Novel Bos Terakhir Chapter 40

Bab 40 – Dina, Dapat!

“...Jadi, aku harap sekarang kau mau bicara. Kenapa kau melakukan semua ini?”

Aku menatap Dina, yang terduduk lesu di tanah. Suaraku terdengar tenang, tapi penuh tekanan. Bukan karena aku marah—setidaknya belum. Tapi aku tahu, jika aku bicara terlalu lembut… dia mungkin akan mencoba menipuku lagi.

Dan aku sudah cukup kenyang dengan tipu daya.

“…Aku… pemain uji. Aku datang ke dunia ini… sekitar tahun 2800 Midgard. Itu... masa ketika kau telah disegel. Dan saat aku sadar, aku sudah ada di dunia ini, dalam wujud avatarku.”

Sama seperti aku, rupanya.

Aku juga masuk ke dunia ini dalam tubuh avatar-ku—Ruphas Mafahl.

Tapi itu sudah kuduga. Yang ingin kutahu… adalah hal yang belum diceritakan.

“Waktu itu, masih ada banyak orang kuat. Memang tidak sebanyak dalam game, di mana banyak pemain doping level 1000. Tapi setidaknya, masih ada yang bisa dibandingkan dengan level 500.”

“…Tunggu. Kalau begitu, ke mana mereka semua?”

“Entah. Yang jelas, beberapa pemain—terutama mereka yang tidak disebutkan dalam versi novel—menghilang. Seolah mereka tak pernah ada.”

Aku terdiam.

Ini… buruk.

Sangat buruk.

Kenapa? Karena jika dunia ini adalah versi novel dari game, maka… hanya sedikit yang ‘eksis’. Hanya mereka yang disebutkan secara eksplisit dalam narasi resmi.

Puluhan ribu pemain, tapi hanya ratusan yang namanya dikenal. Sisanya? Tak pernah disebut, tak pernah dicatat. Bagi dunia ini… mereka tidak pernah ada.

Dan sebagian besar pemain tingkat tinggi itu... tidak ada di sini.

Tak sulit membayangkan nasib dunia ini saat semua pemain yang bisa menandingi Raja Iblis menghilang.

Dina pun mengangguk, pelan.

“Yang lain… semua bertingkah seolah mereka penduduk asli. Mereka lupa dunia nyata. Hanya aku yang menyadari… bahwa semua ini salah.”

“Tidak mungkin tak ada satu pun orang lain sepertimu.”

“Mungkin ada. Tapi sekarang… aku tak bisa membuktikannya.”

Lalu, wajahnya menunduk lagi.

“…Mereka semua… hilang. Kenalan yang kuanggap sebagai sisa-sisa terakhir dunia lamaku… lenyap begitu saja.”

Aku menghela napas pelan.

Jika memang tak ada pemain lain yang tersisa—tak ada yang cukup kuat untuk melawan Raja Iblis—maka ya, kekalahan umat manusia adalah hal yang wajar.

Kalau hanya mengandalkan penduduk asli…

…Tak mungkin mereka bisa menang.

Dina melanjutkan.

“Aku menyusup sebagai salah satu dari Tujuh Tokoh. Berpura-pura jadi iblis. Berusaha mengulur waktu. Tapi sendirian… aku tak bisa apa-apa.”

“Dan itulah… kenapa kau mencariku.”

“…Ya. Saat aku ingat tentang menara Mafahl dan ‘gadis latar belakang’ yang ada di sana, aku ganti posisi dengan NPC itu dan mulai membimbingmu. Kupikir… kalau aku bisa mendorongmu melawan Raja Iblis, kita punya harapan.”

Kata-katanya mengalir lancar.

Terlalu lancar.

Tapi aku tak menyela. Belum.

“Dan tentang Jupiter yang menjerit ‘pengkhianat’?”

“Itu... karena aku menjanjikan 20 menit waktu luang padanya. Tapi aku menarik Libra lebih cepat dari rencana. Sejak awal, aku memang berniat menjebaknya.”

…Kurang ajar.

Jadi semua ini dirancang dengan rapi. Bahkan waktu kedatangan Libra bukan kebetulan.

Satu pertanyaan terakhir.

“…Kau musuhku, Dina?”

“…Tidak. Aku tak pernah berniat menjadi musuhmu. Tapi… aku memang berencana menggunakanmu.”

Aku terdiam. Menatapnya dalam-dalam.

Kepalaku berdenyut ringan. Banyak yang harus kupikirkan.

Aku tidak bisa membunuhnya. Itu jelas. Terlalu banyak utang budi. Kalau bukan karena Dina, aku mungkin masih tersesat di negara pertama.

Tapi… kalau dia kulepas begitu saja, apa yang akan dia lakukan berikutnya?

Kalau dia memulai perang demi melawan Raja Iblis, aku tidak akan bisa membiarkannya.

Jadi—ada satu jalan tengah.

“…Kalau begitu, teruslah melayaniku.”

“Eh…?”

“Aku bilang, aku akan melupakan semua ini. Tapi kau tetap jadi bawahanku.”

Matanya melebar. Sejenak ia terdiam.

Dina telah menipuku. Mempermainkanku.

Tapi… aku tak kehilangan apa pun. Bahkan, aku banyak diuntungkan dari tindakannya.

Dan yang terpenting—tujuan kami sama. Menghentikan Raja Iblis.

Jadi... bukankah lebih efisien bila kami bekerja sama?

“Seorang penasihat yang menyimpan rahasia... rasanya menarik juga. Tak buruk punya seseorang seperti itu di pihakku.”

“…Kau… beneran manusia? Maksudku… kamu masih pemain, kan? Bukan Ruphas asli?”

Aku tertawa kecil.

“…Siapa tahu? Mungkin aku keduanya. Mungkin… bukan siapa-siapa lagi.”

Memang. Aku sudah berubah.

Aku membunuh tanpa ragu. Menghancurkan tanpa getaran hati.

Tapi... aku juga bukan Ruphas asli yang kejam dan dingin seperti cerita-cerita itu.

Aku berada di tengah. Campuran aneh dari pemain dan karakter. Tapi... itu cukup.

“Kita dari dunia yang sama. Kita tak punya siapa-siapa di sini. Maka… mari bekerja sama.”

Aku mengulurkan tangan padanya.

“Bergabunglah denganku. Gunakan kekuatan dan pengetahuanmu. Dan berjalanlah di sisiku.”

Dia memandangi tanganku dengan tatapan kosong. Tapi perlahan, tangannya terangkat… dan menggenggam tanganku erat.

“Seperti yang kuharapkan dari Ruphas-sama… Tidak. Lebih dari yang kuharapkan.”

Dia berdiri. Matanya bersinar.

“Aku akan melayanimu sampai hari kau mengalahkan Raja Iblis. Sampai hari dunia ini kembali damai.”

“Terima kasih, Dina.”

Kami berjabat tangan. Dan di kejauhan… suara langkah mendekat.

Aries dan yang lainnya datang, mungkin merasakan sihir besar tadi.

...Sekarang, bagaimana cara menjelaskan semua ini pada mereka?

Sementara itu, di kastil langit—

Merak duduk di singgasananya, dikelilingi oleh pria-pria bersayap putih yang memohon pengampunan.

Mereka adalah para penghasut. Para ekstremis yang mendorong konflik, menciptakan pasukan “sukarelawan,” dan hampir menghancurkan negara.

Kini, mereka menggugat. Mengeluh. Melempar alasan.

“Kami hanya melindungi negara!”
“Itu semua karena hasutan iblis!”
“Kami hanya ingin menormalkan sistem!”

Kebohongan. Semua alasan palsu.

Dan… mereka tak takut.

Mereka tahu Raja Langit tak akan menghukum mereka.

Setidaknya… dulu begitu.

Merak menutup matanya.

Ini salahku.

Selama ini, aku terlalu lembek. Terlalu ragu. Terlalu takut untuk menyakiti.

Dan karena itu... mereka menjadi seperti ini.

Waktunya berubah.

Ia membuka mata.

Dan langit runtuh.

Tekanan surgawi—kemampuan khas ras flügel—meledak dari tubuhnya. Tanpa peringatan, seluruh aula istana tertekan oleh gravitasi tak kasat mata.

“Kalian semua… siapa yang memberimu izin membuka mulut?”

Mereka terdiam.

Tak ada yang bisa bicara. Tak bisa bernapas.

Tekanan itu… bukan lagi kekuatan penjinak binatang.

Ini adalah kekuatan Raja. Kekuatan sejati.

“Tak satu pun dari kalian kuizinkan mengangkat kepala. Tapi kalian berani berteriak, menyalahkanku, bahkan menuntut… Apa kalian ingin kehilangan kepala kalian?”

Mereka ingin menjawab. Ingin berkata tidak.

Tapi tak bisa.

Bahkan para ksatria di sekitar ikut berlutut.

“Selama ini, aku terlalu lunak. Aku memberi kalian tempat tinggal. Kota. Kekuasaan. Tapi kalian menyalahgunakannya. Mulai sekarang—aku akan menunjukkan siapa penguasa sejati langit ini.”

Matanya membara. Tatapan predator.

Dan saat tekanan mereda… semua orang bersujud.

Gemetar. Menangis. Memohon ampun.

Merak hanya menatap mereka.

Ia tak menikmatinya.

Tapi… ini perlu.

Karena jika tidak, negara ini akan binasa oleh kesombongan rakyatnya sendiri.

“…Benar, ini baik. Terima kasih, Ruphas… Aku akan terus maju. Agar suatu hari… aku bisa berdiri di hadapanmu tanpa rasa malu.”

Ia tersenyum pelan.

Beban di pundaknya tetap berat. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa… pantas menyandangnya.

 

Novel Bos Terakhir Chapter 39

Bab 39 – Dina Mengeluarkan Tantangan

“—Sekarang, ayo saling bunuh saja. Tuanku yang tercinta… Ruphas Mafahl.”

Dina melayang tinggi di udara, tubuhnya menyala dengan cahaya emas menyilaukan, seolah-olah surga sendiri merestui niatnya yang penuh amarah.

Dari tubuh mungilnya, ribuan—tidak, puluhan ribu—tetesan logam mulai jatuh dari langit. Tetesan kecil, tak berharga secara individu… tapi jika datang dalam badai?

Bahkan satu pun bisa menghancurkan daging manusia biasa. Tapi puluhan ribu?

Itu bukan hujan.

Itu eksekusi.

"Ayo datanglah, gadis-gadis yang kupanggil. Dengan kekuatanmu yang mematikan, hancurkan langit dan bumi—Cleta!"

Tetesan logam itu turun seperti hujan petir, menghapus tanah dengan kekuatan yang menyaingi artileri berat. Seolah seluruh kota dihantam oleh meriam Vulcan. Bangunan rata. Tanah terkoyak.

Dan aku—aku menerobos badai itu.

Tubuhku melesat menembus hujan peluru, seolah setiap tetes itu tak lebih dari kerikil. Salju logam mengguyur tubuhku, menusuk kulit seperti jarum tajam.

Sakit?

Tentu saja. Tapi... itu tak cukup untuk menghentikanku.

Dengan satu kibasan sayap, aku meniup badai itu dan maju.

“Sekarang… giliranku!”

Aku mengubah belasan pedang menjadi ratusan dengan sihir alkimia, lalu menembakkannya semua ke arah Dina.

Tapi dia… hanya mengangkat tangan, dan sebuah lubang terbuka di udara.

“Gerbang X.”

Sebuah lubang di langit. Seolah ruang itu sendiri dilubangi.

Pedang-pedangku tersedot dan lenyap ke dalamnya.

Jujur… aku tak sepenuhnya mengerti sihir ini.

“Gerbang X” bukan sihir biasa. Bahkan dalam game, itu hanya disebut-sebut dalam lore, tak bisa digunakan. Tapi sekarang… Dina menggunakannya seperti itu hal biasa.

Apakah dia benar-benar cuma pemain biasa?

Tapi aku tak sempat berpikir lebih jauh.

“Aglaia!!”

Sinar terang menelan langit, menyilaukan hingga membuatku memejamkan mata. Tapi dampaknya? Minim. Hanya ilusi cahaya. Namun saat mataku terbuka kembali, Dina sudah menyiapkan sihir kedua.

“Auxo!!”

Tiba-tiba, hujan turun.

Tidak berbahaya… sampai tanah tersentuh air itu.

Pohon-pohon raksasa meledak dari tanah, tumbuh liar dan langsung menyerangku bagai cambuk dari akar dunia itu sendiri.

“Cih!”

Aku melompat, menghancurkan batang-batang itu dengan pukulan dan tendangan. Lalu menukik, menusuk tanah dengan skill Meteor Kick. Akar pohon tercabut, pepohonan hancur, badai sihir mereda.

Aku ambil satu batang pohon—dan melemparkannya ke Dina.

Dia menghindar lewat teleportasi.

Tapi aku sudah tahu itu. Aku terbang mengejarnya—dan saat dia muncul kembali, aku sudah ada di sana.

“……! Cepat sekali…!”

Kupukul dia dengan serangan biasa—hanya untuk menguji.

Dina terkejut, tapi berhasil menghindar tipis dan membalas dengan tamparan ke wajahku.

Namun…

“Tamparan seperti itu takkan cukup.”

"!?"

Itu tak terasa sedikit pun.

Meski tamparannya kuat, tubuhku sudah terlalu jauh di atas levelnya. Ini seperti… nyamuk menampar naga.

Dulu aku melawan Mars, si iblis atribut api, dan tamparannya… ya, lumayan.

Tapi Dina?

Dia tipe pendukung. Dan dia tahu itu.

“Aku mengerti sekarang… Seperti yang kuduga, Ruphas Mafahl… Bahkan satu seranganmu saja bisa mengguncangku sejauh ini.”

“Kita akhiri saja di sini, Dina. Kau takkan bisa menang melawan aku.”

Jika aku jujur, aku adalah mimpi buruk semua penyihir.

Jubahku mengurangi semua sihir hingga separuh kekuatannya. Aku kebal terhadap semua status negatif. Dan karena kelasku adalah Grappler, aku bisa mendekat secepat kilat dan menghancurkan mereka sebelum bisa membaca mantra kedua.

Dina? Dia bukan petarung. Dia pemain uji—bukan pemain tempur. Dia tak punya pengalaman bertahan melawan petarung jarak dekat seperti aku.

Dia terlalu rapuh untuk ini.

“Oh, betapa baiknya hatimu… Bahkan setelah aku menipumu selama ini, kau masih bersedia memaafkan?”

“Kau memang menipuku. Tapi kau juga membantuku. Itu cukup.”

Aku tak menyimpan dendam padanya. Bahkan sekarang pun, aku tetap ingin melindunginya. Ya, dia memanipulasiku. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk membencinya.

Yang ingin kutahu hanya satu hal:

“Mengapa kau tak memberitahuku dari awal? Kenapa harus berputar-putar seperti ini hanya untuk membuatku bertarung dengan Raja Iblis?”

“Pikir kamu sudah menang? Terlalu cepat menyimpulkan!”

Mata Dina bersinar.

Tanah mulai bergetar.

Pohon-pohon runtuh. Angin meledak dari sihirnya.

Kekuatan yang meledak dari tubuhnya jauh melampaui apa pun yang pernah kulihat darinya.

“Gerbang X—”

“…Memanggil sesuatu? Di saat seperti ini…?”

Langit menghitam.

Aku mendongak… dan sedikit menyesalinya.

Di atas sana, terbuka sebuah celah besar.

Dari sana… muncul planet.

Bola dunia berkilau keemasan—diameter ratusan meter—meluncur turun dari langit.

Itu bukan meteor. Itu Venus.

“Bintang Fajaaaaaarrrr!!!”

Dan benda itu jatuh, mengoyak langit, menghancurkan segalanya dalam lintasannya.

Aku mengerang pelan.

Kalau aku menghindar… negara ini akan lenyap. Merak akan mati. Kota akan musnah.

Dan Aries, Dina, Aigokeros, semua bisa ikut hancur.

Maka… hanya ada satu pilihan.

Aku menatap benda itu—dan tersenyum.

“Baik. Aku terima tantanganmu, Dina.”

Kalau seorang bawahan tersesat… tugas atasan adalah menampar wajah mereka hingga sadar, lalu mengulurkan tangan.

Aku tak pernah pandai bicara.

Tapi satu hal aku tahu: kalau hanya bertarung, aku tahu caranya.

Aku mengepalkan tangan. Menatap ke langit.

Tubuhku siap. Hatiku mantap.

“Aku datang.”

Kakiku menjejak tanah. Sayapku melebarkan diri.

Aku terbang. Melesat lebih cepat dari suara. Menembus langit seperti panah.

GEMURUH

Angin memekik. Atmosfer pecah.

Tanganku terkepal. Seluruh kekuatan tubuhku terkumpul di satu titik.

[Iron Fist]

Skill Grappler yang memperkuat pukulan berdasarkan level. Ditambah [Penetrate Weak Spot] untuk menembus pertahanan.

Aku mengepalkan tinjuku.

Lalu—

“UOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!”

KRAKKKK!!!

Aku memukul planet itu.

Tak ada kata lain.

Aku. Pukul. Planet.

Dan… planet itu pecah. Retak. Hancur berkeping.

Kilau emasnya meledak menjadi debu, lalu menghilang, kembali menjadi mana. Seolah tak pernah ada.

“…T-Tidak mungkin…”

Dina berdiri terpaku.

Rahangnya ternganga.

Mata membelalak.

Wajah itu—ekspresi kekalahan total.

Kalau aku bukan Ruphas, kalau aku hanya diriku yang asli, mungkin aku juga akan bilang, "Itu curang."

Aku mendarat perlahan.

“Masih mau lanjut, Dina?”

Sebenarnya… aku tak mau memukulmu. Aku benar-benar berharap kamu menyerah.

Kalau kau bersikeras lanjut, aku akan pakai Blunt-Edge Strike. Tak fatal, tapi... tetap menyakitkan.

Dan aku tak tahu harus mukul di mana. Wajah? Perut? Pipi? Semuanya membuatku merasa... brengsek.

Kalau kau cowok tampan, aku bisa mukul wajahmu sampai puas. Tapi gadis?

“…Tidak. Ini… kekalahanku.”

Dina terduduk. Kalah total.

Aku menghela napas. Lega. Tak perlu memukulnya.

Tapi tetap saja…

Serius, Dina... Kamu melempar PLANET ke aku?!

Novel Bos Terakhir Chapter 38

Bab 38: Dendam Benetnash

Ibu kota itu dibalut kegelapan yang abadi.

Kerajaan Mjolnir, tanah para vampir, tak pernah mengenal siang hari. Dunia mereka adalah malam tanpa akhir, sebuah kerajaan yang seolah dilahirkan oleh kegelapan itu sendiri.

Mereka menyebut diri sebagai penguasa malam. Di antara seluruh makhluk humanoid, mereka memiliki hubungan paling erat dengan kekuatan “ma”. Bahkan, kedekatan mereka dengan dunia iblis jauh lebih nyata ketimbang umat manusia.

Di tengah kerajaan itu berdiri istana merah tua yang menjulang bagai tombak darah. Di puncaknya, di lantai tertinggi, tinggal sang penguasa abadi—Putri Vampir.

Tak peduli zaman, tak peduli siapa, hanya satu orang yang para vampir setia kepadanya. Dia adalah pemimpin tunggal mereka, dan bukan Raja Iblis atau Penguasa Bersayap Hitam yang mereka agungkan.

Mereka hidup hanya untuk Putri Vampir. Bila dia meminta mereka mati, maka dengan sukarela mereka akan menyongsong ajal.

Itulah warga Mjolnir. Fanatik, tak takut mati.

Kini, di atas takhta berdarah, duduk seorang gadis muda. Di hadapannya, seorang vampir berlutut dalam hormat.

“Laporan. Sesuai perintah Yang Mulia, Svalinn berhasil diselamatkan dari ancaman Tujuh Luminer. Keberadaan Aries dari Dua Belas Bintang Surgawi telah berhasil disembunyikan.”

“Hmm… seperti yang sudah kuduga… Megrez membuat kesalahan besar dengan merahasiakannya dariku. Dia berusaha melindungi seseorang, dan justru karena itulah aku tahu... bahwa dia ada di sana. Ceroboh.”

Putri itu tertawa pelan, sebuah kekehan kecil yang terdengar seperti bisikan kusuri.

Rambutnya panjang dan berkilau seperti perak murni. Matanya merah menyala dengan pupil vertikal yang menyerupai mata kucing. Dari balik bibir mudanya tampak sepasang taring tajam—penampilannya seakan gadis berusia 14 tahun.

Namun, bagi makhluk abadi seperti vampir, usia hanyalah angka. Penampilan tak berarti apa-apa.

“Sudah dua abad… Dua ratus tahun aku menunggu. Musuh bebuyutanku… Jika itu kau, aku yakin kau akan kembali dari neraka itu.”

Ia bangkit dari takhta, jubah hitamnya berkibar mengikuti geraknya. Rambut panjangnya ia sisir perlahan dengan jari. Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke kerajaan, menatap langit malam yang abadi dengan senyum penuh rindu.

“Sudah terlalu lama aku menunggumu, Mafahl… Waktuku terhenti sejak kau lenyap. Dan jika aku tidak melampauimu, waktu ini tak akan pernah berjalan lagi.”

Sudut bibirnya terangkat. Taringnya terlihat jelas.

Sorot mata merahnya berkobar, tinjunya mengepal erat. Tubuh mungil itu bergetar, bukan karena takut—melainkan karena gairah akan pertempuran yang akan datang.

Ia tak peduli pada para iblis, tak peduli pada Raja Iblis.

Dunia ini, masa depannya, bukan urusannya. Biarkan saja orang-orang lemah musnah—mereka layak mati karena kelemahan mereka sendiri.

Tangisan mereka tak terdengar. Rintihan mereka tak berarti. Mereka hanya angka. Tak berharga.

Dunia ini milik yang kuat. Hanya keajaiban yang mampu membentuk masa depan.

Ia tak tertarik pada mereka yang lemah, tak peduli pada mereka yang bodoh.

Matanya hanya melihat satu orang—musuh bebuyutannya, lawan lamanya, satu-satunya yang membuat jantungnya berdetak: Ruphas Mafahl.

“Kali ini, kita akan menuntaskan segalanya. Tanpa gangguan. Hanya kau dan aku. Dunia ini bukan milikmu. Bukan juga milik Raja Iblis. Aku akan memperlihatkan kepadamu rasa malu karena kekalahan… dan menegaskan siapa penguasa sejati dunia ini—aku, Benetnash, Putri Vampir!”

—Kali ini, aku akan membunuhmu, Ruphas Mafahl.

Dengan telapak tangan terangkat tinggi ke langit, Benetnash bersumpah.

Janji yang tak sempat terwujud dua abad lalu... kini akan dipenuhi.

Ya... saat ini juga.


“Haaaaahhh…”

Aku menghela napas panjang begitu kami meninggalkan wilayah Gjallarhorn.

Tak ada lagi yang bisa dilakukan di sana. Tapi, sejujurnya... aku terlalu banyak membual.

Itu akan jadi bagian dari masa laluku yang memalukan.

Dari luar, mungkin memang tampak seperti momen keren, tapi tetap saja…

“Ada yang salah, Tuan?” tanya Libra.

“Tidak… hanya merasa aku sedikit keluar dari karakter. Kurasa aku terlihat... kurang keren.”

“Tak bisa dipercaya. Itu adalah momen luar biasa yang pantas disimpan dalam memoriku untuk selamanya. Sungguh disayangkan momen itu tidak bisa didokumentasikan secara visual.”

Aku bergidik mendengar kata “disimpan untuk selamanya” keluar dari mulut Libra.

Entah itu dalam bentuk foto atau video, hasilnya tetap sama: bencana.

Meski… dari caranya berkata “sayangnya”, sepertinya dia memang tak bisa melakukannya. Tapi... untuk berjaga-jaga, aku tetap bertanya.

“Libra… Kau tidak diam-diam memotret kejadian tadi, kan? Kalau ada, segera hapus.”

“………………”

Ia diam.

Biasanya Libra akan langsung menjawab. Tapi kali ini… dia terlihat ragu.

Apa dia... tak mau menghapusnya?

Tapi jawabannya justru datang dari arah yang tak terduga.

“Umm… apa itu ‘foto’?”

Aku terdiam.

Ah… benar juga.

Di dunia ini, konsep foto memang tidak ada.

Tentu saja, meski aku menanyakannya, Libra tidak akan tahu apa itu.

Aku pun melirik ke arah Aries, yang terlihat bingung dan menggelengkan kepala.

Melihat reaksi mereka, aku bisa menyimpulkan dengan pasti—foto memang tidak eksis di dunia ini.

Lucu, kan?

Libra—sebuah golem logam berteknologi tinggi yang melebihi dunia modern—tapi tak tahu apa itu fotografi.

Tapi, secara teknis, Libra memang bukan ciptaan mekanik, melainkan hasil keterampilan alkemis. Jadi, mungkin itu tidak terlalu aneh?

Namun…

Entah kenapa… ada sesuatu yang mengganggu.

Seolah ada bagian penting yang terlewat.

Apa itu?

Apa yang lupa kuingat?

Apa yang seharusnya kutahu?

Lalu aku teringat—pada hari pertama aku kembali ke dunia ini…

“Tapi itu peristiwa 200 tahun lalu. Di dunia ini, di mana fotografi tak ada, kurasa tak mungkin ada orang yang bisa mengenaliku.”

“Naif, terlalu naif, Ruphas-sama. Kota perdagangan ini dipenuhi orang dari berbagai penjuru dunia, tahu? Ras-ras berumur panjang seperti para peri bisa saja masih mengingat wajahmu dengan jelas.”

“——!”

Aku memelototi Dina.

Tidak salah lagi. Dia tahu!

Dia tahu soal fotografi—sesuatu yang tak ada di dunia ini!

Dina sendiri tampak tersentak sadar telah keceplosan. Wajahnya menunjukkan ekspresi panik.

Tak ada keraguan. Aku yakin sepenuhnya—dia bukan orang biasa.

Aku tak tahu bagaimana caranya… tapi Dina jelas berasal dari dunia yang sama denganku.

“Dina... ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan. Berdua saja. Ikut denganku.”

“…Baik.”

Tak ada penolakan yang bisa kuterima darinya.

Akhirnya aku mengakui: aku selalu mengabaikannya. Padahal... jawabannya ada di depan mataku.

Dia NPC penasihat yang bahkan tak kuingat saat pertama kembali.

Ya, aku memang pernah menempatkan karakter NPC latar belakang di menara itu. Tapi Dina... terlalu sempurna untuk sekadar figuran.

Dia terlalu cakap untuk hanya jadi penasehat.

Dan yang paling penting, tidak mungkin Aries atau Megrez melupakannya sepenuhnya—kecuali sesuatu telah dilakukan.

Aku membawa Dina masuk lebih jauh ke dalam hutan.

Aries dan Libra sempat hendak mengikuti, tapi aku menahan mereka. Ini harus kubicarakan sendiri dengan Dina.

Aigokeros juga kutinggal bersama mereka, dan aku memastikan tak ada siapa pun di sekitar.

Waktu untuk bicara empat mata.

“Nah, dari mana harus kumulai…

Tidak. Langsung saja.

Kau… Kisah tentangmu yang menjadi penasihatku sejak 200 tahun lalu—itu bohong, kan?”

“…………Ya. Itu bohong.”

Tanpa ragu, Dina mengaku.

Seperti yang sudah kuduga.

Dia bukan sekadar NPC. Dia hanya menyamar sebagai salah satunya.

Tentu saja.

Menara itu kotor—bertolak belakang dengan klaimnya yang menunggu selama dua abad.

Kalau memang dia menunggu tuannya, minimal dia pasti membersihkan ruangan. Tapi kenyataannya tidak. Artinya, dia tidak pernah tinggal di sana.

Jika memikirkannya, jawabannya sudah jelas.

Namun aku tidak mau berpikir ke sana. Aku memilih menutup mata.

“Siapa kau sebenarnya? Kau bukan rakyatku… Jika kau memang bawahan, Libra pasti mengingatmu. Kau jelas bukan orang yang berada di menara sebelum aku tersegel.”

“Seperti yang kau katakan. Aku bukan penasihatmu. Aku hanya seseorang yang mengetahui sistem dalam menara dari data NPC… dan memanfaatkannya.”

—NPC, ya?

Akhirnya dia berhenti berpura-pura.

Tapi ini justru memunculkan pertanyaan baru.

Kalau dia pemain—dan punya akses ke dalam menara—Libra seharusnya mengingatnya. Tapi Aries juga awalnya lupa… sampai ia menyebut Dina sebagai “penasihat.”

Ada yang tidak beres…

“Kau memanipulasi ingatan Aries dan Aigokeros, bukan?”

“Benar. Aries, saat pertama kali kami bertemu. Aigokeros, saat kami berada di kastil iblis. Keduanya kuubah memorinya.”

“Dan golem tak bisa terpengaruh… karena mereka tak punya ingatan. Hanya data.”

“Tepat. Manipulasi memori tak berfungsi pada mereka.”

...Keterampilan manipulasi memori tingkat tinggi, huh?

Itu berarti… mungkin saja aku pun dimanipulasi.

Tapi dia juga menyebut kastil ras iblis?

Potongan-potongan mulai menyatu. Identitas aslinya…

“Karena penasaran… seberapa banyak ingatanku yang telah kau ubah?”

“…Aku tidak bisa.”

“Apa?”

“Ego dan kemauanmu terlalu kuat. Untuk mengubah memorimu, aku harus terus-menerus mengucapkan mantra selama setahun penuh. Itulah kenapa aku memilih menyamar jadi penasihat. Paling-paling… aku hanya bisa membuatmu secara tidak sadar tidak meragukanku. Aku hanya membimbing pikiranmu sedikit.”

Jadi, ingatanku belum disentuh.

Setidaknya... katanya begitu.

Kedengarannya masuk akal. Kalau dia bisa mengubah ingatanku, dia tak perlu repot-repot menyamar.

Atau mungkin... itu bagian dari permainannya?

“Kalau begitu, kau pasti seorang ‘pemain’, kan?”

“Sejujurnya, aku terkejut. Aku tak menyangka... bahwa selain aku, kau juga seorang pemain, Ruphas-sama. Itu di luar perkiraanku.”

Dengan gaya genit, Dina tersenyum tajam—berbeda dari senyuman halus yang biasa ia tampilkan. Wajahnya kini mencerminkan siapa dirinya yang sebenarnya.

“Aku perlu koreksi satu hal. Aku bukan ‘pemain’...”

“…Apa?”

“Aku adalah pemain uji coba. Salah satu tester yang disewa untuk mencoba ras ‘setengah-elf’ yang rencananya akan ditambahkan di patch mendatang.”

“Jadi itu kenapa kau tahu sistem dalam menara?”

“Tepat. Dari komputer admin, meski bukan rakyatmu, aku bisa mengakses data internal pemain. Dari situlah aku tahu soal NPC penasihat.”

Dia melihat semua itu?

Bagaimana bisa dia tidak dipecat setelah itu?

“Dan… kau menyebut memanipulasi ingatan Aigokeros saat di istana iblis? Artinya, kau bisa bebas keluar masuk sana?”

“Benar sekali, Ruphas-sama. Aku berada di posisi yang memungkinkanku memasuki kastil ras iblis sesuka hati.”

Setelah berkata begitu, Dina berubah.

Rambut biru gelapnya berubah menjadi emas cerah. Raut wajahnya yang lembut berubah menjadi menyeramkan.

Bibinya melengkung seperti bulan sabit, mata tajamnya menyipit, dan senyuman di wajahnya tak lagi palsu.

“Awalnya aku berniat terus menyamar sebagai penasihatmu. Membimbingmu sampai kau dan Raja Iblis saling menghancurkan. Tapi… sepertinya aku terlalu meremehkanmu. Karena itu, saatnya gunakan metode lain.”

“…Kau…?”

“Aku akan membuatmu tunduk padaku dan menjadikanmu bidakku. Aku masih punya rencana untuk memanfaatkanmu, wahai Tuanku yang penuh kasih.

Tekanan sihir yang ia pancarkan meningkat drastis. Getaran terasa di udara. Tanah gemetar, pohon-pohon pun ikut bergetar.

…Gawat. Ini bukan ancaman biasa.

Tekanan kekuatannya... adalah yang terbesar yang kurasakan sejak kembali ke dunia ini.

“...Kau pikir bisa melakukannya? Dengan level 300-mu itu?”

“Aha! Ahahahaha! Kau masih percaya itu? Tentu saja itu bohong. Fitur lain dari patch mendatang—kemampuan menyembunyikan status dengan membuat level palsu. Pengembang menyadari kalau Observe Eye terlalu kuat, jadi mereka buat penyeimbangnya.”

“Jadi… levelmu yang sebenarnya…”

“Sudah jelas, bukan? Aku juga level 1000. Sama sepertimu.”

Transformasinya selesai.

Orang di hadapanku masih berwajah Dina… namun jelas bukan orang yang sama.

Rambut emas, sihir memancar deras… dan senyum licik yang tak terhapuskan.

“Perkenalkan kembali, aku adalah Venus—salah satu dari Tujuh Tokoh Iblis. Venus dari Logam. Senang bertemu denganmu.”

Ia merentangkan tangannya seolah disalib, lalu tersenyum mengejek.

“Sekarang, mari kita saling bunuh, Tuanku yang cantik—Ruphas Mafahl.


Catatan Penulis:

Vampir: “Laporan! Orang Super Sa__an muncul di Totokama Star!”

Benet: “Apa!? Cepat kabur…!!”

Vampir: “Yuwut!?”

Kali ini, tugas Vege adalah membentuk karakter saingan, memperkenalkan sisi lain Benetnash, dan... mengungkapkan identitas asli Dina (…?).

Saya selalu merasa bahwa dari tujuh pahlawan, harus ada satu yang menentang Ruphas. Dan Benet adalah karakter musuh itu. Prioritas serangnya adalah: Ruphas > tembok tak bisa dilewati > lainnya.

Kalau dia melihat Raja Iblis dan Ruphas dalam satu garis lurus… dia akan langsung menabrak Raja Iblis untuk mengejar Ruphas.

Lebih merepotkan dari Merak.

Tapi… kalau bisa berdamai dengannya, mungkin dia akan berkata, “Jangan salah paham, Ruphlotto. Bukannya aku ingin membantumu atau apa...” dan jadi tsundere… Yah, itu sangat tidak mungkin.

Eh? Dina tiba-tiba menunjukkan jati dirinya terlalu tiba-tiba dan terkesan dipaksakan?

…Itu cuma imajinasi kalian. Bukan berarti aku menyembunyikan sesuatu.


Novel Bos Terakhir Chapter 37

Bab 37 – Selamat, Ruphas Berubah Menjadi Badut

Kota Putih dan Kota Hitam akhirnya berhasil menahan diri di ambang kehancuran. Meski darah belum tumpah, itu bukan berarti segalanya telah selesai.

Permusuhan masih membara. Kebencian tidak padam. Justru, kini semakin dalam. Meski iblis yang memprovokasi sudah ditangkap dan eksekusinya dilihat langsung, hubungan kedua kubu semakin memburuk.

Dan di titik ini… tidak ada lagi yang bisa kami lakukan.

Negara ini milik Merak. Selama dia tidak menunjukkan ketegasan sebagai raja, maka bayang-bayang perang saudara akan selalu mengintai.

Aku hanya bisa mengamati dari kejauhan. Tapi jika terus seperti ini… kami tidak bisa tinggal diam selamanya.

Sialnya… ini semua memang salahku.

Akulah yang memerintahkan Libra untuk mengejar Jupiter. Aku pula yang menyuruh Dina menyebarkan “kambing hitam” ke publik. Jadi, tak ada ruang bagiku untuk merasa suci atau menyesal.

Dan Merak... sepertinya tahu.

Meskipun aku masih bersembunyi saat itu, tatapannya tajam. Ia terus menatap Libra seakan memaksa kebenaran keluar dari tubuh baja itu.

Dan wajar saja.

Seorang golem tua yang seharusnya telah musnah tiba-tiba muncul dengan tubuh baru, lalu menyerahkan iblis hidup-hidup? Hanya ada satu kemungkinan: seseorang telah memperbaikinya.

Dan siapa di dunia ini yang punya kemampuan memperbaiki Libra?

Bukan hanya sembarang alkemis. Dia harus cukup kuat untuk menaklukkan makam tempat Libra terbaring. Harus cukup gila untuk melakukannya. Dan harus cukup berani untuk mengangkutnya keluar sambil menipu dunia bahwa golem itu hancur.

Hanya ada dua orang seperti itu: Megrez… atau aku.

Dan aku rasa… Merak sudah menyimpulkan jawabannya.

“Golem itu… Brudzewski XVII, bukan?”

“Bukan. Aku Copernicus IV.”

“…Yah, entahlah, terserah. Tapi bisakah kau ikut ke kastil? Dan bawa juga temanmu, kalau perlu.”

Nada bicara Merak tak memberi ruang untuk penolakan. Tapi Libra menjawab tanpa ekspresi:

“Saya menolak. Anda tidak memiliki otoritas untuk memberi perintah kepada saya.”

“Ah… a-aku akan sangat menghargainya jika kamu tidak mengatakan itu begitu tajam dan… ikut saja...”

Oi. Raja. Kau menyerah terlalu cepat.

Kalau dibiarkan, Merak akan langsung mengubur dirinya dalam rasa minder.

Yah, saatnya turun tangan.

Aku mengenakan kembali jubah dan muncul di depan mereka—jubah penyamaran yang sebenarnya sudah tak terlalu kupedulikan.

“Yah, tak apa. Ini undangan dari Raja, bukan? Kenapa kita tak terima saja?”

“Jika itu perintah Tuanku, saya akan patuhi.”

Begitu aku muncul, Libra langsung berganti posisi. Berdiri setengah langkah di belakangku. Penuh hormat, seperti bawahan sejati. Dina dan Aries pun ikut mengikutiku dari samping.

Dan Aigokeros? Masih diam, bersembunyi di bayanganku seperti biasa. Tak perlu diumumkan.

“Aku benar-benar berterima kasih… Mari, kita pergi. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan.”

Merak mencoba bersikap tenang di hadapan rakyatnya. Tapi dari cara dia berjalan, dari punggungnya yang lemas, aku bisa lihat—dia kehilangan segalanya. Tak ada wibawa. Tak ada haki.

Bahkan Megrez pun, dengan segala kekacauannya, masih memancarkan aura pemimpin. Tapi Merak? Ini seperti melihat pemuda biasa tersesat di tengah badai.

Dulu, saat masih dalam game, Merak selalu menjadi penyeimbang.

Dia tak pernah jadi pemimpin. Tak pula pengikut. Tapi dia membaca suasana. Mengatur ritme. Memberi buff dan support tepat saat dibutuhkan—bahkan sebelum kau tahu kau membutuhkannya.

Dia adalah pendukung terbaik.

Dan kini…

Apakah semua itu cuma ilusiku sendiri?

Mungkin dia hanya terlihat bijak karena tak pernah menentang. Mungkin dia hanya tidak percaya diri. Mungkin dia hanya mengikuti arus. Dan aku yang bodoh ini… membayangkan dia sebagai pemimpin ideal.

Jika memang begitu… maka ini masalah.

Raja seperti ini akan menghancurkan negara dari dalam.

Kami tiba di ruang pribadinya.

Dia menuangkan teh untuk kami semua. Teh daun berkualitas tinggi dari negara Draupnir—negara pertanian milik mendiang Raja Dubhe.

Rasanya… luar biasa. Bahkan aku yang terbiasa dengan teh kaleng bisa merasakannya.

“Teh ini dibuat dari daun teh impor terbaik. Silakan.”

Dina, tentu saja, menjelaskan segalanya. Mulai dari negara Dubhe, komoditas utama mereka, sampai ke sejarah ekonomi negara ini.

Lalu, tibalah momen yang kutunggu.

“Ngomong-ngomong… bisa kau buka tudungmu dan perlihatkan wajahmu?”

“Umu, baiklah.”

Tak ada orang lain di sini. Jadi tak masalah.

Aku buka tudungku—dan menunjukkan wajah Ruphas.

Merak menatapku, matanya membulat… lalu menunduk.

“Sudah kuduga… Itu kau. Ruphas. Kau hidup…”

…Dan saat itulah aku tahu.

Dia bukan pemain.

Merak adalah penduduk asli dunia ini. Seorang NPC. Seorang tokoh dunia yang kini memikul beban dunia nyata.

Aku merasa sedikit kecewa.

“Sebaliknya, kamu… berubah. Sangat lemah sekarang.”

“Tampak seperti itu, ya?”

Dia tersenyum lemah.

“Bukan itu… Bukan itu, Ruphas. Aku memang lemah sejak awal. Aku tak pernah pantas jadi Raja.”

Dia tertawa, memegangi kepalanya. Wajahnya jauh dari bayangan "Raja Langit". Ini hanya… pria muda yang rapuh.

“Dulu, ada kau. Ada Alioth. Dubhe. Semuanya berdiri di depan. Aku hanya... mengikuti dari belakang.”

Topeng itu jatuh. Semua martabat lenyap.

Ini wajah aslinya.

Dan... dia bukan Raja.

“Apa dia… baik-baik saja?” tanya Dina.

“Pertama kali aku tahu dia seperti ini,” jawabku pelan.

Dia bukan seperti Megrez, yang masih bisa bertahan meski dihina.

Merak… bisa mati hanya karena stres.

“Aku tak seharusnya jadi Raja… Kau yang seharusnya tetap jadi Raja… Kenapa aku malah bertarung melawanmu 200 tahun lalu… Aku yang seharusnya mati…”

Oke. Ini sudah kelewatan.

Kalau dibiarkan, dia benar-benar bisa bunuh diri.

Dan aku? Bukan tipe orang yang suka berkhotbah. Tapi... negara ini bisa hancur jika aku tidak lakukan apa-apa.

Baiklah.

Aku berdiri. Menendang kursinya.

Dengan kasar, aku menarik kerahnya dan memaksanya berdiri.

“Diam, bodoh. Sudah cukup dengan rengekanmu. Kau menyebutku badut yang kalah karena kecelakaan?!”

Aku bukan Ruphas miliknya. Tapi bahkan aku merasa terhina.

Kalau dia, si pemenang, merasa menyesal… lalu aku ini apa?

Apa aku cuma orang konyol yang kalah tanpa sengaja?

“Tegakkan kepala. Banggalah. Kau adalah orang yang mengalahkan Ruphas Mafahl. Jangan bersikap menyedihkan!”

Dia memandangku… dan akhirnya menangis.

“Aku… tak bisa melawanmu. Kau tak berubah. Masih seperti dulu, percaya diri dan teguh.”

“Aku juga sudah sedikit berubah,” gumamku, melepas kerahnya.

Aku membiarkannya duduk kembali.

Sudah cukup.

“Negara ini milikmu. Aku tak akan campur tangan. Selesaikan masalahmu sendiri, Raja Langit.”

Aku berbalik dan pergi. Dina dan yang lain mengikutiku diam-diam.

“Kau menang melawanku. Buktikan bahwa kau bisa menyelesaikan masalah ini. Jangan buat aku terlihat seperti orang bodoh.”

Kalau dia gagal... maka aku benar-benar akan merasa seperti badut.


Novel Bos Terakhir Chapter 36

Bab 36 – Tebasan Kilat Libai

Meski Aries dan aku sedikit terguncang saat Aigokeros dengan polosnya berkata “Aku ingat Dina”, kami akhirnya kembali ke kota dengan aman—dengan satu tambahan anggota baru.

Untuk sementara waktu, aku memintanya menyamar dalam wujud manusia.

Penampilannya? Seorang pria dewasa berpakaian pelayan hitam klasik, mengenakan monocle di mata kiri, dan rambutnya… putih, kasar, keriting—mirip domba. Tingginya kira-kira 175 cm. Kesan pertama: banci elegan bercita rasa gotik.

Dan—yang mengejutkan—dia bisa bersembunyi dalam bayangan seseorang. Sekarang, dia bersembunyi di bayanganku.

Kemampuan ini... tidak ada di game. Tapi kalau kupikir lagi, aku pernah baca latar belakang monster iblis yang bisa bersembunyi di bayangan orang.

Ah ya. Sekalian, aku cek statusnya.

[Aigokeros – Salah Satu dari Dua Belas Bintang Surgawi]
Level: 800
Ras: Raja Iblis
Atribut: Bulan
HP: 72.000 | SP: 10.100
STR: 3.150 | DEX: 4.148 | VIT: 3.453
INT: 6.183 | AGI: 4.140 | MND: 5.280
LUK: 3.000

Jelas sekali—dia pengguna sihir gangguan. Tidak terlalu condong ke satu arah, tapi sangat kuat. Dan itu bagus, karena perannya memang bukan DPS utama. Yang penting: jangan sampai dia mati duluan.

Aku juga memperbaiki pakaian Aries. Meski dia pria, tampilan bajunya terlalu terbuka. Aku khawatir dia bakal diserang predator malam.

Ngomong-ngomong…

Kita memang berhasil pulang. Tapi...

—Apa yang harus kulakukan sekarang?

Situasi di luar tidak berubah. Dua kubu warga masih mengepung kastil pusat. Tatapan saling menghunus. Debuff Madness sudah lama hilang, tapi haus darah mereka belum surut.

Mereka sudah... membakar dirinya sendiri.

Untungnya, belum pecah jadi konflik terbuka. Dan semua itu… karena satu orang.

Merak.

Dia berdiri di tengah, menahan dua arus emosi yang siap meledak.

Pria berambut hijau zamrud itu… terlihat jauh berbeda dari bayanganku. Tubuhnya kurus, tatapannya kosong. Jubah putih dan mantel biru tampak menggantung longgar di tubuhnya. Dan di satu sisi punggungnya, hanya satu sayap yang tersisa.

Tidak salah lagi. Itu Merak—salah satu dari Tujuh Pahlawan.

Kucoba lihat statusnya.

[Merak]
Level: 500 | Ras: Flügel | Atribut: Kayu
Kelas: Acolyte 100, Priest 100, Esper 100, Archer 100, Monster Tamer 100
HP: 55.200 | SP: 5.301
STR: 3.750 | DEX: 2.920 | VIT: 3.009
INT: 2.003 | AGI: 2.444 | MND: 4.980
LUK: 2.711
Status Negatif: [Sayap Cacat], [Stigma Pecundang]

“…Jadi sayapmu dicuri, ya.”

Bagi flügel, sayap adalah harga diri mereka. Kalau dia orang dunia ini, bukan pemain sepertiku, kehilangan sayap itu… hukuman terburuk.

Bahkan jika dia bisa menggantinya dengan sihir—itu tetap cuma pengganti. Ilusi. Bukan jati diri.

“Setelah kalian kalah dua ratus tahun lalu, Raja Iblis mengambil bagian tubuh setiap pahlawan,” kata Aigokeros.
“Megrez dan Phecda kehilangan kaki. Merak, sayapnya. Alioth kehilangan penglihatan. Mizar kehilangan lengannya. Dubhe kehilangan taring dan cakarnya.”
“…Kejam sekali,” gumamku. “Benetnash?”
“Dia tak ikut bertarung. Setelah Ruphas-sama pergi, dia seperti kehilangan jiwa. Mengurung diri dalam peti mati.”

Sial.

Dulu kami memanggil Raja Iblis sebagai Last Boss-san sambil bercanda. Tapi kini, semua itu bukan lelucon lagi. Dia benar-benar... monster pamungkas.

Aku tak yakin bisa menanganinya bahkan jika semua bintangku terkumpul kembali.

“Berhenti, bangsaku!” Merak memohon. “Jangan terprovokasi oleh kebencian! Ini yang diinginkan para iblis! Kenapa kita tidak mencoba saling memahami!?”

Tapi tak ada yang menjawab. Penduduk tak mendengar. Mereka hanya menatap satu sama lain—siap menghunus pisau kapan saja.

Kalau begini terus… satu percikan saja cukup untuk memulai perang.

Dan tepat saat aku berpikir begitu—

—DUGHHHHH!!!

Sesuatu menghantam tanah dengan ledakan dahsyat.

Seseorang jatuh dari langit, menembus atmosfer dan menghancurkan tanah. Dan saat debu menghilang, dia berdiri di tengah lapangan.

Gadis berambut cokelat muda, dengan Sky Jet di bahunya. Di tangannya, terseret seorang pria dengan tubuh remuk—Jupiter.

—Libra.

“Tepat waktu,” gumamku sambil mengepalkan tinju. “Bagus sekali, Libra.”

Dia datang. Dan dia datang dengan hasil.

Kini, kita hanya perlu mengungkap kebenaran, dan insiden ini selesai.

“Ka-Kau… jangan-jangan…”

Merak mengenali sosok Libra. Tapi sebelum dia bisa berkata lebih jauh, Libra mengangkat tangan, menyela.

“Bukan. Aku hanya golem yang lewat. Brudzewski XVII.”

…Oi. Bahkan orang sekitar mulai bisik-bisik.

“Bukan Copernicus IV, ya?”

“Itu juga bisa.”

Libra, jangan ubah nama alias seenaknya.

Lalu—dengan satu ayunan santai, dia melempar tubuh Jupiter ke tanah. POK. Seolah cuma membuang sampah.

“Silakan lakukan sesuka kalian. Nikmati.”

…………

………………

Oi.

Semuanya terdiam. Bahkan Merak beku.

Penduduk saling pandang dengan ekspresi “...apa barusan?”

Libra benar-benar... bukan ahli komunikasi.

“Dina, tolong. Bantu jelaskan maksudnya.”

“Y-Ya! Serahkan padaku!”

Aku menyembunyikan wajahku dan mempersilakan Dina maju ke tengah kerumunan.

“Semua orang! Tolong tenang dan dengarkan!”

“Pria yang tergeletak di sini bernama Jupiter. Dia adalah salah satu dari Tujuh Tokoh Iblis.”

Kalimat itu… menyayat udara.

Tujuh Tokoh Iblis. Simbol teror. Bahkan para flügel membeku.

“Mungkin sebagian dari kalian mengenalnya. Dia berbaur di antara kalian—menghasut, menyulut kebencian, menyamar sebagai manusia, dan memanipulasi kalian. Kalian ingin tahu siapa yang paling diuntungkan dari konflik ini? Iblis. Dia.”

Dina luar biasa. Kalimatnya langsung ke inti. Retorika sempurna. Dia tahu persis kapan harus bicara, dan apa yang harus ditekan.

“Kalian ingin saling membunuh. Aku tahu. Tapi coba pikir. Apa yang akan terjadi setelahnya? Negara ini hancur, lalu siapa yang tertawa di atas puingnya? Dia!”

Para warga mulai saling melirik. Beberapa yang sebelumnya berteriak, kini menunduk. Gemuruh emosi mengendur—sedikit.

Dina mengubah fokus mereka. Dari ‘kami melawan mereka’ menjadi ‘kita melawan dia’. Itu teknik klasik psikologi: displacement. Ubah target kemarahan ke sesuatu yang bisa diterima semua orang.

Tapi di balik keberhasilan itu…

Aku merasa… tidak enak.

Karena aku tahu. Ini manipulasi.

Dan yang lebih buruk, ini perintah dariku.

“…Kalian semua… penipu…!” teriak Jupiter, akhirnya bicara.

Matanya membelalak, penuh kebencian. Sorotnya menusuk Dina seperti hendak membunuh.

“Sialan! Jadi ini semua jebakan!? Libra datang terlalu cepat! Dari awal... KALIAN SEMUA MENIPUKU!!!”

Dan dengan teriakan itu, dia berubah jadi angin. Menerjang maju—menuju Dina.

Aku refleks siap maju… Tapi aku tak perlu.

Tangan logam menerobos tubuh Jupiter dari belakang.

“A-GH—KHH…!”

Libra berdiri tenang.

“Sudah kubilang. Kalau kau menyerang siapa pun, kontrakmu batal. Dan kini—kontrak batal.”

Dia menusuk dadanya tanpa ragu.

Lalu…

SHRAKK.

Kepala Jupiter terpotong. Tubuhnya rubuh. Hilang. Tak bersisa.

Libra hanya menepuk rok, seolah mengusir debu.

Tenang. Dingin. Tanpa emosi.

Dan aku hanya bisa bersyukur dia di pihakku.

Tapi…

Aku tak bisa melupakan satu hal.

Sebelum dia mati, sorot mata Jupiter. Kata-kata terakhirnya.

Dia seperti orang yang dikhianati. Dan sorot kebencian itu bukan ke Libra. Tapi ke Dina.

Apakah… ada yang belum kuketahui?

Aku hanya bisa menatap tanah, menahan napas.

…Kenapa rasanya, ada yang salah?