nama sang rekan: Dina.

Aku sudah menjalankan bagianku. Cepat, buka X-Gate. Aku harus segera pergi dari sini.

Namun…

Tak ada jawaban.

…Hening. Sepi. Sama sekali tidak ada respons.

…Mustahil.

Hubungan antara avatar Dewi dan avatar Ouroboros seharusnya tidak bisa diputus. Sol adalah alat pemanggil senjata pamungkas. Ia adalah saklar untuk mengaktifkan serangga-serangga Dewi jika dunia perlu diakhiri.

Tak mungkin... tak mungkin pesan telepatinya bisa diabaikan begitu saja.

Tapi kenyataannya... memang diabaikan.

…Begitu, ya.

Sol tiba-tiba terkekeh.

Jadi itu alasannya?

—Sekarang semuanya masuk akal.

…Jadi ini alasannya?

Sekarang semua kejadian yang tampak terlalu kebetulan mulai tersusun rapi dalam benaknya. Betapa bodohnya untuk berpikir bahwa hanya dirinya satu-satunya yang berhasil mendapatkan kesadaran. Bahwa hanya dia yang melampaui peran boneka.

Kalau Dina juga berhasil menjadi ‘nyata’, maka semuanya masuk akal—kenapa peristiwa demi peristiwa tampak selalu menguntungkan pihak Ruphas. Kenapa Dua Belas Bintang bisa terkumpul kembali. Kenapa jebakan ini begitu sempurna.

Sol mulai tertawa. Bukan tawa kesal atau putus asa, melainkan… kekaguman.

Ia sadar bahwa tidak ada lagi jalan untuk menyelamatkan diri. Ini adalah akhir. Tempat kematiannya.

Namun… tak ada kemarahan. Tak ada kebencian. Yang ada hanya rasa hormat.

Sungguh luar biasa.

Dia ingin memberi tepuk tangan atas kelicikan itu—kepada Dina, yang telah berhasil menipu semua orang. Ia suka kekuatan, tapi bukan hanya dalam arti fisik. Entah itu kekuatan, kebijaksanaan, ataupun tipu daya… selama ada sesuatu yang melampaui imajinasinya, ia merasa puas.

Karena hidup di dunia yang berjalan sesuai kehendak Dewi terlalu membosankan.

Itulah sebabnya Sol tertawa. Bukan karena ia bodoh, tapi karena ia jujur mengakui—ia kalah karena tak mampu menyadari hal itu lebih awal. Ia tertarik, kagum, dan… kalah.

“Baiklah, Dina. Kalau memang ini akhirku, maka biar aku mati di sini. Tapi aku tidak akan mati sendirian... setidaknya, aku akan menyeret satu orang teman ikut ke neraka.”

Ia tak bisa maju. Tak bisa mundur. Tapi jika lawan terakhirnya adalah Dua Belas Bintang Tirani… maka itu adalah akhir yang pantas.

Namun, yang muncul di hadapannya justru satu sosok yang tak disangka-sangka.

Leon.

Sosok itu telah berubah dari bentuk singa menjadi bentuk humanoid. Ia berdiri sendiri, menatap Sol dengan dingin. Virgo mencoba menyembuhkannya, tapi Leon mendorongnya dengan kasar.

“Jangan lakukan hal yang tidak perlu, dasar sampah. Dia... adalah mangsaku.”

“Hah? Jangan sok hebat. Bukannya kamu tadi baru saja kalah, ya?” sindir Scorpius.

“…Ck. Yah… aku tak bisa membantah itu. Memang, kalau aku tetap seperti tadi, aku tak akan menang.”

Tak seperti biasanya, Leon mengaku kalah dengan ringan. Ia memutar leher, meludah darah, lalu menggaruk kepalanya sebal.

“Tak ada pilihan… Aku tak suka mengikuti cara Ruphas, tapi… pakai trik, huh?”

Leon maju dengan kedua tangan di bawah, langkahnya tenang.

Sol menyadari ada yang janggal, tapi tetap maju dan mengincar dagu Leon. Namun tepat saat pukulan hendak mengenai sasaran, Leon memutar tubuhnya dan menangkis serangan itu dengan ringan, lalu membalas dengan siku ke dagu Sol.

Sol terkejut, tubuhnya terdorong mundur.

“Hei, barusan itu…”

“Hmm. Itu Technical Guard. Keterampilan bertahan untuk menangkis serangan lawan sekaligus mengurangi kerusakan. Ajaran dari sang Master. Tapi… ini pertama kalinya aku melihatnya digunakan,” jelas Aigokeros pada Aries yang melongo.

Sol bangkit dan menyerang lagi, tapi Leon menghindar dengan kecepatan mengejutkan—menggunakan Abandonment, sebuah skill penghindaran tingkat tinggi.

Kemudian, Leon melepaskan skill Double Blow—dua pukulan cepat menghantam perut Sol, membuat tubuhnya terhempas.

Serangan itu berbeda dari sebelumnya. Tidak mengandalkan kekuatan brutal semata. Kini, Leon bertarung dengan teknik.

“Leon… bisa bertarung seperti ini juga…” gumam Aries, kagum.

“Hmph. Sejak awal, bakat tempurnya memang tidak main-main. Bahkan tanpa skill khusus, dia tetap kuat kalau serius. Orang itu… bikin mual,” sahut Scorpius dengan nada malas.

Memang benar, selama ini Leon bertarung hanya dengan mengandalkan status dasarnya yang luar biasa. Dia jarang menggunakan skill. Kadang hanya Roar, itupun skill dasar dengan efek area.

Dia tidak membutuhkan skill untuk menjadi yang terkuat dari Dua Belas Bintang.

Tapi kini, semua berubah.

Leon telah melepaskan egonya. Ia sadar bahwa dirinya tak bisa mengalahkan Sol tanpa mengubah cara bertarung. Dan ia… bertarung dengan sepenuh hati.

“Menarik… Ya, ini baru pertarungan yang pantas!” seru Sol, gembira.

Mereka saling menerjang. Tinju bertabrakan dengan tinju. Tapi kali ini, bukan hanya adu kekuatan.

Banyak skill tersembunyi dipakai. Gerakan tipuan berseliweran. Kecepatan mereka melampaui batas penglihatan, hanya suara tabrakan keras yang terdengar.

Tak seperti pertarungan sebelumnya yang penuh dentuman besar, kali ini mereka bertarung dalam skala kecil—namun tiap serangan sangat terfokus dan mematikan.

Kekuatan mereka… seimbang.

Jika Sol masih didorong oleh kekuatan Dewi, mungkin ia masih unggul. Tapi tubuhnya sudah penuh luka. Sementara Leon—dengan tubuh yang luar biasa kuat—mulai mendominasi.

Tinju Sol menghantam perut Leon. Suara tulang retak terdengar. Tapi pada saat yang sama, tinju Leon menghantam wajah Sol, menghancurkan rahangnya. Mereka saling menghajar, saling menghancurkan, bahkan tulang kaki pun patah bersamaan.

“OUHH—!!” Leon mengaum keras.

Akulah yang terkuat. Aku tak bisa kalah. Aku tak boleh jatuh di tempat seperti ini. Ada tembok yang harus kutembus. Jika aku kalah darimu... maka jiwaku akan menangis!

“WAAAARGHH—!!” Sol membalas raungan itu.

Ya, ini dia! Inilah yang kucari! Dunia yang berjalan sesuai skrip... tidak menarik! Aku ingin sesuatu yang melampaui harapanku!

Di dunia miniatur buatan Dewi ini, Sol menemukan lawan yang pantas. Dan dalam pertarungan seperti ini, pemenang ditentukan oleh kekuatan kehendak.

Yang satu bertarung demi masa depan. Yang satu bertarung demi pertarungan itu sendiri. Dan perbedaan tekad itu… membuat perbedaan.

Pertarungan hanya berlangsung beberapa puluh detik. Tapi bagi keduanya, waktu seakan melambat—seolah mereka telah bertarung selama berjam-jam.

Dan akhirnya… pria berambut putih itu-lah yang jatuh.

Di waktu yang sama, di Helheim…

Para roh heroik yang menemani Libra satu per satu tumbang. Tubuh mereka hancur, kemudian perlahan menghilang menjadi partikel cahaya.

Kini hanya tersisa dua sosok di tengah medan pertempuran…

Libra dan Taurus, saling mengarahkan senjata satu sama lain.

Catatan Penulis:

Selamat atas kemenanganmu, Leon!

Dewi: “Tunggu! Bagaimana bisa dia kalah dari singa yang mengibarkan begitu banyak bendera kekalahan, meski sudah kuberi buff!? Dasar omong kosong!”

Narrator-san: “Leon adalah yang terkuat. Tak ada yang bisa menyangkalnya.”

Narrator-san: “…Kurasa… tak ada yang bisa menyangkalnya.”

Narrator-san: “Leon benar-benar kuat! Dia hebat! Sangat kuat!!”

Catatan Penerjemah:

Judul bab ini adalah referensi dari skill “Counter” di Pokémon.

Dan... entah kenapa penulis sangat terobsesi dengan awan jamur. Tidak semua ledakan menghasilkan awan jamur, apalagi di bulan. Bahkan menurut artikel Why the Air Force Almost Blasted the Moon dari History Channel:

“Awan jamur berasal dari debu dan puing-puing yang terlempar di atmosfer padat. Tapi bulan nyaris tak punya atmosfer. Tanpa tekanan udara, debu hanya akan mengembang ke segala arah, bukan membentuk awan jamur.”

Jadi... yeah. Hanya debu. Tidak ada awan jamur.