Novel Bos Terakhir Chapter 113

Bab 113 – Seekor Banteng Liar Muncul

Dalam dunia Midgard, banyak skill memiliki semacam "batasan".

Ada yang hanya bisa digunakan beberapa kali sehari, atau hanya bisa diakses oleh ras tertentu. Ada pula skill khusus yang hanya muncul setelah kombinasi kelas tertentu, atau setelah mencapai level tertentu.

Skill [Hamal], yang dimiliki Aries, adalah salah satu yang sangat langka—kartu truf pamungkas miliknya. Skill ini memiliki dua batasan utama: hanya bisa digunakan saat pengguna mencapai level 1000, dan hanya dapat diaktifkan sekali setiap 24 jam.

Namun sebagai imbalan dari batasan yang ketat itu, kekuatannya luar biasa: satu pukulan menghapus setengah dari HP maksimum musuh, berapa pun jumlah HP yang tersisa.

Meski demikian, menurut Ruphas, skill seperti Brachium tetap lebih praktis karena bisa menjamin 99.999 damage—angka maksimum dalam sistem dunia ini.

Tapi... jika [Hamal] digabungkan dengan skill [Altarf] milik Karkinos—yang menggandakan serangan berikutnya dan menghapus batas damage—hasilnya akan menjadi serangan yang bahkan bisa membunuh dewa.

Satu-satunya kekurangannya: [Hamal] tak bisa benar-benar membunuh. Musuh selalu tersisa dengan 1 HP.

Namun kali ini, itu bukan kelemahan. Justru keuntungan.

Karena tujuan mereka bukan membunuh Leon, tapi menghentikannya.

Dan akhirnya... singa yang dulu begitu agung itu... jatuh di hadapan seekor domba jantan.

"Kerja bagus, Aries. Kau berhasil."

“Hebat sekali! Sesuai harapan, Aries!”

"Aries-san... itu luar biasa..."

Libra, Karkinos, dan Virgo menyambut Aries yang berdiri di depan tubuh Leon yang ambruk.

Aigokeros dan Scorpius kembali ke bentuk manusia, menepuk punggung Aries dengan senyum bangga. Karkinos buru-buru menirukan mereka.

Di sisi lain, Sei dan kelompoknya masih ternganga menyaksikan pertempuran yang jelas di luar kapasitas mereka.

Sementara para demihuman... hanya bisa terpaku, tercengang melihat pemimpin mereka—sang singa tak terkalahkan—jatuh.

Tapi momen kemenangan itu segera retak.

“Baiklah~ Kalau begitu, tinggal bersihkan para pengikut si Leon ini dan semuanya selesai, kan?” Scorpius berkata santai, sambil mengibaskan rambut yang dikepang seperti sengatan kalajengking.

Target pertama: demihuman laba-laba yang tampak seperti pemimpin kelompok itu.

Namun, sebelum sengatannya mencapai, Sei menebasnya dengan katana.

Katananya patah dua. Sei pun terpelanting.

Namun berkat gangguan itu, sengatan Scorpius hanya mengenai pohon di sebelah sang laba-laba—bukan dirinya.

“Sei-kun!?”

“…Hei... Apa yang kamu lakukan, bocah?” Scorpius menatapnya dengan kecewa.

Terseret luka, Sei bangkit perlahan, menatap balik dengan tatapan keras.

"‘Apa yang kamu lakukan?’ Seharusnya aku yang tanya itu! Kenapa kau menyerang tiba-tiba!?"

“Bukankah jelas? Untuk membunuh mereka.”

“Tapi... mereka sudah tak bisa bergerak! Mereka menyerah! Itu kejam—!”

“Tidak penting.”

“…Hah?”

“Bagi nyonya ini, mereka adalah pengikut si tolol yang menantang Ruphas-sama. Itu sudah cukup. Aku tak peduli alasan mereka. Masa lalu mereka, keyakinan mereka... tidak relevan.”

Sei telah melakukan kesalahan besar.

Ia mengira semua Bintang Surgawi sebaik Virgo... atau Castor, yang meskipun ceroboh, cukup bisa diajak bicara.

Ia kira... para Bintang hanyalah korban kesalahpahaman Dewi.

Ia salah besar.

Aigokeros dan Scorpius adalah binatang buas sejati. Meski kini berbentuk manusia, naluri mereka tetap sama: membunuh tanpa belas kasihan.

Kecuali bagi tuan mereka, mereka tak punya simpati.

“Sekarang enyahlah. Kalau tidak mau ikut mati bersama mereka~”

Nada Scorpius terdengar manis, tapi wajahnya sama sekali tidak mencerminkan itu. Ia benar-benar serius.

Dalam beberapa detik lagi, demihuman-demihuman itu akan dibantai.

—Seandainya...

Leon tidak berdiri lagi.

“OOOOOOOOOOOOHHHHHHHHH!!”

“Apa!?”

Semua orang langsung bersiaga, menatap tubuh Leon yang bangkit perlahan.

Bahkan Scorpius pun melupakan para demihuman dan bersiap tempur.

“Mohon tunggu. Sepertinya ada yang aneh.”

Leon terlihat... kosong. Putih matanya terlihat jelas, air liur menetes dari mulutnya.

Tubuhnya... sudah tak layak bertarung. Tapi ia tetap berdiri.

Libra menganalisisnya dengan tenang.

“Jadi begitu... Jadi ini akhir dari seseorang yang menyerahkan jiwanya pada Dewi...”

Leon tidak lagi bergerak karena keinginannya.

Dia adalah boneka.

Selama Dewi berkata “Bertarunglah,” maka dia akan bertarung—meski tubuhnya sudah tak mampu lagi.

HP-nya terus berfluktuasi antara 1 dan 0—hidup dan mati dalam siklus menyakitkan.

Darah menetes dari matanya. Racun dari Scorpius dan regenerasi dari Dewi bentrok, menciptakan neraka di dalam tubuhnya.

“Jadi... apakah nyonya ini juga akan seperti itu nanti?” gumam Scorpius. Ia menoleh ke celah ruang tempat Dina menyembul.

“Ada yang bisa kamu lakukan?”

Dina menggeleng pelan.

“Tidak. Begitu jiwanya sepenuhnya jadi milik Dewi, tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Dia... bukan makhluk yang bisa dikendalikan pikiran lagi.”

Scorpius mendesah, lalu membentuk gunting dari mana. Aigokeros memadatkan sihir gelap. Libra mengangkat senjatanya.

Ketiganya berniat... membunuh Leon.

Melihat itu, Aries berdiri di depan Leon, panik.

“Tu-tunggu! Kalian mau apa!?”

“Sudah tak ada pilihan lain. Kalau kita biarkan, dia bisa mengamuk dan menghancurkan segalanya.”

“Menyebalkan karena aku setuju, tapi ya—kita tak punya cara lain.”

“Pindah, Aries. Atau kau juga akan terkena.”

Ini adalah keputusan pahit.

Leon adalah petarung terkuat di antara mereka.

Tapi ia tak bisa diselamatkan.

Sagitarius dan Castor, yang baru tiba, juga mengangkat senjata.

Aries... hanya bisa menggigit bibir.

“Minggir.”

Sebuah suara berat dan dalam menggema, seolah datang dari bawah tanah.

Aries mengira suara itu hanya untuknya. Tapi semua orang di situ mendengarnya.

Suara itu... akrab. Tapi tak mungkin berasal dari tempat ini.

“Kau tidak dengar? Kusingkirkan, kataku.”

Suara itu terdengar lagi.

Semua orang menoleh ke arah datangnya suara.

Sosok itu berdiri tenang. Sepatu baja, sarung tangan baja, mantel hitam panjang. Ia membawa sebuah kapak besar.

Wajahnya tertutup topeng besi.

Tapi tak salah lagi... semua yang hadir mengenali sosok itu.

“Kau...”

“Kau... Taurus dari [Bull]. Kenapa kau di sini...!?”

Salah satu dari Dua Belas Bintang Surgawi yang paling berbahaya. Seharusnya dia berada di Helheim, menjaga segel Ouroboros.

Namun kini, dia ada di sini.

Taurus berjalan melewati Libra, melewati Aries, dan berdiri di hadapan Leon.

Ia memandang singa gila itu dan berbicara datar.

“Ini jadi... situasi yang cukup kacau. Tapi sepertinya kau tergoda oleh Dewi ya. Kalau aku juga begitu, maka semuanya akan berakhir. Tapi ini... mengecewakan. Sahabatku. Akan kuhancurkan kekuatan tak berguna itu sekarang. Kalau kekuatan Dewi terus digunakan di sini, bisa merusak segel.”

Ia mengepalkan tangan.

Leon, entah kenapa, tahu bahwa pria ini berbahaya.

Ia meraung dan menerjang.

Tapi Taurus tak gentar. Ia hanya mengangkat tangan.

“[Aldebaran].”

Dengan satu pukulan telapak ke wajah Leon—

Dunia menjadi sunyi.

Seperti waktu berhenti.

Lalu... retakan.

Ruang di sekitar mereka pecah, seperti kaca dihantam palu. Retakan merambat cepat, membentuk pola seperti jaring laba-laba.

Dan akhirnya...

BOOM.

Leon terpental, terbang menembus pepohonan, menciptakan jalur kehancuran lurus sejauh bermil-mil.

“Tu-tunggu! Kalau pakai serangan sekuat itu, Leon bisa mati! HP-nya tinggal 1, kau tahu!?”

“Tidak masalah,” jawab Taurus. “Skillku tidak menghancurkan tubuh... tapi kekuatan itu sendiri. Seranganku tidak bisa membunuh. Sudah lupa?”

“Oh, benar.”

—Jangan ‘oh, benar’ juga! teriak Sei dalam hati, putus asa.

Apa-apaan jawaban itu!? Orang normal jelas mati kena serangan begitu! Tapi Aries mengangguk seperti itu hal biasa!?

Sei hampir menangis. Satu-satunya yang peduli padanya... si anjing bodoh yang menempel di celananya.

“Lalu... bagaimana dengan Leon?”

“Aku menghancurkan kekuatan Dewi yang merasukinya. Kalau dia tergoda lagi... ya, aku tak bisa jamin. Tapi untuk sekarang, dia aman. Omong-omong... Ruphas tidak di sini?”

“Ah, tidak. Kami sedang bertindak terpisah.”

“Begitu.”

Taurus mengangguk lalu berbalik pergi, seolah urusannya sudah selesai.

“Hei! Kau pikir bisa pergi begitu saja setelah muncul tiba-tiba dan tak menjelaskan apa-apa!?” teriak Scorpius.

“Aku datang karena kalian bikin keributan dekat area segel. Dan memakai kekuatan Dewi pula. Sekarang sudah beres, aku kembali. Ada masalah?”

“Tentu saja ada! Ini reuni setelah 200 tahun, setidaknya ucapkan ‘Lama tak bertemu’!”

“…Benar juga.”

Taurus berhenti sejenak.

“…Lama tak bertemu.”

Lalu ia lanjut berjalan.

Scorpius hampir jatuh karena frustrasi.

“HEI, KAUUUU!”

“…Apa lagi?”

“Itu aja!? Cuma itu yang kau ucapkan!?”

“Kau minta aku ucapkan ‘lama tak bertemu’. Jadi aku ucapkan. Di mana masalahnya?”

“Masalahnya BESAR, dasar banteng kurang ajar! Dan satu hal lagi! Kenapa kau tak panggil ‘Ruphas-sama’ dengan hormat, hah!? Apa kesetiaanmu sungguh pada Ruphas-sama!?”

Taurus terdiam.

Lalu...

“Bagiku, dia adalah rekan, penolong, dan tuan yang layak menerima seluruh kesetiaanku. Apa itu tidak cukup?”

Tak ada perubahan nada. Tapi semua bisa merasakan... keteguhan hatinya.

Scorpius pun terdiam.

Taurus adalah beast kedua yang dijinakkan Ruphas—jauh sebelum ia menjadi sosok tak tertandingi. Mereka bukan hanya tuan dan pelayan—mereka adalah rekan seperjuangan.

Karena itu, bahkan Ruphas memperlakukannya bukan sebagai bawahan, tapi sebagai teman.

Dan itulah... yang paling membuat Scorpius iri.

“Ngomong-ngomong… 200 tahun lalu kau belum bisa menghancurkan kekuatan Dewi. Gimana sekarang bisa?”

“Tak tahu. Aku hanya tahu... aku tak ingin mengulang masa lalu. Jadi selama 200 tahun ini, aku terus mengasah diriku. Itu saja.”

“Skill bisa berkembang sendiri gitu?”

“Mana aku tahu. Tanya saja pada yang sembunyi di sana.”

Taurus meninju ruang kosong. Retakan muncul. Dina terjatuh dari celah dimensi.

“UWAAAAAA!”

“Aku tahu ada yang mencurigakan. Ada dua kekuatan Dewi terasa di sini. Jadi, satu di antaranya adalah kau ya.”

Taurus menatap Dina. Dina mencoba memanipulasinya.

Tak berhasil. Taurus seperti golem. Tak tergoyahkan.

“Tipuan tak mempan padaku. Hanya ada satu orang yang bisa menggerakkan hatiku. Sekarang... jawab. Siapa kamu?”

Dina berkeringat dingin.

Situasi telah berubah sepenuhnya.


[Catatan Penulis]

Taurus Liar Muncul!

Pilihan:
  • Melarikan diri
  • Bertarung
  • Jujur
  • Berbohong

Opsi: Melarikan Diri → Aldebaran! → Gagal
Opsi: Berbohong → Aldebaran! → Gagal

Pilihan tersisa: Bertarung atau Jujur.

Musuh alami telah muncul...

Novel Bos Terakhir Chapter 112

Bab 112 – Aries Menggunakan Overheat

“Storm Harpoon!”

Bersamaan dengan saat Castor mengayunkan jangkar kesayangannya ke bawah, arus angin bertekanan tinggi meluncur dan menghantam kepala Leon.

Itu hanyalah sihir arcane biasa. Namun, saat digunakan oleh Castor, kekuatannya cukup besar untuk mengoyak tanah, menciptakan parit ratusan meter.

Meski begitu, bagi Leon, dampaknya nyaris tak terasa. Seperti hanya tersentuh oleh angin sepoi-sepoi.

Namun, itu saja sudah cukup. Faktanya, hanya dengan membuat Leon terdistraksi sudah merupakan prestasi tersendiri.

“Luna Tentacle.”

Aigokeros menyusul dengan memanggil tentakel dari kegelapan yang langsung menyerbu ke arah Leon.

Jangan tanyakan siapa yang terpikir menggunakan tentakel melawan singa raksasa—yang jelas, pengguna sihir ini benar-benar serius.

Sayangnya, tentakel itu hanya mampu menahan Leon sekejap saja. Dalam waktu singkat, mereka sudah tercabik jadi ribuan serpihan.

Leon segera melesat ke arah Aigokeros, bersiap menghabisinya. Tapi sebelum sempat melakukannya, seekor kepiting raksasa—Karkinos—muncul dan menghadang jalan.

Dua tubuh raksasa bertabrakan, menyebabkan gelombang kejut yang memecahkan pohon-pohon sekitar dan membuat tanah bergetar hebat.

Skill balasan Acubens berhasil memukul mundur Leon. Tapi tak lama kemudian, Karkinos roboh ke tanah. Tenaganya telah mencapai batas.

Karkinos punya pertahanan tertinggi di antara Dua Belas Bintang. Biasanya, dia bisa menahan serangan bahkan dari Leon level 1000.

Apalagi dengan skill peningkat pertahanan [Tegmine], yang membuat nilai pertahanannya melonjak hingga lebih dari 20.000—membuatnya hampir tak tersentuh.

Namun Leon yang sekarang sudah melampaui batas. Dengan kekuatan mentahnya, ia mampu menembus dinding pertahanan Karkinos, bahkan menghancurkan lawan yang secara teori punya keunggulan alami melawannya.

Ini sudah di luar nalar. Situasinya hanya bisa digambarkan dengan satu kata: gila.

“Graffias!”

Scorpius melontarkan semburan napas beracun.

Racun miliknya berbeda. Racunnya bisa menumpuk. Semakin banyak ia menyemprotkan racun pada musuh, semakin cepat racun itu membunuh.

Biasanya, racun hanya menyebabkan satu poin kerusakan per detik. Tapi Scorpius bisa menaikkannya jadi dua, tiga, sepuluh... selama ia terus menumpuknya.

Namun, bahkan racun sekuat itu hanya mampu mencukur sedikit vitalitas Leon yang nyaris tak terbatas.

Racun yang tak bisa dihilangkan memang akan membunuh... suatu hari nanti. Tapi jelas, bukan di pertarungan ini.

“Keparat!”

Leon melompat ke udara, lalu menghantam Scorpius.

Dengan Karkinos tumbang, tak ada lagi penghalang yang bisa menahan Leon.

Hanya satu serangan cukup untuk merobohkan Scorpius. Tubuhnya diinjak-injak hingga kulit luarnya hancur berkeping-keping.

Aigokeros mencoba menyerang dari belakang, tapi Leon menyapu ilusi miliknya menjadi kabut halus hanya dengan kibasan ekor—bahkan tanpa menoleh.

“Kau...!”

“Berhenti, Aries! Kalau kau menyerang gegabah—!”

Aries menerjang dari arah buta Leon, mencoba menendang.

Tapi seolah sudah membaca serangannya, Leon menoleh dan memutar tubuh. Dalam satu gerakan cepat, ia menangkap Aries dengan ekornya.

“Ga... a!”

“Akhirnya kutangkap juga. Sudah cukup kau berkeliaran seenaknya. Kalau terus kubiarkan, harga diriku bisa jatuh. Jadi diamlah di situ. Jadi sampah yang tahu diri.”

Cengkeraman ekor Leon mengencang.

Bunyi retakan tulang mengerikan terdengar dari tubuh Aries, wajahnya meringis menahan sakit.

Libra dan Sagitarius segera menyerang Leon dari kejauhan, tapi singa raksasa itu melompat ke samping dengan kelincahan yang mengingkari ukurannya, menghindari serangan dengan mudah.

“Aku akan urus kalian nanti... tunggu giliran kalian dengan sabar.”

Tanpa melirik pun, Leon berbicara, lalu memperkuat cengkeramannya pada Aries.

Ia ingin membunuh Aries. Bukan hanya itu—ia ingin memangsanya.

“Akan kuberi akhir yang layak untuk sampah sepertimu. Mati dan jadi makananku, monster budak.”

Aries bahkan tak sadar akan kata-kata itu. Matanya sudah memutih, tak sadarkan diri.

Realita yang kejam.

Tak peduli seberapa bagus mekanisme seperti "kerusakan berdasarkan persentase vitalitas", kalau selisih status terlalu jauh, pihak yang kuat akan menang. Begitu saja.

Leon membuka mulut lebar—siap menggigit dan membunuh Aries.

“Hermes Trismegistus.”

Suara bergema dari udara kosong. Mana di sekitarnya melonjak drastis.

Tiga formasi sihir muncul dari arah berbeda, mengalirkan air berlumpur dalam jumlah masif ke arah Leon.

Air itu membanjiri seluruh area, membentuk struktur seperti piramida raksasa yang menjebak tubuh Leon di dalamnya.

Tekanan air begitu besar, bisa mencapai puluhan ribu ton.

Leon terpaksa melepaskan Aries. Tapi itu belum akhir dari serangan kejutan ini.

“X-Gate.”

Ruang dan waktu terdistorsi.

Di dalam ruang hitam yang kosong, hanya ada satu sosok—seorang gadis muda berambut biru.

Tak ada yang lain. Tidak ada centaur. Tidak ada desa. Tak ada Libra. Hanya Aries, Castor, Sei, dan makhluk organik lain. Semua benda anorganik disingkirkan.

Sambil memandang Leon dari atas, gadis itu tersenyum sinis. Ratusan formasi sihir muncul di belakangnya.

“Dawn Star!”

Teriakan itu memicu jatuhnya meteor emas dari langit kosong, menghantam Leon dalam hujan kehancuran.

Gadis itu adalah Dina. Ia tidak membawa Leon pergi—melainkan menyingkirkan semua yang lain dengan X-Gate untuk menciptakan dimensi sementara di mana tak ada kerusakan kolateral.

Dalam waktu bersamaan, dia juga membuat perisai untuk melindungi yang lain dari gelombang kejut, serta menyembuhkan Aries sepenuhnya dengan sihir pemulihan.

Empat sihir sekaligus. Dua arcane, dua divine. Ditambah X-Gate.

Cruz yang menyaksikan ini hanya bisa melongo. "Tidak mungkin..."

Begitu semua usai, Dina mengembalikan dunia seperti semula.

Dan ketika Libra menatapnya tajam, Dina menyeka keringat gugup, lalu cepat-cepat kabur ke celah ruang, merenungi apakah dia terlalu banyak memamerkan kekuatannya.

“Sisanya... kuserahkan padamu, Aries-sama. Jangan khawatir... kau bisa menang.”

Dengan kata-kata itu, Dina menghilang.

Aries membuka mata perlahan. Masih kebingungan, tak tahu apa yang barusan terjadi. Leon panik mencari si pengganggu, tapi tak menemukan siapa pun.

Dina tahu batas kemampuannya. Ia juga tahu kapan harus mundur. Dan dalam hal melarikan diri—dia tak terkalahkan.

“Sial! Siapa yang barusan menyerang!? Muncul sekarang juga, akan kubunuh dan kulahap kau!”

Leon meraung murka. Aries mulai menyadari bahwa dia baru saja diselamatkan.

Melihat situasi, kemungkinan besar itu ulah Dina. Tidak banyak orang yang bisa melakukan serangan kejutan sebesar itu sambil menyembuhkan dalam waktu bersamaan.

Satu-satunya hal yang tidak ia pahami: kenapa pakaiannya masih compang-camping?

Ia menghela napas. Tak tahu bahwa Dina sengaja tidak memperbaikinya... karena menganggap itu "sajian mata".

Serangan tadi tak memberikan luka besar pada Leon. Mungkin, secara nilai, kerusakannya signifikan. Tapi vitalitas Leon begitu besar, bahkan tak setara satu pukulan dari Aries.

Dengan kata lain, hanya Aries yang bisa melukai Leon sekarang.

Tapi jika semuanya kembali seperti semula… hasilnya akan tetap sama.

Namun, tiba-tiba… Aries merasakan tangan menyentuh kepalanya. Ia menoleh, dan melihat sosok Ruphas berdiri di sana—hanya sesaat.

Wajah yang dikenalnya. Wajah dari masa lalu. Penuh rasa percaya diri dan kehangatan.

“Kenapa kau takut, Aries? Kau adalah salah satu Bintang yang kuakui. Tak kalah darinya. Percayalah pada dirimu. Kau kuat. Sekarang, ajarkan pada si bodoh itu arti sebenarnya dari kekuatan si ‘gorengan kecil’.”

Ruphas tersenyum... dan menghilang seperti bayangan.

Tiba-tiba, kekuatan meletup dari dalam tubuh Aries.

Ini bukan buff. Ini adalah peningkatan status dasar. Tak lama kemudian, semua orang—kecuali Libra—merasakan hal yang sama.

“Umm… rasanya... aku naik level tiba-tiba…”

“Ya, aku juga.”

Semua Bintang Surgawi, kecuali Libra dan Leon, mengalami hal yang sama.

“Ahh... sepertinya Ruphas-sama akhirnya serius. Senang mengenalmu, vampir pendekar cebol-chan.”

Scorpius tertawa ringan. Itulah jawabannya.

Selama ini, level mereka terkunci di 800 karena keterbatasan kelas monster tamer milik Ruphas. Tapi jika batas itu pecah... itu berarti hanya satu hal—Ruphas naik level.

Dan saat Ruphas serius... seluruh dunia harus bersiap.

“Dia menang.”

Ucapan singkat Libra itu mendapat anggukan setuju dari semuanya.

Benetnash mungkin bertahan lama. Tapi hanya sampai Ruphas memutuskan untuk bertarung sungguh-sungguh.

Begitu itu terjadi, tak ada yang bisa melawannya.

“Wi… akhirnya aku juga akan punya peran, ya…”

Karkinos yang terkapar bergumam. Tapi semua orang serempak menjawab:

“Itu tidak akan terjadi.”

Bahkan Dina muncul lagi hanya untuk menambahkan, “Naik level bukan berarti jadi punya peran penting.”

Aries dan yang lain meninggalkan Karkinos yang patah hati, dan menghadapi Leon sekali lagi.

“Kau mengerti, kan Aries? Sekarang kita berada di puncak kekuatan. Tapi itu takkan bertahan lama.”

“Ya. Karena Ruphas-sama sudah serius… pertarungan ini takkan berlangsung lebih dari satu detik.”

Pertarungan serius Ruphas berada di luar batas waktu biasa. Satu detik saja cukup untuk mengakhiri segalanya.

“Kalau begitu, pergilah, Aries! Berikan semuanya pada makhluk itu!”

Sagitarius menembakkan panah. Aries menangkapnya di udara.

Detik berikutnya, ia berpindah tempat—tepat di atas Leon.

Api pelangi berkumpul di tinjunya.

Aigokeros dan Castor menahan pergerakan Leon dengan sihir. Libra menembakkan peluru ke arah mata Leon. Scorpius menancapkan sengatnya ke kaki Leon agar tak bisa bergerak.

Bahkan Karkinos... menemukan cara untuk berguna.

“Terima ini, Aries! Altarf!!”

Skill pamungkas yang hanya bisa digunakan sekali ketika pengguna dianggap tak bisa bertarung. Altarf.

Skill ini menggandakan kerusakan serangan berikutnya—dan sekali ini saja, tembok batas kerusakan dunia (99.999) bisa dilampaui.

Aries, tubuhnya menyala seperti meteor pelangi, berteriak dan menghantam kepala Leon dari atas.

Jika Ruphas ada di sana, ia mungkin hanya akan mencatat kejadian ini dalam buku:

"Leon, dari lebih dari 800.000 HP, tersisa 1 HP... dalam satu serangan."


Catatan Penulis : Aku akhirnya tiba di lokasi, jalan kaki, jauh setelah waktunya. Dan seperti biasa, anggota LS menertawakanku: “Akhirnya datang juga?”, “Terlambat!”, “Wah, tokoh utama muncul!”, “Tapi kita udah menang...”, sementara Karkinos yang kasihan terkapar di tanah.

Novel Bos Terakhir Chapter 111

Bab 111 – Aries Menggunakan Fire Punch


"Aku mengerti. Jadi, seperti itulah keadaannya sekarang."

Saat itu, Libra dan yang lain—yang berkumpul di rumah Derby—telah selesai bertukar informasi dan akhirnya bisa memahami situasi masing-masing.

Kesimpulan yang mereka capai: pengkhianatan Sagitarius bukanlah sesuatu yang ia lakukan atas kemauannya sendiri.

Dia mungkin tidak punya pilihan lain selain tunduk pada Leon setelah desa para centaur disandera.

Namun bukan berarti Sagitarius benar-benar patuh pada Leon. Dengan menyatakan niatnya sebagai musuh Libra, ia memberi peringatan agar mereka datang ke Tyrfing.

Dia tahu dirinya tak akan mampu menghadapi Leon sendirian, jadi ia memanggil pasukan tempur yang mampu menandingi pria itu. Tapi sayangnya, ada satu kesalahan dalam rencananya.

Sebenarnya, tujuannya adalah memanfaatkan kekuatan luar biasa Ruphas untuk menumbangkan Leon.

Namun, karena intervensi Benetnash, Ruphas tidak bisa datang. Yang akhirnya hadir hanya para Dua Belas Bintang Surgawi.

Dalam situasi normal, mereka masih bisa menang walau hanya mengandalkan para Bintang. Tapi saat ini, keadaan jauh dari normal.

Akibat ulah Dewi yang tak perlu, kekuatan Leon melonjak drastis. Dia bukan lagi sosok yang bisa mereka tangani.

Bahkan Karkinos, yang secara alami cocok melawan Leon, tak mampu berbuat apa-apa.

Di pihak mereka, ada empat petarung tangguh: Libra, Scorpius, Aigokeros, dan Karkinos.

Jika ditambah Sagitarius dan Castor, total menjadi enam lawan satu... tapi semua orang tahu, pertarungan itu tetap tidak akan mudah.

Leon sekarang... sudah bukan Leon yang biasa.

Dia, yang dulunya adalah makhluk terkuat di antara Dua Belas Bintang Surgawi, kini menjadi monster buas yang bebas dari kendali Ruphas dan telah merebut kembali kekuatan aslinya. Lebih parah lagi, Dewi memperkuatnya.

Kini, hanya ada tiga makhluk yang mampu menghadapi monster seperti itu secara langsung dan punya peluang menang: Ruphas, sang Vampir, dan sang Raja Iblis.


“Yang jelas, dia akan datang ke sini dalam waktu dekat. Mau kita bertahan di sini atau tidak, dia akan muncul untuk memusnahkan semua centaur.”

Castor menatap para centaur dan berbicara serius. Sagitarius mengangguk pelan menyetujui.

Begitu dia bergerak untuk menyelamatkan para Bintang, penjelasan apapun jadi tak berguna.

Leon akan menyerbu desa ini—itu sudah pasti. Dan itu adalah balas dendam terhadap Sagitarius.

Sagitarius tahu betul soal itu. Itulah sebabnya ia datang ke desa, mencoba melindunginya.

"Aku yakin kau benar. Makhluk itu benar-benar pendendam. Dia pasti akan datang ke sini untuk menghancurkan desa sebagai hukuman bagiku. Karena itulah, aku harus menuruti perintahnya... setidaknya di permukaan. ...Tapi tetap saja, itu bukan alasan yang bisa dimaafkan.”

“Tentu saja tidak. Mengkhianati Ruphas-sama adalah kejahatan yang pantas dihukum mati.”

Saat Sagitarius menertawakan dirinya sendiri, Scorpius melontarkan sindiran tajam yang menyudutkannya lebih jauh.

Namun, meskipun kata-katanya kejam, ia tak melakukan tindakan apapun.

“Yah, untuk sekarang kami butuh kekuatanmu, jadi aku akan biarkan kau bebas dulu. Menyebalkan sih, tapi lebih baik punya bala bantuan daripada tidak saat menghadapi Leon.”

"Aku hargai itu."

Tak berarti mereka tak marah pada Sagitarius.

Tapi untuk saat ini, hukuman bisa menunggu hingga Ruphas sendiri yang menjatuhkannya.

Yang terpenting sekarang adalah mencari cara untuk mengalahkan Leon. Dan Sagitarius punya kekuatan yang berharga bagi tujuan itu.

Daripada berkelahi sesama rekan, lebih baik bekerja sama demi menang.

Scorpius cukup tenang dan waras untuk menyadari hal itu.

Selama Ruphas tidak terlibat langsung, dan dia sendiri tidak terbawa emosi, Scorpius mampu membuat penilaian yang masuk akal.


“Dalam pertempuran nanti, kita akan menjadikan Karkinos sebagai ujung tombak. Dia akan maju menghadapi Leon secara langsung, sementara Virgo dan Castor memberi dukungan dari belakang. Sagitarius dan aku akan membantu dari jarak jauh. Aigokeros akan menarik perhatian Leon dengan ilusi, dan Scorpius, tolong berikan racunmu saat ada celah.”

Libra memberi perintah sambil menjelaskan peran masing-masing dalam pertempuran. Wajah semua orang tampak serius dan suram saat mendengarkannya.

Mereka akan melawan satu orang dengan banyak orang. Tapi ini bukan soal kehormatan. Mereka tak punya pilihan lain.

Musuh mereka adalah Leon. Kalau mereka menahan diri, mereka pasti kalah.

Begitu mereka menyusun strategi, seolah saatnya telah tiba, hutan mulai bergetar.

Gempa...? Tidak ada yang cukup bodoh untuk mengatakan itu.

Libra dan yang lain bergegas keluar dari pondok dan menghadap ke pinggiran desa.

Dan apa yang mereka lihat adalah seekor singa raksasa, berjalan mendekat sambil menghancurkan pepohonan tiap kali ia melangkah.

Melihat sosok agung dan mengerikan itu, kelompok Pahlawan terdiam membeku. Gants menjatuhkan kapak tempurnya.


Besar—bukan, terlalu besar!

Dulu, Gants pernah melihat Aries saat menyerang Svalinn. Tapi bahkan dibandingkan itu, tubuh Leon tampak... abnormal.

Sei masih tak sadarkan diri. Mungkin lebih baik begitu.

Dan seolah menirunya, harimau itu berguling dan pura-pura mati.

Di sisi lain, bulu Kaineko berdiri kaku. Jean, satu-satunya yang tak menyadari perbedaan kekuatan di sini, berusaha menyerang. Tapi tubuhnya terlalu kecil, bahkan tak terlihat kalau dia bergerak.


“Jadi dia sudah sampai... ayo, Sagitarius!”

“Ya, aku siap!”

Libra langsung melepaskan serangan penuh kekuatan, termasuk Astraea. Sagitarius membalas dengan menembakkan hujan panah ke langit.

Cahaya penghancur dari Libra menghantam Leon, dan panah-panah itu menembus tubuhnya satu per satu.

Namun, luka-luka itu tak lebih dari goresan ringan di kulitnya. Ekspresi Leon sama sekali tak berubah.

Jean yang sudah mendekat malah terlempar oleh gelombang kejut dari sebuah anak panah.


“Kalian masih suka main-main, ya? Belum sadar juga, ya... serangan receh seperti itu, tidak akan pernah berhasil melawan diriku yang sekarang!”

Leon membuka mulut lebar dan menghirup napas dalam-dalam.

Serangan berikutnya bukan jurus spesial, bukan juga debuff. Hanya raungan biasa—hembusan udara bercampur mana dari dalam tubuh.

Tapi kalau yang melakukannya adalah Leon, raungan itu berubah menjadi senjata pemusnah massal.

Mungkin terdengar berlebihan bahwa satu raungan bisa menghancurkan kerajaan. Tapi di dunia ini, menjadi salah satu makhluk terkuat berarti bisa menghancurkan dunia dengan niat saja.

Ruphas, Benetnash, dan Raja Iblis—mereka semua punya kekuatan untuk mengubah Midgard menjadi debu kalau mereka mau.

Menghancurkan satu atau dua negara? Itu hanya hiburan. Menghapus satu atau dua benua? Bukan masalah.

Dan sekarang, Leon, dengan satu raungan, akan menghapus desa para centaur—mungkin seluruh hutan.

Tak ada yang bisa menghentikannya. Para Bintang tak punya cara menghentikan serangan itu.

Sebagai usaha terakhir, Karkinos melompat ke depan. Ia berubah menjadi bentuk raksasa, bersiap menerima serangan meski harus terluka parah.

Namun, pada detik berikutnya—

Sebuah cahaya pelangi datang melesat dan menendang rahang Leon ke atas, memaksa mulutnya menutup.


"—Gha!?"

Siluet mungil berbalut api pelangi menghantam rahangnya lagi.

Tubuh besar Leon terangkat ke udara, lalu dihantam lagi dari atas oleh siluet yang sama, membuatnya terpental ke bawah.

Leon mencoba membalas. Tapi sasarannya terlalu kecil.

Menjadi besar memang berarti kuat. Tapi menjadi kecil membuatmu sulit diserang.

Dan Aries memanfaatkan itu sepenuhnya.

Api pelangi miliknya memberikan kerusakan berdasarkan vitalitas musuh. Cocok untuk membunuh monster kelas atas.

Kerusakan dari api itu tidak dipengaruhi ukuran tubuh.

Aries, makhluk kecil yang seakan tak berarti, mendarat di hadapan Libra dan yang lain. Ia menatap mereka dengan wajah malu.

“Umm... semuanya, maaf. Aku agak telat.”

“Tidak, kau datang tepat waktu, Aries. Kami menunggumu.”

Kekuatan Leon kini sudah jauh melampaui batas akal sehat. Bahkan serangan penuh dari Libra tidak mampu melukai sedikit pun pertahanannya. Sudah sampai pada titik di mana satu-satunya cara untuk melawan hanyalah dengan kekuatan yang bisa menembus pertahanan itu.

Dan Aries—Aries adalah pengecualian.

Apinya bisa menembus segalanya.

Melawan vitalitas Leon yang begitu tinggi, api Aries bisa dianggap sebagai Brachium yang dapat ditembakkan berulang kali. Meskipun kekuatannya sangat bergantung pada kekuatan musuh, untuk saat ini—dengan kondisi yang sangat khusus—nyala api Aries bahkan bisa mengalahkan Ruphas.

Dengan kata lain, karena Ruphas tidak ada di sini… Aries-lah satu-satunya harapan mereka untuk mengalahkan Leon.

Namun, ini tidak berarti Aries bisa melawan sendirian. Untuk itu, kerja sama dari Libra dan yang lainnya mutlak diperlukan demi memberi Aries peluang menang.


“Seekor gorengan kecil seperti KAU… berani-beraninya menantangku!!”

Leon meraung marah, menatap Aries tajam. Aries pun menatap balik meskipun ada rasa takut di matanya.

Leon sang Raja Singa—makhluk sihir terkuat.

Bagi Aries, dia adalah sosok yang dikagumi. Dia ingin menjadi seperti Leon, pernah iri, bahkan bertanya-tanya apa yang bisa dia lakukan jika sekuat itu.

Karena Leon selalu kuat—terlalu kuat, seakan berada di dunia yang berbeda.

Tapi sekarang, rasa yang dulu ia miliki terhadap Leon telah berubah. Bukan kekaguman, bukan iri, bukan respek—melainkan rasa kasihan... dan kecewa.

Leon yang sekarang hanyalah boneka yang dikendalikan oleh Dewi. Begitu menyedihkan. Tidak pantas bagi makhluk agung seperti dirinya. Dan itu… menyedihkan hati Aries.


“Versi Mesarthim 1.”

Seluruh tubuh Aries diselimuti api pelangi, rambutnya melambai.

Kalau Ruphas melihatnya sekarang, dia pasti akan berkata, “Itu sebabnya aku bilang, Mesarthim bukan teknik yang seharusnya dipakai sembarangan… ah, sudahlah, memang begitulah teknik itu.”

Aries tidak akan memakai bentuk asli domba raksasanya.

Kali ini, dia ingin menantang Leon dengan bentuk manusia—bentuk yang diberikan oleh Ruphas. Hanya itu yang dia inginkan.

Seolah menjawab keinginannya, Scorpius dan Aigokeros membesarkan tubuh mereka.

Kunci pertarungan kali ini adalah Aries. Karena itu, segala serangan yang ditujukan padanya harus dicegah sebisa mungkin.

Mereka membesar. Mereka menambah jumlah musuh.

Tanpa ragu, keduanya memutuskan untuk menjadi perisai bagi Aries.


“OOOOOOOOOOOOOOOO!!”

“SHYYYYYYYYYYAAAAAAAAAAAAAA!!”

Scorpius dan Aigokeros melompat ke arah Leon, mencoba menahannya.

Karkinos menyusul, seakan tak ingin tertinggal. Kini, empat binatang sihir raksasa bergulat, saling mencengkeram.

Leon mendesis marah, menunjukkan taringnya.

Namun Karkinos dengan paksa menyodorkan capit ke dalam mulut Leon yang terbuka, memicu efek serangan balik Acubens. Leon mulai berdarah.

Tapi Karkinos tak luput dari hukuman. Salah satu capitnya hancur karena gigitan Leon, dan tubuhnya terpental setelah diseruduk.

Namun Aries menyusul, melepaskan tendangan ke arah taring Leon, membuat tubuh sang Raja Singa terlempar kembali.

Ia kemudian menembakkan api dari telapak tangan dan melesat mengejar Leon.

Leon, bangkit sambil membuka mulut, bersiap membalas. Tapi tiba-tiba, tentakel hitam muncul dari tanah dan membelit tubuhnya, menahannya sesaat.

Dia akhirnya membebaskan diri, tapi saat itu sudah terlambat.

Aries menggunakan apinya untuk naik vertikal ke udara, lalu berbalik turun seperti meteor, menumbuk kepala Leon dengan tinjunya.

Serangan itu membuat tanah berguncang. Kepala Leon tertanam ke dalam bumi.

Tapi stamina Raja Singa bukanlah hal biasa. Sudah lima serangan Aries menghantamnya—yang berarti hampir 500.000 poin kerusakan—tapi dia tetap bangkit dan membuka mulut.

Sesaat sebelum raungan dilepaskan—peluru mana dari senapan Suzuki menghantam bola matanya, memaksanya menutup mata. Serangan Aries meleset, hanya menyentuh rambut lebat Leon.

Tetap saja, hanya goresan itu cukup untuk melempar tubuh Aries yang mungil.

Namun sebelum Leon bisa membalas, Aigokeros melompat, mengangkat tubuh Leon dari bawah, lalu melemparkannya.


“Gu... u… ugh...”

“Aries! Kau baik-baik saja?!”

“Y-ya... aku masih bisa bertarung… aku baik-baik saja.”

Hanya satu pukulan. Dan bahkan itu bukan serangan penuh—hanya goresan.

Tapi tubuh Aries sudah dipenuhi luka.

Pakaiannya compang-camping. Untung dia laki-laki. Kalau dia perempuan, dia pasti sudah ditarik mundur dengan cepat.

Kulit putihnya dipenuhi luka. Bagi yang melihat, dia tampak seperti gadis rapuh dan terluka. Membuat siapa pun ingin melindunginya.

Namun api dalam matanya belum padam. Ia kembali menyelimuti dirinya dengan nyala pelangi.

Kalau bukan karena buff pertahanan dari Dina, Aries pasti sudah tumbang hanya karena satu serangan tadi.

Sementara ia menguatkan diri, Aigokeros, Karkinos, dan Scorpius masih bertempur habis-habisan.

Dari belakang, Sagitarius dan Castor terus melancarkan serangan dukungan. Suzuki juga menembakkan senapannya, hanya menyasar mata Leon karena bagian lain tak akan berdampak apapun.

Di sisi lain, Virgo segera terbang ke arah Aries dan menyembuhkannya dengan sihir suci. Sementara itu, Libra menemukan celah dalam kekacauan dan menghujani Leon dengan semua serangan yang dia miliki.


Dan... di tengah semua keributan ini...

Sei dan Sarjes, yang malang dan tidak tahu apa-apa, membuka mata mereka.

Tepat pada saat Leon dan para raksasa itu saling beradu kekuatan, mereka berdua langsung menjerit:

“Pe... Perang Monster!?”


Catatan Penulis:

· Tinggi Leon: 160 meter

· Scorpius: 110 meter

· Karkinos: 105 meter

· Aigokeros: 105 meter

· Suzuki: Sekitar 20 meter


Sei: “…umm... pada titik ini, bukankah sebaiknya kita panggil Ultraman atau sesuatu? Ini... bukan lelucon kan? Aku... aku dipanggil untuk menghadapi semua ini?”


Tuannya adalah monster yang bertarung secepat kilat seperti di Dragon Ball. Bawahan mereka monster raksasa (kaiju). Pembantunya adalah mesin perang yang tidak cocok masuk dunia fantasi. Kendaraan mereka mobil kemping.

Aku yang menulis pun bingung, ini kelompok macam apa sebenarnya...?

Dewi: “BERHENTI NGOMONG ANEH! Ini dunia fantasi, tahu!?”


Catatan tambahan: alasan mengapa serangan Aries kali ini bisa mendarat dengan tepat adalah karena kelincahannya meningkat.

Seperti yang diharapkan, penggemar memang sangat OP.

Dina: …ini buruk…

 

Novel Bos Terakhir Chapter 110

Bab 110: Dina Menggunakan Helping Hand!

“Sungguh, kau ini ceroboh sekali.”

Castor menyeringai melihat Sei yang tergeletak tak sadarkan diri. Meski anak itu masih muda dan belum matang, Castor diam-diam terkesan dengan kegigihannya. Mampu menyadari bahwa dirinya belum cukup kuat, namun tetap menolak menyerah dan berani menerobos keterbatasan—itu bukan hal mudah.

Kekuatan dan pengalamannya memang belum cukup. Tapi, kalau ia punya guru yang tepat... dia bisa jadi monster.
Memikirkan itu, Castor tersenyum tipis. Tapi sekarang bukan waktunya melamun.
Sei telah menciptakan celah dengan mempertaruhkan dirinya. Maka sebagai penjaga, sudah kewajiban Castor untuk mengubah celah itu menjadi kemenangan.

StromPressure!

Mana yang ia keluarkan berubah menjadi angin besar, lalu memampat menjadi tekanan udara pekat yang menindih lamia dan dryad di medan.

“A—Apa ini?! Aku tak bisa bergerak...!”

“Ugh, sial… tubuhku...!”

Mereka berusaha melawan, tapi perbedaan level terlalu jauh. Dengan satu gerakan jari, Castor membelit mereka dengan tali angin tak kasatmata. Pertempuran sudah berakhir.

“Yah, segini cukup.”

“Seperti yang diharapkan dari anggota Dua Belas Bintang,” gumam Jean.

Castor menanggapi dengan senyuman tipis—tapi senyum itu segera menghilang.

Sagitarius muncul di hadapan mereka.
Bukan hanya dia—Libra, Scorpius, Aigokeros, dan Karkinos juga ada bersamanya.

Tubuh mereka penuh luka, armor mereka rusak. Mereka semua... tampak kalah.

“A—Apa?!”

“Se—Semuanya?! Kenapa kalian...?!”

Kehadiran mereka mengejutkan semua orang—bukan hanya karena muncul tiba-tiba, tapi karena penampilan mereka... porak-poranda.

Para Bintang Surgawi seharusnya setingkat bencana berjalan. Dapat mengalahkan negara seorang diri.
Namun kini, mereka muncul di desa terpencil… dalam kondisi nyaris tumbang.

Libra melihat sekeliling.

“…Ini desa demihuman? Sepertinya kau telah menyelamatkan kami, Sagitarius.”

Ternyata, saat pertarungan melawan Leon memuncak, Sagitarius menggunakan skill Alnasl-nya untuk memindahkan mereka semua ke sini, menghindari kehancuran total. Skill itu memang tak bisa meleset—dan dalam kasus ini, dia menggunakannya untuk teleportasi paksa.

Itu berarti... Sagitarius tidak sepenuhnya berada di pihak Leon.

“Terima kasih, Sagitarius! Kami hampir musnah…” ucap Karkinos.

“…Tak perlu berterima kasih,” jawab Sagitarius, memalingkan wajah.

Mungkin… ia merasa bersalah telah mengkhianati Ruphas dan teman-temannya.
Kini ia berdiri bersama mereka. Mau tak mau, itu menjadikannya musuh Leon.

“Sagitarius-sama!”

Tiba-tiba, Derby sang pemimpin centaur memanggil. Ia memandang Sarjes dan para demihuman lain yang terkapar di sekitar.

“Apa yang terjadi di sini?! Kalian semua seharusnya di Tyrfing, bukan?”

“Pertanyaan itu juga berlaku untuk kalian,” balas Castor. “Apa yang terjadi di desa ini?”

Libra menatap Derby, lalu Castor, dan berkata,

“Baiklah. Pertama-tama, mari kita saling tukar informasi.”


Di tempat lain, Aries duduk bersandar di reruntuhan bangunan, diam. Ia ingin menyusul Leon, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Bukan karena kurang keberanian... tapi karena nalurinya memberontak.

Sebagai sesama magical beast, dia tahu:
Leon adalah pemangsa puncak.
Ia adalah makhluk yang dilahirkan untuk berada di puncak rantai makanan. Aries? Dia hanyalah domba. Seekor makhluk lemah yang ditakdirkan untuk dimangsa.

Perbedaan itu tak bisa dijembatani.

Bahkan di antara Dua Belas Bintang, Aries selalu merasa… berbeda.

Aigokeros dulunya Raja Iblis.
Scorpius—Ratu Racun.
Libra—golem terkuat.
Karkinos—magical beast terkeras.
Castor, Parthenos, Sagittarius... semuanya dulunya penguasa.

Aries... tidak.
Ia diizinkan ikut, hanya karena Ruphas menyukainya.
Ia mendapat kekuatan, tempat, dan gelar bukan karena prestasi, tapi karena belas kasih.

Leon benar, pikir Aries. Aku tidak bisa menyangkalnya.

Kalau melawan Seven Luminaries, mungkin dia masih bisa menyumbang sesuatu.
Tapi lawan sekuat Leon...? Ia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.

“...Apa kau tidak akan bertarung?”

Suara itu datang tiba-tiba.
Dina.

Wanita itu, yang sebelumnya melarikan diri dari pertarungan, kini berdiri di hadapannya, jongkok, menatap langsung ke mata Aries.

“Leon mengejar mereka semua.”

“…Aku tahu.”

Aries ingin menuduhnya pengecut—tapi ia menahan diri. Karena... dirinya pun telah melarikan diri.

“Kalau aku ke sana... tidak akan berguna. Aku tak bisa mengalahkan Leon,” katanya pelan.

“Oh, bukan itu masalahnya,” jawab Dina. “Kenyataannya, justru kaulah yang paling ditakuti Leon.

Aries mengerutkan dahi.
Pujian kosong seperti itu—tidak berguna.
Itu hanya seperti orang dewasa yang memuji anak-anak dengan pedang mainan:
"Wow, hebat! Kamu bisa kalahkan Raja Iblis!"

Tapi Dina tetap tenang.

“Api yang diberikan padamu oleh Ruphas-sama bukanlah api biasa. Itu adalah nyala pembunuh dewa—kekuatan yang menguat sesuai vitalitas lawan. Semakin kuat musuhmu, semakin kuat apimu. Itu kekuatan mutlak.”

“…Kau lancar sekali memuji.”

“Karena itu bukan pujian—itu kenyataan.”

Aries menatapnya.
Senyuman Dina tak pernah goyah. Ia tetap tampak seperti wanita misterius yang penuh rahasia.

Siapa sebenarnya dia? pikir Aries.
Libra pernah memperingatkan bahwa Dina menyimpan sesuatu. Saat itu Aries tak menggubris. Tapi sekarang... ia mulai merasa ada yang aneh.

“Aku tak bisa menang... kau juga lihat sendiri kan, apa yang terjadi tadi. Sesuatu mengubah Leon...”

“Oh, itu hanya modifikasi Dewi. Tapi tak sekuat kelihatannya.”

Dina bicara santai—dan kalimat berikutnya sungguh keterlaluan.

“Leon itu tipe pria yang paling dibenci Dewi. Makanya, dia diberi ‘hadiah’ tapi tanpa cinta. Cuma potongan kekuatan, bukan yang utuh.”

“…Kau bicara seolah tahu isi hati Dewi.”

Dina tertawa ringan.

“Dewi ingin Leon menang supaya Ruphas kalah. Tapi di sisi lain, dia juga ingin Leon kalah—karena pria macam itu tidak layak. Makanya kekuatannya hanya separuh. Dewi tak benar-benar berharap padanya.”

Aries mulai gemetar.

Kalimat-kalimat Dina... seolah ia membaca isi hati Dewi.

“Leon tidak pantas menang. Yang pantas adalah... anak pemberani, tokoh utama sejati. Jadi kalau Leon kalah, itu tak apa. Bahkan mungkin... diharapkan.

Dan cara Dina berkata itu...

—Seolah dia sendiri adalah Dewi.

Untuk pertama kalinya, Aries benar-benar takut pada Dina.

“Dina-san… siapa kau… sebenarnya?”

Dina tersenyum.
“Siapa aku? Hm… Aku bukan siapa-siapa. Seseorang yang tak bisa jadi siapa-siapa.”

Kalimat itu dalam dan kosong sekaligus.
Lalu ia berdiri, mengangkat tangannya.

Buff mulai mengalir ke tubuh Aries.
Semua statistik meningkat drastis.
Itu adalah peningkatan status skala penuh dengan sihir ilahi.

“Inilah bantuanku. Tak sekuat modifikasi Dewi, tapi cukup.
Sekarang, pergilah. Medan perangmu bukan di sini.”

“Bagaimana denganmu, Dina-san?”

“Aku? Aku ini cuma gadis lemah. Mana bisa bertarung~”

Dengan santai ia tersenyum, lalu membuka gerbang ruang dan menghilang.

Aries terdiam, menatap kosong ke arah ia menghilang.
Lalu perlahan menatap langit.

Entah kenapa... rasa takutku pada Leon berkurang.

Mungkin... Dina memang melakukan sesuatu yang tak ia mengerti.

Tapi itu tak penting sekarang.
Yang penting: teman-temannya sedang menunggu.

Masih ada rasa ragu.
Masih ada ketakutan.

Namun, Aries percaya pada Ruphas.
Dan kekuatan yang ia miliki—diberikan oleh sang tuan.

Itu tak akan kalah oleh kekuatan Dewi.

Maka Aries... melompat.
Menuju langit. Menuju medan perang.


Catatan Penulis: Aries mendapatkan buff!

  • Serangan meningkat

  • Vitalitas meningkat

  • Damage fisik & magis dibelah dua

  • Kecepatan meningkat

  • Regenerasi otomatis

  • Status “Berani” aktif: meningkatkan kemungkinan critical

Dina: “Tugas selesai! Udah kubuff, ya! Aku nggak mau ikut bertarung~”
NEET Sejati.

Novel Bos Terakhir Chapter 109

Bab 109: Wah? Ada yang Berubah dari Suzuki...?

Setiap kali Castor mengayunkan senjata andalannya, Anchor Lance, tubuh-tubuh para demihuman langsung tumbang satu per satu.

Di antara para petarung Dua Belas Bintang Surgawi, Castor bukanlah yang terkuat. Bahkan bisa dibilang kekuatannya masih di bawah Aries. Dia juga tidak memiliki skill-skill luar biasa seperti yang dimiliki Libra atau Aigokeros.

Namun, tetap saja—dia adalah salah satu dari Dua Belas Bintang.

Bahkan anggota non-petarung seperti Parthenos atau Putri Peri—yang merupakan separuh dari “Si Kembar”—masih memiliki kekuatan luar biasa. Sebagai salah satu dari sedikit anggota bertipe petarung, Castor sendirian bisa menandingi seribu pasukan.

Para demihuman yang menyerangnya mungkin berjumlah beberapa ratus, tapi… itu tetap percuma. Bahkan jika mereka berjumlah ribuan, hasil akhirnya tetap sama: pembantaian sepihak.

Namun, Castor memiliki sifat yang baik hati. Karena itulah, ia menahan diri untuk tidak membunuh.
Andai yang berada di tempat ini adalah Libra, Aigokeros, atau Scorpius… mungkin seluruh wilayah sudah penuh mayat dalam hitungan detik.

Cyclone Ring!

Castor memutar tubuhnya dan menciptakan pusaran angin yang menghempas semua demihuman di sekelilingnya. Barisan depan langsung tak berdaya, dan pasukan belakang mulai gemetar.

Ia bisa saja memperkuat pusaran itu dan menghancurkan barisan belakang juga. Tapi jika itu dilakukan, kemungkinan korban tewas meningkat drastis. Para demihuman mulai menyadari... mereka tidak punya peluang menang.

“A—Apa yang kalian lakukan?! Cepat singkirkan pria tampan itu!” teriak salah satu komandan duyung.

“T-Tapi...”

“Kalau kalian tidak maju, AKU yang akan membunuh kalian semua! Mau mati?!”

“Uuuh... uwaaaah!!”

Karena tekanan itu, seorang gadis arachne dari barisan depan maju dengan gemetar, lalu menyerang. Bagian atas tubuhnya memang tampak seperti gadis cantik, tapi bagian bawahnya adalah tubuh laba-laba raksasa yang menjijikkan—kombinasi yang membuat siapa pun bergidik.

Namun, begitu gadis arachne itu mendekat dan menusukkan tombak, Castor menangkisnya dengan mudah. Tanpa melukai, ia hanya melucuti senjata dan membuatnya tersungkur di tanah, tubuhnya gemetar ketakutan.

Alih-alih membunuh, Castor menepuk kepala gadis itu dengan lembut.

Ketika si gadis membuka mata dengan ragu, ia melihat senyum tampan Castor yang bercahaya seolah dunia ini penuh harapan.

“Sudah cukup. Senjata tidak cocok untuk anak secantik ini.”

“Ah... Y-Ya...”

Pipi gadis arachne itu memerah. Kalau ini manga, matanya pasti sudah berubah bentuk jadi hati.

Sementara itu, komandan duyung pria menggertakkan gigi.
Andai Ruphas ada di sini, dia mungkin akan paham rasa frustasi duyung itu: rasa ingin meninju pria tampan yang terlalu bersinar dan baik hati.

Castor melanjutkan dengan nada bijak.

“Kalau kau menyukai seorang wanita, perlakukan dia dengan lembut. Jangan seret dia ke medan perang seperti ini.”

Ironis, mengingat tuannya sendiri adalah wanita paling kuat di dunia yang hobi berlari di medan perang sambil membantai musuh supersonik.

“Kalau kau ditolak... jangan salahkan dia. Salahkan dirimu sendiri karena bertindak bodoh. Dengar ya, yang penting dari seorang pria bukan wajahnya—tapi hatinya!”

“Omong kosong!” teriak duyung pria.

Muka merah padam karena marah dan malu, ia menerjang Castor bersama pasukan bugkin lain: prajurit semut, belalang, serangga aneh lain—semuanya wajah-wajah tidak menawan yang menyimpan dendam pada pria tampan.

Inilah tragedi para demihuman.

Meski memiliki tubuh ikan, ular, atau serangga, mereka tetap mempertahankan standar kecantikan manusia.
Jadi walau bugkin capung bisa membedakan mana sesamanya yang “tampan” dan “jelek”, tetap saja... dari sudut pandang manusia, mereka semua tampak seperti monster.

Dan lebih parahnya: mereka juga menganggap manusia tampan itu... tampan.

Makanya, meski seorang capung bugkin memiliki wajah terbaik versi rasnya, kalau mendekati gadis manusia, pasti ditolak mentah-mentah.

Tapi Castor?
Dia pria tampan manusia. Bahkan demihuman wanita pun terpesona.
Tidak adil! Tidak masuk akal!!

Dengan emosi meluap-luap, mereka semua berteriak, “Mati kau, bajingan tampan!
Lalu menyerbu.

Sialnya... Castor masih tersenyum.

Gemini Meteor Fist!

Tinjunya terangkat ke atas dan—BOOM!—satu demi satu mereka terbang seperti bintang jatuh.
Padahal sebenarnya itu cuma pukulan biasa ditambah sihir angin. Nama tekniknya cuma keren doang.

Saat para lelaki tak populer itu jatuh ke tanah tak sadarkan diri, yang mereka pikirkan hanyalah:

“Bajingan tampan… lenyap sajalah…”


Di sisi lain, pertempuran antara Virgo dan lamia berubah menjadi duel jarak jauh.
Tanpa sadar, keduanya terjebak dalam baku tembak.

Virgo terbang di udara, lamia menyelinap di antara pohon. Pohon-pohon menghalangi serangan Virgo, dan lamia tak bisa menjangkau langit. Hasilnya: kedua pihak hanya bisa saling tembak dari kejauhan.

Padahal, secara level, Virgo jauh lebih tinggi—dua kali lipat.

Namun Virgo tidak bisa mengakhiri pertarungan.
Kenapa?

Karena... dia terlalu lembut.

Setiap kali hendak menebas leher lawan, dia ragu.
Dan ragu satu detik cukup membuat celah.

Berkebalikan dengan Virgo, lamia bertarung dengan tekad hidup dan mati.
Itu saja sudah cukup untuk menjembatani kesenjangan kekuatan.

Bagaimana caranya... menghentikannya?

Virgo memutuskan menggunakan kemampuan unik Flügel: “Dominasi.”

Skill ini bisa membuat musuh dengan level setengah dari pengguna langsung tunduk.

Karena perbedaan level mereka drastis, seharusnya lamia langsung tak bisa bergerak.

Namun—

“Jangan remehkan aku!”
teriak lamia, dan berhasil menepis dominasi itu dengan tekadnya.

Serangan air menyambar dan Virgo jatuh dari udara.

“...Kau terlalu lembek, gadis kecil.”

Virgo bingung.

“Dominasi seharusnya membuatku menang...”

“Masalahnya... kau tidak punya tekad untuk benar-benar memaksa seseorang tunduk! Kau kosong di dalam!”

Virgo terdiam.

Ya... mungkin dia benar.

Dirinya lembut, iya. Tapi dia juga tidak percaya diri. Tak punya kemandirian.
Selalu mengalir mengikuti arus.

Karena itu... Dominasinya pun lemah.

Sihir lamia terus menghantam. Meski tak fatal, luka-luka kecil mulai menumpuk. Perlahan... Virgo mulai terdesak.


Dari kejauhan, Sei melihat itu dan panik.

Virgo dalam bahaya... Tapi aku tak bisa meninggalkan pertarunganku sendiri.

Di hadapannya, Sarjes si laba-laba terlalu cepat. Bergerak zig-zag dari pohon ke pohon.
Jika Sei membelakanginya, kematian pasti menanti.

Mereka bertahan dengan formasi defensif, tapi tak bisa menyerang balik.

“Cih! Dasar laba-laba sialan... terlalu cepat!”
umpat Gants.

Saat itu, dari balik pepohonan, terdengar suara... jeritan Kaineko.
Dia terkena serangan.

Ini gawat... Harus ada cara untuk membalikkan keadaan!

Tiba-tiba... Virgo kembali ke dalam pandangan Sei.
Dan ide muncul.

“Virgo! Kalau kau bisa dengar, ulangi kata-kata ini!!”

“Eh!?”

“Ucapkan... ‘Orang ini... mesum! Tolong aku!!’”

“...Hah?”

“Tidak apa! Teriakkan saja!! Nanti kau akan mengerti!!”

Virgo bingung, tapi ia tahu Sei punya rencana.

“B-baiklaht... O-Orang ini mesum!! Tolong aku!!!”

Teriak Virgo.

Dan...

SUZUKI DATANG.

Suara gacha-gacha mekanis menggema di hutan.
Suzuki—yang tadinya berupa sepeda motor—berubah menjadi robot humanoid raksasa bersenjata lengkap.

Berdiri gagah, membawa senapan mana dan saber besar.

Misi: Lindungi Virgo. Musnahkan pengganggu.

“Ya, Bos!” jawab AI-nya.

Dia melompat melewati para bugkin, menerobos pepohonan, dan mengarah tepat ke... Sarjes.

Sei tersenyum pahit.

“…Kenapa robot...?”

Tapi tak ada waktu untuk berpikir.
Benangnya masih terhubung ke Sarjes.

Kalau begitu... aku punya ide.

“AKULAH ORANG MESUM!! KEMARI, SUZUKI!!!”
teriaknya keras-keras.

Seketika, Suzuki menandai Sei (dan Sarjes yang terhubung) sebagai target.
BOOM!!

Dia menendang keduanya dalam satu ayunan brutal.
Sarjes terhempas, armor luarnya hancur, tak bisa bangkit.

Sei?
Selamat, karena Virgo sempat membuat pelindung sihir di detik terakhir.
Tapi tetap saja, ketika Suzuki mengangkat senapannya lagi…

“…Jangan tembak!!”
teriak Virgo sambil berdiri di depannya.

Suzuki berhenti.

Sei melihat semua itu—dan sebelum jatuh pingsan, ia hanya sempat berpikir:

Tali pelindung ini... terlalu berbahaya.