Bab 168 – Ruphas Menggunakan Metronome!
Ketika seseorang terlalu lama menyendiri, menjauh dari dunia, menjauh dari keramaian, tanpa sadar mereka akan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dan di saat-saat sunyi itulah—Orm mulai berpikir.
Apa sebenarnya dunia ini? Siapa dirinya?
Dunia ini… adalah taman miniatur ciptaan Dewi. Sebuah kotak mainan besar, panggung pertunjukan yang telah ia rancang sepenuhnya. Sedangkan dirinya hanyalah alat. Sebuah boneka panggung, diciptakan untuk menebar keputusasaan bagi umat manusia.
Tak ada bantahan. Tak ada keraguan.
Karena segala hal telah ditentukan oleh keberadaan yang mahatahu dan mahakuasa. Jika sang Dewa sudah memutuskan, maka begitulah adanya. Takdir tak perlu dipertanyakan.
Seperti singa yang memangsa rusa—itu bukanlah kejahatan, melainkan kodrat. Tak ada yang menentukan bahwa itu benar atau salah. Mereka melakukan itu karena… memang harus dilakukan. Sebuah konsekuensi dari alam. Takdir.
Kapan semua ini dimulai?
Sebagai antek Dewi, Orm telah menjalani perannya sebagai simbol keputusasaan dan rasa takut. Dan pada akhirnya… ia akan berpura-pura kalah oleh para pahlawan yang menantangnya. Ia akan berpura-pura terluka parah dan menyerah… lalu meninggalkan panggung.
Itu saja. Sebuah peran sederhana. Karena sejak awal, tak ada satu pun makhluk yang benar-benar bisa mengalahkan Ouroboros Orm. Jika ia serius, ia bisa menghancurkan siapa pun dalam sekejap.
Seorang pahlawan pernah berteriak, “Demi orang yang kucintai, aku tak akan kalah!”
Yang lain berseru, “Demi kedamaian umat manusia!”
Mereka datang membawa keyakinan dan tekad, menyuarakan idealisme dan harapan. Dan Orm… hanya mendengarkannya dalam kehampaan.
Ia bisa memahami arti kata-kata mereka. Tapi ia tak bisa memahami apa yang mendorong mereka untuk mengucapkannya.
Orang tercinta? Seseorang yang lebih penting dari diri sendiri?
Keluarga?
Apa itu?
Apa arti semua itu?
Dewi tak pernah mengajarkannya.
Ia hanya menjalankan peran. Ia membantai mereka semua, bahkan tanpa tahu siapa mereka sebenarnya. Baginya, para pahlawan hanyalah potongan naskah, bukan individu.
Namun, kapan semuanya mulai berubah?
Mungkin sejak ia bertemu Pollux, sang Putri Peri.
Gadis itu… berbeda. Ia punya hati. Dan karena itu, ia bisa memahami para pahlawan. Ia bisa menangis untuk mereka.
Orm tak bisa mengerti. Ia tak tahu kenapa Pollux bisa menangis karena para pahlawan.
Kenapa mereka rela mengorbankan hidupnya demi sesuatu yang abstrak?
Apa yang membuat mereka berani?
Ia tak tahu.
Namun… saat melihat air mata Pollux, ia tahu satu hal: apa yang ia lakukan selama ini… pasti mengerikan.
Jika aku adalah manusia… jika aku adalah salah satu dari para pahlawan itu…
Mungkin aku akan bisa mengerti air mata itu.
Kapan semuanya dimulai?
Mungkin ketika ia mulai muak dengan cerita yang selalu berulang. Protagonis boleh berganti, tapi naskahnya selalu sama. Kejenuhan itu mungkin adalah pemberontakan kecil pertama yang muncul di dalam dirinya.
Saat itulah ia membuat avatar. Padahal, berbeda dengan Ouroboros lain, Orm tidak memerlukan avatar—ia masih aktif dan utuh. Namun tetap saja, ia menciptakan alter ego.
Dan tanpa sadar, avatarnya lahir dalam wujud yang berlawanan dengan dirinya.
Seorang pahlawan.
Seseorang yang ingin dipahami oleh Orm.
Seseorang yang… manusiawi.
Ia menamainya—Terra.
“…Dunia ini… sedang ketakutan.”
“Hah?”
Saturnus menatap bingung, tak mengerti maksud kata-kata yang tiba-tiba meluncur dari mulut Orm. Tapi Orm tak merasa perlu menjelaskannya. Tak lama lagi, Saturnus pun akan merasakannya sendiri.
Lihat saja—dia sudah kembali.
Dia yang berasal dari dunia lain. Yang telah merebut kembali kekuatan dan ingatan sejatinya.
Sang monster sejati. Dia yang telah menghancurkan keputusan Dewi… takdir.
“Raja itu… telah kembali.”
Begitu kata-kata itu diucapkan, dunia pun bergetar.
Bukan sekadar figuratif. Bukan metafora.
Dunia benar-benar—secara harfiah—bergetar.
Bumi mengguncang. Udara mendesir. Bahkan bintang-bintang pun seakan memalingkan wajah.
Itu mirip dengan Coercion, skill milik para flügel… tapi efeknya—berada di tingkatan yang tak terbandingkan. Saturnus bahkan tak bisa berdiri. Dunia sendiri berguncang dalam ketakutan akan kedatangan penguasa sejati itu.
Ini bukan halusinasi.
Badai aneh mulai terbentuk di atas Benua Hitam. Bulan tampak tertarik, bergerak sedikit lebih dekat ke Midgard. Air laut naik, tak wajar.
Eksistensinya sendiri telah berubah menjadi konsep kekuatan.
Dia tidak sedang menggunakan kekuatan—dia adalah kekuatan itu sendiri.
Keberadaannya sudah melampaui batas logika. Terlepas dari jarak, dunia merasakannya. Semua makhluk… tahu dia telah kembali.
Ruphas Mafahl.
Dalam bentuknya dua ratus tahun lalu, ia telah bangkit kembali.
Orm bangkit dari tahtanya.
“A—Apa? Apa kau… akan melawannya?”
Saturnus menatap Orm seolah melihat orang gila. Wajar. Siapa pun yang waras tahu—ini bukan saat yang tepat untuk menantang Ruphas.
Bukankah lebih baik membiarkannya bertarung melawan Dewi?
Tak ada untungnya menghadapi makhluk itu sekarang.
“Berhentilah! Tak ada gunanya melakukan ini!”
Namun Orm tak menjawab.
Karena tak ada alasan yang logis.
Karena memang—pertarungan ini tidak penting. Bahkan bisa dibilang… tak ada artinya.
Tapi ia tahu satu hal.
—Ruphas tidak membunuh Dina.
Itu berarti… waktu yang tertunda itu—akan berakhir sebentar lagi.
Dewi akan menemukan Dina. Dan begitu ia bangkit, skenario akhir akan dimulai.
Tak ada lagi waktu.
Midgard… akan hancur hari ini.
Jika merenung sejenak, sudah jelas betapa tak masuk akalnya menantang Ruphas sekarang. Seorang bijak akan berkata: “Tunggu. Lihat situasi. Ini bukan waktunya.” Seseorang yang sabar akan berkata: “Kita bisa bertarung nanti. Fokuslah pada hal yang lebih besar.”
Dan ya, semua itu benar.
Namun, Orm bukan orang bijak. Dan dia bukan orang sabar.
“Aku tahu, ini salah. Tapi aku harus melakukannya.”
Kalau terus menghindar, aku takkan bisa melangkah maju.
Itulah tipe dirinya. Dan… itulah tipe Ruphas.
Tak ada yang bisa menantang Dewi jika masih menyimpan keraguan. Sekarang, setelah seluruh ingatannya kembali, Orm sadar: hatinya masih menyimpan satu penyesalan.
Pertarungan dua ratus tahun lalu… belum selesai.
Dan untuk maju menghadapi Dewi, pertarungan itu harus dituntaskan.
Ada dua orang yang layak menantang Dewi—Orm dan Ruphas. Maka, sebelum segalanya dipertaruhkan… harus ditentukan siapa di antara mereka yang paling pantas melangkah.
“Benet… Kau mengerti, bukan?”
“…Hm.”
Benetnash memalingkan muka, pura-pura tak tertarik. Tapi ia tahu. Ia memahami apa yang dirasakan Orm dan Ruphas. Karena ia pun telah menunggu dua ratus tahun untuk penyelesaian yang tak pernah datang.
Mulai sekarang, semua akan berjalan berdasarkan ego mereka sendiri.
Demi menutup cerita lama.
Demi melangkah ke akhir cerita yang baru.
Orm tahu—melawan Ruphas adalah tindakan yang tolol. Tapi justru karena itulah, ia takkan mundur.
Orang bijak akan bilang penantang Dewi tidak perlu satu orang. Orang baik akan berkata mereka bisa berbagi beban. Tapi Orm bukan orang bijak. Dia hanya seseorang yang punya prinsip, dan tak sudi meninggalkan pertarungan lama sebagai luka terbuka.
“Memang bodoh… tapi itulah aku.”
Dengan senyum tenang, Orm berkata begitu.
Ia melangkah melewati Saturnus, jubahnya berkibar. Saturnus mencoba meraih ujung jubah itu—tapi tangannya terlepas.
Dia sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan saat itu. Dan ia tak ingin tahu. Karena memahami hal itu terasa… seperti menghina.
Maka ia hanya bisa bersembunyi di balik topeng seorang bawahan.
Namun, saat emosi mulai meledak, ia tak bisa menahan lidahnya.
“Kalau begitu… setidaknya, kembalilah hidup-hidup. Para iblis masih membutuhkanmu!”
Orm tidak menjawab. Hanya tersenyum tipis.
“Aku tidak pergi untuk mati.”
Kata-kata itu singkat—tapi penuh makna.
Saturnus tersenyum. Entah kenapa, ia merasa lega. Dina pernah berkata bahwa para iblis hanyalah boneka… tapi mungkin, mereka tidak benar-benar ditinggalkan.
Meski diciptakan oleh Dewi… mereka punya hati.
Terra, Luna, bahkan Mercurius—mereka semua memiliki sesuatu yang nyata di dalam diri mereka.
Bahkan Mercurius, yang percaya bahwa Orm memegang kunci surga, telah menaruh harapan padanya. Tapi Orm hanya punya tiruan.
Dan meskipun ia punya kunci asli sekalipun… tetap tak ada artinya.
Karena kunci itu hanya bisa digunakan oleh mereka yang benar-benar terhubung dengan Dewi—seperti Dina, atau Parthenos.
Dina tak bisa menggunakannya secara terang-terangan. Parthenos… jelas bukan teman para iblis. Maka Mercurius telah terjebak sejak awal.
Semua iblis—Pluto, Jupiter, bahkan Mercurius—telah mati sia-sia, hanya karena mereka tak punya jalan keluar.
Kecuali satu.
Agar nasib iblis berubah, satu-satunya cara adalah: memaksa Dewi mengubah ceritanya sendiri. Hanya itu. Tak ada jalan lain.
Dan satu-satunya orang yang mungkin bisa memaksanya melakukan itu…
Adalah Ruphas Mafahl.
Peluangnya mungkin satu banding seribu. Tapi hanya dia—yang mungkin bisa.
Namun jika dibiarkan sendirian, bahkan setelah menang… para iblis hanya akan hidup dalam ketakutan di bawah bayang-bayang Ruphas. Maka pertarungan ini tidak bisa dihindari.
Ruphas harus dihadapi.
Midgard tidak boleh kehilangan Ruphas… tapi dia juga tak boleh dibiarkan begitu saja.
Karena Orm tidak bisa melawan Dewi secara langsung. Tubuhnya akan menolak itu. Ia adalah bagian dari Dewi, terlahir dari dirinya. Tapi—jika ia bisa mengalahkan Ruphas dan merebut kekuatan itu… segalanya bisa berubah.
Kini, Ruphas telah kembali sepenuhnya.
Melawannya dalam kondisi setengah sadar takkan ada artinya. Tapi sekarang, saat dia benar-benar bangkit sebagai dirinya yang dulu…
Justru inilah saatnya!
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya—Orm menjadi penantang.
Mungkin… beginilah rasanya menjadi pahlawan.
Ia terbang menuju langit. Melewati awan. Melewati batas.
Dan saat pemandangan berganti, ia tiba di sebuah pulau terpencil.
Tempat sunyi. Tidak terlalu luas. Tapi sempurna untuk bertarung.
Kawasan ini hampir sebesar 40% dari wilayah layak huni di Midgard. Tapi tak ada yang tinggal di sini. Terlalu banyak bencana. Terlalu banyak kekacauan.
Sempurna untuk mengadu kekuatan sejati.
Dan pada saat yang sama, dari sisi berlawanan, sosok bersayap hitam turun dari langit.
Ruphas telah tiba.
Wajahnya tenang. Tak ada amarah. Tak ada tegang. Hanya kepercayaan diri mutlak.
Dia tak perlu menunjukkan kesiapan. Karena dialah pertarungan itu sendiri.
Dan Orm… tahu bahwa waktu itu telah tiba.
Ia menyunggingkan senyum pahit.
Akhirnya… saatnya tiba.
Dia bisa melihatnya jelas.
Sang bintang kematian.
“Sudah lama menunggu, Raja Iblis. Sepertinya… tak ada lagi yang perlu dikatakan. Aku datang untuk menyelesaikan yang tertunda dua ratus tahun lalu.”
Ruphas menjatuhkan tangannya ke samping.
Bukan posisi siaga. Bukan sikap waspada.
Itu adalah sikap alami—yang menunjukkan betapa santainya dia menghadapi pertarungan ini.
“Ya. Mari kita selesaikan—Ruphas Mafahl!”
Tidak ada lagi kata-kata.
Kekuatan adalah satu-satunya bahasa mereka.
Pertemuan berikutnya adalah isyarat.
Dan saat itu tiba—gong pun berdentang.
Orm menghilang. Melesat. Tinju kanannya menghantam ke depan.
Dan dari sisi lain… Ruphas hanya mengangkat satu jari.
Dua kekuatan bertabrakan.
Seketika—pulau kecil itu hancur.
Lautan terbelah. Angin mengamuk.
Dan langit… terbuka.
—
Catatan Penulis:
Orm: “Tapi… mungkin bukan hanya Mercurius, tapi semua iblis yang telah mati. Pluto… Jupiter… mereka semua.”
Mars: “Hei!? SERIUS!? Gue diabaikan lagi!?”
Mungkinkah Mars benar-benar terlupakan?
Catatan Tambahan:
-
Metronome adalah referensi dari jurus Pokémon bernama sama.
-
Digunakan untuk menggambarkan kekuatan tak terduga dan destruktif.
—