Novel Bos Terakhir Chapter 138

Bab 138: Aries Gunakan Flamethrower!

Setelah semua pertarungan usai, Aries dan yang lainnya memutuskan untuk beristirahat sejenak di salah satu kedai minuman setempat.

Namun, yang mereka lihat di dalam kedai membuat mereka terdiam.

Bukan karena dekorasi es abadi yang menyelimuti ruangan.

Bukan juga karena suhu dingin yang menusuk tulang.

Tapi karena… tempat ini penuh humanoid.

Manusia, beastkin, elf, flugel, kurcaci, bahkan hobbit—semua duduk berdampingan, mengenakan pakaian musim dingin tebal, tertawa dan mengobrol sambil menyeruput minuman hangat.

Di Muspelheim.
Di tanah Benua Hitam.

Tempat yang dikenal sebagai wilayah kekuasaan iblis. Tempat yang, seharusnya, tak boleh ditinggali oleh siapa pun selain mereka.

“Ini gila…” gumam Aries, menatap sekeliling.

“Entah ini berkah… atau kesalahan sistem,” sahut Scorpius acuh tak acuh sambil mengetuk meja. “Yah, paling tidak furniturnya nggak terbuat dari es.”

Benar juga.

Meski seluruh bangunan tampak terbuat dari kristal beku, meja dan kursi di dalamnya hangat dan kokoh. Ada keanehan yang tak bisa dijelaskan—ruangan ini terasa relatif hangat dibandingkan suhu luar yang menusuk tulang.

“Sepertinya esnya punya struktur khusus,” ujar Hydrus, mengelus dinding. “Mungkin lebih mirip salju padat dengan kandungan udara tinggi. Semacam insulasi alami.”

Sambil mereka menyesuaikan diri dengan suasana, seorang kurcaci—mungkin pemilik kedai—mendekati mereka.

“Hmm? Kalian bukan orang sekitar, ya?”

Scorpius menatapnya, lalu bergumam, “Kenapa semua kurcaci selalu terlihat sama…”

“Kasar amat,” balas si kurcaci, agak tersinggung.

Memang, dari dulu Scorpius selalu gagal membedakan Mizar dari kurcaci biasa. Dan tampaknya, sampai sekarang pun tak ada perubahan.

Karkinos buru-buru menenangkan suasana.

“Maafkan temanku ini. Dia memang… punya lidah yang tajam. Tapi kami datang bukan untuk cari masalah. Kami cuma… pelancong.”

“Pelancong, di Benua Gelap? Kalian pasti agak nekat… atau kuat banget.”

“Sedikit dari keduanya,” jawab Karkinos sambil tersenyum diplomatis.

Dibanding Aries dan Scorpius, Karkinos memang punya kemampuan komunikasi yang lebih baik. Meskipun sikapnya sering terlihat sembrono, sebenarnya dia cukup bisa membaca situasi—dan mungkin itulah alasan kenapa Ruphas memilih mengirimnya ke wilayah ini.

“Tempat ini… disebut apa?” tanya Karkinos.

“Ini [Nektar],” jawab sang kurcaci. “Dulu, ini bagian dari Muspelheim.”

“Muspelheim… yang dulu wilayah api?”

“Yap. Tapi itu dulu, 200 tahun yang lalu. Sekarang semuanya sudah beku.”

Karkinos melirik ke Aries.

“Jadi… ini sudah terjadi sejak—”

“Sejak kekalahan humanoid di tangan para iblis,” potong sang kurcaci. “Beberapa dari kami tak sempat melarikan diri. Beberapa menolak meninggalkan rumah. Dan ya… kami ditinggal di sini.”

Kisahnya masuk akal.

Dalam kekacauan besar, selalu ada mereka yang tertinggal. Tapi bagaimana bisa mereka bertahan hidup di sini selama dua abad?

“Setelah itu memang tragis… Kami mencoba melawan. Tapi ya, dibantai satu per satu.”

Kurcaci itu menunduk sejenak. “Lalu… Aquarius-sama datang.”

“…Dia membekukan seluruh Muspelheim,” lanjutnya. “Setiap iblis yang mencoba masuk—membeku. Dan orang-orang yang bersumpah setia padanya… dilindungi. Dia bahkan membangun kota ini untuk kami.”

Mata Aries melebar sedikit.

Aquarius… yang selama ini dikenal kaku dan dingin… ternyata telah melindungi para pengungsi selama dua ratus tahun penuh?

“Terima kasih atas ceritanya,” kata Karkinos, menyelipkan sesuatu dari sakunya.

Batu permata kecil berkilau di telapak tangannya.

“Sebagai ucapan terima kasih… terimalah ini.”

“Eeh!? Itu batu mulia, bukan!?”

“Sayangnya, kami tidak punya mata uang lokal. Ini barang termurah yang kupunya.”

“Tapi… ini terlalu berharga!”

“Kalau begitu… anggap sebagai barter informasi. Aku ingin tahu—bagaimana caranya bertemu penguasa kota ini?”

“Hmm… yah, Aquarius-sama tidak mudah ditemui. Tapi, kalau kalian melakukan sesuatu yang luar biasa… seperti mengalahkan iblis yang sering menyerang kota… atau bahkan…”

“Pluto,” gumam si kurcaci lirih.

“Pluto?” tanya Karkinos.

“Dia komandan pasukan iblis di sekitar sini. Aquarius-sama dan dia sudah saling awas selama puluhan tahun. Kalau kalian bisa mengalahkannya… mungkin kalian bisa bertemu langsung.”

Karkinos tersenyum simpul.

“Jadi begitu, ya…”

Ini… solusi ideal.
Kalau bisa mengalahkan komandan itu tanpa bikin keributan politik, mereka bisa bertemu Aquarius tanpa mengusik keseimbangan yang ada.

Keesokan harinya, Aries dan timnya menuju lokasi yang disebutkan si kurcaci—sebuah benteng di tepi wilayah beku, tempat para iblis berlindung dan menyerang warga kota Nektar dari waktu ke waktu.

Benteng itu menjulang tinggi, dikelilingi dinding hitam dengan tumpukan tengkorak di gerbangnya. Aura gelap menguar, begitu tebal hingga bahkan udara terasa lebih berat.

“Menyeramkan…” gumam Karkinos.

“Cocok untuk orang bernama Pluto,” ujar Hydrus.

“Tapi… tetap saja nggak bisa menyaingi kegelapan dalam hatiku,” kata Scorpius enteng, melempar rambutnya ke belakang. “Ahaha~”

“Jangan ngelawak sekarang,” bentak Phoenix. “Kita punya pekerjaan.”

Aries berdiri di depan mereka, ekspresinya tenang tapi fokus.

“Target kita: komandan iblis bernama Pluto. Kita masuk, hancurkan pusat komandonya, dan pulang sebelum waktu makan malam.”

“Singkat. Padat. Kekerasan,” komentar Karkinos sambil tersenyum.

Begitu mereka masuk, seisi benteng langsung geger.

“Ini dia! Manusia! Serang mereka!”

Puluhan iblis muncul dari balik tembok, mengepung dari segala sisi.

Aries tak bergerak. Ia hanya menatap mereka, lalu mengangkat tangan ke depan.

“Serius, kenapa kalian selalu muncul dalam formasi keroyokan?” gumamnya.

Lalu…

FWOOSH!!

Semburan api menyapu ke depan. Tapi bukan sembarang api—ini adalah Flamethrower, sihir api bertipe tekanan tinggi, dibuat menyerupai senjata berat dari dunia modern.

Lidah api mengalir seperti naga liar, membakar puluhan iblis sekaligus.

Jeritan memenuhi udara. Tanah mencair. Dinding terbakar.

Dan Aries terus melangkah, tanpa memperlambat laju api sedikit pun.

“...Dia terlalu kuat.”

Phoenix mengangguk. “Yah, dia memang punya pengalaman sebagai tukang bakar bangunan sejak game masih beta.”

Scorpius menimpali, “Mungkin kalau dia pakai sihir air, seluruh planet bisa meledak.”

Karkinos hanya mengangkat bahu. “Selama dia di pihak kita, aku santai.”

Setelah melewati tiga barikade, mereka mencapai aula utama.

Di sana, menunggu sosok besar—berotot, bersayap kelelawar, bermata merah menyala, dengan ekor logam dan tangan seperti cakar naga.

Pluto.

“Manusia… berani-beraninya kalian datang ke sini…”

“Berani karena kami tahu akan menang,” jawab Aries, ringan.

Pluto tertawa keras. “Kalian pikir bisa mengalahkanku? Aku iblis tingkat tinggi, langsung di bawah Lucifer!”

“Bagus,” kata Scorpius sambil meregangkan leher. “Artinya kalau kami kalahkan kau, kami tinggal dua langkah dari puncak.”

“Kesombonganmu akan membawa kematian—!”

Pluto melompat, tangan raksasanya menciptakan tekanan udara yang mendorong semua orang mundur. Tapi Aries melawan dengan tinju berlapis sihir.

DOOM!

Benturan pertama mengguncang aula.

Phoenix dan Hydrus langsung menyerbu dari dua sisi, membentuk kombinasi api dan air super panas yang menyerbu tubuh Pluto.

Scorpius melesat di bawahnya, memotong tendon dengan rantai beracun.

Dan Karkinos…

Menggigit kakinya.

“…Maaf, refleks,” kata Karkinos setelahnya. “Rasanya kayak chicken drumstick.”

Pluto meraung dan mencoba membalas. Tapi serangan mereka terlalu cepat. Terlalu banyak.

Aries menyalakan Flamethrower lagi—kali ini langsung ke wajahnya.

“UAAAAAARRRGHHH!!”

Pluto terbakar, mengamuk, dan menyerang membabi buta. Tapi di tengah kobaran api, Aries mendekat.

Dengan satu lompatan, ia mendarat di pundak Pluto. Tangannya terkepal, sihir berkumpul di buku jarinya.

“Meteor Knuckle!”

BRAAAAAAKK!!!

Tinju itu menghantam kepala Pluto dengan kekuatan seperti meteorit.

Tubuh besar itu ambruk, menumbuk lantai dan membelah aula menjadi dua.

Hening. Api padam.

Pluto… kalah.

“Target dikalahkan,” kata Aries sambil menepuk tangan.

Scorpius mengangkat tangan. “Yay~! Kita bisa pulang sebelum makan malam!”

Phoenix mendesah. “Jangan bersorak sebelum kita keluar hidup-hidup.”

“Tenang,” ujar Hydrus. “Aku sudah pasang jebakan sihir di luar. Kalau ada musuh tambahan, mereka akan meledak.”

“...Seperti siapa?”

“Seperti Phoenix, kalau dia jalan duluan.”

“APA!?”

“BERANI KAU!!?”

Mereka saling lempar tatapan. Lagi.

Karkinos berdiri di tengah dan mengangkat dua tangan.

“Aku pasrah. Terserah kalian.”

Dan dengan itu, markas iblis di Nektar dihancurkan.

Pasukan iblis—yang selama 200 tahun menyiksa rakyat kota—kini sirna.

Yang tersisa… hanya salju, dan harapan yang mulai mencair.

Beberapa hari setelah Pluto dikalahkan, kota Nektar berubah drastis.

Es yang dulunya membungkus jalan-jalan mulai mencair perlahan. Warga yang hidup dalam ketakutan selama dua abad kini keluar dari tempat perlindungan mereka, menatap langit dengan mata berkaca-kaca.

Anak-anak berlarian di jalan. Toko-toko dibuka kembali. Musik jalanan terdengar dari sudut gang.

Orang-orang… tersenyum.

Dan semua itu, karena tim Aries telah mengembalikan harapan.

Di menara tertinggi kota, Aquarius berdiri menanti.

Wajahnya tetap dingin. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda.

Saat Aries melangkah naik, dia tak langsung bicara.

Mereka berdiri saling menatap… lalu Aquarius angkat bicara pelan:

“...Kau berhasil.”

Aries mengangguk.

“Kami tidak akan mengecewakanmu.”

Aquarius menoleh, menatap kota di bawah sana.

“Selama dua abad… aku berdiri di sini. Membekukan dunia agar tak hancur. Melindungi orang-orang tanpa suara. Tapi… aku tahu batas waktuku.”

Ia menunduk pelan.

“Aku bukan penjaga masa depan. Tugasku… sudah selesai.”

Lalu ia meraih tongkat kristalnya, mengangkatnya ke langit.

Seketika, langit terbuka.

Aurora turun dari awan, membentuk aliran cahaya yang menyelimuti tubuh Aquarius.

Dan—perlahan, tubuhnya mulai berubah menjadi partikel cahaya.

Bersih, lembut… seperti salju pertama yang jatuh tanpa suara.

“Aries,” ujarnya. “Jagalah dunia ini.”

Aries mengepalkan tangan. “Aku akan melindungi harapan mereka.”

“Scorpius…”

“Ya, ya. Aku akan memantau dia biar tidak menyentuh bom nuklir atau semacamnya.”

“Aku serius.”

Scorpius tersenyum kecil.

Aquarius tersenyum… untuk pertama dan terakhir kalinya.

“Selamat tinggal…”

Dan dengan itu, ia menghilang.

Bersama cahaya aurora yang menari, namanya… kini jadi legenda.

Aquarius telah pergi.

Dan tim Aries kini menjadi penjaga resmi Segel Ouroboros di Muspelheim.

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan menyusun sistem pertahanan, menenangkan warga, dan—tentu saja—beradu mulut antara Phoenix dan Hydrus setiap malam.

Karkinos mencoba membuka layanan seafood delivery.

Scorpius membuka sesi tarot pribadi, “dibayar dengan pujian.”

Dan Aries… mulai menulis jurnal harian.

Kalimat pertama di jurnal itu berbunyi:

“Hari ini aku tidak kalah dari bayanganku sendiri.”

Sementara itu…
Di tempat lain yang jauh di langit, awan hitam mulai berkumpul.

Sosok berjubah, tak berkaki, mengambang di antara bintang-bintang.

Dewi.

Ia menatap ke bawah, ke arah Midgard, dengan mata tanpa emosi.

“…Sudah waktunya tirai terakhir dibuka.”


✦ Catatan Penulis

Satu demi satu penjaga bintang menyelesaikan perannya.

Dan Aquarius adalah salah satu yang paling diam, tapi memiliki beban terbesar.

Dia bukan petarung. Tapi dia menahan kehancuran sendirian selama dua abad.

Sekarang, tongkat itu telah diberikan pada Aries.

Dan langkah mereka menuju akhir… semakin dekat.

📌 Selanjutnya: Dunia berubah. Dan ‘dia’… akhirnya kembali ke panggung.

Novel Bos Terakhir Chapter 137

Bab 137: Muspelheim Membeku

Sudah tiga jam sejak kami melintasi Benua Hitam.

Ketika seseorang di dek berseru, “Muspelheim sudah terlihat!”, aku naik untuk melihat langsung. Apa yang kusaksikan… sama sekali tak seperti yang kubayangkan.

Muspelheim—wilayah panas membara, tempat penyegelan Ouroboros, konon diselimuti api abadi, suhu mendekati seribu derajat Celcius. Bahkan menurut legenda, tanah ini terlalu panas untuk makhluk hidup dan hanya bisa dijelajahi lewat perlindungan sihir tingkat tinggi.

Tapi semua itu…

Omong kosong.

Yang terbentang di depan kami—adalah negeri beku.

“Ini… membeku,” gumamku, tak percaya.

“Ya. Membeku,” jawab Aries, sama bingungnya.

Dari dek Argo, kami menatap ke bawah.

Muspelheim yang terkenal sebagai negeri api kini justru tertutup salju putih. Angin dingin berhembus kencang. Kabut es melayang di antara rumah-rumah iglo dari kristal beku. Di tengah kota, berdiri istana megah yang juga terbuat dari es—menjulang seperti gletser surgawi.

Jujur saja… pemandangan ini mistis dan memukau.

Tapi juga… bikin menggigil.

“Ini pasti ulah Aquarius,” tebakku. “Dia pasti menggunakan mana-nya untuk menutupi iklim wilayah ini.”

“Seluruh Muspelheim…?” tanya Aries.

Libra mengangguk. “Luas wilayah ini sekitar 83.500 kilometer persegi.”

Itu… setara pulau Hokkaido.

Membekukan wilayah sebesar itu, yang awalnya bersuhu 1000 derajat Celcius?

Itu bukan lagi sihir. Itu kekuatan Dewa.

Sihir Aquarius, meski berbasis air, tak seperti Dina. Dia tidak mengendalikan “air” semata, tapi benar-benar mengubah iklim dan membekukan dunia di sekitarnya. Ini sudah bukan “elemen air” lagi. Ini es sejati.

“Kalau begitu, kami berangkat sekarang,” ucap Aries, melompat ke pagar kapal.

Scorpius, Karkinos, Phoenix, dan Hydrus menyusul tanpa ragu.

Tapi… bukankah kalian kedinginan?

Aries bahkan pakai pakaian minim. Scorpius? Lebih sedikit lagi. Karkinos? Oke, dia agak mendingan.

Tapi tetap saja. Ini tempat es—bukan fashion runway.

“Hm, tunggu dulu.”

Aku membuka X-Gate, dan mengeluarkan tiga set mantel tebal yang kusembunyikan di gudang Menara Mafahl.

Itu adalah perlengkapan legendaris: [Lambang Aurgelmir], armor anti-elemen yang kugunakan saat melawan boss bertipe air. Meski menurunkan sedikit status, ia bisa mengurangi 70% kerusakan dari elemen air dan api.

Aries dapat mantel putih. Scorpius dapat hitam. Karkinos dapat merah.

…Scorpius terlihat tetap sensual. Entah kenapa mantel itu malah seperti pakaian pelengkap baginya.

“Dan ini… hadiah perpisahan.”

Aku memberikan mereka masing-masing senjata khusus yang kubuat di waktu senggang:

  • Aries: Sarung tangan jari terbuka dengan tonjolan keras di buku jari. STR +1200 dan menembus pertahanan elemen.

  • Scorpius: Rantai sabit berekor penjepit kalajengking. ATK +2000. Ujungnya bisa mencapit musuh otomatis.

  • Karkinos: Gunting khasnya ditingkatkan. ATK +1000, bisa menyerang dua kali, dan kalau dilempar, akan kembali seperti bumerang.

“Ruphas-sama… aku akan menyimpan sarung tangan ini sebagai pusaka keluarga, diwariskan turun temurun dan—”

“—Tidak. Pakai itu. Itu peralatan tempur, bukan lukisan dinding.”

Aku menepuk kepala Aries.

“Selamat jalan. Aku serahkan Aquarius padamu.”

Aries mengangguk, wajahnya bersinar penuh semangat, lalu melompat turun dari ketinggian 10.000 meter.

Phoenix dan Hydrus menyusul, meluncur anggun dengan sayap.

Scorpius?

Dia menatapku dengan ekspresi… menunggu.

“…Haaah.”

Aku menepuk kepalanya juga.

“Hyaaa~!!”

Dan dia pun ikut melompat dengan teriakan khasnya.

Seperti biasa. Tak berubah sama sekali.

Setelah melompat dari kapal Argo, Aries dan timnya mendarat di pinggir kota Muspelheim.

Begitu kaki mereka menyentuh tanah, hawa dingin menusuk tulang langsung menyambut. Meskipun dilindungi mantel sihir [Lambang Aurgelmir], tetap saja udara di sini bukan main dinginnya.

Langkah mereka menciptakan bunyi crunch-crunch di atas salju yang keras membeku.

“Dingin banget…” gerutu Karkinos. “Tangan jepitku mulai kehilangan perasaan.”

“Kau memang tak punya perasaan,” timpal Scorpius sambil memutar-mutar rantai sabitnya.

Phoenix dan Hydrus, seperti biasa, berjalan agak menjauh—berusaha saling mengabaikan tapi jelas-jelas saling mengawasi.

Setiap kali kaki Phoenix menyentuh salju, muncul efek api merah muda yang menyapu jejak beku. Tapi Hydrus justru memancarkan hawa air es, membekukan ulang setiap jejak api itu.

Dan akhirnya…

“JANGAN MENGINJAK JEJAKKU!!”

“AKU YANG HARUS BILANG BEGITU, BURUNG GORENG!!”

Keduanya berhenti, berbalik, dan langsung saling tunjuk.

Karkinos berusaha menengahi. “Kita di wilayah musuh, tolong jangan ribut—”

Tapi mereka tak mendengar. Phoenix sudah melebarkan sayap dan Hydrus membentuk pusaran air di tangannya.

“Sudah cukup!!”

Suara Aries memotong udara seperti cambuk es.

“…Kalian ingin kembali ke Menara Mafahl dengan laporan: ‘Phoenix dan Hydrus mati karena berkelahi di salju’!?”

“…Tidak.”

“…Maaf.”

Mereka mengerut, menunduk seperti anak sekolah tertangkap bolos.

“Kalau begitu jalan.”

Mereka berjalan melintasi pinggiran kota. Rumah-rumah di sekitar semuanya dibuat dari es murni—tapi tidak rapuh. Permukaannya halus seperti kristal, transparan tapi berkilau seperti permata. Cahayanya memantul ke segala arah, membuat kota itu terasa seperti dunia dalam mimpi.

Tak ada suara. Tak ada orang. Tak ada kehidupan.

Seolah-olah… semuanya dibekukan.

“Aries…”

Scorpius menunjuk ke arah salah satu bangunan.

Di dalam—beku dalam es—ada seorang anak perempuan kecil, duduk memeluk lututnya. Matanya terbuka. Ia tampak hidup… tapi tak bergerak.

Bahkan uap napasnya pun terlihat di balik dinding es itu.

“…Mereka… dibekukan hidup-hidup?” gumam Aries.

“Tidak. Aku tak merasakan kematian.”

Phoenix memeriksa energi sihir di sekitarnya.

“Ini… teknik penghentian vital yang sangat halus. Mereka hidup, tapi seluruh fungsi tubuhnya ditangguhkan oleh es sihir.”

“Orang-orang ini dijadikan ‘patung tidur’…” kata Hydrus, ekspresinya berubah serius.

“Kota ini... dijaga agar tetap ‘utuh’ oleh seseorang.”

“Pasti Aquarius,” kata Scorpius. “Ini caranya menyegel wilayah, mungkin juga demi menjaga Ouroboros.”

“Dia menyelamatkan kota… tapi dengan cara yang kejam,” bisik Karkinos.

Aries mengepalkan tangan.

“…Kalau begitu, kita harus segera menemukannya.”

Dan mereka melangkah lebih dalam ke kota yang beku.

Namun, jauh di atas menara es tertinggi—sepasang mata mengamati mereka dari kejauhan. Mata biru tajam, berkilau seperti permukaan danau di tengah musim dingin.

Sosok itu mengenakan gaun panjang yang berkilau seperti lapisan salju baru. Rambut peraknya menari bersama angin, dan aura dingin menyelimuti tubuhnya.

Aquarius.

Dan di tangannya… ia menggenggam tongkat es berbentuk spiral bintang.

“—Akhirnya kalian datang.”

Suaranya pelan, tapi cukup untuk mengguncang kabut di sekelilingnya.

“Sudah lama aku menanti… pengganti tugasku.”

Langkah-langkah tim Aries bergema sunyi di jalanan kota es.

Setiap sudut kota menyimpan pemandangan menakjubkan—es berbentuk pohon, patung, bahkan binatang salju yang tampak seperti membeku saat sedang bergerak. Semua begitu indah, tapi juga menyedihkan. Seolah waktu benar-benar berhenti.

Dan akhirnya, mereka sampai di pusat kota.

Menara es setinggi dua ratus meter menjulang di tengah alun-alun. Cahaya matahari yang menembus kabut menghasilkan pelangi tipis yang mengambang di sekitar menara.

Di sana, menunggu satu sosok.

Ia berdiri di balkon menara, anggun bak dewi musim dingin. Rambut peraknya menari pelan, gaun esnya berkilau, dan tongkatnya—terbuat dari es murni berbentuk spiral rasi bintang—berdenyut pelan seolah bernapas.

Aquarius.

Dua matanya yang biru es mengarah langsung pada Aries.

“—Jadi kau yang datang.”

Aquarius melayang turun dari puncak menara, anggun seperti salju pertama yang turun di musim dingin.

Begitu kakinya menyentuh tanah, salju di sekitarnya membeku lebih keras. Udara berhenti. Hening mendadak menyelimuti kota.

“…Namaku Aries. Aku datang… untuk menggantikan tugasmu menjaga segel Ouroboros.”

Aquarius tidak langsung menjawab.

Ia menatap Aries dalam-dalam. Lalu, pelan, ia berkata:

“Tidak bisa.”

Aries tertegun. “Kenapa?”

“Aku tidak melihat kekuatan yang cukup. Juga tidak melihat tekad yang bisa menahan beban tugas ini.”

“Kalau begitu… uji aku. Uji kami.”

Aquarius menutup mata, menarik napas panjang. Saat ia membukanya kembali, suhu langsung turun drastis. Es mulai tumbuh dari permukaan tanah, menyelimuti segala sesuatu kecuali tempat Aries dan timnya berdiri.

“Kalau begitu, aku akan menguji kalian… bukan hanya kekuatan. Tapi juga… hak kalian untuk menggantikan beban ini.

Seketika, dunia berubah.

[Domain Astral – Perairan Beku Tak Berujung]

Tanah di bawah mereka menghilang. Udara berubah menjadi danau es tak bertepi.

Langit menjadi malam. Bintang-bintang muncul, tapi tidak berkedip.

Di sekeliling, hanya permukaan es sejernih cermin yang memantulkan wajah mereka sendiri—seolah menunjukkan “diri sejati” mereka.

“Kalian yang datang… adalah pewaris kehendak Bintang.”

“Aku akan menguji… bukan hanya apakah kalian mampu melawan musuh... tapi apakah kalian pantas untuk menyandang ‘harapan.’”

“Phoenix.”

“Hydrus.”

Suara Aquarius menggema.

“Kalian, sebagai famili Ruphas, akan menerima ujian pertama.”

Seketika, sosok kembar es muncul di hadapan Phoenix dan Hydrus. Salinan sempurna dari mereka sendiri—versi masa lalu. Versi lama yang lebih liar, lebih egois, lebih tidak terkendali.

Phoenix melotot. “Ini…”

“Bayangan dari masa lalu.”

Hydrus menegakkan tubuh. “Bagus. Sudah lama aku ingin menghajarmu, aku yang lama.”

“Aku juga!” Phoenix membentak balik. “Kau terlalu banyak bicara, aku yang lama!”

Keduanya… lalu berbalik arah dan menghantam bayangan satu sama lain.

Aquarius mengerutkan kening. “...Mereka benar-benar cocok.”

Sementara itu, Scorpius menghadapi salinan dirinya yang tak memiliki moral—versi yang membunuh hanya untuk bersenang-senang. Karkinos menghadapi ketakutan akan gagal menjaga teman-temannya. Dan Aries…

…berdiri sendiri.

Di hadapannya, bukan sosok dirinya yang muncul. Tapi…

Ruphas.

Namun bukan Ruphas yang sekarang.

Melainkan sosok tiruan—tinggi, menakutkan, dingin, memancarkan aura kematian.

Aries mencengkeram tinjunya.

“Ini…”

Aquarius berbicara dengan suara lembut.

“Bayangan yang selama ini menekanmu. Sosok yang selalu kau bandingkan dengan dirimu sendiri. Wujud dari ‘impian’ dan ‘rasa takut’ yang kau miliki.”

“Kalau kau bisa mengalahkannya… maka kamu telah melampaui bayanganmu sendiri.”

Aries mengangguk.

“…Ayo, ‘Ruphas-sama.’ Tunjukkan padaku seberapa jauh aku sudah berjalan.”

Di hadapan Aries, sosok “Ruphas” berdiri tegak.

Tinggi, megah, dingin.

Ia mengenakan mantel hitam panjang, sayap gelap membentang di punggungnya. Tatapannya tajam, ekspresinya datar—penuh tekanan seperti langit sebelum badai.

Sosok itu tidak berbicara.

Tapi Aries tahu: itu adalah bayangan dari ketakutannya sendiri.

Sosok yang selalu ada di belakang pikirannya.

Yang membisiki, “Kau tidak cukup kuat.”

Yang menatapnya seolah berkata, “Kau hanya pengganti.”

Dan hari ini, Aries memutuskan… cukup sudah.

Dia melangkah maju.

Tangan terkepal, api membara di telapak tangannya. Sorotan matanya tak lagi ragu. Tak ada kegugupan. Tak ada keinginan untuk mundur.

“Selama ini… aku hanya berlari darimu.”

“Aku selalu berpikir, aku takkan bisa menyamai Ruphas-sama.”

“Tapi sekarang, aku sadar… aku tidak perlu jadi dia.”

Sosok “Ruphas” bergerak. Satu ayunan tangan—dan ledakan energi gelap melesat ke arah Aries.

Tapi Aries melompat, menghantamnya dari atas dengan pukulan berapi.

DOOM!

Getaran menyebar ke seluruh domain es. Permukaan beku retak. Cahaya merah dan biru saling berbenturan.

“Yang harus kulakukan… hanya berjalan di sampingnya!”

“Bukan menyainginya—tapi bertarung bersama!”

Pukulan demi pukulan Aries mendarat di tubuh bayangan itu.

Dia tak lagi takut. Karena dia tahu: Ruphas tak pernah menuntutnya untuk menjadi dirinya.

Dan akhirnya, dengan satu serangan pamungkas—tinjunya menyala terang, lebih terang dari matahari Muspelheim yang beku.

“SELESAI!!”

BRAAAK!!

Bayangan “Ruphas” hancur menjadi pecahan cahaya.

Seketika, seluruh dunia es bergetar—lalu membeku dalam keheningan.

Aquarius berdiri di kejauhan, menatap Aries tanpa berkata-kata.

Lalu ia melangkah pelan.

Suara langkahnya mencairkan permukaan beku.

“…Lulus.”

Satu kata.

Aries menunduk dalam.

“Terima kasih.”

Aquarius menoleh ke Scorpius, Phoenix, Hydrus, Karkinos.

Mereka semua terluka—tapi berdiri.

Ujian mereka telah selesai.

Dan hasilnya…

Mereka diterima.

Aquarius mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Cahaya biru menyelimuti seluruh kota.

“Mulai hari ini, wilayah ini… Muspelheim… sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab kalian.”

“Segel Ouroboros akan tetap terjaga.”

Seketika, es di sekeliling mulai mencair perlahan. Warga yang dibekukan pun perlahan bangun dari tidur panjang mereka.

Dan Aquarius… perlahan menghilang menjadi cahaya bintang.

Bukan mati.

Tapi kembali ke tempat asalnya—meninggalkan dunia fana, karena tugasnya telah selesai.

“Selamat tinggal… Aquarius.”

Aries berdiri menatap langit. Scorpius menyeka sudut matanya diam-diam.

Phoenix dan Hydrus… tetap saling tatap penuh tensi.

Tapi kini… ada penghormatan dalam pandangan itu.

Dan Muspelheim… akhirnya bebas.



✦ Catatan Penulis

Aquarius mungkin karakter yang jarang tampil…
Tapi saya ingin dia menjadi simbol:
"Penjaga terakhir yang menunggu pengganti."

Seseorang yang memegang tanggung jawab terlalu lama, dan akhirnya… bisa menyerahkannya dengan tenang.

Dan Aries?
Dia bukan karakter overpower. Tapi dia berjalan dan berkembang.

Dan bagi saya, itu yang membuatnya layak disebut pahlawan.

📌 Selanjutnya: Kembali ke Argo. Dan… kejutan dari langit Midgard.

Novel Bos Terakhir Chapter 136

Bab 136: Ruphas Gunakan Ember

Kapal legendaris yang dulu hanya jadi kisah dalam sejarah kini terwujud kembali di langit: Argo, flagship milik roh-roh heroik.

Dengan panjang 350 meter dan lebar 52 meter, kapal raksasa itu melayang anggun melintasi awan. Argo bukan sekadar kapal terbang biasa—ia dibangun dari cabang asli tubuh saudara peri, memiliki kemampuan regenerasi otomatis, dan hanya bisa diaktifkan saat Castor dan Pollux menggunakan kekuatan sihir mereka bersamaan.

Dan sekarang… kapal itu bangkit kembali, dikemudikan oleh para Argonautai legendaris yang dipanggil oleh Pollux.

Aku berdiri di dek kapal, menyaksikan pemandangan dunia dari ketinggian. Di sampingku berdiri Castor, mengenakan mantel kapten bajak laut yang—anehnya—cocok banget untuknya.

“Jadi ini kapal Argo…” gumamku.

“Betul,” sahut Castor sambil menyeringai. “Kita dulu pernah keliling dunia dengan kapal ini, mencari domba pelangi. Tapi nggak pernah ketemu, sih.”

“…Aku bahkan belum lahir waktu itu, kau tahu?”

“Yah, itu kejadian beberapa ribu tahun lalu. Wajar kalau kau nggak tahu.”

Kru kapal pun tak kalah unik.

Di ruang navigasi, ada Pyxis dari konstelasi Kompas—pria bermata satu dengan bandana, yang mengaku tahu segalanya tentang langit Midgard.

Di ruang mesin, ada Suhail dari Vela—bajak laut perempuan bertubuh kekar, dengan otot-otot seperti baja dan perut six-pack, jauh dari kesan feminin… tapi jangan bilang itu keras-keras.

Tiga kurcaci dari konstelasi Puppis—Naos, Tureis, dan Azmidiske—sibuk memelototi panel-panel mesin. Mereka nyaris tak bisa dibedakan, dan aku sempat berpikir: setidaknya warnai jenggot kalian beda warna, dong.

Lalu sang juru mudi: Avior dari Carina—yang ternyata... adalah kerangka naga.

Ya. Kerangka. Naga. Menyetir kapal.

Jujur saja, aku bahkan tak yakin bagaimana cara dia memegang setir.

Kapal Argo bisa terbang sampai kecepatan Mach 5 dan dalam waktu enam setengah jam, bisa mengelilingi Midgard sekali putar penuh.

Tapi jujur, kalau melihat betapa cepatnya kapal ini melaju, lalu melihat tampaknya kok lambat... yah, ini dunia fantasi. Fisika hanyalah saran.

“Oh ya,” ucap Castor sambil menoleh ke arah para kru yang menatap Aries dengan tatapan… terlalu intens.

“…Kalau ada yang melihat Aries dengan cara aneh, aku akan lempar mereka dari kapal.”

“...Dimengerti.”

Langsung saja semua kru buru-buru pura-pura kerja, seolah tak terjadi apa-apa.

Setelah itu, kami menurunkan Pollux, Castor, Terra, dan Luna di Alfheim. Sebagai bonus, party-nya Sei juga ikut turun.

Aku meminjamkan mereka mobil Suzuki untuk perjalanan selanjutnya—ya, mobil yang dulu dipakai Sei dan kawan-kawan.

Tujuan berikutnya: Muspelheim, tanah yang selama ini belum pernah kami jamah.

Di sana, kami akan menyerahkan kelompok Aries untuk bertemu dengan Aquarius—atau lebih tepatnya, menggantikan Aquarius, yang kini absen menjaga segel Ouroboros.

Sebagai gantinya, kami menurunkan dua monster ajaib yang pernah kujinakkan:

  • Hydrus, Naga Air Level 800

  • Phoenix, Burung Abadi Level 800

Keduanya—meski tak pernah benar-benar kubesarkan dalam game—kuanggap cukup kuat.

“Ruphas-sama… betapa menyentuhnya bisa bertemu Anda lagi, bahkan setelah kematian…”

“Kau tak berubah, ya, Phoenix.”

“Ahaha… keajaiban reuni ini benar-benar menggugah…”

Dua pemuda tampan—yang bersinar bahkan tanpa efek cahaya—memegang tanganku penuh semangat.

…Tapi jujur, mereka terasa seperti karakter dari shoujo manga.

“Eh, jadi burung abadi bisa mati?”

“Uuh… ya, kalau tubuhku dicincang sampai tak bisa diregenerasi…”

“…Oh.”

Dan kerangka naga itu? Sudah mati dari awal. Tapi anehnya, masih muncul sebagai kerangka juga saat dipanggil kembali. Bukankah harusnya bangkit dalam bentuk hidup? Tapi ya… ini dunia yang tak pernah konsisten.

Libra tiba-tiba muncul dan memberitahuku:

“Ruphas-sama, kita sebentar lagi akan meninggalkan wilayah humanoid. Mungkin akan diserang oleh iblis.”

Aku mengangguk, lalu melihat ke langit.

Benar saja.

Sekelompok besar iblis melesat ke arah kapal, bersenjata lengkap.

Jumlahnya… luar biasa. Mungkin lebih dari seratus ribu. Mereka memenuhi langit seperti badai.

Salah satu dari mereka berteriak:

“Heh, ada satu orang cewek keluar sendirian!”

“Bocah bodoh!”

“Manis juga. Biar kami ‘nikmati’ dia dulu!”

Aku menghela napas.

Lalu mengangkat jari telunjuk.

Di atasnya, bola cahaya kecil muncul, seukuran kelereng.

“Hooh? Dia pikir bisa melawan kita?”

“Gadis bodoh… kami semua level 250!”

“Saatnya kau belajar apa itu keputusasaan, HAHAHA!”

Oh? Bendera kematian? Sudah dikibarkan sempurna.

Aku menuangkan mana ke bola cahaya. Dalam sekejap, bola itu mengembang jadi raksasa bercahaya—miniatur matahari—berdiameter 50 meter.

Udara berguncang. Para iblis terdiam.

“E…e……?”

Beberapa mulai gemetaran. Sebagian lain—maaf—langsung ngompol.

Aku tersenyum, lalu menembakkan Solar Flare itu.

Ledakan meletus di langit.

Cahaya membakar, ledakan bergemuruh, dan puluhan ribu iblis tersapu dalam sekejap.

Mereka jatuh ke tanah… dalam keadaan selamat. Karena aku dengan sengaja menahan kekuatannya menggunakan efek Blunt-Edge Strike.

Mereka hanya tinggal dengan 1 HP. Berguling-guling sambil menangis dan bersyukur masih hidup.

“Yah… sekali ini saja, aku biarkan mereka hidup. Demi Terra dan cita-citanya yang agak mulia.”

Setelah pertarungan singkat dan kemenangan mutlak atas pasukan iblis, suasana di dalam Argo seharusnya kembali tenang.

Seharusnya.

Tapi yang terjadi justru—

“Kenapa si burung panas ini ikut dalam tim!?”

“Karena aku bisa terbang, dasar kadal rebus!”

“Kau menyebutku kadal!? Dasar ayam gosong berpakaian jas!”

Hydrus dan Phoenix kembali bertengkar. Dua monster legendaris ini mungkin punya level tinggi dan status luar biasa… tapi kedewasaan emosional mereka? Mungkin minus.

Mereka duduk saling membelakangi, di sofa ruang utama Argo—masing-masing dengan aura gelap menguar dari tubuhnya.

“…Kau tahu,” gumamku ke Libra, “Kenapa mereka tidak pernah jadi karakter playable dalam game?”

Libra menjawab tanpa ekspresi. “Karena mereka terlalu menyebalkan, Tuan.”

“…Tepat.”

Sementara itu, Aries duduk tenang di sudut ruangan, pura-pura tidak melihat apa pun. Scorpius terlihat seperti sedang mempertimbangkan apakah sebaiknya memakan salah satu dari mereka. Aigokeros… entah sejak kapan menulis puisi untuk Phoenix. Oh tidak.

Tiba-tiba—pintu geser di pojok terbuka dengan suara slasshhh dramatis.

Dan dari sana muncul—

Sagitarius.

Telanjang bulat.

“Aku kembali.”

“……”

“……”

Satu detik. Dua detik.

Reaksi pertama datang dari Benetnash.

“TUTUP ITU!!”

Dan setelah itu, semua orang langsung panik.

Phoenix menutup mata pakai sayapnya. Hydrus pingsan.

Libra mencoba mencatat ini sebagai pelanggaran seragam kapal.

Aries langsung menendang kursi ke arah Sagitarius, tapi entah kenapa malah kena Aigokeros.

Dan aku?

Aku berdiri pelan-pelan, menatapnya dalam diam, lalu berkata:

“…Kenapa kau telanjang?”

Sagitarius menjawab dengan datar:

“Untuk menyatu dengan udara.”

“Keluar. Sekarang.”

“Baik, Tuan.”

Dia kembali masuk ke kamarnya—masih tanpa busana.

Benetnash melempar bantal ke pintu dengan kekuatan hampir selevel tinju bintang.

Setelah situasi agak reda, akhirnya kami bisa duduk tenang dan menyusun ulang formasi.

Aries, Sagitarius, dan Libra tetap jadi tim utama untuk ekspedisi kali ini.

Phoenix dan Hydrus—dengan berat hati—akan bekerja sama menjaga area belakang Argo.

“Kami… akan berusaha tidak saling bunuh,” kata Phoenix, memaksa senyum sambil tetap menatap tajam ke arah Hydrus.

“Kalau aku menang, aku ingin jadi komandan pasukan terbang.”

“Aku akan membakar jubahmu kalau bicara lagi.”

“…Silakan coba.”

Benar-benar anak-anak menyebalkan. Tapi aku harus akui… keberadaan mereka membuat langit Midgard terasa sedikit lebih hangat.

Kapal Argo meluncur stabil, membelah awan.

Dan aku berdiri di ujung haluan, rambut tertiup angin.

Tujuan kami berikutnya:

Tanah Terlarang—Wilayah Kegelapan.

Tempat di mana pion terakhir Dewi menunggu.

Aku mengangkat kepala.

Dan berbisik:

“Ayo, kita akhiri ini.”


✦ Catatan Penulis

Kapal Argo edisi komedi.

Jujur, setelah rentetan bab penuh tragedi dan klimaks emosional, saya butuh bab ini untuk bernapas.

Karakter favorit saya dalam bab ini? Sagitarius.
Dia tidak masuk akal, dan justru karena itu… dia sempurna.

Oh, dan ya—Hydrus & Phoenix adalah ikonik. Mereka tidak ada dalam game sebagai karakter utama karena… alasan yang sangat jelas: mereka akan mengacaukan semua skenario.

📌 Selanjutnya: perjalanan menuju wilayah terakhir dan kekuatan akhir Dewi.

Novel Bos Terakhir Chapter 135

Bab 135: Pollux, Dapat!

Hari itu adalah sehari setelah pertempuran besar melawan Pollux—yang saat itu dikendalikan oleh Dewi—berakhir.

Kami semua berkumpul di kamar penginapan terbesar yang tersedia. Dua Belas Bintang hadir. Bocah heroik Sei, si tampan Terra, si gadis kecil Luna, dan tentu saja, Benetnash, si vampir yang baru bangkit dari kuburnya—semuanya ada di sini.

Namun, seperti yang bisa kau tebak dari kalimat “semuanya berkumpul,” tetap saja ada dua pengecualian mencolok.

Pertama, si singa arogan—Leon. Begitu pertempuran selesai, dia langsung pergi tanpa pamit. “Aku tidak tertarik bergaul,” katanya. Yah, khas dia.

Yang kedua—Dina.

Dia menghilang tepat sebelum konfrontasi melawan Pollux. Awalnya kupikir dia cuma ke kamar kecil. Tapi setelah pertempuran usai, dia tidak kembali. Tidak ada di kamar mandi. Tidak ada di mana pun. Menghilang begitu saja.

Dan sekarang… hanya kami yang tersisa.

Oh, dan satu lagi.

Setelah efek [Alkaid] berakhir, aku—diriku yang asli—kembali sepenuhnya. Seperti dugaanku, skill itu bukan hanya meningkatkan kekuatan, tapi juga mengaktifkan “Ruphas” versi aslinya. Dan itu cukup… menyakitkan. Kesadaranku terkikis sedikit demi sedikit setiap kali kupakai.

Mungkin aku jadi lebih kuat… tapi setiap penggunaan membuat “aku” semakin jauh dari diriku sendiri.

Skill itu seperti pisau bermata dua.

“Jadi, kau sudah tidak berniat melawan umat manusia lagi?”

Yang menjawab adalah pangeran iblis, Terra.

“Benar,” katanya kalem. “Setelah tahu siapa sebenarnya ‘ras iblis’ itu, aku tak tertarik ikut kompetisi curang yang hasilnya sudah ditentukan dari awal.”

Di sisi lain, oi, bajingan ini…

Keterlaluan tampannya.

Kalau harus jujur—jauh lebih menawan dari Sei si Pahlawan.

Bahkan Sei sendiri sempat bergumam, “Apa nggak lebih baik orang ini aja yang jadi protagonis?”

Dan aku setuju. Saking tampannya, dia seperti membawa aura tulisan “Aku Protagonis” di dahinya.

Meledak dan matilah, dasar protagonis murahan.

“Jangan-jangan… kamu cuma takut pada Ruphas-sama?” Aigokeros memprovokasi dengan nada sengit. Mungkin karena dulu dia sempat kalah dari Terra di Blutgang.

Namun, Terra hanya tersenyum tenang.

“Mungkin saja. Tapi kalau memang itu alasannya, ya memang benar. Kalau aku melawannya, aku tak akan menang.”

…Orang ini kelewat dewasa, sih.

Dingin, tenang, sopan… makin tampan pula.

Kalau dibandingkan, kami semua terlihat seperti geng preman yang salah masuk kelas debat.

Oh ya. Memang kami preman sih.

“Ruphas-dono! Di depanmu ada iblis! Kenapa tidak kau bunuh saja!?”

Seorang elf dari kelompok Sei berseru, berusaha memancingku.

Kalau ini dulu, mungkin aku akan langsung menghabisi Terra di tempat.

Namun aku sekarang bukan aku yang dulu.

“Aku tak sekejam itu,” jawabku. “Kalau kau ingin membunuh mereka, silakan lakukan sendiri.”

“E-eh… t-tapi…”

Elf itu langsung terdiam.

Kupikir dia berharap aku akan berseru, “Bunuh mereka semua!” seperti 200 tahun lalu.

Yah… aku tidak bisa menyalahkannya. Aku yang dulu memang tak punya belas kasihan.

Kekuatan sebesar milikku tanpa kontrol yang cukup… ya, wajar jika aku dikhianati.

Masalahnya adalah… mungkin aku mulai menyimpang ke arah yang sama lagi.

“Libra, kau sudah menemukan Dina?”

“Belum. Aku sudah mencarinya semalaman, tapi hasilnya nihil. Sepertinya dia sudah tidak berada di kota ini.”

Bahkan dengan kemampuan pencarian Libra yang presisi… Dina tetap tak ditemukan.

Dia pasti menggunakan X-Gate untuk kabur entah ke mana. Mengingat waktunya yang kebetulan persis sebelum kedatangan Pollux, jelas ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Aku mulai curiga: jangan-jangan Pollux tahu sesuatu tentang Dina.

Dan benar saja…

“Kalau begitu… ayo kita bahas soal Dina. Kebetulan di sini ada orang yang mungkin tahu siapa dia sebenarnya, bukan begitu?”

“Dina?” Pollux memiringkan kepala.

Dia tampak tidak tahu.

Libra pun mengambil selembar kertas, dan dalam hitungan detik… menggambar wajah Dina.

Realistis. Presisi. Hampir seperti foto hitam putih.

Astaga, dia bisa menggambar seperti ini!?

Pollux menatap gambar itu… dan seketika mulai berkeringat dingin.

“…Ruphas-sama… Orang ini… ada di dekatmu selama ini?”

“Ya. Katanya dia penasihat yang sudah bersamaku sejak 200 tahun lalu.”

“APA YANG KAU PIKIRKAN!? ITU AVATAR DEWI!! Penampilannya PERSIS seperti Dewi Alovenus!!”

…………

…Ma—maksudmu apa, Pollux-san?

“Lebih dari itu, akulah yang melihat langsung bagaimana dia membantu menyegelmu, Ruphas-sama! Dia menggunakan teknik Segel Dimensi!”

………………

……Aku tidak siap mendengar itu sekarang.

Aku memang mencurigainya… tapi ternyata dialah yang menyegelku?

…Pantas saja Dina kabur buru-buru saat tahu Pollux akan datang.

Seberani apa pun dia berbohong, menghadapi Pollux si manusia waras… itu terlalu berisiko.

Yah… kurasa ini salahku juga. Aku terlalu menikmati sandiwara ini.

“Jadi… kenapa kamu tetap menjadikannya penasihat?”

“Yah, kupikir… lucu saja.”

“Yang benar saja! Yang kamu sebut lucu itu, ternyata DEWI itu sendiri!!”

Setelah suasana sedikit tenang, Pollux bangkit dari duduknya. Ia menatapku lurus-lurus, lalu mengumumkan:

“Mulai hari ini, aku akan menggantikan Dina sebagai penasihat!”

Ruang jadi hening.

Benetnash langsung berdiri, menunjuk tajam.

“HAH!? Sejak kapan kau bisa memutuskan hal semacam itu sendiri!?”

“Sejak Dina, si mata-mata Dewi, kabur dan tak meninggalkan surat cuti!”

“Ugh… tapi kau cuma peri! Apa bisa kau handle semua tugas yang Dina kerjakan?”

Pollux tersenyum manis—dengan aura mengerikan menguar dari balik punggungnya.

“Aku tahu siapa kamu, Benetnash-san. Yang suka tidur 20 jam sehari, bangun hanya untuk makan, dan kadang pakai tabir surya sihir agar bisa berjemur tanpa meleleh.”

Benetnash tersentak. “...Dari mana kau tahu itu!?”

“Jangan remehkan peri informasi, ya.”

Seketika, Pollux beralih ke Scorpius.

“Scorpius-san, ‘kebetulan’ menghilang setiap malam dan menyelinap ke kota. Apa aku perlu mencatat aktivitasnya untuk laporan harian?”

Scorpius tersentak panik.

“Aku hanya mencari udara segar! Sungguh!”

“Laporan akan dicatat.”

Lalu ia beralih ke Aigokeros.

“Aigokeros-san, dalam bulan ini saja, kau telah membuat 73 puisi cinta yang ditujukan untuk Ruphas-sama. Perlu aku bantu tata letak dan penjilidan untuk edisi kompilasi?”

Aigokeros langsung tersungkur ke lantai.

“TOLONG JANGAN!!”

…Astaga. Dia bahkan lebih menyeramkan daripada Dina.

Tapi jujur saja… rasanya menyenangkan.

Mungkin karena untuk pertama kalinya, aku melihat Pollux tertawa lepas, tanpa beban di bahunya.

Dan begitulah, Pollux resmi jadi penasihat baru.

Kami sempat menggelar pertemuan strategi ringan. Intinya, kami butuh informasi. Terlalu banyak hal yang tak kami ketahui.

“Jadi kamu bilang… Argo masih bisa digunakan?” tanyaku.

Pollux mengangguk mantap.

“Benar. Kapal legendaris Argo masih berada di tempat persembunyiannya. Kalau kita bisa mengaktifkannya kembali, kita bisa menjelajahi dunia dengan lebih cepat. Bahkan… sampai ke benua para Dewi.”

Itu terdengar seperti langkah penting.

Maka, setelah diskusi panjang, kami memutuskan untuk membagi tim.

Aku akan memimpin satu tim ke lokasi kapal Argo.

Tim lain—yang dipimpin Castor—akan menyelidiki aktivitas Dewi dan Dina.

Castor menatapku ragu.

“…Kau yakin akan pergi sendiri?”

Aku tersenyum tipis.

“Tenang. Aku bawa beberapa orang bersamaku.”

Scorpius dan Libra langsung berdiri.

“Pasti dong!”

“Aku akan membawa rudal mini.”

…Tunggu, sejak kapan kamu punya rudal?

Beberapa jam kemudian, kami bersiap berangkat.

Dan saat aku berdiri di puncak bukit, siap melompat ke udara…

Pollux menatapku.

“Ruphas-sama.”

“Hm?”

“…Terima kasih.”

Aku berhenti.

“…Untuk apa?”

“…Untuk datang menjemputku.”

Aku menatapnya.

Tak ada kata-kata lebih lanjut. Tapi senyumnya cukup.

Aku mengangguk, lalu membuka sayap hitam lebar-lebar.

Kami lepas landas.

Misi berikutnya: menghidupkan kembali Argo.

Dan pelan-pelan, sejarah pun mulai bergerak.


✦ Catatan Penulis

Bab “slice of life” ini penting banget.
Setelah serangkaian pertempuran brutal, pembantaian, dan trauma, kita butuh bab di mana karakter bisa… ya, bernapas.

Pollux menjadi penasihat adalah simbol bahwa “kita bisa mulai menyusun dunia baru.”
Dan Dina… yah, dia kabur duluan 😅

Jangan khawatir. Dia akan kembali.

Dengan cara yang tidak kamu harapkan.

📌 Fun Fact: Argo di dunia ini bisa terbang karena alasan yang sangat teknis… dan sedikit konyol. Tapi nanti akan dijelaskan.

Novel Bos Terakhir Chapter 134

Bab 134 – Pollux Mengutus Aeneas

Argonautai telah dikalahkan dan diamankan oleh Aigokeros. Alioth, Dubhe, Phecda, dan Mizar juga telah dinetralkan. Satu-satunya harapan Pollux yang tersisa—Raja Naga—masih terlibat dalam pertempuran brutal melawan Leon. Dengan kata lain, pihak musuh hampir kehabisan kartu.

Aku melangkah keluar dari penghalang yang kubangun untuk melindungi Luna dan Terra, lalu berdiri di hadapan Pollux. Ada roh heroik peri yang berdiri sebagai pelindungnya, tapi aku tidak peduli. Rasanya bahkan tak ada niat untuk melawannya. Kalau aku menghancurkan pelindung itu, penghalang di sekitar Pollux juga akan hancur, dan dia akan langsung hangus oleh api neraka Raja Naga.

Tapi tidak masalah. Karena kami sudah punya pemenangnya.

“Kelihatannya ini skakmat. Atau kau masih punya kartu as? Kalau iya, keluarkan sekarang saja... Tapi percuma, aku akan membuatmu tunduk bahkan tanpa satu trik pun.”

Entah kenapa, tubuhku sulit bergerak kalau melawan Tujuh Pahlawan. Tapi melawan selain mereka? Tak masalah. Datanglah. Raja Naga? Pahlawan masa lalu? Bawa semua. Aku siap.

Aku meretakkan buku-buku jariku, menunggu. Pollux menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya, tersenyum tipis.

“Kalau begitu, akan kuturuti permintaanmu. Tunjukkan dirimu—asal muasal para flügel, pengatur bintang di langit—Uranus!”

Cahaya dari langit memancar seperti sorotan panggung. Di bawah sinarnya, bunga bermekaran. Sosok seorang pria bersayap putih perlahan turun dari langit. Di punggungnya berkilau lingkaran cahaya, dan enam sayap mekar dari punggungnya. Sekelompok flügel muda melayang di sekitarnya, menyanyikan himne. Sosok itu tersenyum lembut, menuruni langit dengan penuh wibawa… dan sangat, sangat lambat.

“Turun cepat!”

Guaah!?

Aku terbang ke atas dan meninju wajahnya agar dia jatuh lebih cepat. Tanah bergetar saat dia menghantam tanah, lengannya tertekuk ke arah aneh dan busa keluar dari mulutnya. Apa-apaan ini? Kupikir dia bakal kuat, tapi dia... sangat rapuh. Satu pukulan saja cukup membuatnya berubah jadi cahaya dan lenyap.

Anak-anak flügel yang mengiringinya gemetar ketakutan dan jatuh terduduk. Satu-satunya alasan mereka tidak terbakar adalah karena penghalang Pollux masih melindungi area ini. Tapi bunga-bunga yang tadi mekar? Sudah jadi abu oleh gelombang api neraka Raja Naga.

Pollux menggerutu dan kembali berseru, “Kalau begitu—muncullah, asal mula umat manusia! Pendiri ras manusia, penjaga pertama tempat kudus—Aeneas!”

Partikel cahaya berkumpul membentuk sosok manusia. Seorang pria tinggi, setengah telanjang, berdiri dengan percaya diri. Tubuhnya kekar, nyaris tanpa busana, hanya mengenakan sehelai kain di pinggangnya.

Apa... cuma itu? Aku tahu dia manusia pertama, jadi penampilannya primitif, tapi tetap saja...

“Pakai baju, dasar nudis!”

Bububuu!?

Satu tinju melayang ke wajahnya dan dia terpental jauh ke langit, berputar seperti roket. Kupikir dia akan melawan balik, tapi tidak. Tak ada respon berarti. Aku jadi teringat kenapa. Penjaga tempat kudus hanya bisa ada satu tiap generasi. Saat satu mati, kekuatannya diturunkan ke pengganti. Dengan kata lain, Aeneas yang sekarang hanyalah cangkang kosong. Sudah tidak punya kekuatan.

Argonautai seharusnya memanggil para pahlawan dalam kondisi puncak mereka. Tapi kalau kekuatan mereka memang sudah diwariskan... ya, tidak banyak yang bisa dilakukan. Seandainya dia belum kehilangan kekuatannya, mungkin bisa menyamai Megrez dalam kondisi lemah. Tapi tetap saja, tidak cukup untuk melawanku.

“Lanjut,” ucapku datar.

Pollux tampak mulai putus asa. “Baiklah! Maka, aku akan keluarkan yang istimewa! Yang datang dari dunia lain, pahlawan pemberi harapan! Tunjukkan dirimu!”

Petir menyambar. Cahaya membentuk sosok pria berkulit legam, tubuh berotot seperti batu, tinggi 190 cm, dengan rambut cepak dan sarung tinju. Dia melakukan tinju bayangan sambil berteriak, “I’m the Champion!”

...Alovenus, kau sungguh-sungguh?

“Umm… dulu aku pernah memanggil pahlawan hanya berdasarkan kekuatan, dan... ya... ini hasilnya.”

“…Kalau kriteriamu cuma ‘kuat’, ya, hasilnya pasti seperti ini.”

Sei adalah contoh pahlawan ideal. Tapi ini? Ini hanya… petinju asing yang entah bagaimana bisa muncul di dunia fantasi.

Lebih parahnya lagi… dia bicara dalam bahasa Inggris. Aku tidak bisa bahasa Inggris! Kenapa bahasa Jepang otomatis diterjemahkan di dunia ini, tapi Inggris tidak?

“Omong-omong, karena orang ini dulu mencoba menyebarkan bahasanya, sekarang ada orang-orang di Midgard yang masih pakai kata-kata tidak bisa diterjemahkan. Termasuk si Crab-san-mu.”

“Jadi itu salah orang ini!?”

“Nice punch!”

Satu tinjuku mengantarkannya terbang melintasi langit. Cukup sudah. Ini pertarungan serius, berhentilah memanggil orang aneh.

“Jangan bilang itu kartu terkuatmu?”

Pollux mulai gemetar. “T-tidak… aku masih bisa! Argonautai! Pahlawan, muncul!”

Lagi? Tapi jumlah roh terbatas. Yang sudah dikalahkan tidak bisa dipanggil lagi. Tak banyak pilihan tersisa... atau begitulah kupikir.

“Tada! Aku kembali!”

Yang muncul adalah pria menyebalkan itu—Mars.

Dengan senyum menyebalkan dan gaya percaya diri yang menjengkelkan, dia mulai berlari-lari mengelilingiku.

“Saatnya aku menunjukkan kekuatanku yang sejati! Kali ini aku serius! Mars dari Seven Luminaries, sang ‘Api’, akan menghanguskanmu! Hanya sekejap, setara dengan waktu di Ring of Time! Dengan gelombang jiwa dan nyala api yang menyatu dengan intan, kutarik kekuatan antitesis dari ruang abadi, menciptakan simfoni api dan es—”

“DIAM!”

Satu tinjuku kembali mengusirnya ke orbit.

Kali ini, aku jauh lebih terbiasa dengan tubuh ini dibanding pertemuan pertama kami. Apalagi, skill Alkaid masih aktif. Kekuatanku meningkat drastis. Mars bahkan tak sempat menyelesaikan monolognya.

Saat tinjuku meluncur, aku sempat melihat ke langit. Bulan... sekarang punya kawah baru.

Lalu aku menatap Pollux.

"Sepertinya kamu benar-benar kehabisan kartu."

Pollux menunduk, putus asa. “A-aku… masih punya Raja Naga…”

Matanya melirik ke satu-satunya harapan terakhir—Ladon. Tapi saat itu juga, Benetnash, yang entah sejak kapan sudah bosan menonton, muncul dan meninju Raja Naga ke tanah dengan keras, menjatuhkannya seolah cuma mengusir serangga.

Leon—yang tampaknya masih menikmati pertarungannya—protes keras, "Hei! Itu milikku!" Tapi Benet hanya melipat tangan dan menjawab dingin, “Salahmu sendiri terlalu lamban.” Mereka pun mulai adu mulut.

Sementara itu, aku menatap Pollux. “Jadi... apa yang kau katakan soal Raja Naga?”

“Guh…”

“Ngomong-ngomong, kurasa kamu sudah cukup puas. Keluar dari tubuh Pollux.”

Namun Pollux hanya tersenyum licik. Ia membuka tangannya lebar-lebar seolah menantangku.

“Silakan saja menyerangku. Tapi ingat... jika kau menyerang tubuh ini, Pollux akan mati. Apa kau benar-benar bisa melakukannya?”

Tsk…

Dia benar. Meskipun menyebalkan untuk diakui, aku tak bisa berbuat apa-apa jika dia tetap bersembunyi di dalam tubuh Pollux. [Blunt-Edge Strike] tidak cukup untuk mengusirnya. Itu hanya akan menyakiti Pollux. Ini bukan status efek seperti debuff yang bisa disembuhkan, bukan pula pengaruh mana. Ini… jauh lebih dalam. Bahkan memotong mana seperti dengan Lifthrasir tidak akan berguna. Dewi tidak menggunakan mana untuk menempati tubuh ini.

Apakah ada sihir misterius atribut Matahari yang hanya melukai roh? Juga takkan cukup. Bahkan skill tipe SP tak akan berguna—SP-nya tak terbatas. Dengan kata lain, semua opsiku tak berguna.

Apa… tidak ada cara?

Saat aku terpaku, Castor berdiri di sampingku. Aku bahkan tidak sadar sejak kapan dia datang.

“Pollux,” katanya pelan. “Jangan kalah.”

Dia tidak bicara pada Dewi. Dia berbicara kepada saudari kembarnya—yang sekarang terkunci di dalam dirinya sendiri.

“Malam ini... waktunya tiba. Kita sudah menunggu ini sejak lama. Kisah ini—drama ini—terus berulang tanpa akhir. Kematian demi kematian. Tapi kau… selalu menangis. Kau membenci cerita ini. Maka sekaranglah waktunya. Waktunya melampaui naskah kelas tiga yang ditulis Dewi. Genggam kebebasanmu sendiri, Pollux!”

“...Naskah… tingkat ketiga…”

Pollux menggigit bibir. Cahaya di matanya mulai berubah.

Dewi… ragu.

Dan saat itu terjadi—aku melihatnya.

Kilatan cahaya yang keluar dari tubuh Pollux. Bagian dari kekuatan Dewi terlepas darinya.

Dia goyah.

Bahkan Dewi tak sepenuhnya mengendalikan tubuh ini. Mungkin Pollux, di dalam sana, sedang melawannya.

Kalau begitu… sekarang atau tidak sama sekali.

Tapi aku tak punya sihir yang bisa menyerang bagian itu. Tak ada skill. Tak ada alat. Tidak ada satu pun dalam daftar kemampuanku yang bisa menyentuh “fragmen Dewi” itu.

Lalu, sebuah suara terdengar di dalam pikiranku.

[Panggil aku.]

“!?”

Itu suara yang kukenal. Suara yang tak akan pernah kulupakan.

Seseorang… yang pernah bertarung bersamaku. Seseorang yang memanggilku “teman.”

[Panggil namaku, teman. Tak peduli di mana pun aku berada… jika kau memanggilku, aku akan jadi pedangmu.]

Ahh… benar.

Aku lupa kau masih ada.

Maafkan aku. Bahkan sekarang, aku belum benar-benar sadar… tapi kau tetap mengakuiku. Terima kasih.

Kalau begitu... temani aku sekali lagi.

“Ilahi dan misterius—dua kekuatan yang membuka gerbang ruang dan waktu. Engkau, tangan perusak yang bisa menghancurkan seluruh perangkat—X-Gate! Muncullah, Taurus! Tidak—muncullah, Asterion!”

Kekuatan ilahi dan misterius bertabrakan. Dunia bergetar. Sebuah portal terbuka di udara, dan dari dalamnya muncul sosok yang sangat kukenal.

Bertubuh besar, mantel berkibar, dan aura menggelegar. Sosok bertopeng itu muncul, berdiri gagah seperti dulu—sang [Banteng] dari Dua Belas Bintang. Tapi ini bukan Taurus, nama yang kuberikan padanya.

Ini adalah nama sejatinya. Nama yang hanya aku tahu.

“Asterion…”

Listrik ungu menari dari lengan kanannya. Mata di balik topengnya memaku satu titik: fragmen Dewi yang baru saja keluar sedikit dari tubuh Pollux.

“Aldebaran.”

Dengan satu gerakan, Asterion menghantamkan tinjunya ke arah target. Ini bukan pukulan biasa. Ini adalah teknik yang bisa menghancurkan bahkan naskah para dewa.

Ruang retak. Waktu melengkung. Dan bagian yang menghubungkan Pollux dan Dewi—hancur.

Seolah palu dewa menghancurkan permukaan kristal, fragmen Dewi itu pecah berkeping-keping dan lenyap.

Hanya satu bagian kecil dari kekuatan Dewi, mungkin tak lebih dari sehelai rambutnya… tapi tetap saja, itu adalah cheat. Dan Asterion menghancurkannya seolah-olah hanya rantai karatan.

“…Kau jauh lebih seperti dirimu yang dulu,” katanya, suaranya berat dan dalam.

“Tapi belum sepenuhnya,” jawabku.

Meski tak bisa melihat wajahnya di balik topeng, aku tahu pasti… dia sedang tersenyum sekarang.

Dia selalu begitu. Tak pernah menunjukkan wajahnya ke siapa pun kecuali aku. Bahkan nama aslinya hanya kuberitahu padanya. Tapi dia... selalu ada untukku.

Dan kemudian, seperti biasa, Asterion kembali tertelan oleh X-Gate dan menghilang.

Aku berdiri di sana, menatap bulan yang kini punya satu kawah lagi.

Aku sempat kehilangan kendali. Hampir… aku menjadi Ruphas sepenuhnya. Seperti saat melawan Benetnash dulu. Tidak, mungkin kali ini lebih parah.

Batas antara diriku—“aku” yang sekarang, dan Ruphas—semakin kabur.

Aku menatap para pahlawan yang tersisa. Alioth dan lainnya terpaksa kembali setelah hubungan Dewi dan Pollux diputus.

Lalu kutatap Pollux—yang kini pingsan di tanah.

Tunggu aku, Pollux.

Kali ini… aku ingin bertemu dengan dirimu yang sebenarnya.