Bab 138: Aries Gunakan Flamethrower!
Setelah semua pertarungan usai, Aries dan yang lainnya memutuskan untuk beristirahat sejenak di salah satu kedai minuman setempat.
Namun, yang mereka lihat di dalam kedai membuat mereka terdiam.
Bukan karena dekorasi es abadi yang menyelimuti ruangan.
Bukan juga karena suhu dingin yang menusuk tulang.
Tapi karena… tempat ini penuh humanoid.
—
Manusia, beastkin, elf, flugel, kurcaci, bahkan hobbit—semua duduk berdampingan, mengenakan pakaian musim dingin tebal, tertawa dan mengobrol sambil menyeruput minuman hangat.
Di Muspelheim.
Di tanah Benua Hitam.
Tempat yang dikenal sebagai wilayah kekuasaan iblis. Tempat yang, seharusnya, tak boleh ditinggali oleh siapa pun selain mereka.
“Ini gila…” gumam Aries, menatap sekeliling.
“Entah ini berkah… atau kesalahan sistem,” sahut Scorpius acuh tak acuh sambil mengetuk meja. “Yah, paling tidak furniturnya nggak terbuat dari es.”
Benar juga.
Meski seluruh bangunan tampak terbuat dari kristal beku, meja dan kursi di dalamnya hangat dan kokoh. Ada keanehan yang tak bisa dijelaskan—ruangan ini terasa relatif hangat dibandingkan suhu luar yang menusuk tulang.
“Sepertinya esnya punya struktur khusus,” ujar Hydrus, mengelus dinding. “Mungkin lebih mirip salju padat dengan kandungan udara tinggi. Semacam insulasi alami.”
—
Sambil mereka menyesuaikan diri dengan suasana, seorang kurcaci—mungkin pemilik kedai—mendekati mereka.
“Hmm? Kalian bukan orang sekitar, ya?”
Scorpius menatapnya, lalu bergumam, “Kenapa semua kurcaci selalu terlihat sama…”
“Kasar amat,” balas si kurcaci, agak tersinggung.
Memang, dari dulu Scorpius selalu gagal membedakan Mizar dari kurcaci biasa. Dan tampaknya, sampai sekarang pun tak ada perubahan.
Karkinos buru-buru menenangkan suasana.
“Maafkan temanku ini. Dia memang… punya lidah yang tajam. Tapi kami datang bukan untuk cari masalah. Kami cuma… pelancong.”
“Pelancong, di Benua Gelap? Kalian pasti agak nekat… atau kuat banget.”
“Sedikit dari keduanya,” jawab Karkinos sambil tersenyum diplomatis.
—
Dibanding Aries dan Scorpius, Karkinos memang punya kemampuan komunikasi yang lebih baik. Meskipun sikapnya sering terlihat sembrono, sebenarnya dia cukup bisa membaca situasi—dan mungkin itulah alasan kenapa Ruphas memilih mengirimnya ke wilayah ini.
—
“Tempat ini… disebut apa?” tanya Karkinos.
“Ini [Nektar],” jawab sang kurcaci. “Dulu, ini bagian dari Muspelheim.”
“Muspelheim… yang dulu wilayah api?”
“Yap. Tapi itu dulu, 200 tahun yang lalu. Sekarang semuanya sudah beku.”
Karkinos melirik ke Aries.
“Jadi… ini sudah terjadi sejak—”
“Sejak kekalahan humanoid di tangan para iblis,” potong sang kurcaci. “Beberapa dari kami tak sempat melarikan diri. Beberapa menolak meninggalkan rumah. Dan ya… kami ditinggal di sini.”
—
Kisahnya masuk akal.
Dalam kekacauan besar, selalu ada mereka yang tertinggal. Tapi bagaimana bisa mereka bertahan hidup di sini selama dua abad?
—
“Setelah itu memang tragis… Kami mencoba melawan. Tapi ya, dibantai satu per satu.”
Kurcaci itu menunduk sejenak. “Lalu… Aquarius-sama datang.”
“…Dia membekukan seluruh Muspelheim,” lanjutnya. “Setiap iblis yang mencoba masuk—membeku. Dan orang-orang yang bersumpah setia padanya… dilindungi. Dia bahkan membangun kota ini untuk kami.”
Mata Aries melebar sedikit.
Aquarius… yang selama ini dikenal kaku dan dingin… ternyata telah melindungi para pengungsi selama dua ratus tahun penuh?
—
“Terima kasih atas ceritanya,” kata Karkinos, menyelipkan sesuatu dari sakunya.
Batu permata kecil berkilau di telapak tangannya.
“Sebagai ucapan terima kasih… terimalah ini.”
“Eeh!? Itu batu mulia, bukan!?”
“Sayangnya, kami tidak punya mata uang lokal. Ini barang termurah yang kupunya.”
“Tapi… ini terlalu berharga!”
“Kalau begitu… anggap sebagai barter informasi. Aku ingin tahu—bagaimana caranya bertemu penguasa kota ini?”
“Hmm… yah, Aquarius-sama tidak mudah ditemui. Tapi, kalau kalian melakukan sesuatu yang luar biasa… seperti mengalahkan iblis yang sering menyerang kota… atau bahkan…”
“Pluto,” gumam si kurcaci lirih.
“Pluto?” tanya Karkinos.
“Dia komandan pasukan iblis di sekitar sini. Aquarius-sama dan dia sudah saling awas selama puluhan tahun. Kalau kalian bisa mengalahkannya… mungkin kalian bisa bertemu langsung.”
—
Karkinos tersenyum simpul.
“Jadi begitu, ya…”
Ini… solusi ideal.
Kalau bisa mengalahkan komandan itu tanpa bikin keributan politik, mereka bisa bertemu Aquarius tanpa mengusik keseimbangan yang ada.
—
Keesokan harinya, Aries dan timnya menuju lokasi yang disebutkan si kurcaci—sebuah benteng di tepi wilayah beku, tempat para iblis berlindung dan menyerang warga kota Nektar dari waktu ke waktu.
Benteng itu menjulang tinggi, dikelilingi dinding hitam dengan tumpukan tengkorak di gerbangnya. Aura gelap menguar, begitu tebal hingga bahkan udara terasa lebih berat.
“Menyeramkan…” gumam Karkinos.
“Cocok untuk orang bernama Pluto,” ujar Hydrus.
“Tapi… tetap saja nggak bisa menyaingi kegelapan dalam hatiku,” kata Scorpius enteng, melempar rambutnya ke belakang. “Ahaha~”
“Jangan ngelawak sekarang,” bentak Phoenix. “Kita punya pekerjaan.”
Aries berdiri di depan mereka, ekspresinya tenang tapi fokus.
“Target kita: komandan iblis bernama Pluto. Kita masuk, hancurkan pusat komandonya, dan pulang sebelum waktu makan malam.”
“Singkat. Padat. Kekerasan,” komentar Karkinos sambil tersenyum.
—
Begitu mereka masuk, seisi benteng langsung geger.
“Ini dia! Manusia! Serang mereka!”
Puluhan iblis muncul dari balik tembok, mengepung dari segala sisi.
Aries tak bergerak. Ia hanya menatap mereka, lalu mengangkat tangan ke depan.
“Serius, kenapa kalian selalu muncul dalam formasi keroyokan?” gumamnya.
Lalu…
FWOOSH!!
Semburan api menyapu ke depan. Tapi bukan sembarang api—ini adalah Flamethrower, sihir api bertipe tekanan tinggi, dibuat menyerupai senjata berat dari dunia modern.
Lidah api mengalir seperti naga liar, membakar puluhan iblis sekaligus.
Jeritan memenuhi udara. Tanah mencair. Dinding terbakar.
Dan Aries terus melangkah, tanpa memperlambat laju api sedikit pun.
—
“...Dia terlalu kuat.”
Phoenix mengangguk. “Yah, dia memang punya pengalaman sebagai tukang bakar bangunan sejak game masih beta.”
Scorpius menimpali, “Mungkin kalau dia pakai sihir air, seluruh planet bisa meledak.”
Karkinos hanya mengangkat bahu. “Selama dia di pihak kita, aku santai.”
—
Setelah melewati tiga barikade, mereka mencapai aula utama.
Di sana, menunggu sosok besar—berotot, bersayap kelelawar, bermata merah menyala, dengan ekor logam dan tangan seperti cakar naga.
Pluto.
“Manusia… berani-beraninya kalian datang ke sini…”
“Berani karena kami tahu akan menang,” jawab Aries, ringan.
Pluto tertawa keras. “Kalian pikir bisa mengalahkanku? Aku iblis tingkat tinggi, langsung di bawah Lucifer!”
“Bagus,” kata Scorpius sambil meregangkan leher. “Artinya kalau kami kalahkan kau, kami tinggal dua langkah dari puncak.”
“Kesombonganmu akan membawa kematian—!”
Pluto melompat, tangan raksasanya menciptakan tekanan udara yang mendorong semua orang mundur. Tapi Aries melawan dengan tinju berlapis sihir.
DOOM!
Benturan pertama mengguncang aula.
Phoenix dan Hydrus langsung menyerbu dari dua sisi, membentuk kombinasi api dan air super panas yang menyerbu tubuh Pluto.
Scorpius melesat di bawahnya, memotong tendon dengan rantai beracun.
Dan Karkinos…
Menggigit kakinya.
“…Maaf, refleks,” kata Karkinos setelahnya. “Rasanya kayak chicken drumstick.”
—
Pluto meraung dan mencoba membalas. Tapi serangan mereka terlalu cepat. Terlalu banyak.
Aries menyalakan Flamethrower lagi—kali ini langsung ke wajahnya.
“UAAAAAARRRGHHH!!”
Pluto terbakar, mengamuk, dan menyerang membabi buta. Tapi di tengah kobaran api, Aries mendekat.
Dengan satu lompatan, ia mendarat di pundak Pluto. Tangannya terkepal, sihir berkumpul di buku jarinya.
“Meteor Knuckle!”
BRAAAAAAKK!!!
Tinju itu menghantam kepala Pluto dengan kekuatan seperti meteorit.
Tubuh besar itu ambruk, menumbuk lantai dan membelah aula menjadi dua.
Hening. Api padam.
Pluto… kalah.
—
“Target dikalahkan,” kata Aries sambil menepuk tangan.
Scorpius mengangkat tangan. “Yay~! Kita bisa pulang sebelum makan malam!”
Phoenix mendesah. “Jangan bersorak sebelum kita keluar hidup-hidup.”
“Tenang,” ujar Hydrus. “Aku sudah pasang jebakan sihir di luar. Kalau ada musuh tambahan, mereka akan meledak.”
“...Seperti siapa?”
“Seperti Phoenix, kalau dia jalan duluan.”
—
“APA!?”
“BERANI KAU!!?”
Mereka saling lempar tatapan. Lagi.
Karkinos berdiri di tengah dan mengangkat dua tangan.
“Aku pasrah. Terserah kalian.”
—
Dan dengan itu, markas iblis di Nektar dihancurkan.
Pasukan iblis—yang selama 200 tahun menyiksa rakyat kota—kini sirna.
Yang tersisa… hanya salju, dan harapan yang mulai mencair.
—
Beberapa hari setelah Pluto dikalahkan, kota Nektar berubah drastis.
Es yang dulunya membungkus jalan-jalan mulai mencair perlahan. Warga yang hidup dalam ketakutan selama dua abad kini keluar dari tempat perlindungan mereka, menatap langit dengan mata berkaca-kaca.
Anak-anak berlarian di jalan. Toko-toko dibuka kembali. Musik jalanan terdengar dari sudut gang.
Orang-orang… tersenyum.
Dan semua itu, karena tim Aries telah mengembalikan harapan.
—
Di menara tertinggi kota, Aquarius berdiri menanti.
Wajahnya tetap dingin. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda.
Saat Aries melangkah naik, dia tak langsung bicara.
Mereka berdiri saling menatap… lalu Aquarius angkat bicara pelan:
“...Kau berhasil.”
Aries mengangguk.
“Kami tidak akan mengecewakanmu.”
Aquarius menoleh, menatap kota di bawah sana.
“Selama dua abad… aku berdiri di sini. Membekukan dunia agar tak hancur. Melindungi orang-orang tanpa suara. Tapi… aku tahu batas waktuku.”
Ia menunduk pelan.
“Aku bukan penjaga masa depan. Tugasku… sudah selesai.”
Lalu ia meraih tongkat kristalnya, mengangkatnya ke langit.
Seketika, langit terbuka.
Aurora turun dari awan, membentuk aliran cahaya yang menyelimuti tubuh Aquarius.
Dan—perlahan, tubuhnya mulai berubah menjadi partikel cahaya.
Bersih, lembut… seperti salju pertama yang jatuh tanpa suara.
—
“Aries,” ujarnya. “Jagalah dunia ini.”
Aries mengepalkan tangan. “Aku akan melindungi harapan mereka.”
“Scorpius…”
“Ya, ya. Aku akan memantau dia biar tidak menyentuh bom nuklir atau semacamnya.”
“Aku serius.”
Scorpius tersenyum kecil.
—
Aquarius tersenyum… untuk pertama dan terakhir kalinya.
“Selamat tinggal…”
Dan dengan itu, ia menghilang.
Bersama cahaya aurora yang menari, namanya… kini jadi legenda.
—
Aquarius telah pergi.
Dan tim Aries kini menjadi penjaga resmi Segel Ouroboros di Muspelheim.
—
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan menyusun sistem pertahanan, menenangkan warga, dan—tentu saja—beradu mulut antara Phoenix dan Hydrus setiap malam.
Karkinos mencoba membuka layanan seafood delivery.
Scorpius membuka sesi tarot pribadi, “dibayar dengan pujian.”
Dan Aries… mulai menulis jurnal harian.
Kalimat pertama di jurnal itu berbunyi:
“Hari ini aku tidak kalah dari bayanganku sendiri.”
—
Sementara itu…
Di tempat lain yang jauh di langit, awan hitam mulai berkumpul.
Sosok berjubah, tak berkaki, mengambang di antara bintang-bintang.
Dewi.
Ia menatap ke bawah, ke arah Midgard, dengan mata tanpa emosi.
“…Sudah waktunya tirai terakhir dibuka.”
—
✦ Catatan Penulis
Satu demi satu penjaga bintang menyelesaikan perannya.
Dan Aquarius adalah salah satu yang paling diam, tapi memiliki beban terbesar.
Dia bukan petarung. Tapi dia menahan kehancuran sendirian selama dua abad.
Sekarang, tongkat itu telah diberikan pada Aries.
Dan langkah mereka menuju akhir… semakin dekat.
—
📌 Selanjutnya: Dunia berubah. Dan ‘dia’… akhirnya kembali ke panggung.
—