Novel Bos Terakhir Chapter 29

Bab 29: Jupiter Melarikan Diri

Negara para flügel, Gjallarhorn.

Sejak dulu, konflik terus membara karena satu hal: warna sayap. Hasilnya, ibu kota terbagi menjadi dua—timur dan barat. Dan di kota yang bersalut putih ini, berdirilah seorang gadis muda bukan dari ras flügel.

Gadis itu adalah Dina, dengan rambut biru laut menjuntai sampai lutut dan mata berkilau dalam warna serupa. Ia berdiri di depan menara jam pusat kota, tangan terlipat, bibirnya mengerucut kesal.

"…Lama banget."

Ia tengah menunggu seseorang. Tujuannya sederhana tapi berisiko: bertukar informasi. Ia harus mendapatkan apa yang ia butuhkan—tanpa membocorkan apa pun tentang dirinya. Penuh taktik, penuh tipu muslihat. Ia sudah mengulang-ulang skenario di benaknya.

Tapi sampai detik ini… orang itu tak muncul juga.

"Sungguh, membuat wanita menunggu lama begini… Inilah kenapa bangsa ini payah."

Sambil mendengus, Dina melangkah pergi. Jika orang itu tidak datang, maka ia sendiri yang akan mencarinya. Dengan langkah ringan, ia berjalan menyusuri kota yang seluruh bangunannya nyaris putih bersih, matanya mengamati kehidupan flügel di sekitarnya.

Sebagai ras yang bisa terbang, gaya hidup flügel memang unik. Banyak rumah memiliki pintu masuk di lantai dua atau tiga. Tangga-tangga melayang ke dinding luar. Salah langkah bisa membuat orang terjun bebas, tapi para penduduk tampaknya tak peduli. Mereka terbiasa.

Sebaliknya, jalan-jalan di kota ini sempit—karena sayap mereka yang lebar justru membuat mereka mudah bertabrakan. Apa pun di sini, baik yang sederhana maupun rumit, selalu dimulai dari sayap.

Itulah identitas flügel.

Di dunia ini, bahkan ada pepatah yang berbunyi: “Yang tak bersayap, hanyalah makhluk biasa.” Tak heran mereka begitu terobsesi pada bentuk dan warna sayap. Dan mereka yang tak sesuai—mereka yang berbeda—dipandang hina.

"...Hm?"

Langkah Dina terhenti.

Sosok berjubah putih muncul di kejauhan. Penampilannya mirip Ruphas, seluruh tubuh tertutup kain, menyembunyikan wajah dan sayap. Jubahnya putih, tapi maksudnya tetap sama—menghindari identitas.

Orang biasa mungkin takkan menyadari keanehan ini. Tapi Dina tahu. Ia sudah cukup lama mengamati Ruphas untuk mengenali tanda-tanda semacam ini.

—Ini bisa jadi peluang.

Senyumnya berubah, manis tapi penuh tipu daya. Kalau orang itu mencurigakan, dia akan menguntitnya. Toh orang yang seharusnya ia temui telah gagal hadir, jadi ia bebas mengganti target. Langkahnya mulai mengikuti diam-diam.

Sasaran itu masuk ke daerah terpencil. Dina menyusup diam-diam, seolah angin. Baginya, menipu dan mengintai adalah hal yang alami—ia bahkan percaya dirinya bisa mengelabui Ruphas atau Raja Iblis sekalipun.

Orang berjubah putih itu memasuki sebuah gubuk tua penuh debu.

Dina mendekat, menyelipkan tubuh ke celah pintu. Ia menyipitkan mata. Di dalam, ada enam orang—termasuk pria berjubah. Mereka berpakaian mewah, tampak seperti orang penting.

Rapat rahasia?

Tentu saja ini mencurigakan. Dina menempelkan telinganya ke pintu.

“Kau terlambat, Reid.”

“Maaf. Rapat sebelumnya terlalu lama.”

Reid, ya?

Saat pria itu membuka jubahnya, tampaklah sayap putih mengembang. Tubuhnya kekar, usianya kira-kira empat puluh. Tatapannya tajam. Bukan orang biasa.

"Jadi, bagaimana tanggapan Raja?"

“Seperti yang sudah kuduga. Raja oportunis itu tetap menolak. Dia mengabaikan semua saranku. Dia tak mengerti bahwa sayap-sayap kotor itu akan semakin banyak jika dibiarkan.”

Sayap kotor.

Dina langsung tahu: ini adalah kelompok garis keras flügel bersayap putih. Mereka memandang rendah mereka yang bersayap campuran. Dan sekarang… mereka ingin menghapusnya.

"Seperti yang diduga...?"

"Ya. Kita harus menghancurkan mereka dengan tangan kita sendiri."

Dina menahan napas. Ini gawat.

Mereka bukan cuma antipati. Mereka berniat melakukan pembantaian.

“Tentu, ini akan mengotori tangan kita. Tapi demi keadilan, kita harus melakukannya. Orang baik terkadang harus menjadi jahat.”

Kata keadilan membuat Dina nyaris tertawa. Betapa seringnya kebencian bersembunyi di balik kata itu. Mereka merasa dirinya mulia, layak menodai tangan demi dunia yang lebih baik.

Konyol.

Kata keadilan dari mulut mereka lebih kotor dari lumpur.

"Selain itu… kami punya informasi bahwa sayap kotor bersiap untuk menyerang lebih dulu. Kalau kita menunggu, bisa terlambat."

Begitulah biasanya—merasa diri korban.

Ketika mereka yakin akan menjadi korban, maka semua tindakan mereka menjadi “pembelaan diri.” Padahal sebenarnya... mereka hanya butuh pembenaran.

“Pasukan sukarelawan sudah terbentuk. Mereka semua sepemikiran. Tak ada keraguan.”

Sorak-sorai terdengar dari dalam. Dina menggigit bibir. Ini bukan minoritas. Ini nyaris massa.

“Selain itu, kita punya sekutu dari luar. Meski bukan ras bersayap, Jupiter-dono setuju mendukung kita. Informasi darinya sangat berguna.”

Jupiter? Iblis itu?

Dia yang menyulut bara ini, rupanya. Meski begitu, aneh juga dia tak hadir. Harusnya, dalam rapat sepenting ini, dia ada untuk memprovokasi langsung. Tapi dia tak muncul.

Ah… sudahlah. Dina sudah mendapatkan cukup informasi.

Dengan senyum manis yang menusuk seperti pisau, ia menghilang dari sana… seperti kabut.

Sementara itu, di tempat lain—pertarungan antara Libra dan Jupiter terus berlangsung.

Bilah-bilah angin menghantam Libra dari segala arah: wajah, tangan, dada, kaki. Tapi dia tak goyah. Seolah badai itu tak lebih dari angin musim semi.

Libra adalah logam. Tubuhnya telah diperbaiki sepenuhnya oleh Ruphas. Tak ada goresan. Bahkan senapan mesin tua yang sempat rusak oleh waktu tak bisa dibandingkan dengan tubuhnya sekarang.

Sementara Jupiter… dia sudah kehabisan akal. Serangan terbaiknya, bahkan yang menguras HP, tak bisa menembus.

Sebaliknya, setiap serangan Libra adalah serangan maut. Bila satu saja menghantam—Jupiter tamat. Libra terus belajar dari gerakan musuhnya, menyempurnakan akurasi. Jika dia benar-benar serius dan menggunakan Brachium, maka pertarungan ini sudah lama berakhir.

Tapi Libra tidak memakainya.

Kenapa?

Karena Brachium disimpan sebagai senjata terakhir—untuk menghancurkan seluruh negara Gjallarhorn jika terbukti menjadi musuh Ruphas. Maka ia tak boleh disia-siakan untuk satu iblis. Ia adalah jaminan… penghukum massal.

Jupiter masih hidup… hanya karena Libra belum merasa perlu mengaktifkannya.

"Pertarungan ini mustahil ku menangkan," gumam Jupiter. Wajahnya masih menyeringai, tapi tubuhnya penuh luka. Semua luka ringan, tapi terus menumpuk. Gelombang kejut saja cukup membuatnya babak belur. Dan itu baru getarannya.

Sementara Libra… berdiri tenang, bahkan setelah beberapa kali terkena serangan langsung.

Baja.

Pisau angin, sekuat apa pun, tak bisa memotong baja. Libra adalah lawan alami bagi Jupiter—dan sekaligus malaikat mautnya.

Jika Jupiter bukan petarung paling lincah di antara Tujuh Tokoh, mungkin dia sudah jadi debu.

"Sudah cukup. Aku mundur!"

"...!"

Libra merespons instan—senapan mesin terangkat, siap membidik punggung musuh.

Namun... kota ini bukan tempat ideal untuk pengejaran. Bangunan terlalu padat, lorong terlalu sempit. Sementara Jupiter, dengan kendali anginnya, bisa berkelit di setiap tikungan.

Ia melesat masuk ke kerumunan. Menghilang di balik sudut-sudut sempit. Tak bisa dilacak dengan suara—dinding anginnya menutup semuanya.

Pengejaran lebih lanjut hanya akan buang waktu.

Libra menghentikan langkah.

"..."

Chink. Suara logam terdengar saat dia memiringkan kepala. Telinganya mendengar napas Ruphas dari dua ratus kilometer jauhnya. Tuannya ada di kota hitam… di kuil.

Tidak dalam bahaya. Tapi semalam, Libra mencatat detak jantung tuannya melonjak. Mimpi buruk? Kenangan masa lalu?

Ia tak tahu. Tapi ia tahu satu hal: kota ini tak baik untuk tuannya.

Maka Libra menyimpulkan satu hal sederhana:

Singkirkan semua gangguan di tempat ini. Demi Ruphas-sama.

Musuh kali ini terlalu cepat. Tapi dia telah mencatat segalanya—cara bergeraknya, gaya serangannya, kelemahannya. Untuk pertemuan berikutnya, ia akan siap.

Tak perlu Brachium. Cukup gertakan.

Dan saat waktu itu tiba… sang iblis tak akan lolos lagi.

Novel Bos Terakhir Chapter 28

Bab 28: Libra, Aku Memilihmu

Libra terbang tinggi di atas kota putih itu, mengawasi segalanya dari ketinggian seribu lima ratus meter. Bahkan para flügel tak sanggup terbang setinggi ini. Posisi sempurna untuk memantau tanpa terdeteksi.

Dari sini, bahkan rambut yang berjatuhan di jalanan pun bisa dia hitung.

Bagi Libra, flügel bersayap putih adalah musuh—karena merekalah yang mencemooh dan mengucilkan tuannya hanya karena warna sayapnya yang hitam. Musuh tuannya adalah musuhnya. Dan sebagai senjata hidup, Libra tidak mengenal kompromi.

Sejauh ini, dia belum mengambil tindakan apa pun karena tak ada perintah dari Ruphas. Tapi, cukup satu gerakan yang dianggap ancaman... maka kota ini akan menjadi target serangan Brachium. Tak akan ada belas kasihan. Tak akan ada ampun.

Satu-satunya tolok ukur baginya hanyalah: apakah sesuatu itu menguntungkan Ruphas-sama atau tidak. Jika iya, dia akan lindungi. Jika tidak—bahkan bayi baru lahir pun akan dia musnahkan.

Satu-satunya pengecualian adalah penciptanya, Mizar. Tapi Mizar sudah lama tiada.

“...Menghitung tingkat aktivitas: bernapas, bergerak, berbicara... Jumlah flügel yang mengenali identitas Master: nol. Tak ada deteksi niat bermusuhan... Tidak perlu menyerang. Melanjutkan pengamatan dalam status siaga.”

Dengan wajah tanpa emosi, seperti topeng logam yang tak bernyawa, Libra terus melakukan pengawasan udara. Setiap wajah, kebiasaan, dan ciri fisik warga telah dia simpan dalam ingatan. Tak ada yang bisa lepas dari pengamatan.

Lalu dia melihatnya—Dina, rekannya. Wanita itu tampak mondar-mandir di menara jam pusat kota, seolah sedang menunggu seseorang. Libra tidak memiliki data lengkap soal Dina. Tapi satu hal pasti: dia sangat ahli dalam mengumpulkan informasi dan cukup akrab dengan kota ini. Mungkin dia sedang menunggu kontak penting.

—!

Alarm tak terlihat berkedip dalam sistemnya.

Seseorang mendekat—seorang pria tampan berambut hijau dan berkacamata hitam. Tak punya sayap, jadi tampak seperti manusia biasa. Tapi Libra bukan makhluk yang mudah tertipu. Dalam sekejap, dia tembus melihat yang tersembunyi.

“...Terdeteksi ketidaksesuaian pigmen kulit. Posisi bibir atas mengungkap gigi yang abnormal. Pupil vertikal teridentifikasi di balik celah kacamata... Identifikasi: makhluk iblis yang menyamar. Probabilitas: 98 persen. Target diprediksi menuju menara jam. Dina-sama dalam potensi bahaya. Status: siap tempur.”

Mata mekanis Libra memancarkan cahaya dingin. Roknya berkibar di langit saat dua senapan mesin muncul dari balik tubuhnya. Tanpa ragu, ia meluncur menukik dari langit—seperti petir yang menghantam bumi.

Ledakan dahsyat mengguncang kota saat ia mendarat, menghancurkan tanah dan menerbangkan puing-puing ke segala arah. Dari balik debu yang mengepul, sosok logam Libra melangkah maju, menatap lurus ke arah pria iblis itu.

“...Golem? Kenapa bisa ada di kota ini?”

“Peringatan untuk entitas iblis. Jika kau mendekat, aku akan mengeliminasi dengan kekuatan penuh. Hidupmu tidak dijamin. Segeralah mundur.”

Waspada sepenuhnya, Libra bersiap menembak kapan saja. Sensor-sensornya membaca data target dengan kecepatan luar biasa. Level 320. HP 25.000. Ancaman besar, tapi tak mustahil ditaklukkan.

“Apa ini soal iblis? Seperti yang kau lihat, aku hanyalah seorang turis biasa yang sedang jalan-jalan.”

“Mata di balik kacamata, struktur tulang, kualitas daging... Kesimpulan final: kamu adalah iblis dalam penyamaran.”

“...Hmph. Jadi penyamaranku terbongkar, ya? Itu akan membuat semuanya lebih... sederhana.”

Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, Libra sudah mendeteksi ketegangan otot, postur menyerang, dan tekukan lutut.

Bahaya. Serangan akan dimulai.

Tanah meledak saat sang pria meluncurkan tinjunya. Tapi Libra dengan tenang menahan pukulan itu. Logam keras menahan kekuatan iblis. Bunyi dentuman logam dan suara jari patah terdengar bersamaan.

“- !?”

“Tindakan bermusuhan terdeteksi. Beralih ke mode serang.”

Satu ayunan tangan Libra mendorongnya mundur. Dalam sekejap, kedua mata Libra menembakkan sinar laser ke tanah tempat pria itu berdiri—

Tapi dia sudah menghilang!

Iblis itu bergerak ke titik buta. Tapi, bagi Libra, tak ada yang namanya titik buta. Lengan robotiknya berputar ke arah tak lazim, dan tinju itu kembali ditahan. Kepala Libra berputar 180 derajat. ZRAK!—laser kembali ditembakkan.

"Whoa!"

Pria itu menghindar. Libra mengejarnya, lalu dengan satu gerakan presisi—klik—mengangkat senapan mesin.

Tembakan otomatis meledak seperti badai. Seribu peluru per menit, dua ribu bila digabungkan. Tanpa peredam suara, ledakan itu menggema di seluruh kota.

Pria itu menghindar, melompat ke dinding, lalu terbang di udara. Tapi di udara, dia menjadi target terbuka. Libra langsung mengunci bidikan.

“Memilih skill. Membuka pembatas lengan kanan. Zubenelgenubi—aktif!”

Lengan kanannya berubah—jari-jari dan telapak tangan terbuka, lalu berputar dan membentuk laras meriam sepanjang satu meter.

“—Tembak.”

Dalam sekejap, gelombang cahaya putih menyapu udara, disertai kilatan ungu menyilaukan. Rumah-rumah di sekitar gemetar dan jendelanya pecah.

Namun, sesaat sebelum serangan mengenai sasarannya… angin kencang meniup sang iblis ke samping. Dia meluncur di udara, memutar tubuhnya seolah menunggang badai, lalu menyerang balik Libra.

Tembakan senapan mesin kembali dilepaskan—tapi peluru-peluru itu tak menyentuhnya. Seolah angin menggiring semua peluru ke arah lain.

“Paham!”

Libra menangkis serangan balik, tapi senapan mesinnya terbelah dua!

Bukan serangan biasa—angin itu mengasah bilah tak kasat mata yang memotong logam seolah-olah hanya kertas.

“Kau bisa memanipulasi angin sepenuhnya… Atribut Wood, ya?”

“Tidak kusangka kau bisa menebaknya. Cukup tajam juga. Benar, aku pengguna kekuatan alam—Atribut Kayu. Aku adalah Jupiter, salah satu dari Tujuh Tokoh Iblis. Dan kau, boneka… siapa namamu?”

Pria itu, Jupiter, kini menampakkan wujud aslinya. Kulitnya berubah biru tua, kacamata ditanggalkan, dan matanya menyala hijau dengan pupil vertikal.

Libra pun mengembalikan lengannya ke bentuk semula, lalu mengangkat roknya sedikit sebagai salam formal.

“Salam, Jupiter-sama. Aku adalah Libra dari Timbangan, salah satu dari Dua Belas Bintang Surgawi. Senang bertemu.”

“Oh… jadi inilah Libra, si pemilik daya tembak terbesar dari Dua Belas Bintang. Kukira kau sudah hancur di makam kerajaan. Ternyata cuma rumor.”

Jupiter terkekeh, tangannya menyatu menjadi bilah angin tak kasat mata.

Atribut Kayu memang mengendalikan alam—dan angin adalah bagiannya. Dalam hal kompatibilitas, Metal unggul terhadap Wood.

Dan atribut Libra adalah Metal. Tubuh dan senjatanya bisa diperkuat hingga mencapai kekerasan luar biasa, menyerupai alkimia. Dalam konfrontasi langsung, Libra berada di atas angin. Hitungan probabilitas kemenangan: 99% ke atas.

Tapi kesombongan bisa membunuh. Libra tidak akan ceroboh.

“Memilih skill. Membuka pembatas lengan kiri. Zubeneschamali—aktif!”

Lengan kiri berubah. Tangan dan lengan terserap, digantikan cahaya putih kebiruan berbentuk pedang. Bila Zubenelgenubi untuk serangan jarak jauh, maka Zubeneschamali adalah senjata jarak dekat yang mutlak.

"—Aku datang."

Dengan suara datar, Libra menerjang. Mesin pendorong di punggungnya menyala—dan ia melesat seperti meteor ke arah musuhnya.

Sementara itu, taman yang biasanya ramai kini sunyi. Hanya ada dua sosok yang berdiri saling berhadapan dalam penghalang sihir yang membuat orang biasa menjauh.

Aries dari Dua Belas Bintang Surgawi—domba setia.

Dan Aigokeros—kambing yang berbahaya.

Ini bukan pertemuan hangat. Tak ada sapaan akrab. Mereka diam, namun siap menghancurkan satu sama lain kapan saja.

“Aigokeros… kenapa kamu ada di sini?”

“Pertanyaan bodoh. Kau tahu jawabannya. Aku hanya ingin mengakhiri hidup para Pahlawan.”

Suara itu—berlapis-lapis, menggema langsung ke dalam kepala. Mulut Aigokeros tak bergerak, tapi kata-katanya menghantam saraf seperti kuku menggores kaca. Tak nyaman. Menyakitkan. Bagi manusia biasa, mendengar suaranya saja bisa membuat gila.

Dia bukan sekadar makhluk iblis. Dia adalah sesuatu yang jauh lebih dalam.

“Jadi… kau bersedia tunduk pada iblis demi itu?”

“Tentu. Mereka memakai kekuatanku, aku memakai mereka. Kita punya musuh yang sama.”

Aries mengernyit. Ini… sudah melewati batas. Meski sama-sama ingin menghabisi Tujuh Pahlawan, menjual diri ke iblis bukan sesuatu yang bisa diterima.

"Aigokeros, ikut aku. Kembali ke sisi Ruphas-sama."

"...Tidak bisa. Bukan sekarang."

"Kenapa?!"

"Reuni dengan beliau… tentu saja aku ingin. Tapi selama musuh-musuh itu masih hidup, semuanya akan terulang. Aku akan kembali setelah menghapus semua jejak masa lalu itu. Setelah mereka... musnah."

Aigokeros tak bisa berhenti. Baginya, satu-satunya cara untuk menunjukkan kesetiaan adalah dengan menenggelamkan dunia dalam darah demi tuannya.

"Perpisahan, Aries. Saksikan saja... saat aku mengubah negara ini menjadi neraka sebagai persembahan untuk tuan kita."

Lalu ia menghilang.

Aries tidak mengejarnya. Belum saatnya. Ia menatap langit.

“Jika orang-orang di kota ini masih sama… jika mereka tetap menganiaya tuanku…”

Aries mengepalkan tangannya.

“…maka tak akan ada yang bisa menyelamatkan mereka.”

Novel Bos Terakhir Chapter 27

Bab 27: Aigokeros si Pembohong Muncul

“Baiklah, hari ini kita bersantai saja. Kelilingi ibu kota sepuasnya, tapi ingat, jangan bikin keributan.”

Pagi itu, aku memberi tahu Dina dan yang lainnya bahwa kami akan tinggal di ibu kota untuk sementara waktu. Aku ingin tahu lebih banyak soal negara yang dibangun oleh Merak. Juga… aku khawatir tentang faksi flügel bersayap campuran—mereka yang nasibnya mungkin mencerminkan milikku sendiri.

Tapi yang paling penting, aku harus mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Merak. Kami tidak bisa buru-buru pergi. Sejak tahu Megrez benar-benar eksis di dunia ini, aku mulai sedikit menyerah untuk berharap… tapi bukan berarti kemungkinan itu nol.

Pertanyaannya, bagaimana cara menghubungi Merak? Tidak seperti Megrez yang sudah pensiun, Merak masih menjabat sebagai pemimpin negara ini.

Negara ini dihuni sepenuhnya oleh para flügel, dan mengingat usia panjang mereka, struktur kekuasaan di sini hampir tak pernah berubah dalam dua ratus tahun. Artinya, akses ke Merak akan jauh lebih sulit dibanding Megrez.

“Aksi solo… Dari segi kekuatan tempur, tak masalah.”

“Jalan-jalan, ya… ke mana aku harus pergi?”

Libra dan Aries tampaknya tak keberatan dan cukup antusias. Yah, aku sebenarnya tak bisa bilang pasti soal Libra. Ekspresinya nyaris selalu sama. Tapi Dina? Jelas-jelas bersinar semangat.

“Kedengarannya menarik. Aku akan menyelidiki situasi faksi bersayap putih. Mungkin saja ada hal penting yang bisa kuketahui.”

Aku sendiri sulit untuk menyelidiki faksi bersayap putih. Jadi, kalau Dina yang turun tangan, itu akan sangat membantu. Meskipun kami berpencar, aku tak khawatir. Bahkan kalau para Tujuh Tokoh muncul, mereka bisa menghadapinya.

Libra dan Aries punya kekuatan tempur yang luar biasa. Sedangkan Dina… meski aku tak tahu kekuatannya pasti, dia cerdas dan bisa menjaga dirinya sendiri. Lagipula, dia bisa teleportasi. Kalau ada bahaya, dia tinggal lompat ke arahku.

“Kalau begitu, kita pisah dulu. Titik kumpulnya tetap di penginapan ini.”

Dengan begitu, kami pun berpisah. Dina langsung menghilang entah ke mana. Aries juga melesat ke arah berlawanan. Dan Libra… ya ampun, dia terbang lagi pakai mode jet yang bising itu. Sudah kubilang, jangan pakai yang itu, terlalu mencolok!

...Yah. Daripada mikirin itu, sebaiknya aku juga mulai menjelajah kota.


Aku melangkah keluar dari penginapan dan mulai menjelajah kota sendirian. Seperti yang kuduga, aku langsung menarik perhatian orang-orang. Wajar sih, dengan jubah merah yang menutupi seluruh tubuhku, aku memang mencolok. Tapi ya sudahlah. Untuk menyamar lebih baik, aku butuh sesuatu yang lebih masuk akal.

Menggunakan pakaian pria mungkin ide bagus. Toh Ruphas adalah perempuan, sedangkan aku aslinya pria. Jadi rasanya tidak akan terlalu mencurigakan. Hmm… mungkin aku bisa membuat pakaian pria lewat alkimia nanti.

"...Hm?"

Setelah berjalan sebentar, aku melihat sebuah bangunan besar, menyerupai kuil Yunani kuno dengan pilar-pilar tinggi. Tapi… warnanya hitam legam. Seluruh bangunan terlihat seperti dibalut malam pekat. Aura yang menyelubunginya pun... membuatku sedikit tidak nyaman.

Namun, rasa penasaranku lebih kuat. Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam.

Apa yang disembah di tempat seperti ini? Dewa jahat, mungkin?

Di dunia ini, hanya ada satu dewa sejati—Alovenus, sang dewi penciptaan. Meskipun ada entitas lain yang mengaku sebagai dewa, mereka hanyalah iblis yang mencoba melawan Alovenus. Ada juga lima naga elemental yang mengatur atribut—kecuali Logam dan Air, yang dipegang oleh sang dewi sendiri. Tapi mereka semua tak pernah muncul di dalam game.

Jadi… apa sebenarnya yang disembah di sini?

Setelah melewati beberapa penyembah dan masuk ke ruang utama, aku mendongak ke arah patung di tengah kuil—dan langsung tertegun.

Rambut panjang sampai pinggang.

Sayap hitam mengilat.

Mantel hitam mencolok yang dikenakan di atas gaun.

Tak salah lagi. Itu... aku.

Atau lebih tepatnya, Ruphas Mafahl. Sosok diriku.

"Patung ini…"

“Oh, pengunjung? Jarang-jarang ada yang baru kemari.”

Suara lembut terdengar dari sampingku. Seorang pemuda dengan sayap hitam kemerahan berdiri di sana, tersenyum ramah. Wajahnya biasa saja—tak tampan, tak jelek.

Flügel memang begitu. Berbeda dari elf, mereka jarang punya wajah yang luar biasa cantik. Penampilan mereka rata-rata. Dan karena standar kecantikan flügel bertumpu pada warna sayap, bukan wajah, tak banyak yang mempermasalahkan wajah mereka... kecuali benar-benar buruk rupa.

Sayap pria ini yang hitam kemerahan—jauh dari warna ideal—pasti membuat hidupnya tidak mudah.

“Kamu cukup kaget lihat patung itu, ya?”

“Ya… agak terkejut. Ini kuil yang memuja tokoh besar, ya?”

Wajahnya menggelap seketika. Wah, apa aku salah bicara? Tapi aku hanya bicara jujur. Lucu juga kalau dia tersinggung karena aku—yang sebenarnya adalah objek patung itu—mengkritik diriku sendiri.

“Memang, dunia luar menyebut Ruphas-sama sebagai penjahat besar. Tapi bagi kami… dia adalah penyelamat.”

“Begitu, ya… Ceritakan lebih lanjut.”

Sepertinya flügel bersayap campuran punya pandangan berbeda soal Ruphas. Mungkin dari sini aku bisa belajar lebih banyak tentang diriku—atau dirinya—yang dulu.

“Kau pasti tahu, betapa pentingnya warna sayap bagi para flügel.”

“Ya. Karena mereka dianggap keturunan malaikat, sayap putih jadi simbol kebanggaan, bukan?”

“Benar. Tapi tidak semua flügel lahir dengan sayap putih. Ada banyak, seperti aku, yang memiliki warna berbeda.”

Bagi flügel, warna sayap adalah standar kecantikan mutlak. Bentuk sayap menyusul. Wajah dan tubuh? Tak terlalu penting. Karena itu, mereka yang memiliki warna selain putih biasanya didiskriminasi. Bahkan sayap putih pun seringkali bukan putih murni—hanya putih pucat atau keabu-abuan. Tapi makin gelap warnanya, makin mereka dijauhi. Sayap hitam pekat? Mutlak diasingkan.

“Dulu, hidup kami sangat menyedihkan. Sekarang kami punya kota dan sedikit martabat, tapi dulu… kami bahkan tak dianggap sebagai sesama flügel. Di jalanan, kami dicaci. Kami tinggal di sudut-sudut kota, seperti kotoran yang dibuang. Tak ada pekerjaan. Kami kelaparan. Hanya karena warna sayap.”

Diskriminasi memang seperti itu. Bahkan alasan paling sepele bisa dijadikan pembenaran untuk menyakiti orang lain. Seperti yang pernah terjadi di dunia lama: manusia dalam posisi dominan seringkali tak sadar saat menjadi kejam.

Aku teringat pada Eksperimen Penjara Stanford, di mana mahasiswa biasa yang dijadikan penjaga bisa berubah menjadi penyiksa. Hanya perlu satu hal: kekuasaan.

“Namun, dia—Ruphas-sama—berbeda.”

Nada suaranya berubah. Mata pria itu berbinar dengan kekaguman.

“Sayapnya hitam. Tapi dia jauh lebih cantik daripada siapa pun. Saat kami meringkuk dalam ketakutan, dia menunjukkan bahwa keberadaan kami punya nilai. Dia bangkit, menaklukkan negara-negara, dan di bawah pemerintahannya, diskriminasi dihapuskan. Kami diperlakukan sebagai manusia seutuhnya.”

...Ya ampun. Dipuji di depan muka sendiri begini, rasanya geli juga.

“Aku tak suka pujian berlebihan. Tapi terima kasih… Atas kenangan baikmu.”

“Berkat dia, kami bisa bangga. Kami bukan lagi aib. Kami—flügel bersayap warna—juga layak dihormati.”

“...Tapi bukankah kalian kehilangan tanah air karena Dua Belas Bintang Surgawi yang dipimpin Ruphas?”

“Aku tak lupa. Tapi kurasa kami hanya menuai apa yang kami tanam. Kami mengkhianati Ruphas-sama, lalu mengalahkannya, dan karena kebodohan itu… iblis pun bangkit kembali. Jujur saja, kami seharusnya sudah musnah sejak saat itu.”

…Gawat. Aku bisa merasakan kemarahan yang menggelegak di balik senyum tenangnya. Dan semua itu ditujukan pada… Raja mereka saat ini.

“Kalau begitu, bukankah kata-katamu ini penghinaan bagi Raja Merak? Apa yang kalian pikirkan soal rajamu sendiri?”

Mata pria itu langsung berubah tajam, dingin seperti es. Bukan dingin yang tenang, tapi beku karena tak ada tempat untuk meluapkan amarah.

“Dia adalah raja terburuk yang pernah ada. Mereka menyebutnya pahlawan? Ha! Itu cuma lelucon.”

Sementara itu, Aries berjalan sendirian di jalanan kota yang perlahan gelap. Ia tak punya tujuan jelas. Tidak ada penyelidikan. Tidak ada tempat yang harus ia kunjungi. Ia hanya... mengisi waktu, hingga bisa kembali ke sisi tuannya.

Bagi Aries, kebahagiaan adalah mengabdi. Dan setelah dua ratus tahun terpisah, ia ingin membuktikan bahwa pengabdiannya masih setia. Ia rela melakukan apa pun.

Jujur saja, ia tidak tertarik menjelajah kota. Kalau bisa, ia lebih suka langsung kembali ke sisi Ruphas.

Namun, ia tahu itu bukan pilihan.

Ruphas tampak benar-benar tertarik pada kota ini. Aries... sebaliknya. Baginya, kota ini hanyalah lambang dari pengkhianatan Merak. Kalau bisa, ia ingin membakarnya sampai habis. Tapi, jika itu bertentangan dengan keinginan sang Tuan, maka ia akan menahan diri.

Dan karena itu… yang bisa ia lakukan hanya memastikan tidak ada gangguan dalam tamasya tuannya.

Khususnya… Tujuh Tokoh Iblis.

Bisa jadi mereka sedang merencanakan sesuatu di kota ini. Lagipula, Merak, Megrez, dan Benetnash—tiga dari Tujuh Pahlawan—masih hidup. Selama mereka ada, iblis tak bisa dengan bebas menguasai dunia.

Itulah mengapa Mars dari Tujuh Tokoh memanipulasinya untuk menyerang Svalinn. Jadi sangat mungkin kota ini menjadi target mereka berikutnya.

Dan seperti sudah ditakdirkan…

Langkah-langkah yang mengikuti dari belakang terasa jelas. Entah musuh itu sengaja menampakkan diri, atau terlalu percaya diri.

Aries tidak bodoh. Ia mengikuti arah ‘undangan’ itu dan akhirnya tiba di sebuah taman kosong. Sepi. Tak ada anak-anak. Tak ada orang. Padahal belum terlalu malam.

Sebuah penghalang sihir?

Sihir atribut bulan bisa digunakan untuk mencegah pertemuan—sejenis ilusi yang membuat orang menghindari tempat ini tanpa sadar. Cocok untuk pembicaraan rahasia.

“Keluar, Aigokeros. Aku tahu itu kamu.”

Saat Aries bersuara, udara mulai bergetar. Kabut panas muncul dan dari sana, sebuah sosok muncul.

Sebuah makhluk bertubuh manusia dengan kepala kambing, sayap kelelawar di punggung, dan tubuh bawah yang berfluktuasi, seolah tak punya bentuk tetap.

Salah satu dari Dua Belas Bintang Surgawi—Aigokeros si Kambing.

Legenda menyebutnya sebagai iblis itu sendiri.

Mata gelapnya menatap Aries… bersinar penuh tantangan.

Novel Bos Terakhir Chapter 26

Bab 26: Ruphas Tertidur

"—Jadi, ini situasi apa, Libra?"

"Kami sudah tiba dengan selamat di kota. Aku menilai tak ada masalah, Tuanku."

"Serius? Ini jelas masalah besar."

Libra memang berhasil membawa kami ke negara Gjallarhorn tanpa hambatan. Tapi caranya… yah, bisa dibilang jauh dari ideal. Dia menggunakan skill Sky Jet untuk membawa kami, dan meski teknisnya efisien, waktunya benar-benar tak tepat. Sudah larut malam, dan dia malah terbang dengan deru jet menggelegar. Gak sulit ngebayangin orang-orang yang terbangun panik gara-gara suara itu. Sekarang kami dikelilingi oleh warga yang menatap curiga dari pintu rumah mereka.

Ya ampun… sudah terlanjur. Maaf, ya.

"Libra, kamu gak bisa sembarangan kayak gitu. Di jam segini, suara bising bakal bangunin orang."

"Itu tak jadi soal, Aries. Berdasarkan analisisku, kekuatan tempur mereka yang terbangun tidak mengancam. Aku bisa mengurus mereka. Mereka tak akan menjadi hambatan bagi Master."

"Eh—bukan itu maksudku..."

Percakapan antara Aries dan Libra bikin aku ingin menepuk jidat. Gimana ini, ya? Golem pelayan ini benar-benar gak paham konsep ‘mengganggu’. Mungkin karena di dalam game, segala hal selalu dinilai berdasarkan pertempuran dan ancaman. Kalau di game, suara keras di malam hari cuma jadi event biasa. NPC gak bakal bangun. Tapi sekarang... Libra jelas masih butuh pengalaman.

Seorang pria—sepertinya berusia akhir tiga puluhan, meski mungkin usianya jauh lebih tua karena dia flügel—melangkah mendekat saat kami menarik perhatian warga. Flügel memang hidup panjang, dan tubuh mereka tetap prima dalam waktu yang sangat lama. Pria ini kemungkinan besar sudah hidup hampir seribu tahun. Sayapnya kusam keabu-abuan, tidak terlalu menarik. Dan semua orang yang kulihat di jalan ini juga begitu—sayap mereka campuran, tidak ada yang sehitam sayapku. Ada yang kebiruan, ada yang kemerahan. Ini memang kota faksi flügel campuran.

"Maafkan kami, ini sudah malam. Aku Dina, seorang pedagang keliling. Kami mampir ke kota ini dan… sepertinya membuat keributan. Kami benar-benar minta maaf."

"Aku Saphur, juga pedagang keliling. Maaf atas ketidaknyamanannya."

"Hmm. Aku Aries, juga pedagang."

"Aku Copernicus IV, golem pengawal mereka bertiga."

Kami memperkenalkan diri dan mencoba memperbaiki keadaan. Bahkan dalam situasi seperti ini, mulutku tetap mengeluarkan kata-kata arogan yang membuatku sedikit jengkel sendiri.

Dan Libra, seperti biasa, tidak membaca situasi. Dia seenaknya saja menyebut dirinya ‘Copernicus IV’—nama yang kedengarannya seperti karakter dalam lawakan panggung. Yah, setidaknya lebih baik daripada menyebut nama aslinya. Tidak seperti Aries, penampilan Libra tidak berubah, jadi jika dia pakai nama aslinya, identitasnya bisa langsung ketahuan. Tapi tetap saja… Copernicus?

"Oh, jadi kalian pedagang, ya? Cara kalian masuk kota ini cukup... unik."

Paman, gak usah sok sopan begitu juga, deh. Kami tahu betapa absurdnya cara masuk kami.

Tapi dia tersenyum lebar, tanpa sedikit pun marah.

"Kalian pasti lelah setelah perjalanan panjang. Rumahku juga penginapan. Kalau kalian tak keberatan, menginaplah di tempatku malam ini."

Mendengar tawarannya yang lembut, aku dan Dina saling pandang. Bukannya marah, dia justru menyambut kami dengan ramah meski kami mengganggu malamnya. Orang seperti ini… sungguh langka. Tergerak oleh kebaikannya, kami pun mengikuti dia menuju penginapan.

Tunggu... penginapan ini… terbuat dari marmer?

Ternyata bukan cuma penginapan. Seluruh kota ini sepertinya dibangun dari marmer. Permukaannya mengilap dengan pola-pola alami yang elegan. Tampaknya seni bangunan marmer memang berkembang pesat di negara ini. Mungkin ada seorang alkemis hebat di baliknya.

"Berapa semalamnya?"

"25 eru per kamar."

Paman menjawab pertanyaan Dina dengan harga yang sangat bersahabat. Dua puluh lima eru setara dengan sekitar lima ribu yen. Untuk empat orang? Murah banget. Kami pun langsung membayar tanpa banyak pikir dan diantar ke kamar kami.

"Ini kamar kalian. Silakan istirahat."

Ruangan itu dikelilingi marmer, agak dingin memang, tapi tetap nyaman. Karpet lembut membentang di lantai, dan beberapa vas diletakkan dengan cantik. Untungnya, gak sampai berkilau ke segala arah.

"Besok kita pertimbangkan untuk menemui Merak. Malam ini kita istirahat. Aries sudah tidur."

"Ah."

Ya, memang sudah larut. Meski aku yang barusan terbang bising-bising, rasanya memang saatnya tidur sekarang.

Selain Libra yang tak perlu tidur, dan Dina yang entah sudah terlelap sejak kapan, hanya aku—yang biasa begadang sebagai gamer—yang masih terjaga. Tapi Aries sudah sangat mengantuk. Meski begitu, dia terus memaksa diri untuk tetap terbangun, mungkin karena merasa tak pantas tidur sebelum aku.

Lucu juga. Aku gak keberatan dia tidur duluan. Gak perlu maksain diri hanya karena hubungan tuan-pelayan kita.

"Yah… selamat malam."

"Selamat malam juga."

Aku dan Dina menyusup ke dalam selimut dan memejamkan mata. Kasurnya agak keras, tapi maklumlah… ini dunia fantasi. Libra berdiri tenang di sudut kamar. Golem memang tidak perlu tidur, dia bahkan bisa menjaga makam selama seratus sembilan puluh tahun. Tapi kalaupun dia bisa tidur, menurutku gak masalah.

Itu pikiranku sebelum aku terlelap.

Siapa?!

Seseorang berteriak penuh amarah, dengan suara kasar tanpa setitik pun kasih.

Seorang pria bersayap putih—ayah dari hubungan darah—berteriak membentak seorang gadis kecil. Seorang ayah yang marah pada anaknya. Ini bukan hal langka. Hampir semua anak mungkin pernah mengalaminya. Tapi biasanya, kemarahan seorang ayah mengandung kasih, bukan hanya ego. Tapi pria ini berbeda. Dia marah tanpa alasan jelas, hanya karena emosi.

"Kau! Anak-anak tetangga bilang kau menyakiti mereka lagi! Bukankah sudah kubilang!? Jangan sakiti orang lain!"

"Tapi, Ayah... mereka yang mulai dulu. Mereka lempari aku batu. Aku cuma… aku cuma ingin melindungi diri..."

"DIAM!"

Teriakan itu menggema, menyayat udara. Gadis kecil itu tahu, ini bukan amarah seorang ayah, ini kekerasan dari makhluk bernama “ayah”.

Selalu seperti ini. Dia tak pernah mau mendengar. Bertingkah seolah mendidik, padahal cuma ingin meledakkan emosinya. Tak pernah ada pelukan, tak pernah ada kata penghiburan. Semua hanya demi menjaga citranya di mata orang lain.

"Tak mungkin aku membesarkanmu jadi seperti ini! Apa kau salah mengerti ajaranku, hah?!"

Terdorong oleh suara menusuk itu, si gadis hanya bisa berpikir, "Memang begitu kenyataannya."

Dia bahkan tak merasa pernah dibesarkan oleh pria ini. Yang dia dapat hanya bentakan dan kekerasan. "Ajaran"? Hah, sejak kapan?

"Tak ada orangtua yang tak mencintai anaknya."

Ucapan indah yang hanya bisa keluar dari mulut mereka yang hidup di dalam cinta.

Kenyataannya, ada banyak orangtua yang tak mencintai anak mereka. Karena anak itu tak diinginkan. Karena mereka dianggap beban. Karena mereka berbeda.

Karena sayapnya… hitam.

Hanya karena warna, cinta itu tak pernah datang.

Setidaknya bagi gadis ini, makhluk bernama “ayah” tak pernah memberi cinta.

"...Pembohong."

Satu kata lirih itu terlepas, dan si gadis berlari menjauh.

Dia tak ingin dengar suara itu lagi. Tak ada gunanya bicara. Mereka hanya kebetulan punya darah yang sama. Tidak ada rasa sakit, tidak ada kesedihan. Air yang menetes di pipinya jelas bukan air mata.

Dia terus berlari. Tak tahu ke mana, tapi terus menjauh. Di desa ini, tak ada tempat untuknya. Karena sayap hitam laknat itu, dia dijauhi, diasingkan, dibedakan, dihina. Batu dilemparkan. Bila dia membela diri, dialah yang disalahkan.

Satu-satunya sekutunya… adalah ibunya. Tapi sang ibu sakit-sakitan, dan dia tak ingin membuatnya khawatir. Tetap saja, hanya ibunya yang menjadi sandaran hidupnya. Jika bukan karena ibu… dia pasti sudah pergi sejak lama.

Kenapa aku harus mengalami semua ini? Hanya karena warna sayapku?

Dia tahu, ada flügel lain yang tak punya sayap putih juga. Di tempat yang kotor dan gelap, mereka tinggal bersama, saling menopang.

Mungkin, jika dia tinggal di sana, hidupnya akan berbeda.

Tapi… kalau dia pergi, pria itu mungkin akan melampiaskan kekerasannya pada ibunya.

Kenapa dunia ini begitu kejam? Kenapa aku harus sial?

Dia tak bisa menahan kutukan yang keluar dalam hatinya—untuk para dewa.

Dewa penciptaan? Dewi cinta?

Kalau memang ada, kenapa dunia ini penuh dengan ketidakadilan?

Doa tak berarti apa-apa.

Tak ada yang akan mendengar.

Tak ada yang akan menolongnya.

Bahkan sebagai gadis kecil, dia berhenti berharap pada siapa pun. Tak ada yang akan membantunya. Maka dia harus bertahan sendiri. Selama tinggal di rumah, dia masih bisa makan. Tapi entah sampai kapan.

Yang jelas, dia tak ingin hidup seperti ini.

Karena itu—dia harus menjadi kuat. Cukup kuat untuk mengalahkan semua ketidakadilan dan kebusukan dunia ini.

Sekarang dia masih lemah. Tapi suatu hari nanti, dia akan membawa ibunya dan pergi dari hidup menyedihkan ini.

Gadis bersayap hitam itu—Ruphas Mafahl—mengucap sumpah dalam diam.

“…Apa barusan? Mimpi?”

Aku meletakkan tangan di dahiku. Mataku terbuka perlahan.

Itu… mimpi aneh. Tapi juga terasa sangat nyata.

Mungkin… itu masa lalu Ruphas. Bagian dari dirinya yang tak kukenal. Aku tak pernah mengatur cerita seperti itu di dalam game. Tapi jika Ruphas benar-benar hidup sebagai sosok nyata di dunia ini, tentu saja dia pasti punya masa lalu… dan orangtua. Dan ya, dengan sayap hitam itu… bisa ditebak bagaimana nasibnya.

Kupikir, sebelum aku menjadi Ruphas… ada Ruphas asli. Tubuh ini bukan milikku. Seharusnya jiwanya masih ada di sini.

Tapi sekarang… hanya aku yang ada.

Aku—pemain yang tak tahu apa-apa tentang masa lalu Ruphas.

Lalu… di mana Ruphas sekarang?

Apakah kehadiranku mengusirnya?

Ataukah dia masih tertidur di dalam tubuh ini?

…Atau mungkin dia masih tersegel di ruang hyperspace?

Kalau begitu, mungkinkah aku ini cuma tiruan?

Tapi kalau aku palsu… kenapa aku bisa punya ingatan itu?

Ayah Ruphas dalam mimpi itu seharusnya orang asing. Tapi kenapa aku merasa sangat marah?

Kenapa dunia ini terasa begitu menyakitkan?

Bagaimana aku harus menjelaskan badai emosi yang menyesakkan ini?

“…Ruphas-sama? Detak jantung Anda meningkat.”

“Libra…”

Satu-satunya yang tetap terjaga—Libra—bertanya dengan nada cemas.

Wajahnya dingin seperti biasa, tapi aku tahu… dia memiliki hati. Emosinya mungkin samar, tapi dia ada. Dia memperhatikanku. Mengkhawatirkanku. Entah kenapa, rasanya seperti kami telah bersama sejak lama.

“Tak usah khawatir. Aku hanya… bermimpi tentang masa lalu.”

“Masa lalu?”

“Iya. Hanya mimpi buruk… seperti anak kecil yang terbangun menangis. Tak perlu dikhawatirkan.”

Aku tak bisa memberitahunya.

Aku bukan Ruphas.

Mungkin aku… hanya palsu.

Jadi, untuk saat ini… aku memilih diam.

Novel Bos Terakhir Chapter 25

Bab 25: Libra Membumbung Tinggi Melalui Langit

"Kamu berhasil; itu sukses!"

Kerajaan Pedang — Lævateinn.
Di pusatnya, ibukota kerajaan, aula audiensi kerajaan mendadak dipenuhi kegembiraan. Biasanya tempat itu sakral dan hening, namun kini berubah riuh, penuh sorak-sorai.

Seorang pemuda berambut hitam berdiri di tengah ruangan, bingung dengan semua yang terjadi.

Bagaimana semua ini bermula?

Pemuda itu berasal dari Jepang. Sehari-harinya ia habiskan seperti remaja biasa—sekolah, klub, pulang ke rumah. Namun, hidupnya yang biasa tiba-tiba terganggu oleh suara asing yang bergema di dalam kepalanya:

"Siapa pun yang bisa mendengar kami... tolong bantu."

Sebuah panggilan minta tolong. Tak jelas siapa yang berbicara, dari mana asalnya, atau apa yang dibutuhkan. Tak ada kewajiban baginya untuk menjawab. Siapa pun yang waras pasti akan mengabaikannya. Tapi... dia tidak.

Dia terlalu baik. Terlalu polos. Begitu polosnya sampai-sampai bisa dianggap "sakit". Sekrupnya mungkin longgar.

Dia selalu ingin membantu orang. Seseorang hilang? Dia cari. Seseorang terluka? Dia bantu. Sifat itu... terlalu murni, terlalu tulus.

Sifat itu adalah kekuatan seorang pahlawan.

Tapi juga, kelemahan yang bisa membinasakan.

Dia berhenti berpikir. Dan saat itulah, pemanggilan pun berhasil.

—Sang Pahlawan telah dipanggil.

Berita itu menyebar ke seluruh kerajaan.


Tempat itu gelap.

Tak ada cahaya. Tapi aku bisa melihat tubuhku sendiri dengan jelas. Aku bisa berjalan. Rasanya... seperti mimpi.

Saat aku terus melangkah, sebuah ruangan muncul—ruangan yang sangat kukenal. Bukan kamar dari Midgard, melainkan kamar masa laluku di Jepang. Dinding putih, rak buku penuh komik dan novel ringan, meja dengan komputer di atasnya.

Ya... ini kamarku. Aku tahu itu. Tapi...

Kenapa rasanya asing?

Tak ada rasa nyaman. Tak ada nostalgia. Seolah aku hanya mengunjungi rumah orang lain.

Aneh.

Aku mendekati komputer. Layar memperlihatkan X-Gate Online, game yang sangat kukenal. Tapi... kenapa terasa asing? Seperti game lain, seperti tiruan yang kehilangan jiwa.

Di layar itu, aku melihat diriku. Aku tenggelam dalam game tanpa ragu. Tapi sekarang, semuanya terasa keliru.

Dan tiba-tiba—tangan putih pucat mencengkeram pundakku dari belakang. Kuat. Tak bisa kulawan.

Terlambat.

“Waktunya habis. Aku akan menunggu kesempatan berikutnya.”

Kesadaranku ditarik keluar dari mimpi itu.


"—Phas-sama! Ruphas-sama!"

Aku terbangun.

Yang pertama kulihat adalah Dina, mengguncang tubuhku panik. Aries dan Libra berdiri di sampingnya.

"Ah... maaf. Aku tertidur. Kita mau ke Vanaheimr, ya?"

"Benar! Dan kita sudah hampir sampai!"

Kesadaranku perlahan pulih. Sepertinya aku benar-benar tertidur nyenyak.

"...Maaf. Aku bermimpi aneh. Tapi sekarang sudah lupa..."

Aku tahu mimpi itu penting, tapi tak bisa kuingat lagi. Katanya manusia memang cepat melupakan mimpi setelah bangun. Yah... mungkin memang tidak penting.

Kami masih menaiki Tanaka, golem kendaraan kami, dalam perjalanan menuju kampung halamanku—Vanaheimr, sebuah pemukiman flugel kecil di pegunungan. Di dunia ini, tempat itu ditetapkan sebagai asal usulku. Meski sayapku hitam... yah, itu cuma detail kecil. Tidak sulit membayangkan aku pernah didiskriminasi karena itu.

"Sudah hampir malam. Ayo kita berhenti di sini untuk malam ini."

Meski Tanaka bisa bergerak sendiri, AI-nya level 4. Artinya, kadang dia menyerang monster sembarangan atau nyasar arah. Butuh kontrol sesekali. Makanya Dina membangunkanku.

Meski tampak seperti mobil, Tanaka adalah golem. Ia bisa menyerang musuh secara otomatis. Tapi tidak secerdas Libra yang AI-nya level 5, yang bisa menilai situasi dengan lebih bijak.

"Ngomong-ngomong, Ruphas-sama. Di depan ada negara."

"Negara?"

"Ya, kita sudah masuk wilayahnya. Ibukotanya bernama Gjallarhorn. Didirikan oleh salah satu Tujuh Pahlawan—Merak, Raja Langit. Mayoritas flugel tinggal di sana."

Salah satu dari Tujuh Pahlawan masih hidup...

Rasanya canggung. Negara flugel berarti aku bisa dibilang musuh alami mereka. Aku mungkin tak akan diserang, tapi keberadaanku sendiri adalah masalah.

Terutama karena salah satu dari Dua Belas Bintangku tinggal di daerah ini. Mereka mungkin menganggapku ancaman.

Dan aku harus memakai jubah lagi. Terlalu banyak orang mungkin masih mengingat wajahku.

"...Kita tetap menginap di sana. Aku tak terlalu tertarik, tapi tidak bisa dihindari."

Hanya tiga dari Tujuh Pahlawan yang tersisa. Aku tidak bisa menghindar dari mereka selamanya.

Beberapa saat kemudian, kami melihat kerajaan itu.

Dan... kesan pertamaku adalah: “Negara yang aneh.”

Semua bangunannya putih polos. Tak ada warna. Sulit membedakan rumah penduduk dengan bangunan lainnya. Semuanya seragam. Dingin. Kaku.

Lalu lokasinya—semua bangunan dibangun menempel di tebing! Padahal ada dataran yang lebih nyaman. Rasanya seperti kota Yunani kuno, tapi lebih kacau. Ada tangga, ya, tapi panjang dan curam. Kota ini jelas dibangun dengan asumsi bahwa penghuninya bisa terbang.

Dan... di seberang tebing itu, ada kota lain. Sama seperti yang satu ini, tapi seluruh bangunannya berwarna hitam.

Satu kota putih. Satu kota hitam. Di antara keduanya, berdiri istana putih di puncak gunung.

"Desain kota ini benar-benar aneh..."

"Sepertinya susah untuk dikunjungi wisatawan."

"Aku penasaran, Dina. Ada apa sebenarnya di sini?"

"Dari info yang kudapat, negara ini sedang dilanda perang saudara."

“Perang...?”

"Ya. Ada dua faksi utama. Faksi Sayap Putih, yang percaya sayap putih murni adalah kebanggaan flugel. Dan faksi Sayap Campuran, yang menentang diskriminasi warna sayap. Saat Ruphas-sama memerintah, diskriminasi dilarang. Tapi setelah Anda pergi, kaum Sayap Putih mulai bangkit."

Keringat dingin mengalir di pelipisku.

...Jadi ini semua karena aku?

Karena aku, flugel saling membenci dan berperang?

"Faksi Sayap Campuran berjuang demi kesetaraan. Selama hampir dua abad, perang ini terus membara."

Sial.

Aku bahkan tidak ingat pernah melarang diskriminasi. Mungkin itu keputusan ‘Ruphas’ yang asli. Tapi sekarang aku yang harus menanggung akibatnya.

"Bagaimana dengan Merak?"

"Merak netral. Dia berusaha menghentikan perang, tapi... dia tak bisa mengendalikan rakyatnya."

"...Lelaki itu... pasti menderita."

"Dia tidak berguna."

"Libra, jangan terlalu keras."

Merak yang kukenal adalah pria lembut yang cakap membaca situasi. Jika dia tak bisa menghentikan perang ini, berarti konfliknya sangat dalam.

Karena itu, sebagai biang kerok perang ini... aku tak bisa lari.

"...Kita mulai dari kota hitam. Itu pasti markas faksi Sayap Campuran."

"Dimengerti."

Mereka mungkin lebih terbuka terhadapku. Sedikit.

“Master mendukung faksi hitam... mencatat. Pilihan warna pakaian dalam berikutnya: hitam.”

"...Apa yang kau katakan?"

“Jika Master menyukai warna hitam, sebaiknya aku mengenakan pakaian yang hampir transparan dengan sedikit sentuhan hitam...”

"TIDAK! Tidak perlu."

“Begitu ya. Faksi putih. Itu tren populer.”

“BUKAN ITU MAKSUDKU!”

"...!? Mungkinkah... Master tidak pakai pakaian dalam?"

“DIAM!”

Aku meninju kepala logam Libra.

Apa dia masih rusak!? Proses berpikirnya kacau. Padahal dia AI level 5!

Sudah saatnya aku mencari seseorang yang waras untuk mengontrol Libra...

Dicari: Orang normal untuk mengimbangi keanehan Libra.

"Baik, kita ke kota hitam dulu. Tanaka, sembunyikan dirimu di balik batu!"

"Ya, Tuanku."

Libra menutupi Tanaka dengan kain besar, lalu kembali.

Bagus. Dalam urusan tugas, dia memang bisa diandalkan. Cepat dan efisien.

"Jadi... bagaimana cara kita naik ke kota itu? Tangga ini..."

Ribuan anak tangga.

Kalau kita jalan, bisa-bisa matahari terbit sebelum sampai.

"Jangan khawatir. Aku akan bawa kalian semua."

Libra membuka punggungnya. Ransel jet keluar. Meski tubuhnya mungil, dia menyimpan mesin jet seukuran koper.

Dengan percaya diri, dia memelukku dengan satu tangan, Aries dengan tangan lainnya... dan menjambak leher baju Dina dengan tangan kiri.

“Geghh!?” Dina menjerit, suara tak anggun keluar dari mulutnya.

Dan...

“Sky Jet, aktif.”

BOOM.

Pendorong meledak. Libra terbang ke langit seperti roket—membawa kami semua.

“Tunggu! Libra, berhenti! Kau akan membangunkan semua orang di kota! LIBRAAAA—!”


Novel Bos Terakhir Chapter 24

Bab 24: Libra, Dapat!

Setelah berhasil menenangkan Libra, aku mulai khawatir tentang langkah selanjutnya. Jean pasti akan curiga jika aku kembali membawa Libra. Apalagi jika mereka melihatnya secara langsung, bisa saja mereka menuntut agar Libra dihancurkan. Dalam skenario terburuk, aku harus melawan mereka.

Tentu saja, aku tak akan membiarkan Libra dihancurkan. Tapi aku juga tak ingin membuat masalah tak perlu. Mereka bukan tandinganku, tapi tetap saja... aduh, apa yang harus kulakukan?

“Hmm~ kalau terpaksa, ku-buat mereka pingsan saja dan kabur…”

Kupikir-pikir, itu ide yang lumayan. Tapi aku tetap merasa kesal.

“Oh, Ruphas-sama.”

“Selamat datang kembali! Sepertinya semuanya berjalan lancar, ya?”

Saat aku turun ke lantai bawah dengan wajah murung, Aries dan Dina menyambutku dengan senyum cerah. Sebaliknya, Jean dan rekan-rekannya berdiri kaku, mata mereka kosong seperti orang linglung.

“Dina, apa yang terjadi dengan mereka?”

“Oh, aku pikir akan repot kalau mereka lapor ke orang lain, jadi aku berikan sedikit ‘saran’.”

“Saran?”

“Aku tanamkan kenangan palsu. Jadi sekarang, mereka pikir mereka belum pernah bertemu kita sama sekali. Aku juga buat mereka yakin bahwa merekalah yang berhasil menaklukkan makam ini.”

...Aku hanya bisa tersenyum getir. Ah ya, benar. Dina bisa memanipulasi ingatan. Betapa praktis sekaligus... mengerikan.

“Mengenai Libra, ceritanya adalah dia sudah rusak parah saat mereka tiba. Kita akan katakan bahwa tim investigasi sebelumnya yang membuatnya seperti itu.”

“Jadi sejak awal, kau biarkan Jean dan kawan-kawannya ikut karena ini, ya?”

“Kalau bukan itu, buat apa repot-repot bawa-bawa beban?”

“…Kau benar-benar menakutkan.”

“Demi Ruphas-sama, aku rela jadi iblis. Itulah aku, Dina!”

Aku menggigil mendengarnya, lalu menghapus keringat dingin. Tapi... dia memang sangat bisa diandalkan.

Bagaimanapun, aku masih punya janji pada Megrez. Aku harus meninggalkan beberapa barang tak terpakai di sini.

Misalnya, senjata dengan tambahan +100 kekuatan serang. Keren, tapi terlalu mencolok untuk dipakai sekarang. Lebih baik kubiarkan saja untuk digunakan orang lain.

“Oke, ayo ke lantai paling atas.”

“Ya~!”

“Y—Ya!”

Kami berangkat, meninggalkan Jean dan timnya yang masih ‘mati suri’. Lantai paling atas ternyata adalah ruangan mewah berlapis emas. Langit-langit, dinding, lantai... semuanya emas. Bahkan berlebihan. Perhiasan dan koin emas ditumpuk sembarangan. Pedang dan perlengkapan dipajang indah.

Tak terasa seperti makam sama sekali. Kalau aku benar-benar mati dan dimakamkan di tempat seperti ini... aku pasti bangkit lagi karena tidak bisa tidur tenang.

Anehnya, aku justru senang melihat ruangan ini. Rasanya ingin mengambil semuanya!

“Ruphas-sama, tenanglah.”

“Aku tenang... harusnya... tapi kenapa aku tak bisa tenang?!”

“Oh, benar. Dulu Ruphas-sama memang suka benda mengilap. Jadi beliau kumpulkan semuanya di sini.”

Aku menegang. Serius? Aku suka barang mengilap!? Apa aku gagak!?

“Baiklah, sebelum Ruphas-sama semakin terdistraksi, mari kita ambil senjata yang diperlukan.”

“Tenang saja. Aku bisa bedakan mana yang penting.”

“Kalau begitu, bisa tolong lepaskan semua bongkahan emas di tanganmu?”

Hah?

...Oh sial. Tanpa sadar aku sudah menggenggam tumpukan emas.

Aku... tak sadar sama sekali.

“Ayo Aries-sama, Ruphas-sama sudah berubah jadi burung gagak. Kita pilih senjatanya sekarang.”

“Siap, Dina-san!”

Huh!? Aku tidak hanya tidak berguna—aku malah jadi pengganggu!?

Tanganku kembali mengambil barang aneh saat mereka sibuk memilih senjata. Aku bahkan tak bisa menahan diri. Tubuh ini bergerak sendiri... seolah punya hasrat tersendiri.

“Ruphas-sama! Itu hanya benda hias! Tak berguna! Letakkan!”

“Itu cuma pajangan! Tidak punya efek apa pun!”

“Aaah...”

Setelah dimarahi dua kali, aku menyerah dan duduk di pojok ruangan. Sedih rasanya... aku ingin mencari senjata, tapi tubuhku tak menurut.

Lalu, saat menyadarinya, tanganku kembali menggenggam barang entah apa. Sementara itu, Dina dan Aries dengan tenang mengumpulkan senjata dan perlengkapan yang pernah kupakai dahulu.

Tombak, pedang besar, jamadhar, tonfa, pile bunker... aku pernah pakai semuanya. Tapi favoritku adalah... pedang cambuk.

“Kurasa ini sudah cukup. Sisanya biar tetap di sini. Mereka masih sangat berharga di dunia sekarang.”

“Golemn—oh ya, aku akan bawa mereka juga ke Menara. Ruphas-sama, bisa tolong kumpulkan semua golem yang belum rusak?”

Akhirnya aku punya tugas juga. Mengumpulkan semua golem yang masih utuh... yah, cukup merepotkan. Tapi aku harus. Kalau tidak, lebih banyak korban bisa jatuh.

“Baik. Tapi akan butuh waktu.”

Aku tidak bisa melakukan banyak hal di sini. Tapi setidaknya, aku akan menyelesaikan ini dengan baik.

...Kali ini, aku buang harga diriku.


Seperti kuduga, butuh waktu lama. Makam ini terlalu besar. Siapa yang gila cukup untuk membangun ini?

Semua golem dengan AI tinggi sudah kutitipkan ke Dina, bersama senjata lainnya. Karena benda-benda itu tidak hidup, Dina bisa teleportasikan semuanya ke Menara Mafahl. Sementara golem-golem bodoh yang masih menyerang tanpa henti... kuhancurkan satu per satu.

“Baik, kita pergi sekarang.”

“Jean dan kawan-kawannya... tidak apa ditinggal begitu saja?”

“Tidak apa. Mereka akan bangun dan pikir bahwa mereka sendiri yang berhasil menaklukkan makam ini.”

Setelah sadar, Jean dan timnya akan menjadi pahlawan yang membersihkan Makam Kerajaan Bersayap Hitam. Mereka mungkin membawa pulang beberapa harta... tapi aku tak peduli. Toh, aku tak bisa membawa semuanya.

Senjata, golem, dan Libra—semuanya sudah kembali padaku. Itu cukup.

Tapi... tempat ini memang dimaksudkan sebagai makamku. Rasanya aneh membayangkan bahwa tempat ini akan kosong dan ditinggalkan begitu saja.

Di Bumi pun sama. Makam dengan harta karun sering dirampok dan isinya dipajang di museum. Tapi... museum bukan tempat untuk beristirahat. Jika aku benar-benar mati, aku ingin dikubur di tempat sederhana. Yang tak akan menarik perhatian siapa pun.

Kami meninggalkan makam dan kembali ke hutan, tempat Tanaka si golem kendaraan menunggu.

Aku membuat pakaian pelayan baru untuk Libra dengan alkimia, lalu menyerahkan tugas membersihkan dan memakaikannya ke Dina. Tak mau ambil repot.

Beberapa jam kemudian, saat semuanya siap, aku memberi perintah agar Libra ‘bangun’.

“…Sistem pemeriksaan selesai. Semua fungsi normal. Memulai aktivasi.”

Cahaya menyala dari matanya. Libra perlahan berdiri. Saat melihatku, ia menunduk anggun.

Lalu aku melihat statusnya:


Dua Belas Bintang Surgawi, Libra
Level: 910
Ras: Bentuk Kehidupan Buatan
Atribut: Logam
HP: 120.000
SP: 0
STR: 5.500
DEX: 4.900
VIT: 5.020
INT: 300
AGI: 4.100
MND: 350
LUK: 600


Statistik seperti yang kuingat.

SP-nya 0, seperti semua golem. Mereka tak pakai SP, melainkan jumlah penggunaan terbatas untuk setiap skill. Setelah digunakan, harus tunggu 24 jam sebelum bisa dipakai lagi.

Jadi, Brachium hanya bisa ditembakkan sekali per hari. Tak ada gunanya punya skill berbasis SP.

Tapi HP-nya sangat tinggi. Bahkan setara dengan monster bos. Golem memang bisa diberi HP luar biasa, tergantung bahan pembuatannya.

Namun, mereka hanya bisa disembuhkan dengan skill alkemis. Itulah kenapa Aries—meski HP-nya lebih kecil—tetap lebih tahan lama karena bisa regenerasi. Tapi kalau kena Brachium, ya tamat juga.

“Selamat pagi, tuanku, Ruphas-sama.”

“Hm. Ada bagian tubuhmu yang terasa aneh?”

“Tidak ada. Terima kasih atas perhatianmu.”

Suaranya sekarang lebih lembut, tidak seperti robot radio seperti saat kami bertarung.

Libra pun membungkuk ke arah Aries.

“Sudah lama, Aries. Seperti biasa, penampilan dan gendermu tetap tidak cocok.”

“Itu yang pertama kau bilang setelah dua ratus tahun!?”

Aries hampir menangis. Libra membungkuk lagi, lalu menoleh ke Dina.

“Senang bertemu denganmu, orang asing. Maaf atas ketidaknyamanan sebelumnya.”

“Polanya lagi…”

Seperti yang kuduga, bahkan Libra pun tak mengenali Dina. Entah kenapa, keberadaannya selalu terlupakan. Bahkan oleh kami berdua.

“Libra, dia adalah penasihatku, Dina. Meskipun kehadirannya... samar, dia sudah bersama kita dua abad lalu.”

“…!? Apa…? Mode siluman aktif hingga datanya tak terekam...!?”

“Setidaknya aku tak seharusnya dilupakan begini! Aku bisa menangis tahu!?”

Dina mendekati Libra, mengguncangnya.

“Lihat! Ini aku! Kau pasti ingat sekarang, kan!?”

“...Tidak ada ingatan yang sesuai. Tapi ada data rusak dua abad lalu yang kemungkinan berisi data tentang Dina-sama. Sayangnya, datanya rusak karena usia.”

Ah… benar-benar nasib buruk.

Bahkan golem pun melupakanmu, Dina...

“Pemulihan data mungkin, tapi akan butuh waktu. Sampai saat itu, Dina-sama akan diakui sebagai penasihat sementara.”

“‘Sementara’!?”

Dina terlihat makin terpukul. Tapi Libra tetap tanpa ekspresi. Kami tak tahu apa yang dia pikirkan.

Meski begitu, aku tak meragukan kesetiaannya. Selama dua abad dia menjaga makam ini tanpa goyah.

Pasti... ada jiwa yang hangat di balik wajah dinginnya.

“Libra. Kau tahu apa pun soal anggota Bintang Surgawi lainnya?”

“Maaf. Aku tidak memiliki informasi dari luar karena aku menjaga makam selama ini.”

...Sudah kuduga.

Tapi tak apa. Masih ada empat dari enam anggota yang Dina tahu keberadaannya. Kami bisa cari mereka nanti.

“Dina, selanjutnya kita ke mana?”

“Berikutnya... adalah Parthenos-sama, sang Maiden. Dia tinggal di sebuah desa terpencil di kaki gunung, dua ribu kilometer ke barat.”

“Desa?”

“Ya. Daerah hutan, banyak monster lemah, dan ada penghalang pelindung. Dia hidup tenang di sana.”

Oh, bagus. Sepertinya dia tidak dalam bahaya. Tidak seperti Aries atau Libra, dia bisa dibiarkan sebentar.

“Oh ya, gunung itu juga tempat kelahiran Ruphas-sama. Para Flugel asli sudah diusir, dan sekarang tempat itu jadi tanah suci milik Parthenos.”

…Oke. Aku menarik kembali kata-kataku.

Masalah baru menanti.