Bab 101 : Akasha
Di ruang makam yang remang, Vania meringkuk di sudut, matanya terpaku pada kitab suci yang tergeletak di lantai. Rasa takut mencekik dadanya, bahkan untuk bernapas pun terasa sulit. Ia berusaha menenangkan detak jantungnya yang kacau, meski kecemasan dan rasa gelisah terus membelenggu.
Sejak menyadari bahwa ia menerima wahyu dari dewa asing, pikirannya berkecamuk. Haruskah ia menyerahkan diri ke Gereja Cahaya terdekat? Atau melarikan diri secepatnya? Cepat-cepat ia menepuk wajahnya sendiri, menepis pikiran itu.
“Tidak, aku tidak boleh! Tenanglah, Vania, tenang! Kalau aku menyerah, aku pasti akan diseret ke Inkuisisi. Tak mungkin mereka berbelas kasih—dosa bidat terlalu berat. Hakim takkan memaafkanku hanya karena aku menyerahkan diri. Kalau aku kabur, meninggalkan tumpukan mayat di sini, Gereja akan langsung menganggapku berpihak pada kaum bidat dan dalang dari pembantaian ini. Aku akan diburu sampai ke ujung dunia… takkan ada lagi damai untukku…”
Vania menganalisis situasinya dengan saksama. Baik menyerah maupun kabur sama-sama mustahil. Satu-satunya pilihan: berpura-pura tak terjadi apa-apa dan kembali ke Gereja, menyembunyikan kenyataan bahwa ia telah menerima wahyu dari dewa asing.
Namun itu bukan hanya soal ia merahasiakan hal ini—dewa asing itu pun harus tetap bungkam. Bagaimana jika menyembunyikan kebenaran malah menyinggung-Nya?
Menerima wahyu ilahi dianggap anugerah besar, bahkan tanda dipilih sebagai yang terkasih. Mengabaikan rahmat itu dan kembali ke Gereja seolah tak terjadi apa-apa bisa memicu murka ilahi.
“Walau Dia dewa asing, tetap saja Dia dewa—sosok yang tak boleh kutentang. Lagi pula, Dia memang menolongku, meski aku belum tahu sebenarnya dewa macam apa Dia. Aku harus berhati-hati agar tidak menyinggung-Nya. Kalau Dia memaksaku masuk ke dalam imannya… mungkin aku tak punya pilihan.”
“Hhh… untuk saat ini, lebih baik aku mencoba berkomunikasi,” gumamnya lirih.
Dengan ragu, Vania mengambil lagi kitab sucinya dari lantai, lalu menulis.
“Bolehkah hamba bertanya, wahai Tuhan yang tak dikenal, adakah permintaan khusus dari-Mu?”
…
“Permintaan?”
Membaca kata-kata itu di buku, Dorothy menggaruk kepalanya. Karena tak tahu pasti keadaan pihak lain, ia memutuskan untuk tidak meminta apa pun dulu.
“Tidak ada untuk saat ini,” tulisnya.
…
“Tidak ada untuk saat ini… Berarti aku tidak dipaksa masuk ke dalam iman-Nya? Syukurlah. Baiklah, mari kutanyakan hal lain.”
Sedikit lega, Vania kembali menulis.
“Bolehkah hamba bertanya, wahai Tuhan yang tak dikenal, apakah hamba boleh kembali ke Gereja?”
Tak lama, jawaban singkat muncul.
“Boleh.”
Hati Vania meluap dengan rasa syukur. Itu berarti ia bisa kembali ke Gereja tanpa menyinggung dewa asing ini. Selama ia berhati-hati menjaga rahasia, ia bisa kembali hidup sebagai biarawati biasa. Itu adalah hasil terbaik yang bisa ia harapkan.
Meski tak tahu siapa sebenarnya dewa asing ini, setidaknya Dia tidak tampak jahat. Mungkin Dia bukan dewa iblis seperti yang ia khawatirkan.
“Walau aku tetap menjadi Suster Cahaya, aku takkan melupakan rahmat dewa ini. Akan lebih baik kalau aku tahu nama-Nya… Mengetahui identitas dewa akan membantuku menghindari pelanggaran.”
Dengan pikiran itu, Vania menulis lagi.
“Bolehkah hamba bertanya, wahai Tuhan yang agung, apa nama kehormatan-Mu?”
…
“Nama kehormatan?” Dorothy mengernyit. “Maksudnya… gelar dewa? Atau semacam gelar panjang penuh pujian?”
Ia teringat masa belajarnya di Gereja dulu, ketika ia menghafal gelar kehormatan Bunda Cahaya—rangkaian panjang kata-kata yang memuji sifat-sifat ilahi.
Dorothy sadar pihak lain benar-benar mengira dirinya dewa. Kalau begitu, ia harus menciptakan nama kehormatan yang terdengar agung. Meski sebenarnya ia hanyalah penipu yang bersandar pada sistem, tetap saja ia harus tampak meyakinkan. Tapi merangkai gelar panjang jelas butuh waktu.
Akhirnya, menimbang sifat sistemnya, ia menulis satu kata sederhana.
“Akasha.”
…
“…Akasha…”
Vania duduk di lantai makam, menatap kata itu dengan bingung. Ia mencoba melafalkannya dengan berbagai cara, tapi kebingungannya makin bertambah.
“Akasha… aku belum pernah mendengar nama kehormatan seperti ini. Tidak… ini lebih mirip nama, bukan gelar…”
Keraguan menyelimutinya. Nama kehormatan biasanya berupa deskripsi sifat-sifat dewa—seperti Juruselamat Bercahaya, Bunda Penyayang, Bapa Penghakim, Serigala Rakus, atau Ratu Laba-laba.
Versi lengkap doa biasanya lebih panjang, terdiri dari untaian kata-kata yang merinci dan memuliakan kuasa dewa.
Tapi Akasha… sama sekali tak sesuai dengan pola itu.
“Jangan-jangan… ini transliterasi dari bahasa yang tak kukenal? Bahasa yang sudah hilang ditelan sejarah?”
“Kalau dewa ini memakai nama yang tak kumengerti, mungkin… Dia berasal dari peradaban kuno yang sudah lenyap?”
Sebagai seorang ahli kitab, pikiran Vania otomatis melompat pada kesimpulan itu saat menghadapi nama yang tak bisa ia pahami.
“Lupakan saja, lebih baik aku menyampaikan terima kasihku dulu,” bisiknya.
Setelah menulis beberapa baris doa syukur dengan tulus, Vania menutup kitabnya dan menyelipkannya di pinggang. Ia menarik napas panjang, lalu menyapu pandangan ke seluruh ruangan makam.
“Selanjutnya, aku harus pergi ke kantor telegraf terdekat untuk meminta bala bantuan. Semoga Tuhan melindungiku. Semoga mereka percaya pada kesaksianku.”
Seperti biasa, ia berdoa. Tapi kali ini, hatinya gamang. Apakah ia sedang berdoa kepada Orang Suci Cahaya… atau kepada dewa misterius ini?
Pikiran itu membuat dadanya terasa berat. Ternyata, kembali ke kehidupan biasa sebagai Suster Cahaya tidak akan semudah yang ia bayangkan.
…
“Hhh…”
Dorothy menghembuskan napas lega setelah menerima pesan terbaru dari “pengikutnya.” Ia tersenyum tipis, merasa kini ia punya sumber intelijen sekaligus pengetahuan mistik potensial. Dengan begini, mungkin ia bisa menghemat uang tanpa harus terus-menerus membayar Aldrich untuk informasi.
Meski begitu, sumber ini belum bisa ia manfaatkan sepenuhnya. Karena pihak lain menganggapnya dewa, ia tak bisa asal bertanya hal-hal mendasar. Ia butuh cara komunikasi yang lebih baik agar bisa menggali informasi.
“Akasha… Tak seorang pun di dunia ini seharusnya mengenali istilah itu,” bisiknya.
Kata Akasha berasal dari dunianya dulu, dari bahasa Sanskerta. Artinya kira-kira “eter,” tapi Dorothy memilihnya karena asosiasinya dengan Akashic Records.
Sama seperti Ordo Mawar Salib, Akashic Records adalah konsep mistik dari dunia lamanya—disebut sebagai gudang transenden segala informasi, semacam perpustakaan tertinggi yang menyimpan seluruh pengetahuan. Konsep ini sering muncul dalam gim, film, dan anime.
Karena sistemnya berpusat pada informasi, Dorothy merasa nama itu sangat cocok.
Meski begitu, hanya “Akasha” terdengar terlalu sederhana untuk nama kehormatan dewa. Mungkin nanti, kalau ada waktu, ia akan memperpanjangnya dengan gelar-gelar agung.
No comments:
Post a Comment