Munculnya Bos Terakhir yang Liar 44

 Bab 44 – Raja Iblis Mengeluarkan Tantangan

Ruang itu seakan melengkung.

Bukan secara fisik—tapi di mata mereka yang menyaksikan, realitas tampak terdistorsi, seolah dunia itu sendiri menolak keberadaan dua makhluk yang kini berdiri saling berhadapan. Seperti lukisan anak-anak yang ditarik dan dipelintir sampai kehilangan bentuk, pemandangan di sekeliling menjadi surealis. Semua ini adalah hasil dari tekanan tak kasatmata antara dua kekuatan besar yang saling menatap: Ruphas Mafahl dan Raja Iblis.

Dan di tengahnya… sang Pahlawan, Sei, berdiri bagaikan batu kecil di antara dua gunung raksasa. Ia dan teman-temannya bahkan tidak dianggap ada. Dunia di sekitar mereka, seolah hanya diisi oleh dua eksistensi mutlak—takdir tak mengizinkan siapa pun mengganggu.

“...Aku sudah lama menantikan ini.”

Sebuah suara pria—dalam, tenang, dan mengejutkan… lembut. Tanpa nada kebencian. Seperti pemuda yang bertemu kembali dengan cinta lamanya.

“Luar biasa, ini pertama kalinya kita bertemu. Tapi rasanya tidak asing. Kita… terlalu mengenal satu sama lain, bukan?”

Ucapan itu ditujukan bukan pada Sei, melainkan kepada sosok bersayap hitam yang berdiri tenang: Ruphas.

Raja Iblis.

Musuh utama umat manusia.

Puncak dari semua iblis.

Simbol kematian dan ketakutan.

Tapi kini, di hadapan Ruphas, dia hanya bicara. Bukan mengancam. Bukan menyerang. Hanya menyapa.

“Salam kenal… Alcor. Aku Orm. Kaummu memanggilku Raja Iblis.”

“Alcor?” gumam Ruphas.

“Nama yang kami sematkan padamu. Bintang yang membawa kematian. Simbol kehancuran. Hanya dengan menyebutmu, kami ketakutan.”

Orm menatap Ruphas dengan tatapan… cinta. Tapi juga ngeri. Ular yang tahu dirinya bisa dimakan, namun tetap mendekat.

Ruphas hanya tersenyum tipis. Wajahnya dingin, tenang, penuh wibawa.

“Kalau begitu… perkenalkan juga. Aku Ruphas Mafahl. Makhluk yang disebut ‘bintang pembawa kematian’ oleh kaummu.”

Ini memang pertama kali mereka bertemu secara langsung. Tapi rasanya seperti reuni dua musuh lama. Saling kenal. Saling paham. Dua makhluk yang berada pada tingkatan kekuatan yang hanya mereka pahami. Dan bahkan saat mereka saling menyapa sopan… pertarungan sudah dimulai.

Mereka saling lempar aura.

Tekanan batin. Sihir mental. Pemaksaan level.

Tapi semua itu ditolak.

Ruphas mengenakan peralatan anti-debuff.

Orm berada di atas batasan level paksaan.

Keduanya tahu trik kecil takkan berhasil. Tapi tetap melakukannya, sebagai… salam pembuka.

Sementara itu, di sisi lain realitas, Sei dan kawan-kawan—para pahlawan manusia—tersungkur.

Mereka lumpuh. Dipaksa tunduk oleh aura semata. Gerakan terkunci. Tubuh mereka gemetar karena status Fear.

Mereka tak berdaya.

“…Kupikir kau akan kirim anak buahmu. Kenapa muncul sendiri? Takut pada sang Pahlawan?”

“Jangan bodoh,” jawab Orm tenang. “Aku hanya takut pada dua makhluk. Satu: sang dewi maha tahu. Dan satu lagi: dirimu.”

“Yang lain?”

“Debu.”

“Jadi kau sudah perkirakan ini?”

“Ya. Aku datang bukan untuk Pahlawan. Aku datang… untukmu.”

Pernyataan jujur, tapi juga kontradiktif. Katanya takut, tapi dia datang sendiri. Ruphas membalas tatapan itu tajam, menunggu penjelasan lebih jauh.

“Jujur saja, aku takut padamu. Aku ingin menghindari konfrontasi langsung. Tapi... aku tahu. Setelah kau menghilang, dunia berubah. Aku menyadari satu hal: kau satu-satunya yang berada di luar skenario sang dewi. Dunia tidak bisa kehilanganmu.”

Ruphas menyipitkan mata.

“Apa maksudmu?”

Orm hanya tersenyum.

“Kalau kau ingin tahu… lawanlah aku. Seperti dulu. Gunakan kekuatanmu. Dengan kekerasan, bukan kata-kata.”

Lalu—CRACK.

Orm memutar leher. Ruphas mengepalkan tinju.

Pertarungan dimulai.

Tanpa aba-aba.

Tanpa deklarasi.

Hanya gerakan tiba-tiba—dan ledakan menyusul.

Langit meledak.

Ruphas dan Orm menghilang dari pandangan. Mereka melesat ke udara, bertukar pukulan dalam kecepatan yang tak bisa diikuti oleh mata manusia. Hanya ledakan dan gelombang kejut yang tersisa sebagai bukti pertarungan mereka.

Langit menjadi panggung. Mereka bergerak bagaikan cahaya—merah dan hitam bersilangan di udara seperti anime robot raksasa.

Suara BOOM terdengar. Ruphas memukul Orm, meledakkannya ke stratosfer.

Lalu menendangnya kembali ke tanah—BOOOM—Orm menghantam bumi, menciptakan kawah raksasa.

Ruphas menyusul, tapi Orm membalas dengan tendangan, mengirim Ruphas terbang menembus bebatuan dan pepohonan.

Lalu Ruphas kembali. Lebih cepat. Lebih ganas.

Mereka saling serang, saling hindar, saling tusuk dan tinju, dengan keterampilan yang hanya bisa digunakan oleh entitas di puncak dunia.

Sementara itu, di bawah mereka—Sei dan kawan-kawan hanya bisa bertahan.

Golem pelindung membentuk dinding, Cruz mengangkat perisai. Tapi bahkan angin sisa dari serangan-serangan itu sudah cukup untuk membunuh mereka.

“…Pertarungan seperti ini… terakhir kulihat dua ratus tahun lalu. Melawan Tujuh Pahlawan,” kata Orm.

“…Kau memang pantas disebut Raja Iblis,” jawab Ruphas, tersenyum dingin.

Mereka kembali menciptakan jarak, lalu menyerbu.

Suara meriam bergemuruh.

Langit terbakar.

Laut terbelah.

Hutan runtuh.

Tanah retak sejauh mata memandang.

Golem-golem dilumatkan. Badai mengamuk di seluruh dunia. Dan semua itu… hanya efek samping.

Pertarungan ini… tak bisa dijelaskan.

Tidak bisa diukur.

Ini adalah duel antara dua bencana. Dua bos terakhir.

Dan para saksi hanya bisa… menyaksikan.

Di tempat lain—seorang gadis vampir, duduk di takhta, memutar gelas anggur berisi darah.

Benetnash.

Dia tersenyum kecil, merasakan getaran dunia.

“…Kau masih hidup. Dasar menyebalkan.”

Sementara itu, di hutan…

Singa raksasa bermata merah duduk di atas tumpukan mayat vampir.

Leon.

Dia mendesis pelan, giginya menyeringai.

“…Ruphas… kau memanggilku, ya?”

Para monster terkuat dunia… mulai bergolak.

Dan di pusatnya—

Ruphas dan Orm saling menghantam dalam tabrakan terakhir.

Kekuatan maksimum.

Ledakan super.

Satu pukulan penuh. Masing-masing.

Satu untuk membelah langit.

Satu untuk menghancurkan bumi.

KRAAAAKKKKK!!!!

Waktu sendiri bergetar.

Gunung longsor.

Samudra bergolak.

Angin topan menyapu dunia.

Semuanya… hanya karena satu serangan.

Satu tabrakan.
Satu ledakan.
Satu gelombang.

Dan dunia pun… tahu:

Pertarungan sejati telah dimulai.

 

Post a Comment for "Munculnya Bos Terakhir yang Liar 44"