Novel Bos Terakhir Chapter 156

Bab 156 — Ophiuchus Sang Ular Surgawi Muncul!

Hari itu, di tempat itu, suasana semarak dan ramai menyelimuti udara.

Sebuah acara bertajuk Kontes Kecantikan Pinggir Jalan tengah berlangsung—acara yang bisa diikuti siapa saja hanya berdasarkan kemauan. Tujuannya sederhana: mencari siapa yang paling cantik berdasarkan suara penonton. Di satu sisi, ini adalah event yang sudah terkesan usang, bahkan membuat orang bertanya-tanya, “Serius, hal kayak begini masih ada di zaman sekarang?”

Sebenarnya, ini adalah proyek dari sebuah acara varietas yang tayang tengah malam. Bisa dibilang, konsepnya pun agak meragukan—gagal sebelum mulai pun sebetulnya bukan hal mengejutkan.

Meskipun disebut kontes kecantikan, nuansa utama dari acara ini seolah lebih cocok disebut sebagai ajang untuk mempermalukan peserta yang terlalu percaya diri. Sebuah jebakan yang dibungkus hiburan.

Tentu saja, ada agenda tersembunyi di balik pertunjukan ini.

Seperti kebetulan yang terlalu kebetulan, ada seorang idola bernama Yuwontsel Lanyway—usia 18 tahun, popularitas menurun—yang “tanpa sengaja” sedang berada di sekitar lokasi. Lalu, dengan “tidak sengaja” pula, ia ikut berpartisipasi… hanya untuk akhirnya “menang” dengan menginjak-injak para peserta lain yang tak sadar mereka hanyalah pion dalam skenario yang telah ditentukan. Tak perlu dibilang lagi—semuanya telah diatur. Dia tidak sekadar lewat. Dia hanya menunggu giliran tampil sesuai naskah.

Dengan kata lain, dari awal memang sudah dirancang agar dialah pemenangnya. Ini adalah pertaruhan terakhir yang disiapkan oleh manajer dan jaringan televisi untuk menyelamatkan popularitasnya yang tenggelam.

Meski begitu… acara TV-nya sendiri bahkan tidak pernah populer sejak awal.

Di antara kerumunan, tentu saja ada penonton bayaran, sudah siap memainkan perannya, memeriahkan suasana panggung demi mengangkat ilusi kesuksesan.

Namun di zaman modern, di mana internet bergerak lebih cepat daripada siapa pun, kebohongan seperti ini mudah sekali terbongkar. Dalam sekejap, semuanya bisa runtuh, atau terbakar habis dalam gelombang skandal. Dan walau semua itu sudah disadari, pihak manajemen sang idola tetap nekat menjalankan rencana.

Lagipula, kalau sekarang dia tak bisa “terjual”, maka kariernya tamat. Citra? Itu urusan nanti. Yang penting sekarang adalah hasil.

...Atau bahkan mungkin, tak akan ada yang terbakar sama sekali. Karena, seperti yang sudah disebutkan, acaranya sendiri nyaris tak ada yang peduli.

Malah, kemungkinan besar, tak ada seorang pun yang melihatnya. Idola itu akan menghilang dalam ketidakjelasan. Kalau dipikir-pikir, skandal pun mungkin bisa jadi publisitas yang lebih baik daripada dilupakan begitu saja.

“Peserta berikutnya adalah... oh? Sepertinya kita melihat seorang idola naik ke atas panggung?”

Akhirnya, giliran Yuwontsel pun tiba.

Sorak-sorai penonton—atau setidaknya, peningkatan ekspektasi—terdengar saat sang idola muncul. Namun, yang terasa tragis adalah: peningkatan ekspektasi itu hanya terjadi secara relatif. Bukan karena dia benar-benar dinanti, melainkan karena peserta sebelumnya tak mengesankan.

Beberapa orang di kerumunan mulai merasa semuanya ini hanya sandiwara. Tatapan mereka tajam, mati, sinis.

Namun saat itu juga—tatapan semua orang tiba-tiba beralih menjauh dari panggung.

“Hei, Benet! Ini lagi acara, jangan asal nyelonong!”

“Peduli amat.”

—Seorang gadis muda dan seorang wanita dewasa yang sama-sama sangat cantik melintas di depan panggung, kecantikan mereka nyaris membuat orang meragukan bahwa mereka berasal dari spesies yang sama dengan manusia biasa.

Gadis muda itu berambut perak, berjalan santai di depan. Di belakangnya, wanita berambut emas terang tampak kesal dan kebingungan mengejarnya. Terlepas dari interaksi mereka, pesona keduanya benar-benar... tak masuk akal. Luar biasa. Seolah tak berasal dari dunia ini.

Sampai-sampai sang pembawa acara pun terpaku, lupa pada tugasnya sendiri.

Dan yang paling tragis dari semua ini adalah—sang idola yang baru saja muncul di atas panggung.

Kehadirannya sepenuhnya tertelan oleh dua sosok asing tadi. Padahal, dialah yang seharusnya menyingkirkan peserta lain... tapi justru dialah yang tersingkir, bahkan tanpa disengaja.

Tak lama kemudian, muncul sebuah thread di forum publik berjudul "Aku Gagal Tidur Sejak Melihat Mereka”, dibuat oleh salah satu peserta. Foto-foto dua orang asing yang melintas itu—diambil oleh penonton menggunakan ponsel—langsung viral dan menyulut kehebohan.

Tapi itu belum selesai.

Tak lama, thread lain muncul: “Aku Lihat Si Rambut Pirang Ngehajar Truk!” dengan bukti foto yang mendukung. Lalu menyusul klaim seperti: “Aku Lihat Mereka Lompat Dari Atap ke Atap!”

Namun meskipun kehebohan itu mengguncang dunia maya, dua sosok misterius itu... bahkan tidak sadar mereka telah menciptakan kekacauan.

“Dua set cheeseburger dobel.”

“Lun lun laa~♪”

“Oh, dan satu cone es krim juga.”

“Ronald senang melayani pesananmu.”

Dalam perjalanan menuju Niigata, Benet dan aku memutuskan mengambil jalan memutar untuk makan siang ringan di sebuah restoran burger waralaba yang tersebar di seluruh negeri.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa kami malah makan junk food? Jawabannya sederhana. Aku cuma kangen rasa makanan tidak sehat seperti ini—sudah lama tak merasakannya.

Setelah mengambil pesanan dari pelayan yang mengenakan kostum badut khas maskot restoran, aku menuju tempat duduk Benet.

(Tak penting, tapi maskot itu bernama Ronald. Katanya sih pendiri tempat ini... entahlah kenapa begitu.)

“Jadi makanan di dunia ini rasanya asin ya? Dan agak mentah, lembek pula.”

“Ya, namanya juga junk food…”

Meski mengomentari begitu, Benet tetap menyantap cheeseburger-nya tanpa henti. Artinya, mungkin dia diam-diam menyukainya.

Awalnya aku berharap dia akan bereaksi seperti tokoh novel ringan pada umumnya: “Wah! Jadi ini makanan dunia lain?! Luar biasa!”—tapi kupikir, reaksi seperti itu terlalu naif darinya. Lagi pula, dia seorang ratu. Tentu sudah terbiasa dengan makanan enak.

Biasanya, dalam cerita-cerita yang disebut food porn, raja dan dewa dari dunia lain akan jatuh cinta pada makanan murah dari Bumi. Tapi ya… Benet jelas bukan tipe yang ikut-ikutan pola cerita murahan seperti itu.

Namun, meski tidak begitu tertarik dengan cheeseburger, ekspresinya sedikit berubah saat dia mencicipi es krim.

...Oh, ternyata dia tertarik dengan cone es krim, ya?

Memang, di dunia sebelah sana, tidak ada yang namanya es krim lembut seperti ini. Makanan beku memang ada, tapi sebatas serbat sederhana—buah, beri, atau madu yang dituangkan di atas salju atau es serut.

Konsepnya mirip makanan kuno zaman Perjanjian Lama. Tak disangka, sejarah makanan dingin ternyata sudah tua.

Beberapa saat kemudian, Benet menyuruhku kembali ke konter dan memesan lima cone es krim tambahan. Setelah perut kenyang dan hati puas, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Jujur saja, akan lebih cepat kalau kami jalan kaki, tapi menikmati proses bepergian dari satu tempat ke tempat lain adalah bagian dari pesonanya.

Kali ini, kami memilih naik kereta peluru. Setelah masuk, kami duduk di kursi bebas di dalam gerbong tanpa reservasi.

Begitu kereta mulai melaju, pemandangan di luar jendela pun mengalir cepat. Benet, penasaran, memperhatikannya penuh minat.

“Hmm. Lumayan cepat juga. Tapi… benda ini bukan golem, kan?”

“Bukan.”

“Aneh. Ia tak menggunakan mana, dan tak memiliki kehendak atau kemampuan berpikir seperti golem. Tapi bisa bergerak sendiri… hanya sebagai bongkahan baja. Bagiku, ini lebih ajaib daripada sihir.”

Di dalam kereta, aku membuka buku yang kubeli beberapa waktu lalu di toko buku. Entah kenapa, buku itu menarik perhatianku.

Benet tak bisa membaca tulisan dunia ini. Tapi saat aku memberinya manga, dia tampak tertarik dan mulai membolak-balik halamannya.

Yang kubaca sendiri adalah novel ringan. Kisah klise tentang remaja Jepang biasa yang tiba-tiba dipanggil ke dunia lain dan boom, jadi sosok tak tertandingi. Iya, cerita seperti itu lagi.

Dulu, seri ini cukup populer hingga diangkat jadi anime. Tapi saat kulihat buku ini di rak toko, ada label “Edisi Terbaru”—karena itu kubeli secara impulsif.

Namun, setelah kubaca... aneh. Tak ada satu pun perubahan dibanding edisi yang pernah kubaca dulu.

Kalau tak salah, seri ini selesai pada tahun 2022. Jadi mestinya dua volume terakhir ini memang baru, kan?

Tapi bukan cuma isinya yang sama—bahkan kesalahan cetak yang dulu sempat dikoreksi pun masih ada di sini.

Toko buku macam apa itu? Menjual volume lama lalu mencantumkan "edisi terbaru"? Betul-betul keterlaluan.

Sementara itu, Benet tampaknya asyik dengan manga klasik yang kuberikan padanya. Salah satu seri dari era Showa—cukup tua. Ceritanya berat. Tokoh utamanya meninggalkan umat manusia setelah sang heroine dibunuh tetangganya sendiri yang menjadi pemberontak. Ujung-ujungnya, umat manusia binasa dan si protagonis pun ikut mati.

Cerita itu... gelap, intens, dan tragis.

Setelah turun dari kereta peluru, aku mengikuti ingatanku menuju sebuah rumah di ujung jalan.

Tapi... ada yang ganjil. Seolah-olah ada celah antara ingatan dan kenyataan.

Toko yang dulu direnovasi dan dibuka ulang—belum ada. Malah, toko versi lamanya masih berdiri, tampak jauh lebih terawat daripada yang kuingat.

Lalu, taman bermain yang semestinya sudah dibongkar karena dianggap berbahaya... masih utuh.

Bukan berarti aku salah jalan. Lokasinya pasti benar.

Ya. Harusnya benar...

Namun di tempat yang semestinya rumahku berdiri, kini hanya ada bangunan tua yang usang dan asing.

Sama sekali tak kukenal.

“Jadi, rumah reyot ini tujuanmu?”

“Bukan… maksudku, tempatnya benar, tapi…”

Menyebalkan. Setelah sejauh ini, aku tak lagi tahu harus berbuat apa.

Kalaupun ini rumah orang lain, sudah jelas komputerku takkan ada di dalam. Tempat pertama kali aku bertemu Dina… tak ada.

Saat sedang memutar otak, terdengar langkah kaki dari belakangku—lalu, suara yang sudah sangat kukenal.

“Ya, benar. Setidaknya... lokasinya.”

...Ternyata, aku memang tiba di tempat yang seharusnya.

Aku berbalik, dan melihat sosok yang begitu familiar—Dina, dalam wujud persis seperti terakhir kulihat.

Ternyata dia menyembunyikan dirinya di tempat yang cukup menyusahkan. Tak heran butuh waktu lama untuk menemukannya.

Ia berjalan pelan, senyum tipis terukir di wajahnya. Benet, berdiri di dekatku, tak menunjukkan reaksi berlebihan. Sepertinya dia tengah menilai situasi.

“Rumah ini kosong. Sekitar setengah tahun lagi, akan dibongkar. Lalu setengah tahun setelahnya… pada tahun 2017, rumah milik keluarga yang dekat dengan nona-ku akan dibangun di sini.”

“2017? Jadi sekarang ini…”

“Benar. Ini tahun 2016. Setahun lagi, sepasang suami-istri dan anak laki-laki mereka akan pindah ke rumah barunya. Bocah itu—atau mungkin lebih tepat, pemuda itu—akan tumbuh hingga usia dua puluh satu tanpa pernah tahu siapa dirinya sebenarnya. Lalu, pada tahun 2033, setelah dibimbing oleh Dewi-sama—tidak, olehku—ingatan dan egonya akan dibawa ke Midgard. Dan kini, dia berdiri tepat di hadapanku.”

Mendengar penjelasan Dina, tatapan Benet menajam—ia menatap kami berdua dengan sinis, namun tetap diam.

Sementara itu, aku justru merasakan sesuatu mengendap dalam benakku. Potongan-potongan yang tercecer mulai menyatu.

Tak ada lagi keraguan—ini bukan sekadar kebetulan.

Ya, jadi seperti itulah. Begitu rupanya...

Kesimpulannya sederhana:

“Aku” ini—yang selama ini memakai kata ganti ore—bukanlah dua individu berbeda yang bertarung dalam satu tubuh.

Sejak awal, tak pernah ada dua ego.

Sejak awal... aku adalah Ruphas Mafahl asli—yang hanya kehilangan jati diri dan memainkan peran sebagai "orang lain".

“Aku” yang sekarang adalah Ruphas itu sendiri... yang menyamar, menyembunyikan diri di balik kepribadian rekaan.

“Kalau begitu… siapa sebenarnya ‘pemuda’ itu?”

“Dia juga kamu, Ruphas-sama. Bisa dibilang, dia sama seperti aku atau Pollux-sama.”

“…Aku mengerti.”

Setiap kata dari Dina terasa seperti keping teka-teki yang tepat pada tempatnya. Ya, itu memang jawabannya.

Identitas sejati dari aku—ialah seorang avatar.

Secara umum, avatar terbagi dalam tiga jenis: diciptakan dengan sihir, dengan kekuatan ilahi, atau dilahirkan melalui rahim manusia biasa.

Dan aku,—tidak, sudah tak perlu lagi membedakan diriku sebagai dua orang terpisah—aku memilih metode ketiga.

Meniru teknik milik sang Dewi, aku menciptakan avatar diriku sendiri di dunia lain, pada waktu yang berbeda.

Ego dan ingatan yang tumbuh dalam diri avatar itu, kemudian dikembalikan oleh Dina ke tubuh asliku—membentuk sudut pandang yang sebelumnya tak kumiliki. Sudut pandang baru itu memberiku jarak untuk menilai diriku dengan jujur… secara objektif.

Kini, setelah semuanya kembali utuh, semuanya jadi masuk akal. Aku bisa menilai siapa diriku sebenarnya, bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai orang ketiga yang melihat dengan jernih.

Tentu saja aku tak sempurna. Namun justru karena itulah, keberadaan ego dan ingatan itu… menjadi berharga.

“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan pemuda itu?”

“Dia baik-baik saja. Meski ingatan dan egonya disalin, setelah ‘peristiwa itu’, dia tetap akan hidup seperti biasa—menjalani hidup hingga usia lanjut. Dan sampai akhir, dia tidak akan pernah tahu siapa dirinya yang sebenarnya.”

“…Begitu. Kalau begitu, tidak masalah.”

“Oh ya, sekadar informasi—dia akan tetap manja dan lengket pada orang tuanya sampai usia dua puluh tiga. Lalu, setelah masuk dunia kerja sebagai pegawai kantoran, akhirnya ia akan hidup mandiri.”

“Err… informasi yang itu tak perlu kau sebut juga…”

Hah… satu beban terangkat dari pundakku.

Awalnya, kupikir aku telah merebut tubuh Ruphas, mencuri hidup seseorang. Lalu, aku takut bahwa aku juga telah mengambil segalanya dari pemuda itu.

Namun kenyataannya, karena Ruphas adalah aku, tak ada yang dicuri.

Dan kini, si pemuda pun ternyata bisa hidup mandiri dariku.

Dengan begitu, akhirnya aku bisa melangkah ke topik berikutnya tanpa keraguan.

“Jadi... kau akan memberitahuku segalanya? Alasan kita harus datang sejauh ini?”

“Tentu saja. Tak ada lagi yang perlu kusembunyikan darimu. Tapi sebelum itu… izinkan aku memperkenalkan diri dengan benar.”

Setelah berkata demikian, Dina mengeluarkan sesuatu dari saku dadanya—sebuah kartu nama—dan menyerahkannya padaku.

Saat aku melihat nama yang tertulis di sana… segalanya jadi lebih jelas.

...Ahh, begitu rupanya. Aku tahu kau akan sampai ke situ juga.

Seperti yang kuduga... ternyata kau memang dia.

“Aku memiliki tiga nama,” ucapnya sambil tersenyum. “Pertama, sebagai avatar Dewi—aku dikenal sebagai Dina. Kedua, sebagai anggota Seven Luminaries dari ras iblis—aku bernama Venus. Dan satu lagi...”

Ia tertawa kecil, licik seperti biasa. Di sebelahku, Benet menyilangkan tangan dengan tatapan tidak senang.

—Ya, dia adalah orang itu.

Individu yang menipu semuanya. Menipu aku. Menipu Dua Belas Bintang Surgawi. Menipu para iblis. Bahkan, mampu menipu Dewi itu sendiri.

Seperti seekor ular, ia meliuk di balik bayang-bayang… dan kini, ia mengungkapkan nama terakhirnya.

“Salah satu dari Tiga Belas Bintang Surgawi yang Tirani—Ophiuchus, Sang Pembawa Ular.”

“Nama itu... diberikan padaku oleh mu.”

Novel Bos Terakhir Chapter 154

Bab 154 – Ruphas Menggunakan Teleportasi!

Apa yang harus kulakukan? Kami sudah mencari ke setiap sudut Menara Mafahl, tapi tak ada satu pun petunjuk yang kutemukan.

Kuharap setidaknya akan ada satu jejak tertinggal di tempat ini—nada samar, isyarat, atau apa pun. Tapi hasilnya... nihil. Tidak ada apa-apa.

Jika benar tempat pertama aku bertemu Dina adalah di menara ini—dan aku yakin memang di sinilah tempatnya—maka... kalau pun di sini tidak ada apa-apa, ke mana lagi aku harus mencari?

"Oi, Mafahl. Kau yakin tidak punya petunjuk sama sekali?"

"Sayangnya... tidak. Masalahnya, itu tergantung bagaimana kau menafsirkannya."

"Aku tidak tahu detailnya, tapi bukankah Dina itu seharusnya avatar Dewi? Bukankah dia bisa meninggalkan semacam pesan yang hanya bisa kau pahami? Dia sempat bilang: ‘yang ada dalam ingatanmu’... Jadi bukannya dia mungkin menyisipkan sesuatu ke dalam ingatanmu?"

"Kalau kau bilang begitu..."

Benet berusaha membantu, tapi aku benar-benar tak tahu apa yang tak kuketahui.

Meski aku diminta untuk ‘mengingat’, satu-satunya lokasi yang terekam dalam benakku sebagai tempat pertama aku bertemu Dina adalah... ya, di sini. Menara ini. Tempat ini.

Kalau aku menggali ingatan lebih jauh ke belakang... aku tidak lagi menjadi Ruphas, tapi menjadi “aku” yang dulu. Aku yang asli. Aku yang tinggal di Bumi.

Aku pertama kali melihat sosok Dina—atau Alovenus—di dalam game, di layar komputerkku. Di sanalah aku pertama kali “bertemu” dengannya, sebelum ditarik ke dunia ini...

"...Oh."

Kata itu lolos dari mulutku, tanpa kusadari.

Tunggu sebentar... benar. Kalau begitu, tempat pertama aku bertemu Dina—bukan di dunia ini.

Tempat itu... ada di Bumi. Di Jepang. Di kamar milik “aku” yang dulu. Di depan layar komputer, sebelum aku menjadi Ruphas Mafahl.

Jadi maksudnya—Dina tidak berada di Midgard. Tapi di dunia yang lain. Di tempat yang hanya bisa kusadari... karena hanya akulah yang tahu keberadaan tempat itu.

"Maaf. Kurasa aku tahu ke mana harus pergi."

"Hou? Di mana itu?"

"Di dunia lain."

"...Hah?"

Ekspresi ‘apa yang baru saja dia katakan?’ langsung muncul di wajah Benet.

Bahkan aku pun, saat mengatakannya, tidak merasa yakin sepenuhnya.

Tapi setelah semua pencarian tak membuahkan hasil, hanya tempat itu satu-satunya kemungkinan yang tersisa. Dina harusnya ada di Bumi. Di Jepang. Mungkin... bahkan di rumah lamaku. Atau setidaknya di dekatnya.

Dan... aku juga punya cara untuk pergi ke sana.

Kalau aku menggunakan X-Gate, aku bisa menembus ruang dan waktu, lalu berpindah ke sisi lain. Metode yang sama digunakan untuk memanggil anak laki-laki bernama Sei ke sini.

Sebenarnya, aku seharusnya sudah melakukan ini sejak lama. Bahkan hanya untuk mencari tahu asal-usulku yang sebenarnya, aku seharusnya sudah menyeberang ke sana.

Tapi... mungkin, aku menunda-nunda karena ketakutan. Karena aku enggan mengetahui kebenaran.

Karena di dalam hatiku—aku lebih takut pada kenyataan itu dibandingkan siapa pun.

"Ada dunia lain yang terpisah dari Midgard. Namanya... Bumi. Jika Dina ada di suatu tempat, kemungkinan besar dia berada di sana."

“Dunia lain, ya... Terdengar menarik. Mungkin ada beberapa lawan kuat di sana yang bisa kulawan.”

“Tidak. Tidak ada. Tolong jangan buat kekacauan di sana.”

Benet tertawa kecil, matanya berkilat seperti biasa saat membayangkan pertarungan. Tapi aku buru-buru mengingatkannya.

Sayangnya, di dunia itu... tak seorang pun akan bisa melawannya.

Kemampuan fisik manusia di Bumi sangat lemah. Itu karena evolusi yang mengarah ke kehidupan yang makin nyaman dan modern.

Orang-orang zaman sekarang tinggal di ruangan ber-AC, naik mobil atau kereta, dan bahkan bisa menjalani hari tanpa meninggalkan rumah. Tanda kemakmuran, memang. Tapi juga bukti bahwa tubuh mereka tak lagi ditempa oleh kerasnya hidup.

Amerika, negara paling kuat secara militer, bahkan sempat menyatakan bahwa ‘pizza adalah sayur’.

Ya, benar-benar ada berita seperti itu. (Pizza bukan sayuran, catat itu!)

Jadi, jangan harap ada orang di dunia itu yang bisa menandingi Benetnash. Bahkan "juara dunia" pun mungkin tak akan melampaui level 5 jika diukur dengan sistem Midgard.

Kau tahu, dari yang pernah kudengar... tulang manusia di Bumi tak memungkinkan mereka mengangkat beban di atas 500 kilogram.

Sebaliknya, di Midgard, siapa pun bisa melampaui batas fisik hanya dengan menaikkan level. Aku sendiri, bahkan dalam kondisi biasa, bisa melempar Raja Naga dengan satu tangan.

Dan itu bukan hiperbola. Itu kenyataan.

Kalau ditanya kenapa bisa begitu? Yah, kemungkinan besar... ini semua kesalahan hukum fisika.

Di Midgard, entah karena Dewi memecat hukum fisika atau apalah, hukum itu tidak bekerja. Sama sekali.

Kalau Benet atau aku berlari mengelilingi Midgard dalam satu detik, dunia tidak akan kenapa-kenapa.

Tapi kalau itu terjadi di Bumi... mungkin akan terjadi bencana global.

Karena itu, kalau kami benar-benar pergi ke Bumi, satu-satunya aturan mutlak adalah: jangan bertarung.

Kalaupun terpaksa, kami harus menahan diri sekuat mungkin. Karena sedikit saja kami ceroboh... bisa jadi bukan hanya Bumi, tapi seluruh alam semesta akan musnah.

“Jadi... kau berencana ikut?”

“Sudah jelas.”

“Kalau begitu, mohon tenang dan... jaga sikapmu. Jangan bergerak seperti biasanya, bahkan tidak sengaja.”

“Eh, maksudmu?”

Benet tidak tahu. Dia hanya paham dunia ini. Baginya, kecepatan tinggi dan serangan destruktif adalah hal biasa.

Itulah kenapa... aku perlu memberikan contoh nyata.

Aku mengaktifkan teknik Shine Blow—sebuah keterampilan tinju dengan akurasi absolut. Tinju cahaya itu mengenai tanah secara acak di kejauhan, menciptakan kawah besar seolah-olah dunia tergeser seperti disendok.

Tapi, dunia ini masih baik-baik saja. Karena Midgard memang tempat di mana keajaiban seperti ini bisa terjadi tanpa dampak besar.

“Serangan seperti itu, kalau dilakukan di dunia lain... akan menghancurkan dunia sepenuhnya.”

“Yah, kupikir kalau kau meninju planet dengan kekuatan penuh, tentu itu akan terjadi.”

“Bukan itu intinya. Bahkan hanya dengan lewat ambang kecepatan cahaya, segalanya bisa hancur. Bahkan kecepatan suara saja bisa memicu gelombang kejut yang luar biasa di dunia itu. Bahkan ada teori bahwa seluruh alam semesta bisa musnah kalau ada benda bermassa melewati kecepatan cahaya... walaupun aku sendiri tidak tahu pasti.”

"...Serapuh itu, ya, dunia itu? Hancur hanya karena tinju yang bahkan tidak mengenai sasaran?"

Benet mengerutkan dahi, tampak kesal. Tapi sebenarnya, yang aneh... bukan Bumi.

Justru Midgard-lah yang aneh.

Dunia ini sudah terlalu jauh dari logika. Karena itu aku dan Benet bisa bertarung sepuasnya.

Kalau di Bumi? Bahkan menyenggol seseorang saja mungkin bisa membunuh mereka.

Singkatnya, kami seperti tukang ledeng berkostum merah dengan bintang tak terkalahkan—yang tak habis-habis. (Ya, kalian tahu siapa maksudku.)

“Jadi, untuk jaga-jaga, pakailah ini. Aku juga akan mengenakannya.”

Aku membuka X-Gate dan mengambil dua gelang dari Menara Mafahl. Gelang [Infinity]—item event khusus yang membuat semua skill hanya memerlukan 1 SP.

Sebagai gantinya, semua status pemakainya akan turun jadi hanya 10% dari aslinya.

Dalam kondisi biasa, item ini tidak berguna. Tapi sekarang... sangat cocok. Status kami cukup tinggi, jadi meski dipangkas, kami masih kuat. Yang penting: kami jadi tidak sengaja menghancurkan dunia.

“Oh, dan soal pakaian... sebaiknya kita sesuaikan juga.”

Kalau kami pergi dengan pakaian kami sekarang, orang-orang di Bumi akan mengira kami sedang cosplay.

Setelah kembali ke Argo, aku membuat dan mengenakan pakaian baru—hoodie merah dengan celana jeans longgar. Cukup nyaman, dan lebih mudah untuk bergerak. Benet memakai kemeja putih, rok hitam, legging ketat, dan mantel panjang.

“Yah, kurasa ini cukup pantas.”

“Pakaiannya agak... aneh, ya?”

Aku menatap cermin dan merasa cukup puas. Rambutku kini terikat ekor kuda, dan aku tak pakai kacamata palsu. Toh, tak ada yang mengenal wajahku di dunia itu.

“Baiklah. Ayo kita mulai.”

Aku berdiri di dek Argo, lalu menggabungkan kekuatan misterius dan kekuatan ilahi di kedua tanganku.

Dua kekuatan itu bertolak belakang. Saat ditumbukkan, keduanya saling menolak, menciptakan lubang di kontinum ruang dan waktu.

Begitulah terbentuk—X-Gate, cukup besar untuk dilewati dua orang.

Biasanya, gerbang ini digunakan untuk berpindah antar wilayah di Midgard. Tapi kali ini, lubangnya menembus alam semesta itu sendiri... menuju dunia lain.

Menuju tempat yang disebut Bumi.

Arah? Koordinat? Tidak perlu.

Midgard dan Bumi berada di lokasi yang sama di tata surya, hanya di sisi berlawanan. Kalau Midgard menghadap satu arah, Bumi ada di baliknya.

“Benet, ayo pergi.”

Aku mengulurkan tangan padanya. Dia menatapnya, ragu.

“Untuk apa?”

“X-Gate perlu persetujuan dua pihak. Kalau kau menolak di tengah jalan, kau bisa terdampar di antara dua dunia. Jadi... kalau kau tidak yakin, lebih baik aku pergi sendiri.”

Benet menatapku sejenak, lalu meletakkan tangannya di atas tanganku—dengan wajah cemberut.

Yah... kupikir itu cukup.

Dengan ucapan selamat tinggal dari kru Argo, aku menarik tangan Benet dan melompat ke dalam X-Gate.

Kami menembus ruang yang seharusnya tak bisa dijangkau siapa pun. Di tempat kosong itu, aku melihat—apa itu kekuatan misterius? Kekuatan ilahi?

Di tempat yang awalnya tak ada apa pun, zat mulai terbentuk. Entah bagaimana, kekuatan misterius dan ilahi bersatu... menciptakan sesuatu dari ketiadaan.

Jadi begitu... kekuatan misterius dan ilahi sebenarnya adalah dua sisi dari satu kekuatan.

Bukan dua hal terpisah, tapi satu kekuatan penciptaan yang terbagi menjadi kutub positif dan negatif.

Dan mungkin... dunia ini sendiri—alam semesta ini—adalah hasil dari sihir misterius milik Alovenus.

Tapi jika demikian... mengapa manusia yang hidup di dalamnya bukan bagian dari sihir itu? Mengapa kami—aku, Benet, dan yang lainnya—bisa eksis dengan substansi nyata?

Jawabannya mungkin... karena kami bukan ciptaannya. Kami adalah makhluk asli, dibawa dari dunia lain—dari Bumi.

Dan kalau itu benar...

Mungkinkah... Alovenus, sang Dewi Pencipta...

...bukan pencipta sama sekali?

Sebuah hawa dingin menjalar di punggungku.

Aku berharap dugaanku salah.

Tapi entah kenapa... semakin aku menyangkalnya, semakin terasa bahwa itulah kebenarannya.


Catatan Penulis

Jangan khawatir. Tidak akan ada bos rahasia lain yang diam-diam lebih kuat dari Alovenus.

Sampai akhir, Dewi yang menyebalkan ini tetaplah antagonis terakhir dan karakter terkuat.

Eh? Kau mau bos akhir yang lebih elegan dan megah?

Santai saja. Saat pertarungan terakhir tiba, dia akan menunjukkan kekuatan yang pantas sebagai final boss.

Kepribadiannya saja yang... sedikit tidak cocok dengan perannya.

Novel Bos Terakhir Chapter 153

Bab 153 – Hukum Fisika Menyimpan Energi!

Setelah dipandu oleh Saturnus dari Seven Luminaries, kami tiba di sebuah ruangan luas—cukup untuk menampung seratus orang.

Di ujung ruangan, di atas singgasana yang tampak mengesankan, duduklah Raja Iblis. Wujudnya masih sama seperti yang terakhir kulihat—berwibawa, dingin, dan tenang.

Ketika menyadari kehadiran kami, dia mengangkat kepala, menatap kami, lalu berbicara pada Saturnus.

"Kerja bagus. Kau boleh pergi."

"Dimengerti."

Dengan tenang, Saturnus membungkuk, lalu meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun lagi.

Tidak ada penjaga yang tertinggal.

Ya, bisa jadi karena dia sadar, tidak ada gunanya menempatkan penjaga. Tapi tetap saja, untuk menghadapi kami berdua sendirian... itu menunjukkan bahwa ia punya kepercayaan diri yang tidak main-main.

Raja Iblis bangkit, mendorong meja kecil dari sudut ruangan ke tengah, lalu duduk di kursi biasa di hadapan kami.

“Kenapa tidak duduk di singgasanamu?”

“Itu cuma simbol saja. Aku duduk di sana hanya untuk menjaga wibawa saat bawahanku masuk. Tapi siapa yang mau duduk di atas singgasana sepanjang hari di ruang pribadi sendiri?”

...Ada benarnya juga.

Tapi tetap saja, kalau sedang menerima tamu penting, duduklah di singgasana, dong. Buat apa ada kursi kerajaan kalau dipakai pun tidak?

Yah, sudahlah.

Aku dan Benet duduk menghadapnya.

Rasanya... aneh. Kami duduk begitu saja, seperti obrolan santai di ruang tengah, mengabaikan singgasana di belakang.

“Aku yakin sudah tahu kenapa kalian datang. Kalian mencari Dina, bukan?”

“Kalau kau tahu namanya... berarti kau juga tahu siapa dia sebenarnya.”

“Ya. Aku sudah tahu latar belakangnya sejak awal. Termasuk tujuannya.”

Jawabannya tenang. Tapi sangat keterlaluan.

Meski begitu, masuk akal. Kalau dipikirkan baik-baik, sejak dulu Dina bergerak dengan terang-terangan di dalam kastil ini, di bawah hidung Raja Iblis. Mustahil dia tidak sadar. Dan kalau dia tidak pernah menegurnya, berarti... dia membiarkannya. Bahkan, bisa jadi mereka bekerja sama.

Tentu, ada kemungkinan Raja Iblis hanya tidak peduli, atau benar-benar tak sadar. Tapi teori itu terasa tak masuk akal.

“Kalau begitu... kau juga tahu kalau dia adalah avatar Dewi?”

“Benar.”

“Jadi kau... berpihak pada Dewi?”

Itulah pertanyaan intinya. Apakah dia masih berada di pihak Dewi, memainkan peran jahatnya sebagai bagian dari kisah palsu sang pahlawan? Atau... apakah dia, seperti Pollux, muak dan pergi?

Tapi jawabannya datang bahkan sebelum aku selesai bertanya.

“Begitukah yang kau pikirkan?”

“Tidak. Sama sekali tidak.”

Raja Iblis tersenyum miring, dan aku menjawab dengan jujur.

Aku tahu dia telah meninggalkan Dewi sejak lama. Kalau tidak, dia tak akan membocorkan informasi penting tentang Dewi padaku.

Yang tak kumengerti adalah: kenapa dia membiarkan Dina berkeliaran bebas? Bahkan ketika Dina menghalangi dia mengungkap informasi, dia tetap tak bertindak.

Setelah itu pun, dia membiarkan Venus bergerak sesukanya.

Itulah yang tidak masuk akal bagiku.

“Boleh kutanya? Apa alasanmu meninggalkan pihak Dewi?”

“Tak ada alasan khusus. Aku bosan saja.”

Dia menumpukan dagu pada tangan, tersenyum seolah menceritakan lelucon kecil.

“Aku punya kekuatan untuk menaklukkan dunia, tapi malah harus berpura-pura kalah. Harus mengikuti skenario konyol yang sudah ditulis sejak awal. Lama-lama bosan, kan? Aku hanya ingin mencoba memindahkan bidak dengan tanganku sendiri, itu saja.”

“...Benarkah begitu?”

“Yup. Hanya itu.”

Dia tertawa lepas. Saat itu, dia memang tampak seperti Raja Iblis sejati—musuh semua umat manusia.

Tapi... entah kenapa, aku merasa dia sedang berbohong. Seolah-olah tawa itu hanya topeng. Aku belum tahu kebenarannya, tapi intuisi memberitahuku—dia sedang melindungi sesuatu. Atau seseorang.

Mungkin... karena itu, dia memilih meninggalkan Dewi. Mungkin karena itu pula, dia tidak bisa menjalankan naskah seperti yang diperintahkan.

“Kau tahu... anakmu, Terra, cukup luar biasa.”

“Anak iblis. Fenomena yang seharusnya tidak ada. Aku malu.”

Aku mengarah pembicaraan ke Terra, berharap melihat sedikit reaksi. Tapi Raja Iblis tetap tenang, nyaris tanpa emosi.

Aku mengamati tajam. Sekilas, mata itu... terasa sedikit berbeda.

“Matamu terlihat lebih jernih dibanding sebelumnya. Sepertinya kau mulai mendapatkan kembali dirimu.”

“Itu semua berkat Benet. Sedikit ‘dorongan’ darinya cukup membuatku bangun.”

“Tapi belum sepenuhnya.”

“Benar.”

Aku mengangguk pelan.

Fakta bahwa aku masih memakai kata ore untuk menyebut diri sendiri—itu artinya, aku belum sepenuhnya kembali sebagai Ruphas Mafahl.

Kekuatan lamaku belum pulih sepenuhnya. Tapi bahkan dalam kondisi ini, aku tetap cukup kuat. Hanya beberapa makhluk saja yang bisa mengalahkanku: Benet, lima ouroboros, Dewi... dan Raja Iblis yang duduk di depanku ini.

“Aku menantikan pertarungan kita nanti.”

“Haruskah kita benar-benar bertarung?”

“Ya. Dengarkan baik-baik. Musuh dari musuh bukan berarti otomatis jadi sekutu. Benar aku menolak Dewi. Tapi aku tak pernah bersumpah setia padamu. Dunia tidak membutuhkan dua penguasa. Selama kita berdua bercita-cita menguasai dunia, kita ditakdirkan bertarung.”

...Menguasai dunia, ya.

Tapi kalau benar itu tujuannya, harusnya dia sudah lebih jauh sekarang. Dengan kekuatannya, wilayahnya bisa jauh lebih besar. Seharusnya dia dan Benet sudah saling bunuh sejak lama.

Tapi kenyataannya, dia tak bergerak terlalu jauh. Seolah-olah... proses itu sendiri yang penting baginya. Seolah, dia sengaja memperlambat semuanya.

“Kalau begitu... kenapa kita tidak selesaikan saja sekarang? Aku bersedia jadi lawanmu.”

Benet yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Begitu ia berkata begitu, tekanan magis di ruangan meningkat tajam. Kaca-kaca bergetar, udara berdesing.

Tapi Raja Iblis tidak bergeming.

Tanpa mengubah posisi, dia hanya menjawab:

“Ada pesan dari Dina untukmu.”

Tiba-tiba atmosfer berubah. Rupanya... dia tidak ingin bertarung sekarang. Dan memang bijak baginya untuk menunda pertarungan dua lawan satu ini. Benet mungkin tidak keberatan, tapi tetap saja... bukan kemenangan yang menyenangkan.

“Dia bilang: ‘Aku akan menunggumu di tempat pertama kita bertemu. Itu pasti masih ada dalam ingatan nona.’”

“Tempat pertama kami bertemu...?”

Aku bergumam pelan. Tempat pertama kami bertemu. Itu jelas—Menara Mafahl. Tapi kami sudah mencarinya, dan dia tidak ada di sana.

Apa maksudnya? Apa dia menyembunyikan sesuatu?

Aku tak punya jawaban.

Tapi... itu petunjuk yang cukup.

“Terima kasih atas sambutannya.”

Dina tidak berada di sini. Tapi setidaknya kami mendapat arah baru. Meski samar, itu lebih baik daripada tidak ada.

"Apakah kita akan pergi sekarang?" tanya Benet.

"Ya. Sepertinya... Dina bukan tipe yang suka sendirian."

Pesan itu... seolah mengundang kami. Seolah seorang anak kecil bermain petak umpet, ingin ditemukan walau berusaha sembunyi.

Entah kenapa, aku merasa... aku tak bisa membencinya.

“Aku rasa, pertemuan kita berikutnya akan terjadi ketika semua kebenaran telah terungkap,” ucapku.

“Mungkin begitu.”

Raja Iblis tersenyum tipis. Aku pun membalas senyumnya.

Lain kali kita bertemu... itu pasti bukan lagi pertemuan damai.

Kami berdua tahu, itu akan menjadi pertempuran.

“Baiklah. Sampai jumpa, Orm.”

“Ya. Sampai jumpa, Ruphas.”

Kami berdiri. Benet mengikutiku, tampak agak bosan.

Saat kami tiba kembali di gerbang, para penjaga langsung menyingkir, gemetar. Kami membuka gerbang seperti sebelumnya, lalu melangkah keluar.

"Jadi, ada tempat yang kau pikirkan?"

"Kita kembali ke Menara Mafahl. Mungkin kita melewatkan sesuatu di sana."

Itu tempat pertama aku bertemu Dina. Tak ada tempat lain yang lebih masuk akal. Di Laevateinn aku pertama kali bangun... tapi Dina tidak muncul di sana.

Pertemuan pertama kami pasti terjadi di menara itu.

Kukira... kita akan mulai dari sana lagi.

Aku mengarahkan Argonautai menuju Menara Mafahl, kembali ke wilayah humanoid sekali lagi.

"Kurasa... saat ini, Ruphas-sama pasti sedang menuju Menara Mafahl."

Dengan rambut biru berayun lembut di bawah cahaya, seorang gadis muda tersenyum kecil dan bergumam sendiri—Dina.

Setiap langkah yang ia ambil membuat orang-orang menoleh.

Bukan hanya karena kecantikannya, tapi karena warna rambutnya—biru. Di dunia ini, di mana sembilan puluh persen manusia berambut hitam, dan sisanya paling jauh hanya mencat rambut jadi cokelat atau pirang, rambut biru seperti milik Dina adalah anomali. Tidak alami. Tak masuk akal.

Tapi dia berjalan tenang, tanpa peduli tatapan-tatapan itu. Dalam benaknya, kenangan 200 tahun lalu berputar.

Saat itu, dia masih boneka. Tak punya kehendak sendiri. Baginya, “Dina” hanyalah nama alat yang dipakai Dewi. Dia percaya, identitasnya adalah Alovenus.

Sebenarnya... itu tak sepenuhnya salah. Dia memang avatar Dewi, mewarisi ingatan dan kepribadian Dewi.

Tapi segalanya berubah dua abad lalu. Lebih tepatnya, 201 tahun lalu—setahun sebelum pengkhianatan para Pahlawan. Saat itu, ia mulai mengenal dirinya. Saat itu... dia benar-benar “lahir”.

Sekarang, ia bergerak atas kehendaknya sendiri.

Ia telah menyimpang dari skenario Dewi. Dengan cermat. Hati-hati. Tanpa membiarkan Dewi menyadarinya.

Apa tujuannya? Untuk siapa?

Demi Ruphas? Demi Dewi? Atau... demi dirinya sendiri?

Tak ada yang tahu. Hanya dia yang tahu.

Di tengah jalanan kota, kotak-kotak baja melaju cepat di atas jalanan rapi. Bangunan tinggi menjulang, lampu-lampu berkedip, tanda-tanda toko menyala terang.

Di antara kerumunan siswa dan pegawai yang berlalu-lalang, gadis itu—Dina—berjalan tenang, perlahan... hingga akhirnya, lenyap di tengah keramaian.


Catatan Penulis

Bumi: “Ampun... tolong... aku bukan Midgard! Di sini hukum fisika benar-benar bekerja! Tolong jangan dihancurkan lagi...!”

Hukum Fisika: “—Apa?! Giliranku sekarang!?”

Novel Bos Terakhir Chapter 152

Bab 152 – Iblis Menggunakan Petir!

Akhirnya, kami menemukan kastil Raja Iblis—dengan sangat cepat, bahkan.

Atau lebih tepatnya... kapal Argonautai sudah sejak lama mengidentifikasi lokasi istana itu. Yah, setelah terbang bersama Castor selama dua abad, masuk akal jika mereka sempat menyurvei lokasi basis musuh.

Kastil itu berdiri menjulang di tengah gurun penuh mana di Benua Gelap—sebuah tebing tinggi dengan benteng hitam pekat menjulang di atasnya.

Penampilannya benar-benar mencolok dan dramatis... terlalu dramatis malah. Dari kejauhan, ia berseru seperti: “Akulah dungeon terakhir!”

Makhluk-makhluk sihir bersayap beterbangan di langit, berjaga dan berpatroli. Awan gelap menggantung tak bergerak, menutupi matahari, menciptakan malam abadi. Guntur menggelegar, kilatan petir menyambar seperti pertanda malapetaka.

Sungguh suasana yang terlalu sempurna untuk markas musuh terakhir.

Jujur saja, desain seperti ini... sudah sangat klise. Sampai-sampai akhir-akhir ini, jarang sekali orang masih repot-repot membuat tempat seperti ini.

Setiap kali aku melihat kastil di ujung tebing seperti ini, aku selalu bertanya-tanya... kalau tebingnya dijatuhkan dari luar, bukankah kastil ini akan langsung runtuh dan mengubur semua penghuninya sekaligus?

Aku tidak berniat melakukannya, tentu saja, tapi tetap saja... kenapa istana raja iblis selalu dibangun di tempat yang tidak stabil seperti ujung tebing?

Apa itu tidak merepotkan?

Jujur saja, aku sendiri tidak ingin tinggal di tempat seperti itu.

Lebih dari itu—kenapa kastil ini berdiri di tengah gurun kosong, padahal bukan ibu kota? Dia kan seorang Raja. Seharusnya ia hidup dari pajak warganya. Tapi dengan lokasi seperti ini, siapa yang mau repot-repot kirim upeti ke sini?

Membangun kota lebih dekat ke istana sendiri itu logika dasar, tahu...

...Meskipun, setelah kupikir-pikir, aku juga tidak bisa bicara banyak. Menara Mafahl juga tidak lebih masuk akal.

"Jadi, bagaimana? Apa kau ingin kita hancurkan kastil ini dari luar saja?" tanya Benet, nada suaranya ringan seperti biasa.

“Tidak perlu terburu-buru,” jawabku. “Tujuan kita bukan untuk memulai konflik. Selama mereka tidak menyerang duluan, tidak ada alasan kita menyerang balik. Tapi jujur... tempat ini terlalu gelap dan suram. Tidak cocok untuk selera.”

Aku mendongak, mengangkat tangan, dan menembakkan sihir misterius ke langit. Hanya sihir tingkat rendah—cukup untuk menyapu awan gelap itu.

Awan yang menggantung pun kabur seketika, digantikan langit biru yang cerah dan pancaran matahari.

Bagus. Sekarang lebih terang.

Aku merasa agak bersalah pada mereka. Mereka sudah susah payah menciptakan atmosfer “final boss”, tapi... kupikir sinar matahari akan membuat segalanya terasa lebih nyaman.

Namun, saat aku sedang menikmati langit cerah itu, tatapan Benet menusuk dari samping.

Sial... aku lupa satu hal penting: dia tidak suka siang hari.

Dengan satu jentikan jari, sihir atribut bulan—Moonlit Night—menggulung segalanya dalam kegelapan kembali. Malam turun seketika, seperti tirai panggung yang ditarik cepat.

“Oi, Benet...”

“Berhenti ngoceh. Kita jalan sekarang.”

Meski cuaca baru saja menjadi lebih baik, ia tak menunjukkan tanda ingin menikmatinya.

Dia langsung berjalan ke arah kastil—tegas, tanpa ragu.

Kupikir kami akan mencari jalan belakang, tapi tampaknya Benet lebih suka jalur depan. Yah, kami memang bukan pencuri, jadi tidak ada salahnya menunjukkan sedikit kebanggaan.

Saat kami makin dekat, makhluk-makhluk sihir yang tadi terbang mulai mendekat, hendak menyerang.

Tapi begitu Benet melirik mereka... semua langsung kabur.

Tak perlu kemampuan intimidasi. Cukup dengan tatapan, mereka tahu... jika mendekat satu langkah lagi, mereka akan mati.

Keputusan yang sangat bijak, sejujurnya. Bahkan setengah langkah lagi saja, tubuh mereka pasti sudah tercerai-berai.

Kami tiba di depan gerbang kastil—sebuah pintu baja raksasa, tingginya lebih dari sepuluh meter. Besarnya cukup untuk dilalui oleh raksasa sekalipun.

Biasanya, di titik ini, kami akan membutuhkan semacam item, atau memecahkan teka-teki untuk membuka gerbang.

Tapi tentu saja, itu tidak berlaku bagi kami.

Benet menempelkan tangannya pada gerbang itu dan—tanpa menggunakan sihir atau kekuatan khusus—meremukkan gerbang itu seolah hanya terbuat dari tahu.

Terkunci? Siapa peduli. Dalam waktu sekejap, pintu baja itu berubah menjadi serpihan.

“G-gerbang itu...! Dia menghancurkannya dengan tangan kosong?!”

“Itu... itu terbuat dari baja!”

“Bobotnya lima puluh ton... Apakah dia monster!?”

Terima kasih, para penjaga, atas narasi dramatisnya.

Aku melemparkan sedikit tekanan dari Pemaksaan pada mereka. Seketika, para penjaga di balik gerbang jatuh berlutut, wajah mereka pucat pasi.

Jangan bergerak, ya. Sedikit saja kalian mencoba bangun, Benet mungkin tidak akan membiarkan kalian hidup.

Begitu masuk, seperti yang diduga, para iblis penjaga mulai berdatangan. Tapi sebanyak apa pun mereka muncul... tetap saja tidak ada artinya.

“Kalian menghalangi. Enyah.”

Aku meningkatkan tekanan aura. Mereka yang mengenakan zirah berat langsung roboh seperti batang pohon tumbang, tak mampu bergerak.

Kami melewati mereka begitu saja dan masuk ke aula besar kastil.

Tapi kemudian, masalah baru muncul: terlalu banyak jalan.

Tiga koridor di sisi kanan. Tiga lagi di sisi kiri. Satu tangga lurus ke depan, dengan pintu di sisi-sisinya. Dan jika naik tangga itu sedikit, kami bisa melihat lukisan Raja Iblis di ujung lorong—sebelum tangga bercabang menjadi delapan jalur lagi.

Itu sudah enam belas rute. Dan kami belum bicara soal lorong ke dapur, ruang latihan, atau tempat tidur penjaga.

Klasik dungeon terakhir.

Jujur saja, aku salut pada para pahlawan yang benar-benar mau bersusah payah menelusuri tempat macam ini untuk mencari bos.

“Banyak sekali jalur tidak berguna di sini...” gumam Benet, kelihatan agak kesal.

Memang, menelusuri semua jalan satu per satu akan sangat merepotkan. Kalau desain kastil ini memang sengaja dibuat seperti ini, kemungkinan besar tujuannya adalah mencegah penyusup mencapai pusatnya dengan mudah.

“Sepertinya akan lebih praktis kalau kita pakai pemandu saja.”

Tanpa basa-basi, Benet mencengkeram leher salah satu iblis yang sedang gemetaran di lantai. Iblis dengan rambut mohawk itu langsung pucat pasi, tubuhnya bergetar hebat.

Aku sempat merasa kasihan padanya... tapi yah, dia juga musuh.

“Kau,” ucapku. “Kau tahu di mana Raja Iblis berada, kan? Kalau kau pandu kami ke sana, kami akan membiarkanmu pergi. Setuju?”

“Y-ya! D-dengan senang hati...”

Sambil memandu kami, iblis itu membawa kami melewati tangga naik, tangga turun, koridor, pintu, belokan kiri, kanan... dan jujur saja, semakin lama terasa seperti labirin.

Setelah sepuluh menit, wajah Benet mulai menunjukkan rasa frustrasi yang serius.

“Oi, kapan kita sampai?”

“Y-ya! Tinggal sedikit lagi! Kalau kita terus lurus ke depan lewat sini, kita akan sampai!”

Dia menunjuk sebuah jalan yang ternyata... buntu. Di bawahnya terbentang lubang dalam dengan banyak tombak dan tulang berserakan di dasar. Perangkap klasik.

“J-jalur ini harus diaktifkan lewat tuas... tenang, aku yang tarik. Kalian tinggal lewat saja!”

—Kok bagian dalam kastil bisa seperti taman bermain penuh jebakan begini?

Kalau niatnya untuk menyulitkan musuh, aku paham. Tapi tetap saja, desain seperti ini jelas akan merepotkan penghuni sehari-hari. Ini bukan taman hiburan, lho.

Iblis itu menarik tuas, dan jembatan pun muncul dari sisi lain, menghubungkan jalur. Sejujurnya, kami bisa saja melompat tanpa jembatan, tapi kami hargai niat baiknya.

Namun...

Saat kami tengah berjalan di atas jembatan, mendadak...

ZZZZZAAAAAP!

“Hiyahahahaha! Kena kalian! Ini listrik satu miliar volt dengan lima ratus ribu ampere! Tubuh kalian akan jadi abu! Raja Iblis-sama, aku berhasil! Aku menghancurkan Penguasa Tertinggi dan Putri Vampir!”

Pemandu itu tertawa seperti orang gila.

Aku hanya menghela napas. Jujur, aku bahkan merasa kasihan padanya.

Serangan ini memang bisa membunuh orang biasa... tapi sayangnya, kami bukan orang biasa.

Satu miliar volt? Setara sambaran petir, ya? Lumayan. Tapi kalau hanya petir, penyihir tingkat tinggi bisa spam itu kapan saja. Di dunia ini, sambaran petir itu sudah kayak salam pembuka pertarungan.

Dan... kami ini bukan makhluk dari dunia biasa.

Arus listrik menyambar, tapi kami berdiri tanpa luka. Aku hanya mengangkat bahu, dan Benet mendesah ringan.

“…Jadi, itu jawaban mereka,” gumamku.

“Sudah kuduga akan seperti ini,” jawab Benet santai.

“Eh...!?”

Kami memang curiga dari tadi. Arahnya terlalu membingungkan, dan panduan ini jelas sedang merencanakan sesuatu. Yah, akhirnya dia menunjukkan taringnya.

“Kau cukup berguna sampai sekarang. Tapi kami tak butuhmu lagi.”

“T-tunggu! Aku... aku khilaf! Aku akan menebus kesalahan! Aku bahkan rela menjilat kakimu! Ampun…!”

Itu adalah kalimat terakhirnya.

Dengan satu sentilan jari dari kejauhan, Benet membuat kepala iblis itu meledak menjadi kabut darah.

“…Jadi, sekarang bagaimana? Kita bahkan tidak tahu apakah jalur tadi benar.”

“Kita lanjut saja dulu. Kalau salah, ya kembali. Ngomong-ngomong, Mafahl, kau sempat peta tadi, kan?”

“Ya, kurang lebih...”

Aku mengambil secarik kertas dari saku. Peta hasil ranger skill yang kugunakan untuk mencatat jalur yang kami lewati.

Namun...

Yang kupegang hanya abu.

“….”

“….”

Yah... walau kami tahan disetrum, kertas biasa tidak. Kena listrik langsung jadi gosong.

Err, sebaiknya kupikir seperti ini: ini bukan kelalaianku, tapi bukti kecerdikan musuh. Panduan itu jelas sudah memprediksi sampai ke sana. Strategi hebat.

“…Yah, kita lanjut saja, ya?”

“Oi, bukannya setidaknya kau harus beri alasan dulu?”

“Jangan peduli hal remeh. Yang penting, kita keluar dulu dari jebakan ini. Walau cuma sepotong HP satu digit, tetap terasa.”

“Kau masih tetap ceroboh seperti dulu…”

Lalala, aku tidak dengar~

Manusia bertumbuh dari kesalahan.

Kami melintasi kembali jembatan—disetrum lagi, tentu saja—dan kembali ke jalan sebelumnya. Saat sampai, seorang iblis perempuan berdiri di hadapan kami dengan ekspresi kesal.

Rambutnya cokelat bergelombang, mengenakan jubah abu-abu polos. Levelnya lebih tinggi dari iblis biasa. Tak seperti Benet atau aku, tapi tetap... mencolok.

“…Jadi ini kalian, ya. Datang dan pergi melewati perangkap listrik seolah itu hal biasa. Itu kekuatannya setara kilat hidup, kalian tahu?”

“Dan kau siapa?”

“Aku Saturnus dari [Tanah], salah satu dari Seven Luminaries. Aku tak punya niat bermusuhan. Aku diperintahkan langsung oleh Raja Iblis-sama untuk membimbing kalian.”

Oh, jadi dia dari Seven Luminaries. Pantas saja levelnya beda.

Karena dia datang menawarkan bantuan secara langsung, kupikir tak ada salahnya menerima tawarannya. Saat kutatap Benet, dia mengangguk pelan—tanda sepakat.

“Dimengerti. Kami terima bantuannya.”

“…Tidak curiga sedikit pun? Bagaimana kalau ini jebakan?”

“Kalau memang jebakan, ya kau tinggal mati. Sesederhana itu.”

Benet menjawab ringan, tapi sebenarnya aku tetap waspada.

Sejak tadi, aku sudah mengaktifkan Trap Search Level 1, kemampuan khas dari kelas Ranger. Kemampuan ini memakan SP secara berkala, tapi akan mendeteksi jebakan yang bisa langsung membunuh.

Yah, jebakan yang tak mematikan? Tidak penting. Selama masih bisa sembuh, lanjut saja.

Di game pun, makin tinggi levelmu, makin tak peduli kamu pada jebakan.

Kami terus berjalan melewati koridor kastil yang kini terasa lebih terarah. Tak lama, kami tiba di depan sebuah gerbang baja yang memancarkan aura luar biasa.

Atau lebih tepatnya... aura mengerikan dari balik gerbang itulah yang terasa.

“Silakan masuk,” kata Saturnus sambil perlahan mendorong daun gerbang terbuka.


Catatan Penulis

Ruphas boleh masuk.
Benetnash juga boleh masuk.
Logika? Tidak boleh masuk.

Novel Bos Terakhir Chapter 151

Bab 151 – Aigokeros Menggunakan Kekuatan Tersembunyi!

Dari tubuh Aigokeros, Pisces, dan Sagitarius, kekuatan membubung—meledak keluar bagai gelombang tekanan dari kedalaman laut terdalam.

Saat Ruphas, sang tuan mereka, menembus batas kekuatan, level mereka pun ikut terdorong menembus dinding penghalang, melesat naik hingga mencapai puncak Level 1000. Batas Level 800 kini tinggal sejarah.

Dalam dunia ini, perbedaan level bukanlah angka belaka—itu adalah jurang pemisah antara hidup dan mati.

Jika dua orang hanya berbeda pada Level 1 dan 2, mungkin tidak akan terasa begitu signifikan. Bahkan mungkin saja yang lebih lemah bisa menang.

Namun jika perbedaan itu adalah antara Level 10 dan 20... atau 100 dan 200... maka tak ada lagi harapan bagi yang lebih lemah.

Dan kini, perbedaan antara para Twelve Stars dan sang Dewa Jahat adalah 200 level. Bahkan dibandingkan dengan Libra, selisihnya mencapai 90 level.

Tapi kini, jurang itu telah mereka lewati. Keseimbangan yang sempat terjaga kini runtuh sepenuhnya—dan sang dewa, meski tanpa kata-kata, pasti menyadarinya.

Baru saja... ia kehilangan pijakan.

“Nah, waktunya mengakhiri ini, mutan,” Aigokeros berkata dengan suara yang dalam dan mantap. “Sebagai bentuk penghormatan pada kekuatanmu, akan kutunjukkan segalanya. Saksikan—wujud sejati Raja Iblis Aigokeros!”

Pembatas telah runtuh.

Sekarang, para Twelve Stars bisa menunjukkan kekuatan sejati mereka—kekuatan yang dahulu terkunci rapat di balik batas-batas Dewi.

Dahulu, Aigokeros dikenal dengan sebutan Raja Iblis Helheim. Namanya menggema sebagai sosok kegelapan yang menakutkan. Kini, pembatas itu terangkat. Belenggu yang mengekangnya telah dipatahkan.

Matanya—mata kambing merah menyala itu—berkilau dengan cahaya darah. Sayap gelapnya mengepak dengan kekuatan purba.

Tubuh aslinya yang selama ini tersembunyi dalam bayangan ilusi mulai menggantikan bentuk palsunya. Lelaki tua itu, yang selama ini berdiri dalam wujud semu, kini menghilang. Yang tersisa hanyalah wujud sejati—mengerikan dan agung.

Seluruh mana di sekelilingnya tertarik, berkumpul ke satu titik dengan Aigokeros sebagai pusatnya.

Fenomena ini mirip dengan yang dilakukan Mercurius di Draupnir. Sebuah kekuatan dewa—atau bahkan lebih dari itu.

“Datanglah padaku... kekuatan kegelapan!”

Gelombang mana hitam diserap oleh tubuh Aigokeros, dan bentuk ilusinya menjadi nyata. Ekor ikan yang sebelumnya membentuk tubuh bagian bawahnya lenyap, digantikan oleh kaki berbulu lebat.

Tubuhnya tumbuh... dan tumbuh... dari seratus meter menjadi ribuan. Menembus awan, melampaui pegunungan, hingga mencapai stratosfer. Tubuhnya terus membesar, tak terbendung, seperti planet yang membengkak.

Midgard tertutup bayangan hitam yang menelan langit, sementara kilat menyambar-nyambar, menciptakan badai surgawi. Tanah gemetar. Dunia ketakutan.

Dewa Jahat terperangkap dalam genggaman raksasa Raja Iblis, tubuhnya terkepung oleh jari-jari sekeras gunung. Dan kepala kambing itu—besar, menyeramkan, dan agung—menembus awan, menggapai langit.

Jika seseorang melihat Midgard dari luar angkasa sekarang, mereka pasti mengira apa yang tampak itu mustahil. Sebuah makhluk, lebih besar dari benua, menjulang dari permukaan planet.

Seekor iblis... sebesar dunia itu sendiri.

“Selamat tinggal, mutan,” gumam Aigokeros. “Mungkin kau bisa selamat dari serangan berikutku. Tapi... kau tak akan pernah kembali ke planet ini. Dunia ini sudah memiliki tuan. Dan hanya ada satu Raja sejati.”

Ia berhenti sejenak, suaranya melembut.

“Aku tak menyukaimu. Tapi... kau adalah satu-satunya makhluk di dunia ini yang bisa kusebut teman.”

Dewa Jahat bukan seperti iblis palsu atau tiruan ras iblis. Ia adalah iblis sejati. Justru karena itulah... Aigokeros tak bisa membencinya. Jika Ruphas tidak ada, ia takkan keberatan berbagi dunia ini dengannya.

Namun... dunia ini sudah punya Raja.

Dan hanya ada satu iblis yang boleh melayani sang Raja. Dirinya—Aigokeros.

"Jika kau masih hidup setelah ini, maka perjuangkanlah mimpimu di dunia lain—di tempat yang bukan milik kami."

Dengan satu gerakan besar, Aigokeros melemparkan sang Dewa Jahat ke kehampaan. Tapi saat tubuh makhluk itu terlontar, ia masih menyimpan satu langkah terakhir.

Dengan segenap kekuatan, sang dewa mengaktifkan kemampuan pamungkasnya—dunia di sekitarnya berubah secara mendadak. Midgard, yang seharusnya berada di bawah hukum dan batasan Dewi, kini ditulis ulang.

Segala yang nyata perlahan dikaburkan oleh mimpinya. Dunia menjadi ilusi yang digerakkan oleh kehendaknya.

Batas kerusakan maksimum—lenyap.

Batas level—dihapus.

Dalam sekejap, ia menciptakan dunia baru. Dunia tanpa batas. Dunia tempat ia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya.

Namun, ia sudah terlambat.

Aigokeros tak tinggal diam. Ia tak menunggu dunia baru itu rampung. Dan karena proses erosi itu melibatkan dirinya juga, batasan level milik Aigokeros pun terangkat lebih jauh. Dari 1000... menuju 1350.

Di tengah badai hukum yang kacau, Aigokeros membuka mulutnya. Mana—dalam jumlah tak terbayangkan—mengalir deras. Menggumpal, berputar, lalu memadat.

Melihat itu, sang Dewa Jahat mencoba kabur. Tapi Pisces—yang kini telah berubah ke dalam bentuk ouroboros—membelit tubuh musuh itu dengan rahangnya, mengurung dan menahannya.

Dalam sekejap, makhluk itu dilempar kembali ke tengah ruang kosong.

“Hilanglah.”

Sinar hitam terang menyembur dari mulut Aigokeros.

Itu adalah cahaya yang terang sekaligus gelap—kontradiksi yang nyata. Seolah-olah cahaya bintang dan kehampaan berkumpul dalam satu serangan. Tak ada celah untuk menghindar. Tak ada tempat untuk bersembunyi.

Dan pada saat yang sama, sebuah panah menembus kehampaan. Panah itu dipenuhi dengan keterampilan Alnasl, yang memungkinkan serangan tak terkekang oleh jarak.

Kedua serangan itu berputar seperti spiral, saling menguatkan, menciptakan heliks kehancuran yang sempurna. Mereka menghantam sang Dewa Jahat... dan melesatkannya jauh—melampaui planet, sistem bintang, galaksi, bahkan gugus galaksi.

Mungkin ratusan tahun cahaya. Mungkin lebih.

Tak ada yang tahu ke mana ia akan berakhir. Mungkin, kelak ia akan disembah di dunia lain sebagai Dewa Luar. Mungkin juga ia mendarat di planet kosong yang sunyi, tertidur dalam kedamaian.

Namun satu hal pasti—ia tidak akan mati.

Dan mereka tidak akan pernah bertemu lagi.

Dengan keyakinan itu, Aigokeros kembali ke ukuran normal. Di saat itu, Pisces mendekatinya, masih berkeringat dingin, lalu berkata dengan nada serius.

“...Jadi ini kekuatan asli Raja Iblis Helheim. Tak heran Ruphas-sama memutuskan untuk menyegelmu sejak awal.”

Berbeda dari para Twelve Stars lainnya, Aigokeros terlalu berbahaya. Ia bukan hanya kuat—ia adalah ancaman yang bisa menyaingi Dewi itu sendiri.

Dahulu, Ruphas tidak merekrutnya karena kekuatan, melainkan karena alasan keamanan. Jika tidak dikendalikan, Aigokeros bisa menjadi teror bagi umat manusia yang bahkan lebih buruk dari iblis.

Dan untuk mengendalikannya, ia dipaksa tunduk pada segel level.

Bahkan Raja Singa Leon pun tidak membuat Ruphas waspada seperti Aigokeros.

Leon mungkin yang terkuat.

Tapi yang paling menakutkan... adalah Aigokeros.

Ia adalah makhluk yang bahkan tidak diprediksi dalam skenario Dewi. Ia adalah anomali. Monster sejati yang lahir dari celah di antara hukum.

Karena itu, ia menyebut dirinya “iblis sejati”. Dan karena itu pula, ia bersumpah setia pada Ruphas—satu-satunya makhluk yang bisa membuatnya takluk.

“Meski kau punya kekuatan selevel itu, kau memilih tetap di bawah segel dan tunduk... susah dipercaya ada iblis seperti itu.”

“Karena hanya ada satu Raja sejati. Jika tuanku memintanya, aku rela mati, atau tetap tersegel sepanjang waktu. Itulah kesetiaanku.”

Pisces hanya mendengus, tapi dalam hati, ia merasa lega. Untunglah, iblis ini tak seperti Leon. Untunglah... dia memihak pada Ruphas.

Karena kalau tidak... Midgard sudah lama tenggelam dalam kegelapan abadi.

Meski biasanya Aigokeros tampak seperti kambing gila yang suka bercanda, ketika ia memperlihatkan sifat aslinya... bahkan Pisces pun gemetar.

"Yah... urusannya selesai. Eros, sekarang kau ikut kami, kan?"

“Sebentar, aku harus urus posisiku dulu. Tapi setelah itu, aku akan ikut. Dan—jangan panggil aku Eros!”

“Baiklah, salam kenal, Eros.”

“Aku bilang jangan panggil aku Eros!”

“Kami andalkan kau, Pisces.”

“Diamlah, kuda mesum! Brengsek!”

“!?”

Dalam perjalanan kembali ke istana, Pisces menyunggingkan senyum tipis—tentu saja, tanpa diketahui Libra atau yang lain.

Sudah dua ratus tahun berlalu. Tapi mereka masih sama gilanya.

Dan entah kenapa, hal itu... menyenangkan.

Ia tak akan pernah bilang pada siapa pun, tapi sesungguhnya... ia merindukan momen seperti ini.

—Namun, harapannya hanya satu: tolong, panggil aku Pisces.

“Kelihatannya Libra dan yang lain berhasil bertemu Pisces.”

Aku—Ruphas—meletakkan punggungku pada tiang kapal, surat masih berada di tangan.

Ada dua pesan. Salah satunya baru saja tiba, berisi permintaan untuk mengaktifkan Alkaid. Rupanya mereka menghadapi musuh yang terlalu kuat, bahkan dengan formasi lengkap mereka.

Jujur saja, aku tidak menyangka.

Siapa sangka Libra, Aigokeros, Sagitarius, dan Pisces... semua harus bekerja sama dan masih kesulitan?

Surat kedua memberitahuku bahwa makhluk itu telah dilempar ke luar angkasa dan Pisces telah bergabung.

Tapi... aku bahkan tak butuh surat untuk tahu itu.

Tubuh raksasa Aigokeros bisa terlihat dari sini—atau lebih tepatnya, mungkin dari mana saja di Midgard. Ukurannya... benar-benar gila.

Aku bahkan sempat berpikir: apakah dia benar-benar punya kemampuan seperti itu sebelumnya?

Apa dia bisa menghancurkan planet bahkan tanpa menembus batas?

"Impresif juga. Aku dulu memanggilnya 'kambing peliharaan' dan mengejeknya, tapi kalau seperti itu, bahkan aku bisa berada dalam bahaya.”

“Berhenti sok merendah, Benet. Kalau duel langsung, kau pasti menang.”

Aku mencibir mendengar ocehan Benet.

Meski Aigokeros memang menakutkan, Benet tetap berada di atasnya. Dengan tubuh besar seperti itu, Aigokeros malah jadi sasaran empuk. Benet bisa menghajarnya tanpa henti, sampai si kambing raksasa itu hancur jadi debu.

Tapi tetap saja... monster yang mereka lawan barusan—itu level 1000, dengan HP 2,8 juta. Bahkan lebih tinggi dari Leon.

Sayang sekali. Kalau bisa, aku ingin menjinakkannya.

Itu bisa jadi tameng pertahanan yang sangat hebat.

Walau... kalau begitu, Karkinos pasti akan kehilangan posisi.

"Ngomong-ngomong, apa rencanamu selanjutnya?"

Pertanyaan Benet membawaku kembali ke kenyataan.

Saat ini, kami masih mencari Dina. Tapi sejauh ini... belum ada petunjuk sama sekali. Menara Mafahl pun tak memberikan apa-apa.

Dengan kondisi seperti ini, hanya satu tempat yang tersisa. Tempat yang cukup berbahaya.

“Kita pergi ke kastil ras iblis.”

“Mmm.”

Benet menyeringai, taringnya tampak bersinar di bawah cahaya.

Orang yang paling mengenal Dina... kemungkinan besar adalah Raja Iblis sendiri. Entah karena dia tahu siapa Dina sebenarnya, atau karena dia menyadari kegiatan mata-mata yang terjadi.

Tentu, mungkin saja dia sama sekali tak menyadarinya.

Tapi jika dia benar-benar penguasa bangsa iblis, akan terlalu ceroboh jika dia sampai lengah seperti itu.

Kupikir... dia menyimpan sesuatu.

“Kalau semua berjalan lancar, mungkin kita bisa bicara baik-baik. Tapi kalau tidak—aku selalu bisa melarikan diri.”

“Menarik. Jadi akhirnya kau akan menyelesaikan urusan yang tertunda dua abad itu.”

“Semuanya tergantung pada tanggapan mereka. Aku tak berniat mencari gara-gara lebih dulu.”

Mungkin di sana ada banyak iblis dan monster. Tapi jumlah... bukan masalah.

Bahkan kalau musuhnya jutaan, tidak akan membuat perbedaan.

Ibarat menaruh ribuan orang tanpa senjata di depan rudal nuklir... hasilnya tetap sama.

Kalau perlu, aku tinggal menatap mereka dan mengaktifkan Pemaksaan. Selesai.

“Perubahan rute. Tujuan baru—Benua Hitam. Kita pergi ke istana Raja Iblis.”

Begitu perintah diberikan, kapal Argonautai mulai bergerak, mengubah arah pelayarannya tanpa ragu.

Sekarang... apakah yang akan menanti kami? Oni? Ular?

Keberuntungan? Atau malapetaka?

Yah... kita akan lihat saja nanti.


Catatan Penulis

Arc pertarungan melawan Dewa Mutan akhirnya selesai! Aigokeros si kambing menggigit akhirnya menunjukkan taring sejatinya sebagai Raja Iblis.

Serius, dia bisa sebesar planet sekarang. Gila kuatnya (iya, yakin!).

Selama ini dia sering kalah atau dibuat konyol, jadi aku ingin memperlihatkan kekuatannya yang sebenarnya.

Bab selanjutnya giliran sang protagonis. Tapi karena dia ditemani Benet yang absurd, mungkin ketegangannya sedikit berkurang...

Tanya: Apa yang terjadi dengan Dewa Mutan setelah ini?

Jawab: Karena dia dilempar lebih cepat dari cahaya, dia bakal kembali ke masa lalu, lalu nabrak lubang hitam, terus nyasar ke alam semesta lain. Akhirnya... dia mendarat dengan selamat di Bumi. (?)